Rahasia Dibalik Perintah Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Setelah berpuasa satu bulan penuh di bulan Suci Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk menjalankan puasa selama 6 hari di bulan Syawal. Hal yang terkadang terasa berat karena di Hari Raya Idul Fitri ini banyak orang yang menghabiskan waktu untuk pergi berlibur dan merasakan nikmatnya makan di pagi dan siang hari.

Mungkin, hanya sebagian kaum Muslimin saja yang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang satu ini. Banyak orang lebih memilih untuk tidak berpuasa kembali. Padahal, jika ia tahu rahasia di balik puasa Syawal, maka ia akan merasakan rugi.

Rahasia puasa Syawal apa?

Dari Abdul Wahab, ia berkata, “Rahasia yang terkandung dalam anjuran puasa 6 hari Syawal ini yaitu, ‘Bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelampiasan nafsu terhadap syahwatnya di hari raya, mengakibatkan kelengahan dan terpatri hatinya, maka puasa 6  hari seolah-olah menjadi penebus terhadap apa-apa yang kurang sempurna dalam pengetrapannya, dan cacat dalam melaksanakan puasa Ramadhan seperti persunatan yang mengiringi fardhu atau sujud syahwi.’ Sedang teknis pelaksanaannya (puasa 6 hari) adalah terusan, sejak hari pertama hingga ke 6, itulah yang diutamakan menurut ulama ahli tahqiq/ kebenaran, dan manfaat demikian ini dapat lebih mendekatkan pada kecerahan jiwa.

Rahasia puasa Syawal apa?

Dari Abdul Wahab, ia berkata, “Rahasia yang terkandung dalam anjuran puasa 6 hari Syawal ini yaitu, ‘Bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelampiasan nafsu terhadap syahwatnya di hari raya, mengakibatkan kelengahan dan terpatri hatinya, maka puasa 6  hari seolah-olah menjadi penebus terhadap apa-apa yang kurang sempurna dalam pengetrapannya, dan cacat dalam melaksanakan puasa Ramadhan seperti persunatan yang mengiringi fardhu atau sujud syahwi.’ Sedang teknis pelaksanaannya (puasa 6 hari) adalah terusan, sejak hari pertama hingga ke 6, itulah yang diutamakan menurut ulama ahli tahqiq/ kebenaran, dan manfaat demikian ini dapat lebih mendekatkan pada kecerahan jiwa.

 

ERA MUSLIM

Ramadan Berlalu, Yakin telah Kembali Suci?

SETELAH kita melihat bahwa di bulan Ramadan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Taala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadan, padahal kesehariannya di bulan Ramadan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar.

Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, salat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar.

Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh salat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?

Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan salat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan salat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan salat lima waktu.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan salat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan salat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan salat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Taala,

“Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan salat.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai salat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”

Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan salat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik.

Lalu seperti inikah Idul Fitri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fitri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan salat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah- mengatakan,

“Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan salat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kabair, Ibnu Hazm rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan salat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”

Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan salat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fitri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan? [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Idul Fitri, Bagaimana Kelanjutan Ibadah Kita?

Beberapa amalan yang dijalani di bulan Ramadan berisi pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Barangsiapa yang menghidupkan lailatul qadar dengan amalan shalat juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)

Begitu pula pengeluaran zakat fitri di penghujung Ramadan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia.

Begitu banyak amalan di bulan Ramadan yang terdapat pengampunan dosa sampai-sampai Ibnu Rajab mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.” (Lathaif Al Maarif, 371)

Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fitri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi) seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa.

Az Zuhri berkata, “Ketika hari raya Idul Fitri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, salat-salat kalian di bulan Ramadan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”

Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan salat ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.” (Lathaif Al Maarif, 366). Dikatakan demikian karena sungguh amat banyak pengampunan dosa di bulan Ramadan.

Dari sini, seharusnya setelah Idul Fitri, seorang muslim bisa menjadi lebih baik. Ibadah yang biasa rutin dijaga di bulan Ramadan berusaha terus dirutinkan semisal menjaga salat jamaah (bagi pria), berusaha terus salat malam dan giat berpuasa sunnah.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Taala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99) (Lathaif Al Maarif, 392).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR Muslim).

[Muhammad Abduh Tuasikal]

Tahukah Kamu Asal Usul Kata “Lebaran”?

LEBARAN merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam menyambut hari Raya Idul Fitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu.

Maksud kata “lebar” disini adalah sudah berlalunya bulan Ramadan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari Bahasa Arab dari akar kata bada yang berarti setelah, selesai.

Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Raya Idul Fitri.

Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut hari Raya Idul Fitri.

Ada dua bentuk ketupat yaitu kepal (lebih umum) dan jajaran genjang. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan Brunei.

Biasanya ketupat disuguhkan dengan opor ayam, rendang dan masakan-masakan khas masing-masing daerah yang mengandung santan. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreatifitas kuliner di beberapa daerah. [MG]

 

INILAH MOZAIK

Idul Fitri Momen Tepat Lepaskan Diri dari Kebencian

Momen Idul fitri dinilai tepat untuk merajut persaudaraan dan meredakan ketegangan di tengan masyarakat. Namun hal itu tergantung dari setiap orang memaknai Idul Fitri itu sendiri.

“Idul fitri kalau dimaknai secara tulus dan benar adalah bagian dari keberhasilan perang melawan hawa nafsu dan mensucikan diri maka ia dapat menetralisir dari segala belenggu kebencian, ujar Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, kepada Republika.co.id, Sabtu (16/6).

Namun sebaliknya apabila memaknai Idul Fitri dengan cara tidak benar, maka lebaran akan dimaknai sebagai rutinitas saja. Mereka hanya mengartikan lebaran sebagai aktivitas bersalam-salaman dan bersilaturahim.

Menurut Kiai Cholil memaknai idul fitri merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah puasa ramadhan. Manusia, mempunyai niatan melepaskan dosa yang berhubungan dengan sesama pada momen lebaran.

Karena, menurut Kiai Cholil, Allah akan memaafkan dosa-dosa hamba apabila urusan dengan sesama manusia pun diselesaikan. Maka Idul fitri akan dengan mudah memberantas perilaku kebencian dan ujaran-ujaran yang menghasut atau menyudutkan yang lain.

Ia menambahkan, fitrah merupakan asal kejadian manusia yang suci. Dengan begitu, semestinya manusia pun tidak menyukai terhadap sesuatu yang kotor dan dosa termasuk menanamkan kebencian. “Oleh karena itu memaknai idul fitri adalah kembali kepada fitrah yang menanamkan rasa damai, respek terhadap sesama dan menjunjung tinggi sopan santun yang beradab,” tuturnya.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, Idul Fitri merupakan momen untuk saling bersatu yang mestinya direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Moeldoko mengatakan sangat disayangkan jika potensi besar yang dimiliki Indonesia hilang hanya karena negara tak bersatu.

“Idul Fitri adalah kondisi dimana semua kembali ke nol. Semua yang buruk kita tanggalkan, kembali bersih. Negara ini milik kita bersama, dan bersatu menjadi kunci Indonesia untuk maju. Kita harus saling membesarkan, jangan saling mengecilkan. Ini momen kita untuk saling bersatu, bukan cerai berai, apalagi berseteru yang bersifat paradoks dari makna Idul Fitri,” kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (15/6).

Moeldoko menilai potensi bangsa ini sangatlah besar dengan segala keberagaman suku bangsa, budaya, dan sumber daya alamnya. Karenanya, dari semua kelebihan itu, Indonesia harusnya jaya dengan semua potensinya. “Jadi amatlah disayangkan jika semua potensi ini tergerus karena warga negaranya tak berpikiran bersatu,” tambah mantan Panglima TNI yang juga bergelar doktor ini.

 

REPUBLIKA

Lauh Mahfuzh

Sejauh ini, kita telah menyaksikan kesimpulan ilmu pengetahuan tentang alam semesta dan asal-usul mahluk hidup. Kesimpulan ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta dan kehidupan itu sendiri diciptakan dengan menggunakan cetak biru informasi yang telah ada sebelumnya. Kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan modern ini sungguh sangat bersesuaian dengan fakta tersembunyi yang tercantum dalam Alquran sekitar 14 abad yang lalu.

Dalam Alquran, Kitab yang diturunkan kepada manusia sebagai Petunjuk, Allah menyatakan bahwa Lauh Mahfuzh (Kitab yang terpelihara) telah ada sebelum penciptaan jagat raya. Selain itu, Lauh Mahfuzh juga berisi informasi yang menjelaskan seluruh penciptaan dan peristiwa di alam semesta.

Lauh Mahfuzh berarti terpelihara (mahfuzh), jadi segala sesuatu yang tertulis di dalamnya tidak berubah atau rusak. Dalam Alquran, ini disebut sebagai Ummul Kitaab (Induk Kitab), Kitaabun Hafiidz (Kitab Yang Memelihara atau Mencatat), Kitaabun Maknuun (Kitab Yang Terpelihara) atau sebagai Kitab saja.

