Banjir Mualaf di Manado

Noah. Ini bukan nama grup musik yang terkenal itu. Ia nama bocah di Manado yang bikih heboh beberapa waktu lalu. Ia beragama Kristen seperti keluarganya. Karena tinggal tak jauh dari masjid ia sering datang ke masjid untuk bermain bersama teman-temannya. Lama-lama tak hanya main, ia juga ikut salat saat kawan-kawannya salat.

Tak ingin salah paham denga orangtua, pengurus masjid memanggil ayahnya. “Kami khawatir dituduh mengajak Noah salat,” kata Rio Effendi Turipno saat ditemui di Trawas Jatim Desember lalu. Rio adalah salah satu pengurus masjid itu.

Kemauan Noah ternyata tak bisa dicegah. Meski sudah dilarang ayahnya, ia tetap datang ke masjid dan ikut salat. Akhirnya ayahnya ‘menyerah’. “Ayahnya bilang, ‘sudahlah Ustadz, biar saja jika Noah masuk Islam,” kata Rio. ‘Bocil’ ini kemudian mengucapkan ikrar syahadat sebagai tanda masuk Islam, didampingi ayahnya. “Sejak peristiwa Noah kami seperti kebanjiran mualaf,” kata Rio.

Menurut catatan Yayasan Pembinaan Mualaf At Tauhid (YPM At Tauhid) Perwakilan Manado, sudah ada 600 mualaf. “Sehari kami mensyahadatkan 3-4 orang,” ujar Rio yang juga menjadi Ketua YPM At Tauhid Manando.

Manado dikenal sebagai kota dengan seribu gereja, karena memang rumah ibadah kaum Kristen ini bertebaran di mana-mana dan megah-megah. Di kota yang menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Utara ini agama Kristen adalah mayoritas. Hampir 70%, sedang Islam sekitar 30%. Jumlah penduduk Manado sendiri hampir 500 ribu berdasarkan catatan tahun 2023.

Mengapa warga Manado banyak yang masuk Islam? Nah, jawabannya bisa ditemukan di sini

HIDAYATULLAH

Pasang Baliho Kampanye di Tanah Orang Lain, Bagaimana Hukumnya?

Banyak cara menari hati masyarakat dalam kampanye. Tak terkecuali pada pesta demokrasi tahun ini. Harapan menarik simpati rakyat dilakukan dengan pemasangan atribut-atribut kampanye. Baliho, spanduk, banner, bendera terpampang disetiap sudut tempat yang strategis.

Namun, atribut-atribut kampanye tersebut terkadang dipasang tak beraturan dan tanpa mempertimbangkan estetika ruang publik. Lebih parah lagi ada yang terpasang di depan rumah seseorang tanpa minta ijin lebih dahulu kepada empunya.

Sehingga, penting untuk dibahas status hukum fikih tentang atribut-atribut yang dipasang di tanah milik orang lain tanpa ijin lebih dulu.

Taqiyuddin Abu Bakar al Husaini dalam Kifayatu al Akhyar, menjelaskan duduk di teras (pekarangan) orang lain, atau mengambil air menggunakan gayung milik orang lain tanpa ijin pemiliknya, adalah termasuk ghasab.

Hukumnya haram karena menguasai atau merampas harta orang lain, kecuali ada indikasi kuat kerelaan dari pemilik tanah atau pekarangan.

Oleh karena itu, pemasangan atribut-atribut kampanye harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, harus memperhatikan estetika ruang publik, sebab menjaga keindahan lingkungan merupakan perintah agama.

Kedua, apabila hendak dipasang di tanah atau pekarangan orang lain terlebih dahulu harus mendapat ijin dari empunya. Jika tidak mendapatkan ijin pemilik hukumnya haram.

Atas segalanya, sesungguhnya baliho kampanye merupakan salah satu sarana kampanye yang perlu kehati-hatian. Di samping secara estetika mengganggu pemandangan kota dan desa, pemasangan baliho secara serampangan sejatinya adalah cermin kualitas demokrasi kita yang masih belum matang.

Tidak banyak orang bersimpati dengan baliho kampanye. Ke depan perlu sarana lain yang lebih bisa menjangkau masyarakat dan mengedukasi.

ISLAMKAFFAH

Petaka di Balik Amarah

Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya.

Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia.

Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya.

Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah.

Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia.

Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini.

Kerugian terbesar bagi pemarah

Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu:

Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.

Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153)

Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala?

Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)

Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba.

Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609)

Marah menyiksa diri

Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara.

Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian?

Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah.

Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini,

الغضب أوله جنون وآخره ندم

Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.

Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya?

Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Buah kesabaran

Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah.

Kemuliaan pada hari kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani)

Surga

Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)

Pahala tanpa batas

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Melatih diri untuk senantiasa bersabar

Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya.

Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah:

Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).”

Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita.

Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala.

Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah.

Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah.

Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah.

Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/90953-petaka-di-balik-amarah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Ini Keutamaan Sabar di dalam al-Qur’an

Setiap orang pasti pernah mengalami musibah atau cobaan dalam hidupnya. Jika telah mengalami hal demikian, sudah sepantasnya sebagai orang muslim untuk memiliki rasa sabar. Sabar ini memang terlihat sangat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari apabila tidak konsisten dilakukan.

Kata “sabar” artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati, ia juga berarti ketabahan. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntutan agama menghadapi rayuan nafsu. Ketika ditanya apa itu sabar, al-Junaidi menjawab bahwa sabar adalah meneguk kepahitan tanpa wajah cemberut.

Menurut salah satu tokoh sufi dari Naisabur yang bernama al-Qusyairi, sabar terbagi kedalam dua bagian. Sabar terhadap sesuatu yang telah diupayakan dan sabar terhadap apa yang tidak diupayakan. Sabar yang telah diupayakan, ada sabar dalam menjalakan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan Allah. Sedangkan, sabar yang tidak diupayakan adalah kesabaran dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan bagi-Nya.

Selain mendapatakan pahala, di dalam sabar terdapat beberapa keutamaan diantaranya:

Pertama, mendapatkan tempat kesudahan yang baik. Allah telah menjanjikan tempat kesudahan yang paling baik  kepada orang yang sabar. Orang sabar ini maksudnya adalah yang telah menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ketika mendapatkan musibah. Kalau kita bisa menerapkan sabar, akan mendapatkan tempat kesudahan yang baik atau mendapatkan akibat yang terpuji di akhirat. Hal ini sesuai dengan surah ar-Ra’d ayat 22 yang berbunyi,

وَٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِٱلْحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عُقْبَى ٱلدَّارِ

Artinya: “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). (QS. AR-Ra’d: 22)

Kedua, mendapatkan keberuntungan dari Allah. Keberuntungan akan diberikan Allah kepada orang-orang yang bersabar. Keberuntungan yang dimaksud adalah orang tersebut dapat merebut surga dan bebas dari neraka. Sesuai surah ali Imron ayat 200,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imron: 200)

Ketiga, pahala akan disempurnakan tanpa perhitungan. Hal ini menunjukkan bahwa keutamaan sabar yang diberikan Allah sangat besar. Pahala tanpa batas yang dimaksud adalah tanpa memakai neraca dan timbangan lagi sesuai surah az-Zumar ayat 10 dengan tafsirnya,

«إنما يوفى الصابرون» على الطاعة وما يبتلون به «أجرهم بغير حساب» بغير مكيال ولا ميزان

Artinya: (Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan) yang sabar di dalam menjalankan ketaatan dan sabar di dalam menahan ujian yang menimpa diri mereka (pahala mereka tanpa batas) yakni tanpa memakai neraca dan timbangan lagi.

Keempat, mendapat ampunan dan rahmat. Sebagaimana kodrat seorang manusia yang tak luput dari kesalahan, kita sebagai makhlukNya harus senantiasa meminta ampunan kepada Allah. Sabar menjadi salah satu cara untuk mendapatkan ampunan dari Allah dan ketika mendapatkan musibah, orang yang bersabar akan mendapatkan sanjungan dan rahmat dari Allah sesuai firmanNya dalam surah al-Baqarah ayat 157,

أُو۟لَٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ

Artinya: “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan-nya” (QS. Al-Baqarah: 157)

Mereka dalam ayat 157 merupakan rujukan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan orang yang terkena musibah. Sehingga bagi mereka yang bersabar ketika musibah menimpa mereka, maka sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan mendapat sanjungan dan juga rahmat dari Allah Swt.

Orang yang bersabar akan mendapatkan kasih sayang dari Allah dan akan mendapatkan hasil terbaik yang telah diusahakan sehingga akan mendapatkan berbagai keutamaan. Kehormatan seseorang itu ditentukan dari tingkat kesabarannya dan bagaimana cara mengelola dan mengendalikan emosi. Semoga kita selalu diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala ujian. Wallahu a’lam bi al-shawab.

