Petaka di Balik Amarah

Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya.

Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra, yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia.

Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya.

Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah.

Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia.

Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini.

Kerugian terbesar bagi pemarah

Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu:

Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.

Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153)

Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala?

Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)

Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba.

Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian). Akan tetapi, orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609)

Marah menyiksa diri

Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara.

Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian?

Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah.

Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini,

الغضب أوله جنون وآخره ندم

Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.

Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya?

Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Buah kesabaran

Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah.

Kemuliaan pada hari kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan amarahnya, padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3: 440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani)

Surga

Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)

Pahala tanpa batas

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Melatih diri untuk senantiasa bersabar

Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya.

Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah:

Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).”

Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita.

Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala.

Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah.

Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah.

Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah.

Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/90953-petaka-di-balik-amarah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Menggapai Pahala dalam Amarah

Allah Ta’ala menganugerahkan perasaan bagi manusia dengan segala hikmahnya. Ada rasa senang, sedih, bahagia, cemas, bahkan rasa benci dan marah. Semua jenis perasaan tersebut apabila dapat dikendalikan dengan niat ingin mendapatkan rida-Nya, tentu akan berbuah pahala. Sebab, bagaimanapun keadaan kita, baik dalam kesusahan maupun kesenangan, tetap saja ada celah untuk mendapatkan limpahan pahala dari Allah Ta’ala. Itulah indahnya menjadi seorang muslim, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له

Alangkah mengagumkan keadaan orang mukmin (yang beriman). Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur. Maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar. Maka itu adalah kebaikan baginya.” [1]

Amarah Ibarat Dua Sisi Mata Pisau

Kita ambil contoh rasa marah. Ketika melihat atau mendengar seseorang yang melakukan perbuatan melanggar syariat Allah Ta’ala, maka amarah yang kemudian timbul karena membenci perbuatan orang tersebut akan menjadi pahala. Hal ini karena kita telah menjalankan amanah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya. Apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya. Yang demikian adalah selemah-lemah keimanan.” [2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan kita untuk membenci perbuatan kufur untuk diri kita sendiri. Hal ini menandakan bahwa perasaan marah atau benci ada tempatnya. Bahkan rasa marah atau benci tersebut  bisa menghantarkan kita untuk mendapatkan manisnya iman. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu:

(1) Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.

(2) Apabila ia mencintai seseorang yang ia mencintainya hanya karena Allah.

(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” [3]

Namun, ketika kita tidak mampu mengendalikan semua perasaan itu, maka kita justru akan melakukan banyak kekeliruan yang bermuara pada dosa dan penyesalan. Seperti dalam kondisi marah, kadangkala kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Mulai dari berkata kasar, memecahkan benda-benda, menyalahkan siapa saja, hingga bertindak di luar kesadaran yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.

Oleh karenanya, penting bagi kita untuk membekali diri dengan mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian terhadap pengendalian amarah. Kita dapat melihat banyak riwayat yang menerangkan betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak kesempatan selalu mengajarkan ummatnya agar mampu untuk mengendalikan amarahnya.

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Amarah

  1. Wasiat dalam mengendalikan amarah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan pengendalian amarah sebagai wasiat kepada kita.

Sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu anhu  bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Berilah aku wasiat!”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berkali-kali, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau jangan marah!” [HR Al-Bukhari].

  1. Kendalikan amarah dengan duduk, berbaring, dan diam

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk, berbaring, ataupun diam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.

“Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk! Apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya). Dan jika belum, hendaklah ia berbaring!” [4]

Diam juga menjadi solusi ketika amarah menghampiri diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam!” [5]

  1. Menahan amarah, bentuk kekuatan yang hakiki

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa kekuatan sejati ada pada seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

“Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” [6]

  1. Janji surga bagi orang yang mampu menahan amarah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّة

“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.” [7]

  1. Bidadari dan tempat khusus di hari kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »

Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [8]

Saudaraku, betapa kita dapat membuktikan kasih sayang Allah Ta’ala di setiap lini kehidupan yang kita jalani. Semua hal yang terjadi pada diri kita dapat berbuah pahala dan kemuliaan di sisi Allah yang kemudian dapat memberikan jalan untuk menggapai surga-Nya. Bahkan, rasa amarah yang dari sudut pandang lain, kita ketahui sebagai sumber malapetaka. Akan tetapi, dapat menjadi sumber pahala, tergantung pada bagaimana niat dan sikap kita dalam mengendalikannya sesuai dengan tuntunan syariat. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan keimanan dan ketakwaan kepada kita agar selalu ingat bahwa kita selalu berada dalam pengawasan-Nya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Catatan Kaki :