Lauh Mahfuzh juga disebut sebagai Kitaabun Min Qabli (Kitab Ketetapan) karena mengisahkan tentang berbagai peristiwa yang akan dialami umat manusia. Dalam banyak ayat, Allah menyatakan tentang sifat-sifat Lauh Mahfuzh. Sifat yang pertama adalah bahwa tidak ada yang tertinggal atau terlupakan dari kitab ini: Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kcuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Al An’aam, 6:59)

Sebuah ayat menyatakan bahwa seluruh kehidupan di dunia ini tercatat dalam Lauh Mahfuzh: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al An’aam, 6:38)

Di ayat yang lain, dinyatakan bahwa di bumi ataupun di langit, di keseluruhan alam semesta, semua makhluk dan benda, termasuk benda sebesar zarrah (atom) sekalipun, diketahui oleh Allah dan tercatat dalam Lauh Mahfuzh: Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebi besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus, 10:61)

Segala informasi tentang umat manusia ada dalam Lauh Mahfuzh, dan ini meliputi kode genetis dari semua manusia dan nasib mereka: (Mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir: Ini adalah suatu yang amat ajaib. Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)?, itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada kitab yang memelihara (mencatat). (QS. Qaaf, 50:2-4)

Ayat berikut ini menyatakan bahwa kalimat Allah di dalam Lauh Mahfuzh tidak akan ada habisnya, dan hal ini dijelaskan melalui perumpamaan: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman, 31:27)

Fakta-fakta yang telah kami paparkan dalam tulisan ini membuktikan sekali lagi bahwa berbagai penemuan ilmiah modern menegaskan apa yang diajarkan agama kepada umat manusia. Keyakinan buta kaum materialis yang telah dipaksakan ke dalam ilmu pengetahuan ternyata malah ditolak oleh ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sejumlah kesimpulan ilmu pengetahuan modern tentang informasi berperan untuk membuktikan secara obyektif siapakah yang benar dalam perseteruan yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Perselisihan ini telah terjadi antara paham materialis dan agama. Pemikiran materialis menyatakan bahwa materi tidak memiliki permulaan dan tidak ada sesuatu pun yang ada sebelum materi. Sebaliknya, agama menyatakan bahwa Tuhan ada sebelum keberadaan materi, dan bahwa materi diciptakan dan diatur berdasarkan ilmu Allah yang tak terbatas.

Fakta bahwa kebenaran ini, yang telah diajarkan oleh agama-agama wahyu seperti Yahudi, Nasrani dan Islam sejak permulaan sejarah, telah dibuktikan oleh berbagai penemuan ilmiah, merupakan petunjuk bagi masa berakhirnya atheis yang sebentar lagi tiba. Umat manusia semakin mendekat pada pemahaman bahwa Allah benar-benar ada dan Dialah yang Maha Mengetahui.

Hal ini sebagaimana pernyataan Alquran kepada umat manusia dalam ayat berikut: Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. Al Hajj, 22:70) (1)

 

REPUBLIKA

Allah Tak Butuh Puasa Orang-Orang ini!

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Syanuhu.

 

INILAH MOZAIK

Jazakallahu Khayran

ISLAM adalah agama yang sangat mulia. Sebagai pemeluknya kita diajarkan untuk selalu memberikan penghargaan atas kebaikan orang lain. Mengucapkan terima kasih merupakan bentuk syukur kita kepada Allah swt, seperti hadis berikut ini:

“Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shalallahualaihi wa sallam bersabda: Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR Abu Daud)

Saat ini, ketika dakwah mulai familiar di tengah-tengah masyarakat, ajaran dan nilai-nilai Islam pun telah menyebar luas. Termasuk munculnya kebiasaan-kebiasaan baik dengan melafalkan sesuatu dengan bahasa Arab. Salah satunya ucapan penghargaan jazakallahu khayran, yaitu ucapan yang dikatakan oleh seseorang saat berterima kasih kepada orang lain.

Dari Usamah bin Zaid, “Rasulullah shalallhu alaihi wa sallam bersabda: barangsiapa diberikan kebaikan, lalu ia mengatakan kepadanya jazakallahu khayran, maka sungguh dia telah sempurna dalam mengungkapkan rasa terima kasih.” (HR Tirmidzi)

Saat hendak mengucapkannya, jauh lebih baik jika kita melakukannya dengan lengkap jazakallahu khayran, jangan hanya sepenggal jazakallahu. Pernah seorang saudara bercerita tentang pengalamannya saat ia menyampaikan ucapan tersebut kepada gurunya. “Jazakallah ya Syaikh.” Lalu syaikhnya tersebut balik bertanya, “Khayran (kebaikan) aw Syarran (keburukan)?”