ISLAMKAFFAH

Hiruk Pikuk Urusan Pilpres, Jangan Lupakan 5 Adab Bernegara

Prinsipnya, di mana saja berada, setiap muslim diwajibkan menjadi manusia yang baik, maka, sepatutnya, memiliih presiden yang memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar

Oleh: Dr. Adian Husaini

SETELAH dilakukan tiga kali debat capres-cawapres, suasana pertarungan antar calon di media sosial semakin terasa memanas. Perdebatan di berbagai group WA terjadi juga di kalangan tokoh, kiai, juga ustadz.

Sampai-sampai ada yang menyarankan agar ustadz tidak perlu terlibat dalam dukung-mendukung capres-cawapres. Tapi, pendapat ini pun disanggah.

Kita percaya, para elite bangsa yang sedang terlibat dalam kontestasi pilpres kali ini, tetap memiliki niat baik untuk menjaga kerukunan dan keutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dikotomi “cebong” dan “kampret” disepakati tidak muncul lagi dalam perhelatan besar tahun 2024 ini. Alhamdulillah, harapan itu cukup terkabul.

Sejumlah ulama dan lembaga Islam sudah mengumumkan pilihan mereka. Tetapi, ormas-ormas Islam besar, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah, Hidayatullah, PUI, DDII, dan sebagainya — secara resmi kelembagaan — memilih untuk tidak memberikan dukungan terhadap capres tertentu.

Mereka menyerahkan kepada masing-masing anggotanya untuk menentukan pilihan, meskipun ada panduan-panduan yang bisa ditafsirkan mengarah kepada capres tertentu.

Dalam situasi seperti ini, kita berharap para tokoh umat Islam tetap memberikan keteladanan dalam adab bernegara. Prinsipnya, adalah bagaimana memahami dan menyikapi segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Pertama, memilih calon pemimpin terbaik, sesuai panduan Islam. Yakni, pemimpin yang paling mendekati sifat-sifat kenabian: jujur (siddiq), terpercaya (amanah), cerdas (fathanah), dan pejuang (tabligh).

Mungkin pengenalan masing-masing orang berbeda-beda terhadap sang capres/cawapres, tergantung informasi yang diterimanya. Yang penting, bukan memilih karena kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi memilih karena sang calon adalah yang terbaik. Lebih baik lagi, sebelum menjatuhkan pilihan, meminta petunjuk kepada Allah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.

Kedua, menempatkan presiden/wakil presiden pada porsinya secara adil dan beradab; tidak berharap terlalu berlebihan kepada presiden mendatang dan juga tidak mengecilkan peran strategis presiden dalam melakukan perbaikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Indonesia adalah negara demokrasi yang telah membagi-bagi kekuasaan pada banyak pihak; berbeda dengan sistem kerajaan, kekaisaran, keemiratan, atau kekhalifahan.

Ketiga, menjaga peran ulama dan para cendekiawan sebagai kekuatan pengawal, pengarah, dan pengontrol jalannya kekuasaan agar sesuai dengan amanah konstitusi.

Jangan sampai para ulama, semuanya, terkooptasi oleh penguasa, sehingga fungsi amar ma’ruh nahi munkar tidak berjalan dengan baik. Dalam hal ini, ormas-ormas Islam bisa memainkan perannya, sebagai lembaga perumus konsep-konsep ideal dan penyedia kader-kader negarawan yang unggul.

Keempat, menempatkan Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Satu-satunya Yang berhak mendapatkan loyalitas tertinggi. Jangan menempatkan presiden melebihi Tuhan, sehingga semua kata-kata dan kebijakannya disamakan posisinya seperti wahyu Tuhan. 

Secara konstitusional, Pembukaan UUD 1945 sudah memberikan panduan bernegara: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”

Juga ditegaskan: “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa…”.

Kelima, tugas terpenting presiden adalah menjaga dan menguatkan iman, taqwa, dan akhlak masyarakat, agar mereka selamat-sejahtera dunia-akhirat. Presiden berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti: ibadah, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Jadi, jangan mengecilkan kedudukan aspek keimanan, ibadah dan akhlak mulia. Ibadah adalah kebutuhan jiwa manusia yang paling mendasar, sebab untuk itulah manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.

***

Kita maklum, lima adab bernegara itu tidaklah mudah untuk dipahami dan diamalkan. Apalagi, dalam iklim kehidupan yang serba sekular dan materialistik.

