Tiga Peristiwa Bersejarah di Bulan Ramadhan

Pada bulan ini terjadi Nuzulul Quran, Perang Badar, dan Fathu Makkah

Ramadhan bukan hanya menjadi bulan penuh keberkahan, namun juga menjadi momentum bersejarah bagi umat Islam seluruh dunia. Mengingat di bulan ini terjadi tiga peristiwa besar, yakni diturunkannya Alquran atau saat ini diperingati sebagai Nuzulul Quran, terjadinya Perang Badar, dan penaklukkan kota Makkah atau biasa disebut Fathu Makkah. 

Saat Nabi mencapai usia 40 tahun, tepatnya pada 17 Ramadhan 13 tahun sebelum Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di Gua Hira. Pakar astronomi Syekh Mahmud Basya menuturkan, waktu itu bertepatan dengan awal Februari tahun 610 Masehi.

Mendekati masa-masa turunnya wahyu pertama, Nabi sangat sering berkhalwat di Gua Hira, menjauh dari manusia dan beribadah khusyu’ di sana selama beberapa hari, bahkan berbulan-bulan. Di tengah-tengah peribadatannya di Gua Hira, Nabi SAW didatangi Malaikat Jibril lalu berkata, “Bergembiralah wahai Muhammad, aku Jibril. Dan engkau adalah utusan Allah untuk umat ini,” ucapnya. 

Pada hari itu turunlah wahyu pertama yakni surat Al-Alaq ayat 1-5 yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dan hingga kini diperingati sebagai hari Nuzulul Quran. 

Peristiwa bersejarah kedua yaitu Perang Badar. Perang yang disebut Ghazwah Badr al-Kubra adalah perang yang menjadi pembeda, karena menandai awal kejayaan kaum Muslimin. Dalam peperangan ini, Nabi membawa 313 pasukan Muslim untuk menghadapi 950 pasukan non-Muslim. 

Perbedaan jumlah pasukan yang mencolok tersebut tidak lantas mengecilkan nyali tentara Muslim. Dengan tekad yang kuat membela Nabi, kaum Muslimin berhasil mengalahkan pasukan kafir. Dari pasukan Muslim, gugur 14 orang syahid. Sedangkan dari pasukan kafir yang terbunuh dan tertawan masing-masing 70 orang, dan salah satunya adalah Abu Jahal.

Selepas perang, Nabi memerintahkan untuk mengebumikan umat Muslim yang gugur, demikian kaum kafir yang terbunuh. Peristiwa perang badar, menurut para ahli sejarah terjadi pada Jumat 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah atau bertepatan dengan 13 Maret 624 Masehi.

Peristiwa bersejarah terakhir terjadi pada 20 Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Hari itu merupakan waktu yang bersejarah dalam Islam, karena Rasulullah dan para sahabat berhasil menaklukan kota Makkah dalam sebuah peperangan yang disebut dengan perang Fathu Makkah (penaklukan Makkah). Peperangan tersebut dipicu oleh perlakuan orang Quraisy yang merusak satu perjanjian dari beberapa perjanjian Hudaibiyyah. 

Saat itu, orang Quraisy bersekongkol dengan kabilah lainnya untuk memerangi orang-orang yang berdamai dengan Rasul. Dalam pertempuran itu, Nabi mengerahkan 10.000 pasukan Muslim, dan mengutus Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Rasulullah selalu berpesan agar tidak memulai menyerang sebelum diserang. 

Saat perang terjadi, Nabi beserta bala tentara berperang dalam keadaan berpuasa, namun tidak menjadikan mereka lemah. Sebaliknya, pasukan Muslim berhasil menaklukkan tentara Quraisy hingga mereka menyatakan menyerah. Pascaperang itu, Nabi memerintahkan untuk menghancurkan berhala di sekitar Ka’bah yang berjumlah 360 buah, dilanjutkan dengan kumandang takbir oleh kaum Muslimin, sholatnya Rasulullah di Maqam Ibrahim dan meminum air Zam Zam. 

