SEBELUMNYA kita akan mempelajari bagaimana cara yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam menyelesaikan sengketa. Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahuanhuma, Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukti itu menjadi tanggung jawab penuntut (muddai) dan sumpah menjadi pembela bagi yang dituntut (muddaa alaih).” (HR. Turmudzi 1391, Daruquthni 4358 dan dishahihkan al-Albani).
Pelajaran dari hadis:
Dalam sebuah sengketa, di sana ada 2 pihak,
[1] Pihak yang menuntut. Dialah yang mengajukan klaim. Dalam hadis di atas, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyebutnya dengan muddai.
[2] Pihak yang dituntut. Dia yang diminta untuk memenuhi klaim. Dalam hadits di atas, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyebutnya dengan muddaa alaih.
Kewajiban dan tanggung jawab masing-masing berbeda,
[1] Untuk pihak penuntut (muddai), dia diminta mendatangkan bukti atau saksi.
[2] Untuk pihak yang dituntut (muddaa alaih), ada 2 kemungkinan posisi;
(a) Jika muddai bisa mendatangkan bukti yang bisa diterima, maka dia bertanggung jawab memenuhi tuntutannya.
(b) Sebaliknya, Jika muddai tidak bisa mendatangkan bukti yang dapat diterima, maka muddaa alaih diminta untuk bersumpah dalam rangka membebaskan dirinya dari tuntutan. Jika dia bersumpah maka dia bebas tuntutan.
Kita akan melihat kasus di atas lebih dekat, ketika lupa jumlah nominal utang. Sebagai ilustrasi: Rudi berutang ke Wawan, dan pernah dicicil sekian ratus ribu. Suatu ketika. Keduanya lupa, berapa nominal nilai utang dan berapa kekurangan cicilannya. Sementara keduanya tidak memiliki bukti.
Penyelesaian Kasus: Baik Rudi maupun Wawan, mereka yakin bahwa Rudi pernah berutang ke Wawan. Hanya saja mereka lupa berapa nominal utangnya. Dalam kasus ini, yang dijadikan acuan adalah keterangan debitur (Rudi). Karena uang itu terakhir dibawa Rudi. Terdapat kaidah yang mengatakan, “Hukum asal, untuk semua kejadian, diasumsikan terjadi pada waktu yang lebih dekat.” (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 187).
Karena itulah, para ulama mengambil pengakuan Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan, “Apabila terjadi perbedaan pendapat antara yang memberi utang dan orang yang berutang, sementara keduanya tidak memiliki bukti, maka dimenangkan keterangan pihak yang menerima utang (debitor) terkait kriteria dan kuantitas (barang yang diutang) disertai sumpah.” (al-Mausuah al-Fiqhiyah, 3/269).