  1. HR. Muslim No. 2999 dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ’anhu.
  2. HR. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al-Khudri.
  3. HR. Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa’i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033) dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu.
  4. HR. Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
  5. HR Ahmad (I/239, 283, 365), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), Al-Bazzar (no. 152- Kasyful Atsar) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
  6. HR. Bukhari (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
  7. HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu.
  8. HR. Abu Dawud (no. 4777), At-Tirmidzi (no. 2021), Ibnu Majah (no. 4186) dan Ahmad (3/440).

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/68825-menggapai-pahala-dalam-amarah.html

Marah Pertanda Tunduknya Kita kepada Setan

KEMARAHAN selalu didefinisikan sebagai ekspresi menuruti hawa nafsu, penuh emosi dan lambang tunduknya kita pada setan. Hal ini tidaklah keliru bila merujuk pada perbuatan tercela yang mengikutinya dan alasan apa yang mendasarinya.

Bila kemarahan semata-mata untuk membela diri dan menjatuhkan orang lain, inilah yang disebut dengan marah yang tercela. Namun, bila kita mampu meluruskan niat kita, membuang kotoran jiwa, keinginan dunia dan makhluk. Kemarahan tercela tersebut mampu bergeser menuju kemarahan yang terpuji.

Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang menjadikan Allah Ta’ala sebagai alasan. Kemarahan yang muncul karena melihat kemunkaran dan kemaksiatan yang merajalela. Kemarahan yang ditujukan untuk membela agama yang haq, bukan sekadar membela dirinya atau golongannya. Dan sungguh, Tuhanlah Dzat yang paling mengetahui murni tidaknya niat seorang hamba. Semoga kita tidak termasuk hamba yang berteriak lantang seolah membela agama Allah, padahal sebenarnya jiwa dan hatinya mengeras karena karat kemunafikan.

Takkan ada dua hati dalam satu rongga dada. Begitu pula takkan ada ketulusan dan kemunafikan yang bersemayam dalam satu tindakan. Kenalilah jiwa amarah kita, apakah ia terpuji ataukah tercela? Apakah ia karena Allah atau hanya nafsu semata? Percayalah, tiada ketentraman kecuali berdua bersama-Nya, tiada kedamaian kecuali dekat dengan-Nya dan tiada pengobat kerinduan selain pemenuhan ketaatan pada-Nya.

Adapun ketaatan itu pula yang mampu menambah kadar keimanan kita di sisi Allah, dan akan berkurang dengan kemaksiatan pada-Nya. Maka semoga kita mampu mengendalikan amarah kita dengan tetap bersabar menghadapi orang-orang yang buruk perangainya dan bodoh pikirannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika orang-orang jahil mencela mereka, mereka berkata, ‘Salam. (selamat)'”(QS Al-Furqan [25]: 63)

Akan tetapi, jika mereka mendurhakai Allah Ta’ala, kita tidak boleh hanya berdiam diri saja. Pada saat seperti inilah diharapkan bahwa kemarahan kita dengan cara berbicara pada mereka menjelma menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Bukankah kewajiban kita untuk menegakkan syi’ar syi’ar Islam dan berjuang dalam amar ma’ruf nahi munkar? Semoga Allah mengokohkan pijakan kita di atas kebenaran.

Akhirul kalam, silahkan marah, asal tetap terpuji.

INILAH MOZAIK

Jangan Marah

Suatu waktu Ibnu Umar radhiya Allahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Apa yang bisa menjauhkan aku dari murka Allah ‘Azza wa Jalla?” Rasul langsung menjawab, ”Jangan marah!”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang menahan marah padahal dia sanggup melampiaskannya, akan dipanggil Allah di hadapan semua makhluk dan disuruh memilih bidadari yang mana saja dia suka. Lain waktu, Rasulullah SAW sampai mengulang tiga kali sabdanya, ketika salah seorang sahabat meminta nasihat kepada beliau. ”Jangan marah!” Bahkan, beliau menyampaikan kabar gembira bagi orang yang mampu menahan marah. ”Dan bagimu adalah surga!”

Subhanallah, karena kita bisa menahan marah ternyata surga dengan semua kenikmatan di dalamnya adalah balasan kita.