Meski telah berhasil memenangkan pernah dan merebut kebebasan Makkah, Rasulullah tak serta merta menghabisi para musuh. Sebaliknya Rasulullah memaafkan mereka dan mengizinkan mereka untuk bebas, walaupun sebelumnya mereka adalah orang uang selalu berusaha menyakiti dan membunuh Nabi. 

sumber : Pusat Data Republika

Maaf dari Rasulullah

Ada begitu banyak kisah bagaimana Rasulullah memaafkan kawan dan musuhnya.

Satu hari, seorang pembunuh dengan leher terikat didatangkan kepada Rasulullah SAW. Beliau pun memanggil wali orang yang terbunuh.

Rasulullah pun bertanya, “Apakah kamu mau memaafkannya?” Ia menjawab, “Tidak.”

Beliau bertanya, “Apakah kamu mau mengambil diat?” Ia menjawab, “Tidak.”

Beliau bertanya, “Apakah kamu akan membunuhnya?” Ia menjawab, “Ya.”

Beliau pun bersabda, “Bawalah dia pergi.” 

Ketika wali itu berpaling, Rasulullah kembali menanyakan hal serupa. Hingga pada kali keempat, Nabi SAW bersabda, “Ingatlah. Sesungguhnya jika kamu memaafkannya, hal itu mengembalikan (menghapus) dosanya dan dosa temannya (orang yang terbunuh).” Wali orang yang terbunuh pun memaafkannya dengan menarik tali dari leher si pembunuh. (HR Muslim). 

Sifat pemaaf menjadi bagian dari akhlak yang mesti ditiru dari Rasulullah SAW. Ada begitu banyak kisah bagaimana Rasulullah memaafkan kawan dan musuhnya. Orang-orang musyrik dan ahlul kitab pernah mendapatkan maaf dari Rasulullah. Alih-alih dendam atas perlakuan mereka, Nabi SAW justru bersabar dan mendoakan mereka.

Seorang badui yang mengencingi masjid pernah membuat geram para sahabat. Akan tetapi, Nabi SAW berkata, ”Biarkanlah dia dan siramkanlah setimba air ke air kencingnya karena sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah dan tidak diutus untuk mempersulit.” (HR Muslim). 

Demikian saat Rasulullah memaafkan Tsumamah bin Utsal, seorang raja Yamamah yang memimpin bani Hanifah. Arogansi Tsumamah menolak dakwah Rasulullah SAW. Tidak hanya menolak seruan Islam, Tsumamah bahkan berencana untuk membunuh Nabi SAW. 

Pada satu kesempatan, Tsumamah hampir membunuh Rasulullah. Namun, karena perlindungan Allah SWT, Rasulullah SAW berhasil selamat. Meski demikian, Tsumamah berhasil membunuh dan mencelakai beberapa sahabat.

Sampai pada satu waktu, Tsumamah berhasil ditangkap patroli kaum Muslimin di perbatasan Madinah saat hendak melakukan umrah di Makkah. Tsumamah pun diikat di salah satu pojok masjid. Tsumamah dihampiri Rasulullah.

Beliau SAW bertanya, “Apa yang kamu miliki wahai Tsumamah?” Pemimpin bani Hanifah itu menjawab, “Aku memiliki kebaikan, wahai Muhammad. Jika kamu membunuhku, kamu membunuh orang yang memiliki darah dan jika kamu memberi kenikmatan, kamu memberi kenikmatan kepada orang yang berterima kasih, dan jika kamu menginginkan harta, mintalah apa yang kamu inginkan.”

Rasulullah membiarkan Tsumamah. Dia pun memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan Tsumamah dengan baik dan memberinya makanan dan susu.

Selama menjadi tawanan itu, Tsumamah menyaksikan betapa indah kehidupan yang dijalani kaum Muslimin. Hingga Rasulullah kembali bertanya kepada Tsumamah dengan dijawab hal yang sama.

Kali ketiga, Tsumamah menjawab, “Aku memiliki apa yang telah aku katakan kepadamu.” Rasulullah SAW pun memerintahkan untuk melepaskan Tsumamah hingga dia pergi ke sumur kecil di dekat masjid.

