“Jika Islam adalah agama yang benar, mengapa negara Islam tidak maju dan selalu berkonflik?”
Demikianlah, kiranya sebuah ujaran yang sering kita dengar dari pihak oposisi dari kalangan liberal, progresif, filsuf, dan cendikiawan yang kurang melek sejarah, dan hanya mengekor pada sembarang ide dari barat berucap.
Ide-ide progresif bermoto “kebebasan berpikir” pun laku di kalangan para mahasiswa, akademisi, para intelek, free thinker, aktivis, dan semisalnya. Sebab, bagi mereka, memegang teguh tradisi adalah kejumudan. Membaca tulisan agama adalah kemunduran dan mengikuti petuah tokoh agama adalah kuno. Sebagai akibatnya, sekarang kita harus mendengar “kebijaksanaan” para filsuf eksistensialis semacam Friedrich Nietzsche atau Albert Camus, serta membaca novel-novel tulisan Dostoevsky atau Leo Tolstoy agar semakin “berbudaya.”
Berangkat dari fenomena progresifisme itulah, ungkapan semacam, “Jika Islam benar, mengapa umat Islam lemah?”, “Jika Islam benar, mengapa negara Islam tidak maju dan penuh konflik?”, dan ungkapan, “Jika Islam benar, mengapa tidak ada ilmuwan muslim yang mendapat penghargaan nobel?” pun muncul.
Ketika kita renungkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini dan berbagai turunannya, maka kita dapati adanya sesat pikir (logical fallacy) dan standar yang keliru dalam menilai. Berikut kami akan jelaskan dalam bentuk poin-poin:
Pertama: Keliru menggeneralisasi semua umat Islam
Orang-orang yang mengatakan hal demikian mengalami kekeliruan generalisasi. Karena, mereka mengambil contoh dari sekelompok umat Islam lalu mengeneralisir semua umatnya di dunia. Sebab, umat Islam di dunia hidup dalam kondisi yang bermacam-macam. Umat Islam di Suriah tidak sama dengan umat Islam di Saudi. Begitu pun umat Islam di Indonesia tidak sama dengan umat Islam di Qatar. Sehingga, umat Islam tidak dalam satu kondisi serupa. Oleh sebab itu, tidak semua umat Islam hidup dalam kemunduran dari aspek materil. Sebab, standar hidup beberapa kelompok umat Islam sangat beragam. Bahkan, ada yang lebih tinggi dibanding penduduk negara-negara maju.
Kedua: Konflik terbesar, pelakunya bukan umat Islam
Jika dikatakan bahwa negara-negara Islam penuh konflik, kita perlu menengok kembali sejarah. Konflik mana yang paling mematikan sepanjang sejarah dan siapakah sosok pelaku di baliknya? Jawabannya adalah Perang Dunia 2 yang menewaskan sekitar 50 juta orang dan pihak yang memulainya adalah kubu barat yang berideologi ateis dan sekuler. Biasanya, merekalah pihak yang mengolok-olok Islam sebagai agama ekstremis, radikal, dan penuh konflik.
Menurut logika mereka, kita juga bisa mengatakan semua orang ateis dan sekularis adalah ekstrimis, radikal, dan penuh konflik. Sebab, konflik-konflik paling mematikan dilakukan oleh orang yang berideologi tersebut. Ditambah lagi bukti langsung yang sedang terjadi, yaitu invasi Israel terhadap Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang telah memakan korban per tanggal 12 Maret 2024 sebanyak 31,045 warga sipil Palestina [1]. Sehingga, semakin terlihat siapa yang sebenarnya pantas disebut ekstremis, radikal, dan penuh konflik.
Penulis juga mendapatkan temuan menarik dalam buku berjudul “War Peace Islam” [2] mengenai konflik dengan latar belakang ideologi atau agama mana yang paling menimbulkan korban jiwa dari tahun 0-2008 Masehi. Berikut tabel kesimpulannya:
Dapat dilihat bahwa konflik dengan latar belakang Kristen, Antiteis (Ateis dan Sekuler), dan Buddha berada di tiga besar dari tujuh ideologi atau agama. Sedangkan konflik dengan latar belakang Islam, menempati urutan 6 dari 7.
Seandainya kita gunakan kebiasaan mereka yang kerap melabeli umat Islam dengan radikal dan ekstremis, maka label ekstremis itu seharusnya lebih pantas ditujukan kepada pengikut agama-agam tersebut. Sebab, korban jiwa konflik dengan latar belakang agama tersebut jauh lebih banyak dibandingkan Islam.
