Apakah Benar Nabi Adam Dikeluarkan dari Surga?

Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan muslim dewasa ini bahwa Nabi Adam as. dan Ibu Hawa diturunkan dari surga karena kedapatan memakan buah keabadian (khuldi) yang dilarang Allah swt. Keduanya terperangkap bujuk rayu Iblis yang terlebih dahulu diusir karena enggan bersujud kepada Nabi Adam as. Lantas apakah benar Nabi Adam dikeluarkan dari surga?

Sebelum memulai ini, terkait persoalan apakah benar Nabi Adam dikeluarkan dari surga? Jadi dalam literatur Islam, ada ulama yang berbeda pendapat, yakni fakhruddin Al-Razy.  Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2]: 35 dalam Kitab Mafatih al-Ghayb (Juz III, hal. 3-4, Dar al-Fikr, 1981 M) karya Fahruddin al-Razi (w. 604 H),

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

“Kami berfirman, ‘Wahai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu, dan janganlah kamu dekati pohon ini,sehingga kamu termasuk orang-orang zalim!’”

Dalam penafsirannya, Fahruddin al-Razi merangkum perbedaan pendapat ulama tafsir mengenai apakah yang dimaksud “al-jannah” dalam ayat ini adalah surga yang kelak ditinggali orang-orang pilihan Allah selepas Hari Kiamat, atau justru “aljannah” yang dimaksud adalah taman atau kebun yang terletak di Bumi. 

Perbedaan penafsiran “al-jannah” dalam ayat ini terjadi karena kata tersebut bersifat ambigu atau multitafsir. Menurut Kamus Mu’jam al-Wasith, kata “al-jannah” mempunyai setidaknya tiga arti: taman yang di dalamnya ada pohon kurma dan pepohonan lain; kebun (yang terdapat tanaman seperti jeruk, pisang, semangka dll.); dan tempat penuh kenikmatan di akhirat kelak.

Abu al-Qasim al-Balkhi (w.319 H) dan Abu Muslim al-Ashfahani (w.322 H) berpendapat bahwa “al-jannah” tempat tinggal Nabi Adam dan Ibu Hawa berada di Bumi. Setidaknya ada tujuh dalil yang mendasari pendapat tersebut:

Pertama, dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 36, dijelaskan bahwa Nabi Adam as. dan Ibu Hawa diusir dari “al-jannah” dengan diksi “ihbithu,”

فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ

Lafal tersebut jamak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan padanan “Turunlah Kamu!” seperti halnya apa yang disebutkan oleh terjemahan Al-Qur’an versi Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Menurut kedua tokoh Mu’tazilah ini, ihbithu dalam ayat ini senada dengan ihbithu dalam Q.S. al-Baqarah (2): 61 yang berarti “pergilah!”

اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِنَّ لَكُمْ مَّا سَاَلْتُمْ

“…Pergilah ke sebuah kota pasti Kau akan memperoleh apa yang kamu minta! …”

Hal ini menunjukkan bahwa “al-jannah” yang dimaksud ayat ini adalah ”al-jannah” yang berada di Bumi karena ihbithu bisa berarti pergi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Kedua, jikalau Nabi Adam as. berada di surga yang dijanjikan untuk orang-orang beriman di akhirat kelak, mengapa Iblis mampu masuk dan menggodanya dan istrinya untuk memakan buah keabadian dengan iming-iming keabadian sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Thaha (20): 120 dan Q.S.al-A’raf (7): 20.

Ketiga, nikmat surga abadi dan penghuninya takkan dikeluarkan dari dalamnya sedangkan Nabi Adam as. dan Ibu Hawa dikeluarkan dari “al-jannah” Hal ini makin menguatkan indikasi bahwa Nabi Adam as. dan Ibu Hawa, setelah diciptakan, tinggal di “al-jannah” yang bukan surga tempat tinggal orang-orang beriman setelah Hari Kiamat.

Nikmat surga kekal dan abadi sebagaimana yang dijelaskan Q.S. al-Ra’d (13): 35 dan Q.S. Hud (11): 108,

Adapun orang-orang yang berbahagia, maka (ia berada) di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya selama masih ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain) sebagai karunia yang tidak putus-putusnya.”

“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa (ialah seperti taman), mengalir di bawahnya sungai-sungai; senantiasa berbuah dan teduh.”

Orang yang telah masuk surga tidak akan keluar darinya sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Hijr (15): 48, 

Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan tidak akan dikeluarkan dari dalamnya.”

Keempat, mustahil bagi Allah memberi ganjaran surga kepada makhluknya tanpa makhluk tersebut berbuat kebijakan terlebih dahulu. Alasan ini sangat berkaitan dengan paham Muktazilah yang dianut kedua tokoh di atas. Menurut Muktazilah, Allah harus adil dalam menghakimi makhluknya: siapa yang beramal baik, maka surga baginya; siapa yang beramal buruk neraka baginya.

Kelima, Nabi Adam as. diciptakan dari tanah di Bumi sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Hijr (15): 26,

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk.”

Tidak ada penjelasan dari teks-teks suci bahwa Nabi Adam as. diangkat ke surga sementara kisah ia diusir dari surga diceritakan dengan salah satu bagiannya berisi perintah “ihbithu” yang bisa berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain di bumi.

Aneh rasanya jika pun “ihbithu” berarti “turunlah” karena Allah menceritakan turunnya Nabi Adam dari surga, namun tidak menceritakan bagaimana ia dinaikkan ke surga setelah diciptakan. Sedangkan, kenaikan ke surga dari Bumi sudah pasti lebih istimewa daripada penurunan dari surga ke Bumi.

 Tokoh Muktazilah lain yakni Abu ‘Ali al-Jubbai (w.303 H) berpendapat bahwa makna “ihbithu” dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35 adalah “turunlah!” yang mengandung makna pengusiran dari Langit ke-7 menuju Langit ke-1. Tidak sampai di situ, al-Jubbai berpendapat bahwa Nabi Adam as. dan Ibu Hawa diusir kembali dari Langit ke-1 menuju Bumi. Pengusiran ini dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 38,

قُلْنَا اهْبِطُوْا مِنْهَا جَمِيْعًا ۚ فَاِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِّنِّيْ هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Kami berfirman, ‘Turunlah kamu semua darinya! Lalu, jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.’”

Menurut mayoritas ahli tafsir Sunni, “al-jannah” dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35 adalah surga tempat hamba-hamba yang diridhai Allah swt. mendapat ganjaran mereka.  Hal ini berdasarkan pemahaman mereka bahwa alif-lam dalam “al-jannah” ini tidak menunjukkan keumuman kata karena tidak mungkin menempati semua tempat yang diasosiasikan sebagai “al-jannah.” 

Oleh karena itu, makna al-jannah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 35 diasosiasikan kepada pengertian “jannah” yang sudah akrab di telinga pembaca Al-Qur’an secara luas, yakni surga. Pendapat keempat menyimpulkan bahwa karena pendapat-pendapat yang berbasis teks (naqliyyah) bersifat lemah dan saling berlawanan, seyogyanya langkah untuk bertawaqquf diambil.

Demikian penjelasan terkait pertanyaan apakah benar Nabi Adam dikeluarkan dari Surga? Se Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Ingin Mendapat Keturunan yang Baik, Baca Doa Ini

Doa ini bersumber langsung dari Alquran.

Untuk mendapatkan keturunan yang baik, orang tua hendaknya membaca doa sebelum anak tersebut lahir ke dunia. Doa ini bersumber langsung dari Alquran, yang dibaca oleh Nabi Zakaria Alaihissalam. 

Berikut doa agar mendapatkan keturunan yang baik:

رَبِّ هَبۡ لِىۡ مِنۡ لَّدُنۡكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً‌ ‌ ۚ اِنَّكَ سَمِيۡعُ الدُّعَآءِ

Rabbi hab lii mil ladunka zurriyyatan taiyibatan innaka samii’ud du’aaa’

“Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS. Ali Imran ayat 38)

IHRAM

Pahala untuk Seorang Istri yang Bersedekah dari Harta Suami

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَتِ المَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ، كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ، وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ، وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ، لاَ يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا

Jika seorang wanita bersedekah dari makanan yang ada di rumah (suami)-nya, tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan atau kerugian), maka baginya pahala atas apa yang diinfakkan. Dan suaminya mendapatkan pahala atas apa yang diusahakannya. Demikian juga bagi seorang penjaga harta/bendahara (akan mendapatkan pahala) dengan tidak dikurangi sedikit pun pahala masing-masing dari mereka.” (HR. Bukhari no. 1425 dan Muslim no. 1024)

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis di atas merupakan dalil bahwa seorang istri boleh bersedekah dari makanan yang ada di rumah suaminya, meskipun dia tidak meminta izin kepada suami terlebih dahulu. Hal ini karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memberikan penjelasan. Jika izin suami adalah syarat, maka tentu akan dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu juga.

Inilah yang dipahami oleh para ulama mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Adapun menurut pendapat ulama Hambali, hal itu berlaku untuk harta yang nilainya kecil yang secara adat kebiasaan masyarakat, pasti diizinkan kalau hendak disedekahkan. Misalnya, roti, kelebihan makanan yang dimasak pada hari itu, buah-buahan, atau semisalnya yang menurut budaya masyarakat setempat, sang suami pasti rida dan mengizinkannya. Sehingga seorang istri akan mendapat rida dan izin suami, meskipun tidak meminta izin secara langsung.

Sedekah tersebut dipersyaratkan, “tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan atau kerugian)”. Yaitu, sedekah tersebut sifatnya tidak berlebih-lebihan dan boros. Misalnya, mensedekahkan harta milik suami yang secara adat kebiasaan itu tidak biasa disedekahkan tanpa izin dan sepengetahuan suami. Maka, hal ini tidaklah diperbolehkan karena bisa mencegah dan menghalangi sang suami dari menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada istri dan kerabat lain yang wajib dia nafkahi.

Sehingga dalam hadis tersebut dicontohkan makanan. Karena memang pada umumnya, jika yang disedekahkan adalah makanan, maka sang suami akan rida dan mengizinkan. Berbeda halnya jika yang akan disedekahkan adalah uang atau perhiasan. Jika istri ingin menyedekahkan uang dan perhiasan, maka harus mendapatkan izin yang tegas dari sang suami.