Dia pun mandi dan memasuki masjid untuk berikrar, “Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.” 

Memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. Jika dicerca, perlakuan terbaik adalah membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik. Jika ada yang berbuat jahat, balas dengan perbuatan baik. 

Berikut ini adalah hal yang diperintahkan Allah SWT dalam Alquran. “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat: 34-35).

Menjadi pemaaf merupakan upaya seorang hamba meniru sifat al-‘Afuww dari Sang Khalik. Ibnu Atsir menjelaskan, di antara nama-nama Allah yang indah adalah al-‘Afuww yang berasal dari kata al-‘afw yang artinya membiarkan kesalahan atau dosa dan tidak memberikan sanksi atas kesalahan itu.

Makna aslinya adalah penghapusan. Imam Ghazali menjelaskan, “Al-‘Afuww adalah salah satu dari sifat-sifat Allah; artinya Zat yang menghapus kesalahan-kesalahan dan memaafkan maksiat-maksiat.” 

Al-Afuww hampir sama dengan al-Gafur tetapi tingkatannya lebih tinggi karena al-gufran memberikan arti ‘menutupi’, sedangkan, al-afw memberi arti ‘menghapus’. Menghapus lebih tinggi tingkatannya daripada sekadar menutupi. Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

(Sumber: Mahmud al-Mishri: Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW).

REPUBLIKA

Meraih Ampunan di Bulan Ramadhan

Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita dengan bulan suci nan mulia, bulan Ramadhan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, yang Al-Qur’an diturunkan kepada beliau melalui perantara malaikat Jibril.

Bulan Ramadhan memiliki banyak sekali keutamaan. Salah satunya adalah Allah membuka pintu ampunan selebar-lebarnya bagi hamba-Nya yang bertaubat. Oleh karenanya, marilah kita berlomba-lomba memanfaatkan peluang emas tersebut untuk menyucikan diri kita dari tumpukan dosa.

Di antara sebab turunnya ampunan dari Allah adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan puasa Ramadhan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 2014 dan Muslim no. 760)

2. Mendirikan shalat tarawih dan tahajjud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan shalat malam pada bulan Ramadhan karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 2008 dan Muslim no. 174).

3. Beribadah di malam Lailatul Qadar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مَنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan shalat di malam Lailatul Qadar karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 1910 dan Muslim no. 760).

4. Memperbanyak istighfar

Hendaknya setiap muslim membasahi lisannya dengan dzikir, doa, dan istighfar di bulan Ramadhan. Karena, doa orang yang berpuasa adalah mustajab, khususnya ketika sedang berpuasa, berbuka, dan makan sahur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لاَ تَرُدُّ دَعْوَتَهُمْ : الصاَئِمُ حَتَّى يُفْطِرُ

Ada tiga jenis orang yang tidak tertolak doanya, yaitu orang yang berpuasa hingga ia berbuka.” (HR. Timidzi no. 2525 dan dinilai shahih At Tirmidzi, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.3032).

Jika sebab-sebab ampunan di bulan Ramadhan demikian banyak, tentu orang yang tidak mendapatkan ampunan di dalamnya adalah orang yang paling buruk nasibnya. Kapan lagi ia meraih ampunan jika ia tidak dimaafkan di bulan ini? Kapan lagi doanya dikabulkan jika permohonnya ditolak saat Lailatul Qadar? Kapan lagi ia akan berubah menjadi lebih baik jika di bulan Ramadhan ia tidak mau memperbaiki diri?

Semoga Allah memberkahi kita di bulan Ramadhan, mencurahkan hidayah dan keistiqamahan agar kita totalitas dalam beribadah, memaafkan dosa dan kesalahan kita, serta menerima amal shalih kita yang jauh dari kesempurnaan.

Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.

***

Referensi: Risalah Ramadhan, karya Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, penerbit Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, tahun 2009, Riyadh, hal. 98-101

Penulis : Deni Putri Kusumawati

Artikel Muslimah.or.id

Bisa Batal Puasa Karena Niat?