Jazakallah memiliki arti semoga Allah membalasmu, sehingga kita harus mengucapkan dengan lengkap semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, yaitu jazakallahu khayran.

– Jazakallahu khayran: semoga Allah membalasmu (laki-laki) dengan kebaikan.

– Jazakillahu khayran: semoga Allah membalasmu (perempuan) dengan kebaikan.

– Jazakumullahu khayran: semoga Allah membalasmu/kalian (bentuk hormat) dengan kebaikan.

Dari Thalhah bin Ubaidillah, dia berkata, “Seandainya seseorang di antara kalian mengetahui balasan yang dia peroleh jika ia mengucapkan kepada saudaranya, jazakalllahu khayran, tentu dia benar-benar akan memperbanyak ucapan tersebut di antara mereka satu sama lain.” [An Nisaa Gettar] Wallahualam bishawab.

Semoga bermanfaat!

 

INILAH MOZAIK

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (5)

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(8) Semakin Mendalami Ilmu Agama

Boleh dibilang ini adalah indikasi terbesar bagi seorang hamba yang telah meraih sukses di bulan Ramadhan. Karena buah dari sukses Ramadhan adalah dilimpahkannya berbagai kebaikan kepada hamba. Dan Allah jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya yang terpilih, Dia terlebih dahulu akan mempersiapkan hamba-Nya tersebut untuk memahami ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam:

“Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, Maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Shahih Bukhari: 71 dan Shahih Muslim: 1037]

Mafhum mukholafah dari hadits ini adalah; bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya (berarti) tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah [al-Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 49]. Dan yang demikian ini mustahil bagi mereka yang benar-benar sukses di bulan Ramadhan di mata Allah. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan pasti akan mendapat limpahan kebaikan dari Allah, dan indikasinya akan terlihat jelas setelah Ramadhan, dari usahanya yang lebih serius dalam menuntut dan memahami ilmu agama.

 

Imam Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Taala.” [Syarh Shahih Muslim: VII/128]

Jika kita renungkan ucapan Imam Nawawi: “ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Taala”, maka akan nampak jelas korelasi antara mendalami ilmu agama dengan tujuan utama puasa Ramadhan yang disebutkan dalam ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Logikanya; jika Anda sukses menjalani Ramadhan, maka Anda pasti akan menjadi orang yang bertakwa, sementara ilmu adalah kendaraan yang akan mengantarkan Anda kepada takwa (sebagaimana ucapan Imam Nawawi di atas). Sehingga bisa ditarik garis kesimpulan bahwa: orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan akan dipersiapkan oleh Allah untuk mendalami ilmu agama, demi meraih apa yang telah Ia janjikan sebagai buah dari berpuasa yaitu takwa.

Setelah meraih mahkota takwa, maka bersiap-siaplah seorang hamba mendulang kemuliaan demi kemuliaan, kebaikan demi kebaikan yang melimpah dan beragam jenisnya.

[Al-Hujjah dari berbagai sumber bacaan/ Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.]

 

INILAH MOZAIK

Indikasi Kesuksesan Pasca Ramadan (4)

BAGI mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(6) Loyalitas (Wala) Sesama Muslim Semakin Kokoh

Ramadhan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Renungkanlah bagaimana Allah menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang menyediakan ifthar (buka puasa) bagi saudaranya:

“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” [Ahmad: IV/114-116, shahih menurut at-Tirmidzi: 804]

Ramadhan benar-benar menjadi momentum bagi kita untuk merekonstruksi makna al-Wala yang sempat runtuh dan terkubur. Dengan demikian, rasa cinta dan persaudaraan Islam pun akan bersemi. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan, senantiasa menjaga bangunan al-Wala tetap kokoh menjulang, baik di luar Ramadhan sekalipun.

(7) Doa yang Terkabul

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, punya satu kesempatan doa yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka.” [Hadits Shahih, Ibnu Majah: I/557]

Jika doa yang Anda panjatkan saat Ramadhan menjadi kenyataan, maka ucapkanlah kalimat syukur, kemudian Anda boleh berharap dengan yakin, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

 

INILAH MOZAIK