Tapi, besarnya tantangan itulah yang menentukan kualitas seorang Presiden dan juga rakyat Indonesia dalam pandangan Allah SWT. Bagaimana pun, presiden adalah hamba Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kepemimpinannya. Rakyat pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajibannya mentaati pemimpin dan memberikan nasehat-nasehat yang baik.

Yang penting, ada nilai-nilai ideal yang harus terus diperjuangkan. Dengan prinsip ini, kita insyaAllah bisa menjadi manusia yang baik,  meskipun tidak seluruh aturan dan lingkungan kehidupan sesuai dengan ajaran-ajaran Allah.

Sebab, pada prinsipnya, di mana saja berada, setiap muslim diwajibkan menjadi manusia yang baik. Maka, sepatutnya, sang presiden memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar.

Misalnya, meskipun peraturan perundang-undangan negara belum secara resmi melarang dan menjadikan seluruh bentuk perzinahan sebagai satu tindakan kriminal, pandangan dan keyakinan sang presiden dan kita semua sebagai muslim, tidak boleh berubah, bahwa zina adalah perbuatan haram.

Bagi umat Islam, dalam sistem negara Indonesia seperti sekarang, siapa pun Presidennya 2024 nanti, kita tetap berpeluang dan wajib berjuang menjadi manusia yang baik (manusia yang taqwa).

Sebab, siapa pun presidennya, yang diminta pertanggungjawaban adalah amal perbuatan kita. Kepada para pemimpin, tanggung jawab kita adalah menyampaikan nasehat dengan cara-cara yang bijak.

Semoga Allah kita semua terlindung dari sikap angkuh dan membangkang terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semoga kita TIDAK mengikuti jejak Iblis. AMIN.*/Depok, 5 Januari 2024

Penulis Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII)

HIDAYATULLAH

Menguji Garis Nasab dengan DNA dalam Kajian Fikih

Beberapa waktu lalu, percakapan tentang genealogi habaib di Indonesia begitu viral. Lebih dari itu, fenomena nasab ini memicu pro dan kontra, bahkan menimbulkan ketegangan. Bahkan, ada yang sampai ada usulan tes DNA untuk memastikan nasab mereka bersambung ke Rasulullah.

Terlepas dari itu semua, tulisan ini hanya akan mengulas, apakah tes DNA tepat digunakan sebagai sarana ilhaq al nasab (penentuan nasab) dalam fikih.

Dalam khazanah fikih klasik, ilhaq al nasab dapat dilakukan dengan dengan beberapa cara.

Pertama, melalui persetubuhan melalui nikah yang sah maupun fasid (tidak sah). Kedua, dengan cara pengakuan nasab. Ketiga, pembuktian lewat persaksian, dan keempat dengan melakukan pencarian dengan perantara qa’if (dukun nasab).

Hirarki dari empat tahapan di atas dipandang cukup untuk menentukan nasab seseorang. Artinya, beberapa metode di atas telah cukup untuk membuktikan nasab seseorang tanpa harus melakukan tes DNA.

Penjelasan ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tamlikah al Majmu’ (7/410), Mughni al Muhtaj ila Ma’rifati alfadz al Minhaj (Maktabah Dar al Fikr; 3/304).

Sebagian pendapat mengatakan, jika tiga tahapan pertama sampai ketiga tidak tercapai, ilhaq nasab bisa dilakukan dengan tes DNA. Dengan catatan, tes DNA dilakukan oleh para ahli tanpa manipulasi (Mughni al Muhtaj ila Ma’rifati alfadz al Minhaj (7/32).

Dengan demikian, tes DNA bisa dijadikan media untuk menentukan nasab seseorang, seperti menentukan ayah kandung maupun anak kandung. Bahkan, menurut saya tes DNA lebih tingkat validitas lebih bisa dipertanggungjawabkan mengingat perkembangan dunia media modern begitu canggih.

Penentuan nasab dengan tes DNA lebih akurat dari pada hanya bermodal klaim tanpa bukti medis. Klaim nasab potensi kesalahannya lebih besar dari pada tes DNA. Oleh karena itu, jika saat ini ada sengketa seseorang anak siapa, atau mengaku sebagai keturunan seseorang, tes DNA menjadi alternatif paling efektif.