Ketiga: Jangan lupakan kolonialisme
Kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa dari abad 15 sampai pertengahan abad 20 menyisakan luka yang amat mendalam bagi umat Islam. Hampir semua umat Islam pada periode tersebut dijajah oleh Eropa. Mulai dari umat Islam di bagian paling barat, Maroko, hingga umat Islam paling timur, Indonesia.
Gaya penjajahan Eropa sangat berbeda dengan pembukaan (futuhāt) wilayah atau kota yang dilakukan kaum Muslimin. Sebab, penjajahan Eropa bersifat eksploitatif dan koersif. Tujuannya jelas, mengekstrak sumber daya alam dan manusia sebanyak mungkin. Sehingga, saat itu perekonomian umat Islam dibabat habis. Sampai setelah era kolonialisme berakhir, negara-negara Islam yang baru terbentuk (baca: dibentuk Eropa), terseok-seok dengan keadaan politik, ekonomi, dan sosial yang babak belur setelah dieksploitasi. Alamnya diekstrak, sedangkan manusianya diperbudak. Dampaknya, beberapa negara bekas jajahan belum pulih dari kolonialisme tersebut, baik belum pulih karena efek langsung kolonialisme maupun efek tidak langsung, seperti dukungan negara-negara barat pasca kolonialisme terhadap pemimpin-pemimpin sekuler di negara berpenduduk mayoritas muslim.
Keempat: Islam dilihat dari sumbernya bukan umatnya
Kita sebagai ahli sunnah waljamaah, beriman bahwasanya sifat maksum atau bebas dari kesalahan hanya dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam, dan kita beriman bahwa kaum muslimin memiliki pemahaman agama yang bertingkat-tingkat. Ada yang memahami sebagian besar syariat Islam, dan ada yang memiliki pemahaman serta praktik yang terbatas terhadap ajaran Islam.
Oleh karenanya, perbuatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok kaum muslimin bisa dibenarkan dan bisa disalahkan, tergantung kesesuaiannya dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijmak ulama. Sehingga, seharusnya Islam tidak dinilai dari perbuatan orang Islam, tetapi dinilai dari dalil-dalilnya.
Maka, jika ingin melihat hakikat Islam, kita perlu kembali ke asalnya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, yang mana beliau adalah teladan sempurna dan praktis terhadap ajaran Islam. Sebagaimana yang dikatakan istri beliau Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كان خُلقه القرآن
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” [3]
Kelima: Sunnatullah di alam semesta
Majunya peradaban barat saat ini disebabkan karena mereka mengambil sebab-sebab kemajuan secara materil. Sebab-sebab tersebut Allah Ta’ala jadikan bagi semua makhluk-Nya, baik yang beriman maupun tidak. Kita sebagai umat Islam beriman bahwasanya Allah Ta’ala menciptakan suatu ketetapan, siapa yang mengambil ketetapan tersebut, maka akan menuai hasilnya, meskipun dia seorang kafir yang bermaksiat kepada Allah. Maka, Allah ‘Azza Wajalla memberikan setiap orang sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Keenam: Standar sukses bukan maju secara materil
Merupakan kekeliruan besar jika kita menganggap sesuatu itu sebagai sukses dan maju berdasarkan sisi materil saja. Sebab, kemajuan seseorang atau suatu populasi di dunia dari sisi materil bukanlah tujuan Allah Ta’ala menciptakan manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyāt: 56)
Sehingga, sukses secara materil tanpa didukung dengan tujuan terbesar diciptakannya manusia, yaitu beribadah kepada Allah dan menaati perintah-Nya, tidak bernilai apa pun. Bahkan, hal itu adalah faktor yang membuat manusia menjadi sombong dan inkar.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, ungkapan “Jika Islam benar, mengapa negara Islam tidak maju?” atau ungkapan semisalnya mengandung kesalahan berpikir dan kesalahan standar menilai sebagaimana dijelaskan di atas. Maka, kebenaran Islam tidak dapat diganggu gugat hanya karena kondisi ekonomi atau sosial dari pemeluknya. Melainkan, kita perlu melihat Islam dari dalil-dalilnya. Sehingga, kita sampai pada kesimpulan bahwa Islamlah satu-satunya jalan kebenaran dan jalan keselamatan. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَـٰمُ ۗ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Sumber: https://muslim.or.id/92570-mengapa-negara-negara-islam-tidak-maju.html
Copyright © 2024 muslim.or.id