Kandungan kedua, zahir hadis tersebut menunjukkan bahwa jika seorang istri menyedekahkan makanan yang ada di rumahnya, maka dia mendapatkan pahala yang sempurna, sebagaimana sang suami juga akan mendapatkan pahala yang sempurna. Karena mereka yang berserikat dalam ketaatan, tentu akan berserikat pula dalam mendapatkan pahala. Seorang suami mendapatkan pahala sesuai dengan amal (pekerjaan) yang diusahakannya, sedangkan sang istri juga mendapatkan pahala sesuai dengan amal sedekahnya. Demikian pula seorang penjaga harta (bendahara). Masing-masing mereka tidaklah saling bersaing satu sama lain, karena pahala dan keutamaan dari Allah sangatlah besar.

Akan tetapi, terdapat hadis lain yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَتِ المَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا، عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ

Jika seorang istri bersedekah dari harta hasil usaha suaminya tanpa perintah sang suami, maka sang istri mendapatkan separuh pahala.” (HR. Bukhari no. 2066 dan Muslim no. 1026)

Hadis ini menunjukkan bahwa sang istri hanya mendapatkan separuh pahala. Sehingga dua hadis ini dikompromikan dengan penjelasan berikut ini:

Jika seorang istri menyedekahkan harta suami dengan izin dan sepengetahuan suami, maka dia akan mendapatkan pahala yang sempurna. Hadis yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dibawa ke makna tersebut. Akan tetapi, apabila seorang istri menyedekahkan tanpa izin atau tanpa sepengetahuan sang suami, maka sang istri hanya mendapatkan separuh pahala.

Bahkan, jika seorang istri mengetahui bahwa sang suami tidak akan mengizinkannya atau bahkan melarang, maka dia tidak boleh bersedekah. Jika tetap bersedekah dalam kondisi seperti itu, dia tidak mendapatkan pahala, dan bahkan mendapatkan dosa. Hal ini karena hal itu sama saja dengan perbuatan menyedekahkan harta yang bukan miliknya tanpa izin sang pemilik harta. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89054-pahala-untuk-seorang-istri-yang-bersedekah-dari-harta-suami.html

Saat Musibah Menimpa Saudara Kita

Ketakwaan merupakan salah satu kunci di dalam menghadapi ujian dan cobaan. Allah Ta’ala berfirman,

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu (yaitu dari orang-orang Yahudi dan Nasrani) dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.(QS. Ali Imran: 186)

Di dalam kitab Tafsir Al-Muyassar, terbitan Kementrian Agama Saudi Arabia disebutkan,

“Dan apabila kalian mau bersabar (wahai kaum mukminin), menghadapi itu semua, dan bertakwa kepada Allah dengan konsisten untuk taat kepada-Nya dan menjauhi maksiat-maksiat kepada-Nya, maka sesungguhnya itu termasuk sikap-sikap yang patut dibulatkan tekad untuk dilakukan dan berlomba-lomba di dalamnya.”

Ujian dan cobaan yang menimpa negeri-negeri kaum muslimin merupakan bukti akan kebenaran firman Allah Ta’ala dan risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jauh-jauh hari sebelum semua itu terjadi, Allah Ta’ala telah mengabarkan,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(QS. Al-Baqarah: 155)

Di dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa ujian dan musibah yang menimpa kaum muslimin, itu adalah kebahagiaan bagi orang-orang yang bisa bersabar, tidak menghujat, dan menerima keputusan serta takdir Allah Ta’ala yang telah dituliskan untuknya.

Mengapa? Karena kesabaran merupakan pertanda bahwa dirinya termasuk orang yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala serta merupakan ciri khas orang yang bertakwa kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Dan, orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Belum lagi, orang-orang yang mampu bersabar ketika ujian itu datang, maka Allah siapkan pahala yang tidak terbatas kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman,

إنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Di dalam setiap ujian dan cobaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita dan saudara-saudara kita, pasti ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dan kita ambil, di antaranya:

Yang pertama,

Saat sebuah musibah menimpa, maka itu adalah waktu yang tepat untuk seseorang bertobat, kembali kepada Allah Ta’ala, melakukan amal-amal saleh dan menjauhkan diri dari dosa dan kemaksiatan. Sungguh, tidaklah sebuah musibah itu menimpa, kecuali karena perbuatan dosa. Dan tidaklah ia diangkat, kecuali karena tobat dan kembalinya seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an mengajak diskusi para sahabat yang mendapatkan musibah kekalahan di perang Uhud,

أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, ‘Darimana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran: 165)

Sudah menjadi kewajiban kita untuk mengintrospeksi diri kita masing-masing. Jangan-jangan ujian dan cobaan yang datang silih berganti kepada kita dan saudara kita ini adalah akibat dari perbuatan dosa dan ulah kita sendiri. Mari bersama-sama bertobat kepada Allah Ta’ala, meminta ampun kepada-Nya serta beramal saleh dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan beramal serta mendoakan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah.