ISLAMKAFFAH

4 Keistimewaan Istri Nabi Saw 

Para ulama banyak menyebutkan bahwa istri-istri Nabi Saw mempunyai beberapa keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki perempuan lain. tentunya keistimewaan ini berkaitan erat dengan posisi mereka sebagai pendamping hidup Nabi Saw. Nah, berikut 4 keistimewaan para istri Nabi Saw yang tak dimiliki perempuan lain pada umumnya.

Pertama, mereka adalah Ummahatul Mu’minin, yang artinya ibu bagi orang orang mukmin. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an firman Allah Swt surah Al Ahzab ayat 6;

ٱلنَّبِيُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡۗ 

Artinya: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”

Maksud dari ayat diatas adalah istri-istri Nabi Saw merupakan ibu bagi orang orang mukmin dalam kemulian, penghormatan, dan pengagungan. Namun meski para istri Nabi Saw disebut ibunda bagi orang orang mukmin bukan berarti boleh berduaan dengan mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yakni Tafsir Ibnu Katsir juz 6 halaman 340 sebagai berikut;

وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ أَيْ: فِي الْحُرْمَةِ وَالِاحْتِرَامِ، وَالْإِكْرَامِ وَالتَّوْقِيرِ وَالْإِعْظَامِ، وَلَكِنْ لَا تَجُوزُ الْخَلْوَةُ بِهِنَّ

Artinya:”Para istri Nabi Saw merupakan ibunda bagi mereka orang mukmin, artinya ibu dalam kemulian, penghormatan dan pengagungan. Namun tidak boleh berduaan dengan mereka.”

Kedua, para istri Nabi Saw tidak boleh dinikahi oleh siapapun setelah Nabi Saw wafat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat 53. Ayat ini turun sebagai respon terhadap sahabat Thalhah Bin Ubaidillah yang berencana untuk menikahi Siti Aisyah setelah Nabi Saw wafat. Berikut firman Allah Swt dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat 53;

وَمَا كَانَ لَكُمۡ أَن تُؤۡذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ أَبَدًاۚ

Artinya; “Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah Saw dan tidak (pula) menikahi istri-istri beliau selama lamanya (sesudah beliau wafat)…”

Ketiga, pahala dan dosa yang dilakukan para istri Nabi Saw dilipatgandakan. Bagi para istri Nabi Saw jika mereka melakukan perbuatan baik, maka pahala mereka akan dilipatgandakan, begitu juga sebaliknya jika mereka melakukan perbuatan dosa, maka dosa mereka juga akan dilipatgandakan.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat 30-31 sebagai berikut;

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ مَن يَأۡتِ مِنكُنَّ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖ يُضَٰعَفۡ لَهَا ٱلۡعَذَابُ ضِعۡفَيۡنِۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٗا ٣٠ وَمَن يَقۡنُتۡ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتَعۡمَلۡ صَٰلِحٗا نُّؤۡتِهَآ أَجۡرَهَا مَرَّتَيۡنِ وَأَعۡتَدۡنَا لَهَا رِزۡقٗا كَرِيمٗا ٣١ 

Artinya; Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya.”

Keempat, jika kaum muslimin ingin meminta sesuatu pada para istri Nabi saw, maka mereka harus meminta dari balik hijab. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah Swt surah Al Ahzab ayat 53 sebagai berikut;

وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ

Artinya;” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”

Demikian penjelasan seputar 4 keistimewaan istri Nabi Saw yang tak dimiliki perempuan lain. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Hati-hati Memakai Mukena, Bisa Membatalkan Shalat

Memakai mukena bagi muslimah di Indonesia dan beberapa negara di dunia telah menjadi tradisi ketika shalat. Mukena, berfungsi sebagai penutup aurat sebagai syarat sah shalat.

Namun, seiring perkembangan zaman mukena tidak hanya satu model. Bahkan, mukena telah menjadi trend mode tersendiri. Dari bentuk yang paling sederhana sampai model terbaru. Misalnya, ukuran dan warna mukena yang beragam serta tidak identik lagi dengan warna putih.

Demikian pula ukuran dan bentuknya ada yang sempit di bagian lengan dan ada pula yang lebar di bagian tersebut. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi keabsahan shalat. Sebagaimana dimaklumi, aurat perempuan dalam shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan.

Bagi pemakai mukena yang lebar ada kemungkinan pada saat melakukan takbir atau ruku’ ada sebagian auratnya yang terlihat. Hal ini perlu dijelaskan, apakah membatalkan shalat atau tidak?

Pandangan fikih tentang aurat yang terlihat saat melakukan gerakan shalat

Menurut madhab Syafi’i shalatnya batal, sebagaimana termaktub dalam kitab Bughyah al Mustarayidin karya Sayyid Ba ‘Alawi al Hadrami. (Maktabah Dar al Fikr: 85). Hal senada dijelaskan dalam kitab Qurrah al ‘Ain bi Fatawa Ismail al Zain (52).

Sementara menurut Madhab Hanafi dan Maliki berpendapat tidak batal. Menurut dua madhab ini, jika aurat hanya terlihat sedikit shalatnya tetap sah, sekalipun menurut madhab Maliki hal tersebut haram. Akan tetapi, kalau hal itu dilakukan oleh orang awam yang tidak mengerti tata cara memakai mukena yang benar shalatnya dihukumi sah secara mutlak.

Kitab fikih madhab Hanafi yang menegaskan tentang hal ini diantaranya adalah kitab Badai’u al Shana’i (1/117, 220). Sedangkan dalam madhab Maliki bisa dibaca dalam kitab Inarah al Duja (19).

Demikian penjelasan mengenai aurat yang tersingkap saat shalat yang diantara sebabnya adalah mukena yang terlalu lebar atau kebesaran. Dengan demikian, harus berhati-hati dalam memilih mukena apalagi bagi pengikut madhab Syafi’i. Sebagaimana telah dijelaskan, menurut madhab Syafi’i aurat yang terlihat saat shalat membatalkan shalat.

ISLAMKAFFAH

Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah

Penjelasan Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh

Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Dahulu, ia adalah seorang ulama dan ahli fikih. Ia disebutkan sebagai salah satu ulama madzhab Hanafi. Namun, ia memiliki perhatian besar terhadap ilmu logika. Ia suka berdebat dan banyak berdebat, sampai ia pun berdebat dengan sebagian kaum Dahriyah dari India. Kaum Dahriyah adalah kaum yang meyakini bahwa yang mematikan dan menghidupkan adalah dahr (waktu). Sebagian ulama menyebut mereka dengan Duhriyah, dari kata duhr yang artinya kecerdasan. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al-Murtadha dalam kitab Tajul Arus dan beberapa ulama lain.

Tujuan Jahm bin Shafwan berdebat dengan kaum Dahriyah dari India yang dikenal dengan sebutan As-Sumniyah adalah karena mereka tidak mengimani adanya Allah Ta’ala sama sekali. Jahm bin Shafwan ingin meyakinkan mereka tentang adanya Allah. Sehingga terjadilah perdebatan antara mereka, yang aku sebutkan rincian debatnya di tempat yang lain. Dari situ akhirnya Jahm bin Shafwan pun merumuskan akidah Jahmiyah. Hasil akhir dari perdebatan tersebut dan rinciannya disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Khalqu Af’alil Ibad. Hasil dari perdebatan tersebut, Jahm menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah dan mengimani adanya Allah yang mutlak tanpa sifat.

Akidah Jahmiyah dalam al-asma’ was shifat

Dalam masalah akidah, Jahmiyah menafikan seluruh sifat-sifat Allah. Mereka hanya menetapkan satu sifat bagi Allah yaitu sifat al-wujud al-muthlaq (Allah itu ada tanpa sifat). Mereka menekankan syarat al-ithlaq (adanya Allah harus tanpa sifat).

Dalam masalah al-asma’ (nama-nama Allah), Jahmiyah meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat. Dan mereka menafsirkan nama-nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Contohnya, nama Allah Al-Karim mereka maknai sebagai dzat yang diciptakan ketika seseorang melakukan ikram (kedermawanan). Nama Allah Al-Qawiy adalah kekuatan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Al-Aziz adalah kemuliaan yang Allah ciptakan pada diri manusia. Itu semua ada dalam diri setiap manusia.