Ada dua macam niat yang berkaitan erat dengan pembatal puasa:

– Niat yang kuat (al-‘azmu)

– Niat yang ragu (At-taroddud fin niyyah)

Jika seseorang berniat kuat untuk membatalkan puasa, maka puasa tersebut bisa batal. Misalnya, seseorang berniat kuat ingin makan di siang hari bulan Ramadhan. Akan tetapi, dia tidak menemukan makanan. Dalam kondisi semacam ini, puasanya telah batal. Dia wajib mengganti puasa di hari lain. Pendapat fikih ini dipegang oleh Mazhab Maliki dan Hambali. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i (Badaai’as-Shonaa-i’ 2/92, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/528, Al-Majmu’ 6/313, Kassyaf Al-Qona’ 2/316, sumber: Islamqa).

Dasarnya adalah hadis dari sahabat Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: «إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ

“Jika dua orang muslim bertengkar dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka.”

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kalau pembunuh, wajar jika masuk neraka. Namun bagaimana dengan yang terbunuh, (mengapa) juga masuk neraka?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena yang terbunuh juga ingin membunuh lawannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun jika niatnya masih di tahap ragu-ragu (apakah ingin diwujudkan ataukah tidak), ada beberapa pendapat ulama tentang batal tidaknya puasa. Ringkasnya, pendapat yang kuat adalah tidak batal. Karena alasan-alasan di bawah ini:

Pertama, kaidah fikih,

اليقين لا يزول بالشك

“Sesuatu yang yakin tidak bisa dibatalkan dengan keraguan.”

Saat memulai puasa, dia masuk ke dalam ibadah puasa dengan niat yang yakin untuk menjalankan ibadah puasa. Lalu di tengah jalan, datanglah niat yang masih ragu-ragu tersebut. Maka niat yang yakin tersebut, tidak bisa dibatalkan oleh keraguan.

Kedua, selama ada keraguan, maka niat seseorang tidak sah. Padahal amal perbuatan itu tergantung niatnya. Sehingga niat membatalkan puasa, selama masih di tahap ragu-ragu, maka tidak sah (tidak bisa) membatalkan puasa.

Ketiga, hadis-hadis tentang pemaafan Allah atas kesalahan yang diucapkan oleh jiwa selama tidak diucapkan lisan atau dilaksanakan.

Di antaranya seperti hadis,

إن الله تجاوز لأمتي عما وسوست أو حدثت به أنفسها ما لم تعمل به أو تكلم

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku atas dosa dari bisikan jiwa, selagi belum dilakukan atau belum diucapkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadis ini,

الخواطر وحديث النفس إذا لم يستقر ويستمر عليه صاحبه فمعفو عنه باتفاق العلماء؛ لأنه لا اختيار له في وقوعه ولا طريق له إلى الانفكاك عنه

“Dosa yang terlintas di pikiran dan bisikan jiwa, jika tidak menetap di dalam hati atau tidak diiyakan oleh seseorang, maka dosa itu diampuni Allah. Seluruh ulama sepakat akan hal ini. Karena dosa seperti itu tidak di bawah kendali seseorang dan tidak mungkin seseorang bisa terhindar darinya.”

(Lihat Al-Adzkar, 1/ 415, terbitan: Maktabah Nuzul Al-Musthofa – Makkah & Riyadh. Cetakan ke 1, Th. 1417 H / 1997 M)

Wallahu a’lam bis showab.

***

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.or.id

Ganjaran untuk Mereka yang Berpuasa

Sudah tahu ganjaran apa bagi mereka yang berpuasa?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Sungguh pahala di balik amalan puasa (baik yang wajib dan sunnah) amat luar biasa. Semoga dengan mengetahui hal ini kita semakin bersemangat menjalankan ibadah tersebut terkhusus pada bulan Ramadhan dengan dasar ikhlas karena mengharap wajah Allah. Semoga Allah menerima amalan kita sekalian.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[1]

Dalam riwayat lain dikatakan,

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.”[2]

Dalam riwayat Ahmad dikatakan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan  puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”.”[3]

Pahala yang Tak Terhingga di Balik Puasa

Dari riwayat pertama, dikatakan bahwa setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan puasa tidaklah dilipatgandakan seperti tadi. Amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.

Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Sabar itu ada tiga macam yaitu [1] sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, [2] sabar dalam meninggalkan yang haram dan [3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana sabar.

Amalan Puasa Khusus untuk Allah

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”. Riwayat ini menunjukkan bahwa setiap amalan manusia adalah untuknya. Sedangkan amalan puasa, Allah khususkan untuk diri-Nya. Allah menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya.

Kenapa Allah bisa menyandarkan amalan puasa untuk-Nya?[Alasan pertama] Karena di dalam puasa, seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lainnya. Dalam ibadah ihram, memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan dengan istri) dan meninggalkan berbagai harum-haruman. Namun bentuk kesenangan lain dalam ibadah ihram tidak ditinggalkan. Begitu pula dengan  ibadah shalat. Dalam shalat memang kita dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Namun itu terjadi dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika hendak shalat, jika makanan telah dihidangkan dan kita merasa butuh pada makanan tersebut, kita dianjurkan untuk menyantap makanan tadi dan boleh menunda shalat ketika dalam kondisi seperti itu.

Jadi dalam amalan puasa terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan  hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman orang yang melakukan semacam ini. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka mentaati Rabbnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang tidak nampak di hadapannya”. Oleh karena itu, Allah membalas orang yang melakukan puasa seperti ini dan Dia pun mengkhususkan amalan puasa tersebut untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.[Alasan kedua] Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan selainnya mengatakan, “Dalam puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji orang lain).” Dari dua alasan inilah, Allah menyandarkan amalan puasa pada-Nya berbeda dengan amalan lainnya.

Sebab Pahala Puasa, Seseorang Memasuki Surga

Lalu dalam riwayat lainnya dikatakan, “Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan  puasa adalah untuk-Ku.”

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya. Setiap amalan akan menembus berbagai macam kezholiman yang pernah dilakukan, hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.”

Jadi, amalan puasa adalah untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki pahala kebaikan apa-apa.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.

Itulah amalan puasa yang akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa, Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.

Dua Kebahagiaan yang Diraih Orang yang Berpuasa

Dalam hadits di atas dikatakan, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”

Kebahagiaan pertama adalah ketika seseorang berbuka puasa. Ketika berbuka, jiwa begitu ingin mendapat hiburan dari hal-hal yang dia rasakan tidak menyenangkan ketika berpuasa, yaitu jiwa sangat senang menjumpai makanan, minuman dan menggauli istri. Jika seseorang dilarang dari berbagai macam syahwat ketika berpuasa, dia akan merasa senang jika hal tersebut diperbolehkan lagi.

Kebahagiaan kedua adalah ketika seorang hamba berjumpa dengan Rabbnya yaitu dia akan jumpai pahala amalan puasa yang dia lakukan tersimpan di sisi Allah. Itulah ganjaran besar yang sangat dia butuhkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا

Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al Muzammil: 20)

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا

Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya).” (QS. Ali Imron: 30)

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)

Bau Mulut Orang yang Berpuasa di Sisi Allah

Ganjaran bagi orang yang berpuasa yang disebutkan pula dalam hadits di atas , “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.

Seperti kita tahu bersama bahwa bau mulut orang yang berpuasa apalagi di siang hari sungguh tidak mengenakkan. Namun bau mulut seperti ini adalah bau yang menyenangkan di sisi Allah karena bau ini dihasilkan dari amalan ketaatan dank arena mengharap ridho Allah. Sebagaimana pula darah orang yang mati syahid pada hari kiamat nanti, warnanya adalah warna darah, namun baunya adalah bau minyak kasturi.

Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:[Pertama] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia, dia berusaha keras menyembunyikan amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan. [Kedua] Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang tidak terasa enak tersebut  muncul karena melakukan ketaatan dan mengharap ridho Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa enak di sisi makluk ketika di dunia.