Yang kedua,

Allah mampu untuk langsung membinasakan orang-orang kafir tersebut, akan tetapi tidak Allah lakukan. Hal ini Allah takdirkan untuk dijadikan ujian bagi kaum mukminin. Allah Ta’ala berfirman,

ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

“Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka.” (QS. Muhammad: 4)

Seandainya Allah menghendaki, niscaya Allah akan memenangkan orang-orang beriman dalam menghadapi orang-orang kafir tanpa melalui peperangan. Akan tetapi, Allah hendak menguji kita dengan mensyariatkan jihad sebagai jalan menolong agama-Nya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kesabaran dan ketakwaan kepada kita dan saudara-saudara kita di Palestina, memberikan juga kemenangan dan keamanan kepada mereka di dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Ketahuilah bahwa kaum mukminin itu satu kesatuan. Mereka itu layaknya tubuh yang satu. Jika ada satu anggota tubuh yang merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya pun ikut merasakannya juga. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)

Allah Ta’ala juga berfirman di dalam Al-Qur’an,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Demikian juga firman-Nya di dalam surah At-Taubah ayat yang ke-71,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat. (HR. Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)

Oleh karena itu, mari kita doakan saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Lebanon, dan di tempat-tempat lainnya yang sedang dalam kesempitan dan kesedihan. Semoga Allah Ta’ala mengangkat ujian, rasa sedih, dan kesusahan yang sedang mereka hadapi. Rutinlah dan biasakanlah untuk mendoakan mereka dalam setiap kesempatan yang ada, terutama di waktu-waktu di mana doa di dalamnya mustajab.

Jangan pernah berputus asa, bosan, dan sungkan dalam mendoakan mereka. Sungguh manusia yang paling lemah adalah yang paling lemah dan bermalas-malasan di dalam berdoa. Padahal Allah Ta’ala telah mengatakan tentang diri-Nya,

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. (QS. An-Naml: 62)

Betapa banyak musibah, rasa susah, dan kesedihan yang Allah hapus berkat doa-doa yang dipanjatkan. Dan betapa banyak juga doa-doa menjadi penyebab datangnya rahmat dan rezeki dari Allah Ta’ala.

Jangan lupa untuk membantu saudara-saudara kita semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan mereka. Berikan sumbangan dan bantuan kepada mereka. Penuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman,

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُم

“Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menginfakkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu, di antara kamu ada orang yang kikir. Dan barangsiapa kikir, maka sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah Yang Mahakaya dan kamulah yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar), Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu (ini).”  (QS. Muhammad: 38)

Semoga Allah Ta’ala memberikan pertolongannya kepada kaum muslimin. Semoga Allah Ta’ala menghancurkan dan memporak-porandakan musuh-musuh Islam yang berusaha menghalangi kaum muslimin dari melakukan ketaatan, merampas hak-hak mereka, dan bahkan membunuh anak-anak mereka.

Ya Allah, berilah kami dan saudara-saudara kami kesabaran dan ketakwaan di dalam menghadapi musibah yang sedang kami hadapai ini. Berilah kami jalan keluar dan kemudahan atas setiap permasalahan yang sedang kami hadapi

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89087-saat-musibah-menimpa-saudara-kita.html

Doa Nabi Musa Saat Dikejar Fir’aun

Berikut ini doa Nabi Musa saat dikejar Fir’aun. Doa ini bermula ketika Nabi Musa saat dikejar Fir’aun. Kisah disinggung dan paling terkenal dalam Al-Qur’an. Kisah ini menceritakan tentang bagaimana Nabi Musa dan Bani Israil melarikan diri dari kejaran Fir’aun dan pasukannya.

Peristiwa ini terjadi setelah Nabi Musa membunuh seorang orang Mesir yang telah menganiaya seorang Bani Israil. Fir’aun pun mengetahui hal ini dan memerintahkan untuk membunuh Nabi Musa. Nabi Musa pun melarikan diri dari Mesir dan menuju ke tanah Madyan.

Setelah beberapa tahun tinggal di Madyan, Nabi Musa kembali ke Mesir untuk menyampaikan risalah dari Allah SWT. Fir’aun pun menolak untuk beriman kepada Allah SWT dan justru semakin keras menyiksa Bani Israil.

Allah SWT pun menurunkan beberapa mukjizat kepada Nabi Musa untuk membuktikan kebenaran risalahnya. Mukjizat-mukjizat tersebut membuat Fir’aun dan pasukannya semakin marah. Mereka pun mengejar Nabi Musa dan Bani Israil.

Nabi Musa dan Bani Israil pun sampai di tepi Laut Merah. Fir’aun dan pasukannya pun mengejar mereka dari belakang. Nabi Musa pun berdoa kepada Allah SWT. Allah SWT pun mengabulkan doa Nabi Musa dan membelah laut untuk Nabi Musa dan Bani Israil.

Firaun dan pasukannya pun mengejar Nabi Musa dan Bani Israil ke dalam laut yang telah terbelah. Namun, sebelum mereka bisa sampai ke seberang, Allah SWT pun mengembalikan laut ke keadaan semula. Akibatnya, Fir’aun dan pasukannya pun tenggelam di laut.

Kisah Nabi Musa saat dikejar Fir’aun ini merupakan kisah yang penuh dengan mukjizat dan keajaiban. Kisah ini juga mengajarkan tentang pentingnya beriman kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul.