Marah adalah nyala api dari neraka. Seseorang pada saat marah, mempunyai kaitan erat dengan penghuni mutlak kehidupan neraka, yaitu setan saat ia mengatakan, ”Saya lebih baik darinya (Adam–Red); Engkau ciptakan saya dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raf: 12). Tabiat tanah adalah diam dan tenang, sementara tabiat api adalah bergejolak, menyala, bergerak, dan berguncang.

Marah berarti mendidih dan bergolaknya darah hati yang terlampiaskan. Oleh sebab itu, bila sedang marah, api amarah menyala dan mendidihkan darah hatinya lalu menyebar ke seluruh tubuh. Bahkan, hingga naik ke bagian atas seperti naiknya air yang mendidih di dalam bejana. Karena itulah, wajah, mata, dan kulit yang sedang marah tampak memerah. Semua itu menunjukkan warna sesuatu yang ada di baliknya seperti gelas yang menunjukkan warna sesuatu yang ada di dalamnya.

Jika seseorang marah, tapi tidak bisa dilampiaskan, karena tidak ada kemampuan, misalnya, kepada atasan atau pimpinan, maka darah justru akan menarik diri dari bagian luar kulit ke dalam rongga hati. Sehingga, ia berubah menjadi kesedihan. Karenanya, biasanya warnanya pun menguning dan muka pun berubah murung.

Manusia bila ditilik dari sifat marah ada empat kelompok. Pertama, cepat marah, cepat sadar (ini merupakan sesuatu yang buruk). Kedua, lambat marah, lambat sadar (ini kurang terpuji). Ketiga, cepat marah, lambat sadar (adalah sifat yang terburuk). Dan terakhir, lambat marah, cepat sadar (inilah yang baik).

Orang yang lambat marah tapi segera sadar adalah sosok Mukmin yang terpuji. Karena ia berusaha mencerna dan mengelolanya dengan baik, sehingga di akhir kemarahannya yang singkat itu ada proses mengingatkan dan pelajaran. Marah karena sayang. Nah, kira-kira di mana posisi kita saat marah? Wa Allahu a’lam.

 

REPUBLIKA

Menahan Amarah Salah Satu Akhlak Penghuni Surga

Allah SWT menggolongkan orang-orang yang mampu menahan amarahnya sebagai kelompok yang diistimewakan masuk surga. Sebab, menahan amarah merupakan salah satu akhlak penghuni surga.

Abu Umamah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mampu menahan amarahnya, padahal dirinya sanggup melampiaskannya, niscaya Allah SWT akan memenuhi dirinya dengan keridaan di hari Kiamat.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Allah akan memenuhi dirinya dengan keamanan dan keimanan di hari Kiamat.”

Demikian pula, Rasulullah SAW bersabda tentang orang-orang yang memaafkan orang lain, “Tidakkah seseorang memaafkan satu saja perbuatan aniaya (yang dilakukan seseorang terhadapnya), kecuali Allah SWT menambahkan kemuliaan padanya lantaran sikap memaafkannya itu.”

Sebagaimana diketahui, Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang santun dan selalu berlapang dada. Dalam masalah ini, terdapat sejumlah peristiwa yang diriwayatkan Rasulullah SAW. Di antaranya, beliau pernah berpergian bersama Umar bin Khathathab. Tiba-tiba seorang laki-laki Badui menghadang Nabi SAW dan berkata lancang kepada beliau.

Dikisahkan dari Ensiklopedia Alquran bahwa kejadian ini menyebabkan Umar naik pitam sehingga berniat mencabut pedangnya untuk membunuh lelaki itu. Namun Rasulullah SAW malah tersenyum lembut dan mencegah tindakan Umar ra. Setelah berhasil menenangkan orang Badui itu, beliau berkata kepada Umar ra, “Orang kuat bukanlah orang yang jago berkelahi, tapi orang yang sanggup mengendalikan dirinya ketika marah.”

Selain itu terjadi sebuah peristiwa langka perihal menahan amarah. Dikisahkan dari buku tersebut bahwa Imam Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (Ali Zain al-Abidin) memiliki seorang budak wanita. Imam Ali bin Husain terbiasa melaksanakan shalat tahajud. Pada suatu waktu, beliau memanggil budaknya itu untuk menuangkan air untuknya saat berwudhu.

