TEPAT saat pesawat yang kami tumpangi mendarat menyapa tanah air Indonesia, air mata Mat Kelor deras mengalir. Awalnya dia sesenggukan pelan, kemudian semakin menderu.
Saya memeluknya, dia berkata: “Saya ini anak orang tak punya, saya diperkenankan haji. Allaaah.” Saya cuma berbisik untuk selalu bersyukur. Baju yang dikenakannya semenjak dari Madinah, yakni 5 lapis baju tetap dikenakannya. Entah sumuk atau tidak, nyaman atau tidak. Namun bahagia hati mampu menepis semua ketaknyamanan sebagaimana hati yang gelisah tak kan mampu menikmati kenyamanan.
Saya berusaha membuatnya tersenyum biar wajahnya menjadi berseri. Saya ceritakan kepada Mat Kelor sebuah kisah lucu di pemeriksaan X-Ray bandara Madinah. Seorang nenek 83 tahun membuat bingung polisi bandara gara-gara setiap memasuki gerbang pemeriksaan selalu saja berbunyi tanda ada barang yang dilarang terbawa olehnya. Padahal sabuk, sandal, gelang, cincin dan semua yang mengandung besi tembaga sudah dicopotnya. Polisi curiga dan marah-marah dalam bahasa Arab. Nenek itu diam karena tak paham. Diam dan kemudian memanggil saya sambil menangis sampai mulutnya menganga lebar.
Dari situ saya baru tahu penyebabnya mengapa nenek itu tak lolos-lolos pemeriksaan. Lalu saya sampaikan ke polisi. Tahu apa sebabnya? Ternyata gigi-gigi nenek itu hampir semua berlapis emas dan tembaga, khas orang kaya jaman dulu. Tak mungkin dicopot sebelum masuk gerbang. Polisi itu tertawa ngakak sampai guling-guling. Di Arab tidak ada model begini kata mereka. Mendengar cerita ini, Mat Kelor tertawa sambil menghapus air matanya.
Ketika antri pengambilan bagasi, Mat Kelor bersedih kembali. Saya heran mengapa Mat Kelor yang lucu, periang dan ekstrovert menjadi melow. Rupanya satu bagasi yang full oleh-oleh tak ada. Di dalamnya ada cermin, kurma dan minyak wangi. “Yang kusedihkan adalah gagalnya diriku untuk membahagiakan orang-orangku di kampung,” ucapnya.
Orang-orang sudah mulai meninggalkan lokasi pengambilan bagasi. Mat Kelor kumat-kamit membaca “mantra” berbahasa Madura, mantra yang hanya boleh dibaca saat kepepet, katanya. Tiba-tiba, kardus oleh-oleh itu terlihat ada bersama istrinya, tertutupi kakinya yang diangkat ke atas kardus itu karena ngilu asam uratnya naik. Mat Kelor tersenyum.
Nenek dengan gigi emas tadi ketemu lagi dengan saya dan saya kenalkan dengan Mat Kelor. Mat Kelor berbincang agak serius dengan nenek itu. Entah tentang apa. Lalu dia memuji kesungguhan semangat ibadah nenek itu. Nenek itu menjawab singkat: “Syukran.” Mat Kelor membalas: “Hambali.”
Nenek itu sebelum berpisah berkata dengan nada sedih menahan rasa: “Nak, sekarang aku siap mati, aku ridla dipanggil Allah. Aku sudah sowan ke rumahNya. Kemaren-kemaren aku tidak siap. Masak saya tinggal di bumiNya gratis sekian lama tapi tak mau bertamu ke rumahNya padahal saya mampu.” Kami terharu dengan kata-kata nenek itu. Mat Kelor kembali meneteskan air mata. Tiba-tiba nenek itu pingsan, dan sekarang masih dirawat di klinik bandara.
“Semoga cepat sembuh nenek. Semoga semua orang yang sudah mampu berhaji segera berhaji seperti nenek.” Kami melanjutkan terbang ke Surabaya. Mat Kelor berkata bahwa dalam waktu tak lama akan sowan ke rumah nenek mau membiayai total pemeriksaan dan pengobatan nenek. Saya belum tahu alasannya mengapa Mat Kelor sayang sekali pada nenek padahal baru pertama berjumpa. Memang ada beberapa kesamaan wajah sih di antara keduanya. Sepertinya ada yang ada yang misteri. Besok saya akan tanya Mat Kelor. Selamat datang di Juanda ya Pak Haji Mat Kelor. Salam, AIM. [*]
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi