Apakah Habbatus Sauda Menyembuhkan Semua Penyakit?

Dzahir hadits menjelaskan bahwa habbatus sauda menyembuhkan semua penyakit. Sebagaimana hadits

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” [1]
Ulama berselisih pendapat mengenai lafadz (كل/kullu) yang terjemahnya adalah “semua” pada hadits ini.
Sebagaimana dalam ilmu ushul fikh, lafadz “kullu”  bisa bermakna:

1. Semua tanpa terkecuali
Artinya habbatus sauda menyembuhkan semua penyakit

2. Tidak semua secara mutlak
Artinya ada penyakit yang tidak bisa sembuh dengan habbatus sauda

Ini yang dikenal dengan kaidah:
ﺍﻟﻌﺎﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻪ ﺍﻟﺨﺼﻮﺹ

“Lafadz umum tetapi maksudnya adalah khusus”

Contoh lafadz kullu (semua) tetapi artinya tidak semua secara mutlak, adalah ayat tentang angin yang bisa menghancurkan “semuanya”
ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ

“Angin yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabb-nya.” (QS Al-Ahqaf : 25).

Tentu angin tidak bisa menghancurkan (kulla syai’) semuanya. At-Thabari menafsirkan ayat ini, bahwa yang hancur adalah apa yang bisa hancur dengan angin saja yaitu angin diutus untuk menghancurkannya

Beliau berkata,
ﺗﺪﻣﺮ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ : ﻣﻤﺎ ﺃُﺭﺳﻠﺖ ﺑﻬﻼﻛﻪ
“Maksud dari: menghancurkan segala sesuatu yaitu apa yanh angin diutus untuk menghancurkannya”.[2]

Mari kita lihat penjelasan ulama mengenai hadits habbatus sauda menyembuhkan segala macam penyakit
1. Yang berpendapat bisa menyembuh secara umum baik sendiri maupun jika dikombinasikan dengan lainnya
Ibnu Batthal berkata,
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﻋﻤﻮﻣﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻧﺘﻔﺎﻉ ﺑﺎﻟﺤﺒﺔ ﺍﻟﺴﻮﺩﺍﺀ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺩﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﺩﺍﺀ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻻ ﺍﻧﻪ ﺍﻣﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﺑﻲ ﻋﺘﻴﻖ ﺑﺘﻘﻄﻴﺮ ﺍﻟﺤﺒﺔ ﺍﻟﺴﻮﺩﺍﺀ ﺑﺎﻟﺰﻳﺖ ﻓﻲ ﺍﻧﻒ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ… ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﻣﺎﻳﺼﻠﺢ ﺧﻠﻄﻬﺎ ﺑﺒﻌﺾ ﺍﻻﺩﻭﻳﺔ ﻓﻴﻌﻢ ﺍﻻﻧﺘﻔﺎﻉ ﺑﻬﺎ ﻣﻨﻔﺮﺩﺓ ﻭﻣﺠﻤﻮﻋﺔ ﻣﻊ ﻏﻴﺮﻫﺎ
“Hadits ini menunjukkan keumuman khasiat/pemanfaatan habbatus sauda pada semua penyakit selain penyakit maut sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Abi Atiq untuk mencampur/mendistilasi habbatus sauda dengan minyak zaitun pada hidung orang sakit… Bentuk penyembuhannya juga pencampuran dengan obat yang lain, maka khasiatnya umum baik secara tunggal atau dikombinasikan dengan yang lain.”[3]

Al-Kirmani berkata,
ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺇﺭﺍﺩﺓ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺷﻔﺎﺀ ﻟﻠﻜﻞ ﻟﻜﻦ ﺑﺸﺮﻁ ﺗﺮﻛﻴﺒﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﻐﻴﺮ
“Maknanya adalah umum yaitu menyembuhkan semua penyakit, tetapi dengan syarat dikombinasikan dengan obat lainnya.”[4]