Ketika itu, Imam Ali merendahkan kepalanya agar si budak menuangkan air di atas kepalanya. Rupanya, budak itu sangat mengantuk, tak ayal genggamannya pun melemah. Akibatnya, tempat air itu terlepas dan menimpa kepada Imam Ali, sehingga kepalanya terluka dan berdarah. Beliau pun meringis kesakitan seraya menatap budak wanita itu dengan wajah sangat marah.

Lalu sang budak mengatakan pada beliau bahwa Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya…” Tampaknya Imam Ali menyadari sikapnya itu dan berkata, “Aku menahan amarahku.” “Dan orang yang memaafkan orang lain,” lanjut budak wanita itu. “Allah memaafkan dirimu,” kata beliau. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan,” kata budak itu melanjutkan ayat yang dikutip.

Barangkali sang budak mengucapkan itu demi menyempurnakan ayat yang dibacanya. Namun Imam Ali memahaminya lain dan berkata, “Aku memerdekakanmu. Engkau dimerdekakan semata-mata karena Allah SWT.”

Budak wanita  itu terharu mendengar ucapan tersebut sehingga meneteskan air mata. Sambil menangis, ia berkata kepada Imam Ali, “Anda memberi kemerdekaan padaku, tapi Anda memperbudakku dengan makrifat dan keimananmu yang mendalam kepada Allah SWT. Kerena itu, perkenankan aku mengabdi kepadamu hingga akhir hayatku.” Imam Ali tersenyum mendengarnya, lalu berkata, “Terserah kepadamu.”

Kisah di atas menggambarkan keteladanan yang dicontohkan para pemuka Islam yang selalu berusaha berakhlak dengan akhlak Alquran dan akhlak Rasulullah SAW.

 

 

REPUBLIKA

Tak Semua Marah itu Tercela, Ada Kemarahan Terpuji

KEMARAHAN selalu didefinisikan sebagai ekspresi menuruti hawa nafsu, penuh emosi dan lambang tunduknya kita pada syaitan. Hal ini tidaklah keliru bila merujuk pada perbuatan tercela yang mengikutinya dan alasan apa yang mendasarinya.
Bila kemarahan semata-mata untuk membela diri dan menjatuhkan orang lain, inilah yang disebut dengan marah yang tercela. Namun, bila kita mampu meluruskan niat kita, membuang kotoran jiwa, keinginan dunia dan makhluk. Kemarahan tercela tersebut mampu bergeser menuju kemarahan yang terpuji.
Kemarahan yang terpuji adalah kemarahan yang menjadikan Allah Ta’ala sebagai alasan. Kemarahan yang muncul karena melihat kemunkaran dan kemaksiatan yang merajalela. Kemarahan yang ditujukan untuk membela agama yang haq, bukan sekadar membela dirinya atau golongannya. Dan sungguh, Tuhanlah Dzat yang paling mengetahui murni tidaknya niat seorang hamba. Semoga kita tidak termasuk hamba yang berteriak lantang seolah membela agama Allah, padahal sebenarnya jiwa dan hatinya mengeras karena karat kemunafikan.
Takkan ada dua hati dalam satu rongga dada. Begitu pula takkan ada ketulusan dan kemunafikan yang bersemayam dalam satu tindakan. Kenalilah jiwa amarah kita, apakah ia terpuji ataukah tercela? Apakah ia karena Allah atau hanya nafsu semata? Percayalah, tiada ketentraman kecuali berdua bersama-Nya, tiada kedamaian kecuali dekat dengan-Nya dan tiada pengobat kerinduan selain pemenuhan ketaatan pada-Nya.
Adapun ketaatan itu pula yang mampu menambah kadar keimanan kita di sisi Allah, dan akan berkurang dengan kemaksiatan pada-Nya. Maka semoga kita mampu mengendalikan amarah kita dengan tetap bersabar menghadapi orang-orang yang buruk perangainya dan bodoh pikirannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika orang-orang jahil mencela mereka, mereka berkata, ‘Salam. (selamat)'”(QS Al-Furqan [25]: 63)
Akan tetapi, jika mereka mendurhakai Allah Ta’ala, kita tidak boleh hanya berdiam diri saja. Pada saat seperti inilah diharapkan bahwa kemarahan kita dengan cara berbicara pada mereka menjelma menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Bukankah kewajiban kita untuk menegakkan syi’ar syi’ar Islam dan berjuang dalam amar ma’ruf nahi munkar? Semoga Allah mengokohkan pijakan kita di atas kebenaran.
Akhirul kalam, silahkan marah, asal tetap terpuji. (DOS)

Jangan Marah, Bagimu Surga

SALAH satu senjata setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam keburukan adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia.

Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, berbicara kasar atau jorok, mencaci maki, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.

Banyak sekali dampak yang ditimbulkan karena sifat marah ini. Oleh karena itu, rasa marah dalam diri kita mesti dikontrol. Sebagai agama yang sempurna, Islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi.

Salah satunya melalui hadits berikut ini:

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan sahih dalam kitab sahih At-Targhib no. 2749)

Lalu bagaimana mengendalikan emosi? Ada beberapa tips yang akan dibagikan kali ini dalam mengontrol emosi. Tips ini insya Allah ampuh apabila dilakukan secara konsisten.

1. Segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan dengan membaca taawudz

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca taawudz: A-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Diam

Biasanya saat marah kita cenderung ingin melakukan sikap defense atau membela diri. Namun Islam mengajarkan kita untuk lebih baik memilih diam ketika emosi sedang bergejolak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).

3. Mengambil posisi lebih rendah

Salah satu penyebab munculnya marah adalah karena merasa rendah atau direndahkan. Oleh karena itu, sikaf refleks yang timbul justru ingin terlihat tinggi. Namun Rasulullah menyuruh kita untuk mengambil posisi rendah saat emosi sedang bergejolak. Sabda Rasulullah SAW berikut menjelaskan perihal ini.

Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

4. Segera berwudhu atau mandi

Marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api. Maka logika yang sangat tepat untuk meredakan amarah tersebut dengan wudhu atau mandi. Berikut sebuah hadis yang menerangkan hal ini.

“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)

5. Ingatlah hadis ini ketika marah

Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)

Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:

Hadis dari Ibnu Umar,

“Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani). []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2343955/jangan-marah-bagimu-surga#sthash.rSdjnFhx.dpuf

5 Cara Mengendalikan Emosi dalam Islam

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits*

Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.

Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai.

Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.

Menyadari hal ini, islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi. Banyak motivasi yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar manusia tidak mudah terpancing emosi. Diantaranya, beliau menjanjikan sabdanya yang sangat ringkas,

لا تغضب ولك الجنة

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)

Allahu akbar, jaminan yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan, bagi mereka yang mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk tidak mudah terpancing emosi.

Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi?

Agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kita ketika sedang marah.

Pertama, segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz:

أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ

A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM

Karena sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon perlindungan kepada Allah.

Dari sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Suatu hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ

Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah) maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no. 1376)

Kedua, DIAM dan jaga lisan

Bawaan orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).

Ucapan kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ

Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Di saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar neraka.

Ketiga, mengambil posisi lebih rendah

Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya. Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang dialami Abu Dzar,

“Suatu hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka. “Saya.” Jawab kawannya.

Majulah orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.

Melihat itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian tidur?’ tanya mereka keheranan.

Abu Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.

Mengapa duduk dan tidur?

Al-Khithabi menjelaskan,

القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ

Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)

Keempat, Ingatlah hadis ini ketika marah

Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ

“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)

Subhanallah.., siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya dengan kebaikan.

Mula Ali Qori mengatakan,

وَهَذَا الثَّنَاءُ الْجَمِيلُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ إِلَيْهِ أَوْ زَادَ بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ

Pujian yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi. Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).

Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:

Hadis dari Ibnu Umar,

من كف غضبه ستر الله عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه أمضاه ملأ الله قلبه يوم القيامة رضا

Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Ya, tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.

Siapakah kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian, beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya. Ternyata orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah.

‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”

Mendengar ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,

‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik, dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’

Demi Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR. Bukhari 4642).

Yang penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas, ketika anda sedang marah.

Pada kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..

وَقَالَ: له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ: أَتُرَى بِي بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب

“Salah satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).

Kelima, Segera berwudhu atau mandi

Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.

Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,

إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)

Dalam riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,

Bahwa Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua atau tiga bulan. Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,

‘Hai Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula milik ibumu.’

Mendengar ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar, pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,

‘Wahai manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku, bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian beliau menyebutkan hadis,

الغضب من الشيطان ، والشيطان من النار ، والماء يطفئ النار ، فإذا غضب أحدكم فليغتسل

Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.

Lalu Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.

(HR. Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).

Dua hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh An-Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122). Syuaib Al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula Al-Albani menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.

Hadis kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah. Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu Hibban sebagai perawi Matruk (ditinggalkan).