Sehingga mereka menafsirkan nama-nama Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Nama-nama tersebut sama sekali tidak mengandung makna sifat Allah karena mereka menafikan sifat-sifat Allah Ta’ala. Mereka menganggap nama-nama Allah sebagai label yang tidak ada tafsirnya dari sisi namanya. Namun, mereka menafsirkan nama-nama tersebut sebagai makhluk yang terpisah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa Jahmiyah menafikan nama dan sifat Allah. Ini pernyataan yang benar adanya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Jahmiyah tidak menafikan nama-nama Allah. Karena mereka nyatanya tetap menetapkan nama-nama Allah dengan metode mereka, yaitu meyakini bahwa nama-nama Allah adalah representasi dari dzat, tanpa mengandung sifat. Ini semisal jika anda menamai sebuah sebuah sungai dengan nama sungai salsabil, atau menamai sebuah pedang dengan pedang hisam atau pedang mihnad, atau yang lainnya, untuk menunjukkan sesuatu tanpa memiliki makna. Tidak mengandung makna bahwa pedang ini kuat, atau pedang ini dibuat di India atau sifat lainnya. Tidak mengandung makna sama sekali. Maka, Jahmiyah meyakini bahwa semua nama Allah itu menunjukkan kepada dzat yang sama (yaitu Allah), namun tidak mengandung sifat-sifat. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat tentang nama Allah sebagai makhluk yang terpisah dari Allah. Maksudnya, nama-nama Allah tersebut memberikan pengaruh pada sifat-sifat yang ada pada makhluk sehingga nama-nama tersebut adalah makhluk.

Akidah Jahmiyah dalam masalah iman

Adapun dalam masalah iman, Jahmiyah adalah Murji’ah. Mereka adalah firqah Murji’ah yang paling fatal penyimpangannya. Mereka mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui) saja. Oleh karena itu, Fir’aun dan iblis itu beriman menurut Jahmiyah (karena mereka mengetahui adanya Allah).

Jahmiyah mengkafirkan Fir’aun bukan karena Fir’aun tidak beriman, namun karena Fir’aun menyelisihi perintah. Jahmiyah mengkafirkan iblis bukan karena iblis tidak beriman, namun karena iblis menyelisihi perintah. Demikian seterusnya. Akidah mereka ini masyhur karena mereka memang mengatakan bahwa iman itu cukup sekedar ma’rifah (mengetahui).

Akidah Jahmiyah dalam masalah takdir

Adapun dalam masalah takdir, Jahmiyah adalah Jabriyah. Mereka memandang bahwa amalan manusia itu seperti bulu yang tertiup angin. Tidak memiliki pilihan sama sekali. Manusia dipaksa untuk melakukan semua perbuatannya. Perbuatan manusia adalah perbuatan Allah dan bukan pilihan manusia sama sekali.

Akidah Jahmiyah dalam masalah perkara gaib

Adapun dalam masalah perkara gaib, Jahmiyah mengingkari perkara gaib yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka juga mengingkari kekalnya surga dan neraka. Mereka meyakini bahwa surga tidak selamanya ada, dan neraka juga demikian. Karena menurut mereka, jika surga dan neraka itu kekal, maka ini adalah kezaliman. Sehingga surga dan neraka itu semuanya fana, menurut mereka.

Berbeda dengan Mu’tazilah yang mereka juga meyakini surga dan neraka itu fana. Surga adalah negeri kenikmatan dan neraka adalah negeri adzab. Namun, kelezatan surga itu kekal dan kepedihan neraka itu kekal. Menurut Mu’tazilah, kelezatan dan kepedihan itu kekal, namun negerinya yang tidak kekal.

Inilah bermacam-macam akidah dari Jahmiyah, semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita semua dari akidah tersebut dan menjauhkan kita dari perkara-perkara yang membawa kepadanya.

Sumber: Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh (6: 417).

***

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/90951-mengenal-penyimpangan-penyimpangan-jahmiyah-dalam-akidah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Bahaya Menyebarkan Berita dan Rumor yang Belum Jelas

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, sesungguhnya di antara perkara yang paling berbahaya, yang dapat merusak individu dan masyarakat, mengganggu kedamaian dan melemahkan keselamatan dan keamanan mereka, adalah penyebaran rumor tidak berdasar serta informasi yang mengandung hoaks dan kesalahpahaman. Baik itu seputar politik, medis, agama, ilmiah, ataupun topik umum lainnya. Di mana sumbernya itu tidak jelas dan penulisnya tidak diketahui. Betapa banyak informasi yang dibagikan oleh manusia yang tidak ada sumbernya dan tidak dipastikan serta dikroscek terlebih dahulu.