Saat dikejar Fir’aun itu, Nabi Musa membaca doa memohon keselamatan dari Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh A’masy dari Syaqiq dari Abdullah bin Mas’ud;

أَلَا أُعَلِّمُكَ الْكَلِمَاتِ الَّتِي تَكَلَّمَ بِهَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حِينَ جَاوَزَ الْبَحْرَ بِبَنِي إِسْرَائِيلَ؟ فَقُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَإِلَيْكَ الْمُشْتَكَى، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.  

 Artinya: “Maukah kamu kuajari tentang kaliamt-kalimat yang dibaca oleh Musa ketika ia melintasi lautan bersama Bani Israil?” Kami menjawab, tentu, ya Rasulallah.” Kemudian Rasulullah SAW menjawab;

 “Allâhumma lakal hamdu wailaikal musytaka, wa antal musta’ân, wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil adzîmi”

(ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, hanya kepada-Mu Dzat yang dimintai pertolongan. Tidak ada kekuatan untuk menjalankan sebuah ketaatan dan menghindari kemaksiatan kecuali pertolongan Allah yang maha Agung).

Demikian penjelasan terkait doa Nabi Musa saat dikejar Fir’aun. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Pesan Anak Gaza yang Telah Dikucilkan Dunia:  “Gaza Terputus dari Dunia, tapi Tetap Tersambung dengan Allah Swt”

Di tengah pengucilan dunia dan pengeroyokan negara-negara adikuasa atas Gaza, masyarakat dikejutkan dengan video seorang remaja Gaza yang saat ini sedang dihujani ribuan bom-bom Zionis ‘Israel’.

Remaja yang usianya diperkirakan masih belasan tahun ini mengirim pesan kepada dunia bahwa dia tidak sendirin, meski dunia seisinya telah mengucilkan dan membiarkan warganya tertekan dan terputus dari dunia.

Seorang anak Palestina yang ditempatkan di Gaza mengirimkan pesan kepada dunia yang meninggalkan rakyat Gaza dari reruntuhan rumahnya, yang dihancurkan oleh tentara pendudukan Israel dalam serangan biadab dan berdarah terhadap rakyat Gaza.

Menggunakan setelan hoodie berwarna cokelat dan celana biru, ia duduk di bekas reruntuhan bangunan yang hancur lebih oleh jet-jet tempur Zionis Israel. Inilah pesan pentingnya yang telah viral ke seluruh dunia.

“Memang benar komunikasi dengan Gaza terputus,  dengan ambulan, dengan tim penyelamat, bahkan dengan dunia luar, tapi kami tidak TERPUTUS dengan Allah Swt, sang Penguasa Alam. Sebagaimana pengepungan terhadap Baginda Nabi ﷺ di Madinah. Kelaparan, kehausan, bahkan sangat lemah, “ ujarnya dengan wajah yang sangat cerah.  

“Ya Allah yang menurunkan kitab, Maha cepat perhitungaNya. Hancurkanlah pasukan-pasukan (musuh), goyangkan bumi dari kaki orang Yahudi, Ya Allah, tolonglah kami atas mereka Ya Allah.”

“Ya Allah dunia ini sangat sempit bagi kami. Maka lapangkanlah wahai Tuhan Semesta Alam.”

“Kami sangat lelah, kami sangat terluka, namun harapan kami kepada Allah yang Maha Esa sangatlah besar.”

“Allah Swt taka akan menyia-nyiakan kami. Demi Allah, Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan kami,” ujarnya dalam sebuah video berdurari 1 menit 8 detik ini.  

Video yang dingguah di akun platform X presenter TV Al Jazeera A Mansour  hari Senin (6/11/2023),  secara cepat viral di seluruh dunia. Berbagai reaksi, tanggapan bahkan doa-doa membanjirinya.

“Semoga Allah melindungimu.  Orang-orang yang sabar, dan tabah laksana gunung yang tegak. Allah tidak akan bisa dikalahkan…dan baik Zionis tidak akan mampu mematahkan kehendak orang-orang besar ini, yang saat ini memberikan pelajaran kepada seluruh dunia tentang kekuatan, kesabaran dan ketabahan,” ujar Noura.

“Hal terbaik selama sebulan terakhir, kami telah belajar arti ketabahan dari para pahlawan ini!. Salama ini hanya membacanya di buku, tapi sekarang kami mengetahuinya secara langsung. Semoga Tuhan meringankan beban untuk mereka,” ujar Musthofa.

“Kami bener-benar  malu dengan iman kami yang lemah ini, dibandingkan iman para penduduk Negeri Syam,” 😭😭😭😭😭😭😭😭😭 tulis Fauzi.

“Wahai rakyat Gaza yang terhormat… Hanya Tuhanlah tujuanmu, hai negeri para syuhada dan tempat para Nabi…. Darimu kami melihat ketabahan di saat kepala tertunduk. Kami melihat ketundukan pada perintah Allah di saat kemaksiatan merajalela. Kami melihat laki-laki di dalam dirimu di saat manusia sudah hilang…. Hidup Gaza yang merdeka, ajari kami pelajaran dan ilmu. Semoga Allah mengampuni para syuhadanya dan meringankan rakyatnya,” tambah Maria. 💚

Di akun patform X A Mansour, video ini telah ditonton lebih dari 555 ribu pengguna.*

HIDAYATULLAH

Kisah Pelantikan Abu Bakar Sebagai Khalifah Pertama

Berikut ini kisah pelantikan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Alkisah, tanpa direncanakan sebelumnya, Abu Bakar as-Siddiq terpilih menjadi khalifah pertama melalui proses pemilihan di suatu pertemuan yang cukup cepat dan tiba-tiba.