Ada juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,

إن ثبت هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه

Jika hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika marah. (Al-Ausath, 1/189).

Karena itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,

يشير هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة ، فالماء البارد يهدئ من فورة الدم الناشئة عن الانفعال ، كما يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي والعصبي ، ولذلك كان الاستحمام يستخدم في الماضي في العلاج النفسي

Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.

(Hadis Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)

اَللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا وَالغَضَبِ

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha (sedang) dan marah

[Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’ As-Shaghir no. 3039]

 

Sumber: Konsultasi Syariah

 

*Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com

Kerajaan dalam Diri Manusia

Oleh Abdul Barri Afandi

Sesungguhnya unsur terpenting dalam diri manusia adalah hati. Hati diibaratkan seperti raja dan seluruh anggota badan adalah para pengawal dan prajuritnya. Sebagai seorang raja yang senantiasa dilayani oleh para pelayannya dan memerintah dengan segala kehendak hatinya, serta mengatur kebijakan untuk kesejahteraan rakyatnya, maka demikian pula fungsi hati yang sesungguhnya.

Hati adalah raja bagi seluruh anggota badan manusia. Satu manusia adalah satu kerajaan. Semakin banyak manusia, semakin banyak pula kerajaan. Dan tentu saja, setiap kerajaan itu berbeda dengan lainnya, bergantung pada kualitas raja atau hatinya masing-masing.

Sebagai seorang raja yang harus memimpin kerajaan dengan arif dan bijaksana, hati membutuhkan kekuatan fisik. Dalam hal ini, hati bergantung pada kekuatan anggota badannya. Jika badannya sehat, hati (Insya Allah) juga sehat. Namun, bila badannya sakit dan tidak berdaya, maka hati juga ikut tidak berdaya.

Untuk mencegah hal ini terjadi, Allah menciptakan nafsu dan sifat marah dalam diri manusia, dengan tujuan menjadi penyeimbang. Nafsu makan bertujuan untuk menguatkan badan. Seandainya nafsu itu hilang dari dalam diri manusia, maka tentu manusia akan kehilangan kekuatannya. Dan hati juga yang terkena imbasnya.

Sedangkan sifat marah diciptakan dengan tujuan agar dapat mencegah sesuatu hal buruk yang mungkin akan menimpanya. Marah itu bertujuan untuk membela diri, menangkal musuh dan rintangan yang menghalanginya.

Begitulah diciptakannya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Kehadirannya tidak lain hanya dituntut untuk beribadah dan beribadah. Seperti dalam firman Allah, ”Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Ad Dzaariyat: 56).

Adapun perbuatan dan aktivitas keseharian lainnya hanyalah sebatas untuk menenangkan diri dari kesibukan kita beribadah. Bekerja mencari nafkah, tidur, dan berinteraksi sosial, tidaklah patut untuk dijadikan prioritas. Bekerja juga termasuk bagian ibadah, bila pekerjaan kita niatkan untuk menjaga keberlangsungan hidup.

Untuk memiliki kekuatan besar, strategi yang tepat dalam kehidupan, dan kerajaan yang ada dalam tubuh itu semakin jaya, kuncinya adalah dengan ilmu. Sebab, dengan ilmulah manusia bisa selamat dari segala fitnah dan rayuan syetan yang terkutuk. Dan dengan ilmu manusia bisa menjadi kerajaan yang jaya, sebab dalam dirinya terdapat seorang Raja yang arif dan bijaksana. Dengan keilmuannya yang tinggi sehingga tidak hanya meninggikan derajatnya di hadapan makhluk tetapi juga meninggikan derajat di mata Allah. Wa Allahu a’lam.

 

sumber: Republika Online

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi

Oleh Hj Lily Musfirah Nurlaily

Dalam kompleksitas kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyikapinya dengan amarah dan penuh emosi.

Secara etimologis, kata ’emosi’ adalah terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. “Dan, tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.'” (QS al-A’raf [7]: 150).

Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karena saking marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah al-A’raf [7]: 154.

Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi menjawab, “La taghdlab”, hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Bagaimana menguasai marah atau me-manage emosi? Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat.”

Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan syaraf, terutama syaraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa nafsu yang mahadahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan dengan kekuatan setan.

Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan fisik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan syaraf otak dan syaraf-syaraf lainnya. Jika gerakan fisik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan setan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A’lam.

 

sumber: Republika Online