Di zaman di mana informasi begitu cepatnya tersebar, isu dan rumor begitu mudahnya tersampaikan, fakta menjadi kabur, dan berita bohong justru begitu mudahnya dikonsumsi. Seorang muslim yang hakiki, seharusnya lebih berhati-hati di dalam menyampaikan informasi yang didapatkannya, memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, serta menilai apakah yang akan disampaikannya itu memiliki kebermanfaatan untuk dirinya ataukah tidak. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita dari bermudah-mudahan menyebarkan informasi yang baru saja kita dengar tanpa kroscek terlebih dahulu. Beliau bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5)

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafaz,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh yang dia dengar.” (HR. Abu Dawud no. 4992)

Imam Malik rahimahullah juga mengatakan,

اعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ يَسْلَمُ رَجُلٌ حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ، ولا يكون إماماً أبداً وهو يحدث بكل ما سمع

“Ketahuilah bahwa tidak ada orang yang aman dan selamat jika menceritakan semua yang dia dengar. Dan tidak akan mungkin seseorang menjadi pemimpin jika ia terus menceritakan apa yang dia dengar.” (Syarh Shahih Muslim)

Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Hendaknya setiap muslim merenungi dan mengamalkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ  

“Hai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Di dalam kitab Zubdatu At-Tafsir karya Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, disebutkan,

“Yakni, pastikanlah kebenarannya. Dan termasuk dari memastikan adalah bersikap tenang tanpa tergesa-gesa, dan memperhatikan urusan yang terjadi dan berita yang ada, sehingga dapat jelas kebenarannya.”

Ketahuilah wahai saudaraku, tergesa-gesa di dalam menyebarkan rumor dan informasi yang belum jelas memiliki dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat kita. Berita dan rumor yang simpang siur seringkali berujung pada kekacauan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Betapa banyak hubungan persaudaraan yang putus karena rumor tak berdasar. Betapa banyak hubungan pertemanan yang menjadi renggang karena berita simpang siur yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu. Sungguh, rumor dan hoaks merupakan salah satu sumber malapetaka bagi kaum muslimin yang harus kita hindari.

Mari saling membantu di antara kita dengan saling mengingatkan, menasihati keluarga kita, saudara kita, dan teman-teman kita untuk lebih berhati-hati di dalam menerima sebuah berita, terlebih lagi di dalam menyebarkannya. Tidak asal postingsharing, dan berbagi di media sosial perihal sesuatu yang belum jelas sumber dan faktanya.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Di antara bentuk kehati-hatian kita terhadap rumor dan berita yang sampai kepada kita adalah dengan berpikir dua kali sebelum mem-posting atau menyebarkannya. Jika pun itu berita yang benar, alangkah baiknya untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada mereka yang lebih paham agama. Layakkah berita ini kita sampaikan? Layakkah hal ini menjadi konsumsi publik? Karena tidak setiap yang kita ketahui itu harus diceritakan ke orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83)

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Sesungguhnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di hari akhir nanti. Setiap perbuatan yang kita lakukan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap posting-an yang kita sebarkan, semuanya itu akan dihisab oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf: 18)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan dan mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Memvalidasi dan mencari kebenaran setiap berita yang sampai kepada kita sebelum menerima dan menyebarkannya merupakan salah satu sifat kaum mukminin. Jangan sampai timbul sebuah kebencian kepada saudara kita karena berita yang belum kita cari tahu kebenarannya. Jangan sampai muncul penyesalan karena timbulnya sebuah kerusakan dan keretakan hubungan hanya karena terburu-buru menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ والمغْرِبِ

“Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas perkaranya, yang menggelincirkannya ke neraka yang lebih luas dari jauhnya timur dan barat.” (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)

Di hadis yang lain ditegaskan,

إنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن رِضْوانِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بها دَرَجاتٍ، وإنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بالكَلِمَةِ مِن سَخَطِ اللَّهِ، لا يُلْقِي لها بالًا، يَهْوِي بها في جَهَنَّمَ.

“Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridaan Allah. Dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting. Dengan sebab satu kalimat itu, dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam.” (HR Bukhari, no. 6478)

Semoga Allah senantiasa menjaga lidah kita untuk tidak berucap, kecuali yang bermanfaat bagi diri kita. Menjaga sikap dan tangan kita untuk tidak menyebarkan berita dan informasi, kecuali setelah kita teliti dan periksa terlebih dahulu kebenarannya serta kita timbang apakah hal tersebut layak untuk kita sebarkan ataukah tidak. Karena menjaga lisan merupakan pertanda keistikamahan dan lurusnya hati seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” (HR. Ahmad no. 13048)

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/90947-bahaya-menyebarkan-berita-dan-rumor-yang-belum-jelas.html
Copyright © 2024 muslim.or.id