Pemilihan Abu Bakar sebagai kepala negara pertama itu terjadi pada hari kedua dari wafatnya kanjeng Nabi.Kala itu, pagi-pagi sekali, sekelompok Anshar tengah mengadakan pertemuan di Saqifah (Balai Pertemuan) Bani Sa’idah guna memilih pemimpin pengganti nabi, dan mereka bersepakat untuk mengangkat seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj yang bernama Saad bin Ubadah.

Mendengar hal itu, buru-buru Umar bin Khattab Ra. mengajak Abu Bakar menghadiri pertemuan tersebut dengan ditemani oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Ternyata, sejumlah tokoh Muhajirin juga hadir di sana.Perdebatan yang cukup alot tengah berlangsung saat ketiga tokoh tadi tiba di Saqifah. Abu Bakar lalu meminta waktu untuk berbicara dan dengan tenang beliau menyampaikan perihal keutamaan kaum Muhajirin sebagai kelompok yang pertama kali menerima dan memperjuangkan Islam bersama-sama dengan kanjeng Nabi.

Begitu pun dengan kaum Anshar sebagai kelompok yang amat sangat berjasa dalam membela dan mengembangkan agama.

Hanya saja, terang Abu Bakar selanjutnya, karena di kalangan masyarakat Arab kaum Quraisy adalah suku yang paling dominan dan paling dihormati, maka sudah sepantasnya, seseorang dari merekalah yang diberi amanah untuk menjadi khalifah.

Bukan tanpa alasan, Abu Bakar berpendapat demikian adalah karena berpegang pada sabda nabi yang menyatakan bahwa tampuk kepemimpinan umat Islam seyogyanya berada di tangan suku Quraisy dan menurut Abu Bakar, hanya dengan begitulah Bangsa Arab terjamin kebutuhan, kedamaian, keamanan dan kesejahteraannya.

Karena pemilihan pemimpin merupakan hal yang krusial dan tidak ada keterangan yang tegas dari nabi menyangkut siapa sosok yang paling berhak sepeninggalnya, maka wajar bila para petinggi kaum Anshar tidak langsung bisa menerima pendapat Abu Bakar tersebut. Bahkan, al-Habbab bin Munzir dari Bani Khazraj dengan tegas mengajukan dua opsi.

Opsi pertama, jabatan pemimpin negara harus berada di tangan Anshar dan opsi kedua, masing-masing Anshar dan Muhajirin mengangkat pemimpinnya sendiri. Namun, kedua opsi tersebut ditolak oleh banyak tokoh yang hadir.

Melihat kebuntuan musyawarah yang tak kunjung menemukan kata mufakat, tampillah Basyir bin Saad dari Bani Aus mengemukakan pendapatnya. Basyir bin Sa’ad mengatakan bahwa selama ini kaum Anshar menerima, membela dan mengembangkan Islam semata-mata mengharap ridha Allah dan ketaatan pada Rasulullah sehingga tak sepantasnya bila kaum Anshar berebut kursi penguasa dengan kaum Muhajirin. Yang jelas, kata Basyir selanjutnya, Rasulullah berasal dari suku Quraisy sehingga pantas jika khalifah yang menggantikannya berasal dari suku yang sama.

Siapa sangka pendapat Basyir itu berhasil menenangkan suhu pertemuan yang sempat memanas dan meluruh tuntaskan ambisi politik dan emosi bergejolak dari tokoh Anshar. Melihat situasi ini, Abu Bakar maju ke depan dan mengusulkan Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah sebagai calon khalifah.

Namun kedua tokoh yang diusulkan dengan tegas menolak pencalonan dirinya sebagai pemimpin. Sayyidina Umar merasa akan menimbulkan perpecahan  baru jika menerima pencalonan dirinya, terlebih ia tahu betul betapa Abu Bakar mempunyai sejumlah kelebihan dan keutamaan dalam persoalan ini. Maka dengan yakin Umar mengangkat tangan Abu Bakar dan membaiatnya. Aksi Umar itu kemudian diikuti mula-mula oleh Ubaidah bin Jarrah lalu tokoh-tokoh dari kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir saat itu.

Adapun keterlambatan Ali Ra. membaiat Abu Bakar semata-mata terkait perselisihan antara Abu Bakar dan Fathimah karena persoalan warisan Fathimah dari Rasulullah Saw.

Keesokan harinya dilaksanakan pembaiatan umum terhadap Abu Bakar di Masjid Nabawi. Dari atas mimbar, beliau menyampaikan sambutan berikut:

أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِينُونِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُونِي… أَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَإِذَا عَصَيْتُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَلَا طَاعَةَ لِي عَلَيْكُم

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dilantik menjadi pemimpinmu. Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku… Taatlah kalian kepadaku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka aku tidak berhak untuk kalian taati.”