2. Yang berpendapat tidak menyembuhkan secara mutlak
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab thibbun nabawi menjelaskan tentang habbatus sauda,
وَهِيَ كَثِيرَةُ الْمَنَافِعِ جِدًّا، وَقَوْلُهُ: «شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ» ، مِثْلُ قَوْلِهِ تعالى: تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّها  أي: كلّ شيء يقبل التَّدْمِيرَ وَنَظَائِرَه
“Habbatus sauda memiliki sangat banyak manfaat, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “obat untuk segala macam penyakit”. Ini sebagaimana firman Allah, “Angin menghancurkan segala sesuatu dengan perintahan Rabb-nya”. Yaitu segala sesuatu yang bisa hancur dengan angin dan semisalnya. (Tidak semua hancur dengan angin, demikian juga habbatus sauda).” [5]

Al-Khattabi berkata,
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺨﻄﺎﺑﻲ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ‏( 31 / 301 ‏) :
ﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺨﺼﻮﺹ …ﻭﺍﻧﻤﺎ ﺍﺭﺍﺩ ﺷﻔﺎﺀ ﻛﻞ ﺩﺍﺀ ﻳﺤﺪﺙ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻃﻮﺑﺔ ﻭﺍﻟﺒﻠﻐﻢ ﻻﻧﻪ ﺣﺎﺭ ﻳﺎﺑﺲ
“Hadits ini adalah lafadz umum tapi maksudnya khusus (tidak meyembuhkan semuanya) … maksud menyembuhkan semymua penyakit yaitu penyakit basah dan sejenis dahak karena habbatus sauda itu jenis panas dan kering.”[6]

Ibnu Hajar Al-Asqalaniy berkata,
” ﻗِﻴﻞَ ﺇِﻥَّ ﻗَﻮْﻟﻪ ” ﻛُﻞّ ﺩَﺍﺀ ” ﺗَﻘْﺪِﻳﺮﻩ : ﻳَﻘْﺒَﻞ ﺍﻟْﻌِﻠَﺎﺝ ﺑِﻬَﺎ , ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻨْﻔَﻊ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَﺍﺽ ﺍﻟْﺒَﺎﺭِﺩَﺓ , ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﺤَﺎﺭَّﺓ ﻓَﻠَﺎ
“Dikatakan makna “menyembuhkan semua penyakit” maksudnya adalah menerima kesembuhan dengan habbatus sauda. Karena habbatus sauda bermanfaat untuk penyakit jenis dingin adapun penyakit jenis panas maka tidak.”
PENDAPAT TERPILIH:

Yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a’lam- habbatus sauda bisa menyembuhkan semua penyakit secara umum

Karena lafadz pada hadits sudah ada pengkhususan/pengecualian (istitsna’) dengan “illa” (إلا) dengan kata “kematian”, jadi lafadz “kullu” (كل) di situ bermakna umum dan mendapatkan pengecualian dengan “illa” (إلا)

Bagaimana dengan mereka yang sudah pakai habbatus sauda tetapi tidak sembuh?
1. Jika sesuai pendapat ulama bahwa habbatus sauda tidak menyembuhkan secara mutlak maka wajar jika ada yang tidak sembuh dengan habbatus sauda
2. Jika mengikuti pendapat bahwa habbatus sauda menyembuhkan semua penyakit, maka perlu diketahui bahwa agar bisa sembuh dengan obat. Maka perlu diperhatikan:
a) Syarat-syaratnya yang terpenuhi
Semisal dosis habbatus sauda harus tepat sesuai diagnosis (berarti diagnosis harus tepat juga), jika tidak tepat maka tidak sembuh
b) Tidak ada pencegah kesembuhan

Misalnya ada komplikasi memperparah penyakit sehingga obat tidak bermanfaat

Atau ada penghalang obat diserap tubuh misalnya gangguan pada lambung
Syaikh Bin Baz menjelaskan hal ini, beliau berkata
” ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﺗﻨﻔﻌﻪ ﺍﻷﺳﺒﺎﺏ ﻭﻻ ﺍﻟﺮﻗﻴﺔ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ ؛ ﻟﻌﺪﻡ ﺗﻮﺍﻓﺮ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ , ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻧﺘﻔﺎﺀ ﺍﻟﻤﻮﺍﻧﻊ
“Banyak manusia yang tidak bermanfaat jika melakukan suatu sebab semisal ruqyah dengan Al-Quran dan lain-lainnya karena tidak terpenuhi syarat dan adanya penghalang kesembuhan.”[7]
Untuk selengkapnya silahkan baca tulisan-tulisan kami “mengapa tidak sembuh dengan thibbun nabawi”[8]

CATATAN PENTING:
Mengenai lafadz “kullu” pada hadist “semua bid’ah sesat” ini bermakna umum atau semua bid’ah sesat

karena lanjutnya haditsnya adalah “semua sesat di neraka”. Maka maknanya, semua sesat pasti di neraka dan tidak ada pengecualian sesat yang tidak di neraka

@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

 

MUSLIMAFIYH

Tafsir Ayat Puasa (7): Takbir di Hari Raya

Di akhir Ramadhan, setelah kita menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, kita diperintahkan menutupkan dengan banyak takbir di hari raya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).

Sumber https://rumaysho.com/8259-tafsir-ayat-puasa-7-takbir-di-hari-raya.html

Maksud ayat di atas kata Syaikh As Sa’di, barangkali ada yang punya anggapan bahwa puasa di bulan Ramadhan cukup hanya di sebagian bulan saja. Namun dalam ayat di atas diperintahkan untuk menyempurnakan hitungan bulan Ramadhan. Artinya hendaknya bulan Ramadhan dilakukan sebulan penuh. Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87.

Perintah untuk Bersyukur

Hendaklah bersyukur pada Allah ketika telah sempurna menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Itu semua adalah taufik dan kemudahan dari Allah pada hamba-Nya. (Lihat idem)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika engkau telah menjalankan perintah dengan melakukan ketaatan, menunaikan yang wajib, meninggalkan yang haram, menjaga batasan Allah, moga dengan menjalankan seperti itu dapat termasuk orang yang bersyukur.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 62).

Takbir di Hari Raya

Ayat di atas memerintahkan untuk banyak bertakbir pada hari ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha), di dalamnya perintah untuk menjalankan shalat. Di dalam shalat ‘ied terdapat takbir yang rutin dilakukan, juga ada takbir tambahan.  (Majmu’atul Fatawa, 24: 183).

Zaid bin Aslam berpendapat bahwa takbir yang dimaksud adalah takbir shalat ‘ied. Para ulama pun sepakat bahwa shalat ‘ied memiliki takbir tambahan. Perintah bertakbir tersebut berarti telah masuk dalam shalat ‘ied. Lihat Majmu’atul Fatawa, 24: 223-225.

Waktu Takbir Idul Fithri

Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut,  para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri.

Pendapat kedua, takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri.

Pendapat ketiga, takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied.

Pendapat keempat, takbir pada hari Idul Fithri.

Pendapat kelima yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ‘ied.

Pendapat keenam yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir. (Lihat Fathul Qodir karya Asy Syaukani, 1: 334-335)

Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya).

Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam kitab sunannya, dari Ibnu ‘Abbas, ia bertakbir,

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ وَأَجَلُّ اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar kabiiro, Allahu akbar walillahil hamd wa ajall, Allahu akbar ‘ala maa hadaanaa. (artinya: Allah sungguh Maha besar, Allah sungguh Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji dan kemuliaan bagi Allah. Allahu Maha Besar atas segala petunjuk yang diberikan kepada kami). (Lihat Fathul Qodir, 1: 336).

Kata Ibnu Taimiyah bahwa lafazh takbir seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud itulah yang dipraktekkan oleh banyak sahabat. Kalau seseorang bertakbir “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali, itu pun dibolehkan. Lihat Majmu’atul Fatawa, 24: 220.

Semoga manfaat.

 

Sumber https://rumaysho.com/8259-tafsir-ayat-puasa-7-takbir-di-hari-raya.html

Tafsir Ayat Puasa (6): Kemudahan dalam Puasa

Dalam syariat Islam terdapat kemudahan termasuk dalam menjalankan ibadah puasa. Bagaimana kemudahan tersebut?

Allah Menginginkan Kemudahan

Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Sebelumnya Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diberikan keringanan bagi kalian untuk tidak berpuasa ketika sakit dan saat bersafar. Namun puasa ini wajib bagi yang mukim dan sehat. Itu semua adalah kemudahan dan rahmat Allah bagi kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 59).

Beliau rahimahullah juga berkata di kitab yang sama, “Sesungguhnya diberikan keringanan bagi kalian untuk tidak berpuasa saat sakit dan safar, juga ketika mendapati udzur semisal itu. Karena Allah menginginkan bagi kalian kemudahan. Namun puasa tersebut tetap diperintahkan diqadha’ (diganti) di hari lainnya untuk menyempurnakan puasa Ramadhan kalian.” (Idem, 2: 62).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Allah memberikan kemudahan supaya kalian dapat mudah menggapai ridha Allah. Kemudahan yang diberikan begitu besar. Itulah ajaran yang ada dalam syariat Islam.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86-87).

Pilihan Puasa Ketika Safar

Adapun puasa ketika safar adalah pilihan, bukan suatu keharusan. Karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Di antara mereka ada yang berpuasa dan yang lainnya tidak berpuasa. Namun dua pihak yang berbeda tidak saling mencela satu dan lainnya. Seandainya berpuasa tidak dibolehkan saat puasa, tentu akan diingkari. Bahkan keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berpuasa. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 60).

Manakah yang Paling Afdhol Berpuasa ataukah Tidak Saat Safar?

Rincian paling baik adalah berikut ini.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.

Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika safar.

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122).

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.[1]

Qadha’ Puasa Tidaklah Mesti Berturut-Turut

Berdasarkan ayat yang kita kaji ini, menurut jumhur (baca: mayoritas) ulama, qadha’ puasa tidaklah mesti berturut-turut. Karena dalam ayat hanya disebutkan, pokoknya diganti di hari yang lain, tanpa mesti berturut-turut. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 61).

Semoga bermanfaat.

Sumber https://rumaysho.com/8244-tafsir-ayat-puasa-6-kemudahan-dalam-puasa.html

Tafsir Ayat Puasa (5): Puasa Menjadi Wajib

Di saat awal diwajibkannya, masih dijadikan pilihan yaitu bisa puasa, bisa fidyah. Namun ayat 185 selanjutnya, menetapkan bahwa bagi yang mampu, sehat dan kuat, maka ia tetap puasa, tanpa ada pilihan fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).

Dalam ayat sebelumnya disebutkan bahwa puasa dijadikan pilihan yaitu boleh menunaikan fidyah, boleh memilih puasa, namun puasa itu lebih baik. Inilah inti yang diterangkan dalam ayat ini.

Bulan Ramadhan, Bulan Al Qur’an

Dalam shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar memberi. Semangat beliau dalam memberi lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307).

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa dianjurkan bagi kaum muslimin untuk banyak mengkaji Al Qur’an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk mempelajarinya. Hafalan Al Qur’an pun bisa disetorkan pada orang yang lebih hafal darinya. Dalil tersebut juga menunjukkan dianjurkan banyak melakukan tilawah Al Qur’an di bulan Ramadhan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 302).

Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Al Qur’an itu turun sekali sekaligus di Lauhul Mahfuzh di Baitul ‘Izzah pada malam Lailatul Qadar.

Yang membenarkan perkataan Ibnu ‘Abbas dalah firman Allah Ta’ala di ayat lainnya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS. Al Qadar: 1).

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad Dukhon: 3).

Di antara alasan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an yaitu dibuktikan dengan bacaan ayat Al Qur’an yang begitu banyak dibaca di shalat malam bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama Hudzaifah di malam Ramadhan, lalu beliau membaca surat Al Baqarah, surat An Nisa’ dan surat Ali ‘Imron. Jika ada ayat yang berisi ancaman neraka, maka beliau berhenti dan meminta perlindungan pada Allah dari neraka.

Begitu pula ‘Umar bin Khottob pernah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari untuk mengimami shalat tarawih. Dahulu imam shalat tersebut membaca 200 ayat dalam satu raka’at. Sampai-sampai ada jama’ah yang berpegang pada tongkat karena saking lama berdirinya. Dan shalat pun selesai dikerjakan menjelang fajar. Di masa tabi’in yang terjadi, surat Al Baqarah dibaca tuntas dalam 8 raka’at. Jika dibaca dalam 12 raka’at, maka berarti shalatnya tersebut semakin diperingan. Lihat Lathoiful Ma’arif, hal. 303.

Al Quran adalah Sebab Hidayah

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Bulan Ramadhan terdapat karunia yang besar. Karunia tersebut adalah dengan diturunkannya karunia Al Qur’an yang mulia.  Di dalamnya terdapat hidayah untuk maslahat dunia dan akhirat. Al Quran juga menjelaskan kebenaran dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Al Quran juga menerangkan manakah yang benar dan batil, manakah petunjuk dan manakah kesesatan, manakah orang yang akan bahagia dan akan sengsara.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 86).

Puasa Menjadi Wajib

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185).

Ayat di atas menerangkan bahwa puasa itu jadi wajib bagi yang mampu, sehat dan hadir (mukim). Ayat tersebut menghapus hukum sebelumnya di mana puasa dan fidyah adalah pilihan. Namun rukhsoh (keringanan) tetap masih ada dikenakan bagi orang sakit dan musafir di mana ketika mereka tidak mampu puasa, maka mereka hendaklah mengqodho di hari lainnya.

Ibnu Katsir berkata, “Berdasarkan ayat 185 ini, puasa Ramadhan menjadi wajib bagi orang yang mukim di negerinya ketika masuk bulan Ramadhan, juga bagi orang yang badannya sehat. Ayat ini menghapus hukum dalam ayat sebelumnya (ayat 184) yang menyatakan bahwa orang yang sehat dan mukim, maka ia bisa memilih antara menunaikan fidyah berupa memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 59).

Semoga bermanfaat.

Sumber https://rumaysho.com/8231-tafsir-ayat-puasa-5-puasa-menjadi-wajib.html

Tafsir Ayat Puasa (4): Memilih Antara Puasa dan Fidyah

Pada masa awal diwajibkannya puasa, dijadikan pilihan antara puasa dan menunaikan fidyah. Bagi yang mau menunaikan fidyah saja tanpa puasa, itu baik. Namun puasa lebih baik daripada menunaikan fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184).

Di Masa Awal Diwajibkannya Puasa

Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa inilah yang terjadi di masa awal diwajibkannya puasa. Di awal diwajibkannya, puasa itu masih berat. Tatkala itu diberikanlah kemudahan dengan cara yang mudah. Bagi yang berat menjalankan puasa, maka ia bisa memilih antara berpuasa atau menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin setiap kali tidak berpuasa. Namun berpuasa tetap dinilai lebih baik.

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Dan berpuasa lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 184). Lihat Tafsir As Sa’di, hal. 86.

Ibnu Katsir berkata, “(Di masa awal diwajibkannya puasa), orang yang sehat dan menetap -tidak bersafar- yang berat menjalankan puasa kala itu, maka ia boleh memilih antara berpuasa dan menunaikan fidyah (memberi makan). Jika ia mau, ia boleh berpuasa. Jika ia mau, ia boleh dengan menunaikan fidyah yaitu memberi makan setiap hari sekali memberi makan pada satu orang miskin. Namun jika ia memberi makan lebih dari satu orang miskin, itu baik. Adapun jika ia memilih untuk puasa, itu lebih baik. Inilah yang jadi pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thowus dan Maqotil bin Hayyan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 54).

Mu’adz bin Jabal juga berkata bahwa di masa-masa awal diwajibkannya puasa, siapa yang mau puasa, dibolehkan. Dan siapa yang mau memberi makan pada orang miskin (fidyah), dibolehkan.  Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin Al Akwa’. Ia berkata ketika turun ayat yang kita bahas. Kemudian nantinya bentuk memilih antara puasa dan fidyah akan dihapus (dinaskh). Lihat Idem, 2: 56.

Masalah naskh hukum yang dibahas dalam ayat ini akan diungkap pada ayat 185. Pada ayat tersebut dibahas bahwa cuma ada satu pilihan yaitu berpuasa.

Pembahasan di atas juga menunjukkan bagaimanakah kemudahan yang diberikan dalam agama ini ketika mewajibkan suatu hukum secara bertahap agar umatnya tidak terasa berat.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwainiy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Disusun menjelang ‘Ashar, 15 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/8201-tafsir-ayat-puasa-4-memilih-antara-puasa-dan-fidyah.html

Jilboobs, Jilbab Namun Berpakaian Ketat

Ada satu komunitas berjilbab gaul yang menamakan diri dengan jilboobs. Yang dimaksud di sini adalah memakai penutup kepala namun pakaiannya ketat. Hingga -maaf- bokong dan payudara masih terlihat seksi dan montok. Bagaimana hukum wanita yang berpenampilan seperti ini? Sudahkah menemuhi ketentuan jilbab yang sempurna?

Perintah Berjilbab yang Sempurna

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.

Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab pula adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.

Pakaian Muslimah dan Jilbab yang Lebar

Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama.

Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’- menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. (Lihat Al Iqna’, 1: 221)

Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh Jilboobs, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya.

Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Celana tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar.

Dalil yang menunjukkan hendaknya wanita tidak memakai pakaian ketat adalah hadits dari Usamah bin Zaid di mana ia pernah berkata, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menanyakanku: ‘Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?’. Kujawab, ‘Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah’. Beliau berkata, ‘Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya’” (HR. Ahmad dengan sanad layyin, namun punya penguat dalam riwayat Abi Daud. Ringkasnya, derajat hadits ini hasan).

Ini adalah sejelas-jelasnya dalil yang menunjukkan haramnya mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh. Pakaian Quthbiyyah adalah pakaian dari Mesir yang tipis. Jika tidak dikenakan baju rangkap di dalamnya, maka akan nampak bentuk tulangnya sehingga nampaklah aurat wanita. Bahkan nampak pula warna kulitnya. Demikian kata Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim dalam kitab beliau Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah hal. 23.

Syaikh Al Albani rahimahullah pernah mengatakan, “Tujuan pakaian muslimah adalah agar tidak menggoda. Tujuan ini bisa tercapai hanya dengan wanita berbusana longgar. Adapun berbusana ketat walau itu menutupi warna kulit, namun masih menampakkan bentuk lekuk tubuh seluruhnya atau sebagiannya. Sehingga hal ini pun menggoda pandangan para pria. Dan sangat jelas hal ini menimbulkan kerusakan, tanpa diragukan lagi. Yang tepat, pakaian muslimah haruslah longgar (tidak ketat).” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah fil Kitab was Sunnah, hal. 131).

Guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah pernah ditanya mengenai hukum memakai pakaian ketat yang menampakkan bentuk lekuk tubuh, maka jawab beliau, “Tidak boleh wanita mengenakan pakaian ketat yang menampakkan bentuk lekuk tubuh kecuali di depan suami barulah dibolehkan. Suami boleh melihat pada seluruh tubuh istrinya. Begitu pula tidak boleh memakai kaos kaki yang menampakkan bentuk lekuk betis dan pahanya, bahkan tidak boleh sampai memperindah kaki dengan kaos kaki tersebut[1]. Juga perlu diketahui bahwa pakaian ketat semacam ini punya efek bahaya. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Wajih Zainul ‘Abidin dalam perkataan beliau yang apik dalam Majalah Kuwaitiyyah bahwa pakaian ketat pada wanita tidaklah lepas dari bahaya di antaranya membahayakan kulitnya … “ (Lihat Fatawal Mar’ah Al Muslimah terbitan Dar Ibnul Haitsam, hal. 443)

Ancaman Bagi Jilboobs yang Berpakaian Ketat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128).

Di antara maksud dari berpakaian namun telanjang adalah menyingkap aurat, berpakaian tipis, termasuk pula berpakaian ketat yang menampakkan bentuk lekuk tubuh.

Nasehat kami, amalkanlah ajaran Islam secara utuh, jangan separuh-separuh.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Laksanakanlah seluruh ajaran Islam, jangan tinggalkan ajaran Islam yang ada. Jangan sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuan yang dituruti. Artinya, jika suatu ajaran bersesuaian dengan hawa nafsu, barulah dilaksanakan dan jika tidak, maka ditinggalkan. Yang mesti dilakukan adalah hawa nafsu yang tunduk pada ajaran syari’at dan melakukan ajaran kebaikan sesuai kemampuan. Jika tidak mampu menggapai kebaikan tersebut, maka dengan niatan saja sudah bisa mendapatkan pahala kebaikan.” Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di tentang tafsiran ayat di atas.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

MUSLIMAH

Tafsir Surat Al Baqarah 183: “Berpuasa Menggapai Takwa”

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

Wahai orang-orang yang beriman

Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].

Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.

Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر

Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Telah diwajibkan atas kamu berpuasa 

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi –hafizhahullah– menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian

Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Agar kalian bertaqwa

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:

  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]

Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Penulis: Yulian Purnama

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/4439-tafsir-surat-al-baqarah-183-berpuasa-menggapai-takwa.html

Tafsir Ayat Puasa (3): Tentang Qadha’ Puasa

Dalam kelanjutan ayat puasa kita akan melihat ayat selanjutnya yang membicarakan tentang qadha’ puasa. Bagaimanakah penyebutan qadha’ puasa tersebut dalam ayat Al Qur’an?

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184).

Setelah Allah menyebutkan kewajiban puasa pada ayat sebelumnya. Lalu disebutkan bahwa puasa diwajibkan pada hari tertentu.

Puasa bagi Orang Sakit dan Orang yang Bersafar

Orang sakit dan yang bersafar biasanya berat untuk menjalankan puasa, maka mereka mendapatkan keringanan kala itu. Namun karena puasa itu memiliki maslahat yang besar bagi setiap mukmin, maka hendaklah ia mengqadha’ puasanya tersebut di hari yang lain ketika sakitnya sudah sembuh dan kala sudah selesai bersafar, saat pulih hendaklah ia mengqadha’ puasanya.

Baca artikel Rumaysho.Com: Puasanya Orang Sakit dan Puasanya Musafir.

Qadha’ Puasa

Puasa yang tidak ditunaikan di bulan Ramadhan hendaklah di ganti di hari lainnya. Penunaiannya terserah kapan pun itu bahkan Aisyah baru bisa menunaikan qadha’ puasanya di bulan Sya’ban karena saking sibuk mengurus Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang penting qadha’ puasa tidak terlewat sampai Ramadhan berikutnya jika tidak ada uzur. Juga untuk qadha’ puasa tidak dipersyaratkan berturut-turut. Ia pun bisa menunaikan qadha’ puasa di hari yang pendek (musim dingin) untuk mengganti puasa dahulu yang dilakukan di waktu yang panjang (musim panas), demikian dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa qadha’ puasa lebih afdhol berturut-turut karena akan lebih cepat lepas dari beban kewajiban. Ia berkata, “Disunnahkan qadha’ puasa Ramadhan secara berturut-turut. Jika tidak bisa dilakukan secara berturut-turut, maka tidak mengapa terpisah-pisah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 136). Seperti itu pun tidak dihukumi makruh menurut Ibnu Taimiyah.

Baca artikel Rumaysho.Com: Qadha’ Puasa dan Fidyah.

Pembahasan tafsir ayat puasa, insya Allah masih berlanjut pada pembahasan fidyah dalam ayat puasa. Semog bermanfaat.

 

Referensi:

Ahkamul Quran, Ibnul ‘Arobi, terbitan Darul Hadits, cetakan tahun 1432 H.

Taisiri Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Disusun menjelang berbuka puasa, 8 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/8145-tafsir-ayat-puasa-3-tentang-qadha-puasa.html