Kisah pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama, disarikan dari kitab Sirah Nabawi; Fiqh al-Sirah Al-Nabawi karya Syekh Said Ramadhan al-Buthi dan Al-Bidayah Wa Al-Nihayah karya Syekh Ismail bin Umar.

BINCANG SYARIAH

Delapan Keutamaan Shalawat

Umat islam diperintahkan untuk bershalawat.

Umat islam diperintahkan untuk bershalawat kepada Nabi yang Mulia, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Shalawat yang diucapkan kepada beliau ﷺ memiliki sejumlah keutamaan. 

Melalui pesan Telegram Ustadz Najmi Umar Bakkar menyampaikan delapan keutamaan bershalawat kepada Rasul ﷺ berikut di antaranya:

(1). Menjalankan Perintah Allah Ta’ala

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS. 33 : 56)

(2). Allah Bershalawat 10 Kali Lipat

“Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali” (HR. Muslim no. 408, hadits Abu Hurairah)

3). Malaikat Bershalawat Kepadanya

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka para Malaikat terus bershalawat kepadanya selagi orang itu bershalawat kepadaku, maka silahkan saja bagi seorang hamba untuk sedikit melakukan hal itu atau memperbanyak” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, Shahiihut Targhiib no. 1669, hadits dari Amir bin Robi’ah)

(4 dan 5). Dihapus Dosa dan Diangkat Derajat

“Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh shalawat, dan menghapus darinya sepuluh dosa serta mengangkat derajatnya sepuluh derajat” (HR. An-Nasaa’i no. 1297 dan Ahmad no. 11998, hadits dari Anas bin Malik, lihat Shahiihut Targhiib no. 1657)

(6). Memperoleh Syafaat Dari Rasul ﷺ

“Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku di hari Kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat kepadaku” (HR. At-Tirmidzi, hadits dari Abdullah bin Mas’ud, lihat Shahiihut Targhiib no. 1668)

(7). Paling Dekat Dengan Rasulullah ﷺ

“Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jumat, karena sesungguhnya shalawat umatku diperlihatkan kepadaku pada setiap hari Jumat. Siapa saja yang paling banyak shalawatnya, maka ia menjadi orang yang paling dekat kedudukannya dariku” (HR. Al-Baihaqi dalam al-Kubra III/249 dan juga Syu’abul Iman III/110, hadits Abu Umamah al-Bahili, lihat Shahiihut Targhiib no. 1673)

(8). Menjadi Sarana Terkabulnya Doa

Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata : “Setiap doa akan terhalang hingga diucapkannya shalawat kepada Muhammad ﷺ (dan juga keluarga Muhammad)” (HR. Ath-Thabrani, lihat Shahiihut Targhiib no. 1675)

Rossi Handayani 

ISLAMDIGEST

12 Ahli Waris Jamaah Haji yang Meninggal di Pesawat Mendapat Asuransi Rp 125 Juta

12 jamaah haji 2023 meninggal di pesawat.

Kementerian Agama menyerahkan asuransi ekstra cover atau perlindungan ganda untuk 12 peserta ibadah haji 1444 Hijriyah/2023 Masehi yang meninggal di pesawat saat dalam penerbangan ke Tanah Suci/Indonesia sebesar Rp 125 juta per orang.

Direktur Layanan Haji Dalam Negeri Kemenag, Saiful Mujab, dalam keterangannya di Jakarta Selasa mengatakan, penyerahan asuransi ekstra cover itu merupakan implementasi pelindungan Pemerintah Indonesia terhadap jamaah haji yang wafat di area tanggung jawab maskapai penerbangan.

“Asuransi ekstra cover secara bertahap sudah kami serahkan ke jamaah haji yang wafat di pesawat. Dari 12 orang, sudah kami distribusikan untuk enam orang. Ada satu orang dari Sulawesi Selatan, dua orang dari Jawa Tengah, dan tiga orang dari Jawa Barat,” kata Saiful Mujab.

Asuransi tambahan tersebut diserahkan kepada para ahli waris yang bersangkutan. Dengan asuransi tambahan ini, peserta haji yang wafat tersebut mendapat dua santunan.

“Asuransi ini diberikan selain dari asuransi jamaah haji reguler yang diberikan sebesar Bipih. Sehingga jamaah wafat tersebut mendapatkan dua asuransi,” katanya.

Masih ada enam peserta ibadah haji yang belum diserahkan asuransi ekstra covernya. Mereka berasal dari Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Bangka Belitung.

Sebelumnya, Kementerian Agama menegaskan bahwa setiap peserta ibadah haji reguler mendapatkan asuransi jiwa dan kecelakaan yang melekat sejak masuk asrama, pemberangkatan, hingga di asrama untuk proses pemulangan.

Peserta ibadah haji yang meninggal dunia ketika berada di pesawat akan mendapat extra cover atau perlindungan ganda sebesar Rp125 juta.

Ketentuan rinci pemberian asuransi, yakni jamaah wafat diberikan sebesar minimal Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji), wafat karena kecelakaan diberikan dua kali besaran Bipih, kecelakaan yang mengalami cacat tetap diberikan santunan dengan besaran yang bervariasi antara 2,5 persen sampai 100 persen Bipih.

IHRAM

Sedekah Apakah yang Paling Utama?

Diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ

Tangan yang di atas (yaitu tangan orang yang memberi, pent.) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (yaitu yang diberi, pent.). Mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk mencukupi kebutuhan dirinya). Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya.” (HR. Bukhari no. 1427 dan Muslim no. 1034. Lafaz hadis ini milik Bukhari.)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sedekahnya orang yang tidak punya, dan dahulukan bersedekah kepada orang yang menjadi tanggunganmu.’” (HR. Ahmad 14: 324, Abu Dawud no. 1677, Ibnu Khuzaimah no. 2444, Ibnu Hibban no. 3335, dan Al-Hakim 1: 414; dengan sanad yang sahih)

Penjelasan teks hadis

Pada hadis di atas, yang dimaksud dengan,

بِمَنْ تَعُولُ

“orang-orang yang menjadi tanggunganmu”

adalah anggota keluarga yang kita berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada mereka.

Sedangkan yang dimaksud dengan,

عَنْ ظَهْرِ غِنًى

“dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya)”

adalah harta yang disedekahkan itu tidak dia butuhkan untuk memberi nafkah kepada keluarganya, dia juga tidak membutuhkannya untuk membayar utangnya.

“Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya”, maksudnya adalah siapa saja yang memelihara dan menjaga kehormatan dirinya (dari perbuatan-perbuatan haram) dan menjauhi perbuatan meminta-minta, maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepadanya untuk tidak bergantung kepada apa yang dimiliki oleh orang lain dan memudahkan segala urusan dan kebutuhannya.

“Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya”, maksudnya adalah siapa saja yang merasa cukup terhadap apa yang dia miliki, baik sedikit ataupun banyak, tidak bersifat tamak, dan menampakkan bahwa dia sudah berkecukupan, maka Allah Ta’ala akan memberikan rezeki kepadanya sehingga dia tidak merasa butuh kepada orang lain. Bahkan, dia berusaha untuk mencukupi dan membantu kebutuhan dan hajat orang lain.

Adapun yang dimaksud dengan lafaz yang terdapat pada hadis kedua,

جُهْدُ الْمُقِلِّ

“orang yang tidak punya”,

adalah orang yang hanya memiliki harta yang sedikit.

Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadis sebelumnya yang menunjukkan bahwa sedekah yang utama adalah yang berasal dari orang yang sudah cukup untuk kebutuhan dirinya. Karena memang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi kesabaran seseorang ketika sedang berada dalam kesulitan dan juga ketika merasa cukup dengan harta yang dia miliki. Misalnya, seseorang yang memiliki sedikit harta kemudian bersedekah, maka itu lebih utama daripada orang yang bersedekah dalam kondisi memiliki banyak harta. Contoh lain, ketika ada orang yang memiliki banyak harta, lalu bersedekah dengan 1000 dinar, maka hal itu tidak bisa disamakan dengan orang yang bersedekah dengan satu dinar yang itu berasal dari kelebihan harta yang telah dipakai untuk mencukupi kebutuhan dirinya. Oleh karena itu, ketika seseorang sebetulnya membutuhkan harta, namun dia dermawan dan rajin sedekah, maka hal itu menunjukkan bahwa dia sangat menginginkan balasan dan pahala dari Allah Ta’ala.

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis-hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan sedekah dan motivasi untuk menyedekahkan dan menginfakkan harta.

Kandungan kedua, hadis di atas menunjukkan bahwa hendaknya seseorang itu mendahulukan nafkah untuk anggota keluarganya yang memang wajib dia nafkahi, sebelum bersedekah sunah kepada yang lainnya.

Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis yang lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ، فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ – أَوْ قَالَ: زَوْجِكَ -، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk bersedekah. Kemudian seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada dirimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada anakmu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada istrimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada pembantumu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Engkau lebih tahu.’” (HR. Abu Dawud no. 1691, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Nafkah yang dia berikan kepada keluarga yang memang wajib dia nafkahi tersebut itu senilai dengan sedekah. Orang yang memberi nafkah akan mendapatkan pahala ketika dia meniatkan dari dalam hatinya dengan niat ibadah.

Kandungan ketiga, hadis di atas menunjukkan bahwa sedekah yang paling afdal adalah yang berasal dari kelebihan (sisa) harta setelah dia mencukupi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi, kemudian dia berikan kelebihan harta tersebut kepada kerabatnya yang lebih jauh. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS. Al-Baqarah: 219)

Yang dimaksud dengan,

الْعَفْوَ

adalah harta yang lebih dari kebutuhan (keperluan). Sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama salaf. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 373)

Kandungan keempat, hadis ini menunjukkan dianjurkannya merasa tidak butuh dengan apa yang dimiliki oleh orang lain, sehingga dia tidak meminta-minta kepada orang lain, baik secara terang-terangan atau dengan isyarat-isyarat. Akan tetapi, dia yakin dan percaya kepada Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Dan di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKAL HUDAA WATTUQOO WAL ‘AFAAFA WALGHINAA” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk (al-huda), ketakwaan, terhindar dari perbuatan yang haram, dan selalu merasa cukup (tidak meminta-minta).” (HR. Muslim no. 2721)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 10 Rabiulakhir 1445/ 25 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88986-sedekah-apakah-yang-paling-utama.html