Inilah beberapa keutamaan amalan puasa. Inilah yang akan diraih bagi seorang hamba yang melaksanakan amalan puasa yang wajib di bulan Ramadhan maupun amalan puasa yang sunnah dengan dilandasi keikhlasan dan selalu mengharap ridho Allah.[4]

Demikian sajian kami kali ini. Pembahasan ini banyak penulis sarikan dari kitab Lathoif Al Ma’arif karya Ibnu Rajab Al Hambali.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] HR. Muslim no. 1151.

[2] HR. Bukhari no. 1904

[3] HR. Ahmad 2/467. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim

[4] Pembahasan ini disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, hal. 268-290.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

RUMAYSHO

Vaksinasi Harus Memprioritaskan Calon Jamaah Haji

Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) berharap pemerintah harus memprioritaskan vaksinasi bagi jamaah haji yang tertunda keberangkatannya. Terlebih lagi, bagi para jamaah yang telah membayar.

Ketua Umum Amphuri, Firman M Nur menyatakan musim haji akan berlangsung beberapa bulan lagi, dan pemerintah harus bersinergi dengan asosiasi penyelenggara haji dan umroh agar memperhatikan para jamaah. Karena, menurut dia, prioritas vaksinasi bagi para jamaah sangat diperlukan.

Ia menuturkan, vaksin Covid-19 membutuhkan waktu untuk melihat perkembangannya dalam tubuh. Ia tegaskan, dengan pemberian vaksin lebih awal tentu akan lebih siap jika nantinya penundaan haji 2021 telah dibuka.

IHRAM

Bau Mulut Orang yang Berpuasa di Sisi Allah Lebih Wangi dari Minyak Kasturi

Apa yang dimaksud bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi dari minyak kasturi, padahal di dunia sangat tidak mengenakkan.

Coba perhatikan hadits yang menjelaskan keutamaan bau mulut orang yang berpuasa berikut ini.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk (kasturi).” (HR. Bukhari, no. 1894 dan Muslim, no. 1151).

Khuluf yang dimaksud dalam hadits adalah berubahnya bau mulut orang yang berpuasa.

Ada dua alasan kenapa sampai bau mulut orang yang berpuasa bisa dibalas dengan bau minyak kasturi (misk):

1- Amalan puasa itu adalah rahasia antara hamba dengan Allah. Karena itu rahasia yang ia sembunyikan, maka Allah pun membalasnya dengan menampakkan bau harum di antara manusia di hari kiamat.

2- Karena bekas ketaatan yang berakibat tidak enak bagi jiwa di dunia, bekas seperti itu akan dibalas dengan sesuatu yang menyenangkan pada hari kiamat. Artinya, bau mulut yang tidak enak akan dibalas dengan bau yang wangi karena bau mulut itu muncul dari amalan ketaatan pada Allah di dunia. (Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 286-288)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

كُلُّ شَيْءٍ فِي عُرْفِ النَّاسِ فِي الدُّنْيَا إِذَا انْتَسَبَ إِلَى طَاعَتِهِ وَرِضَاهُ فَهُوَ الكَامِلُ فِي الحَقِيْقَةُ

“Segala sesuatu yang dianggap kurang di dunia menurut pandangan manusia namun jika itu didapati karena melakukan ketaatan pada Allah dan mencari ridha-Nya, maka hakekatnya kekurangan tersebut adalah kesempurnaan (di sisi Allah).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 288)

Bau mulut yang harum di hari kiamat timbul dari ketaatan yang dilakukan di dunia. Bau mulut harum tersebut membuat orang lain makin mencintainya di akhirat kelak. Itulah yang disebutkan dalam ayat,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. ” (QS. Maryam: 96)

Kaitan dengan ini, bagaimana hukum menyikat gigi saat puasa apakah membatalkan puasa?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Lebih utama adalah orang yang berpuasa tidak menyikat gigi (dengan pasta). Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 17:261-262).

Semoga setiap kesusahan dan rasa capek yang timbul karena ketaatan akan berbuah manis di akhirat kelak.

Sumber bahasan:

Buku “Mutiara Nasihat Ramadhan“, Muhammad Abduh Tuasikal, Penerbit Rumaysho, 085200171222

Selesai disusun di Darush Sholihin, Jumat pagi, 4 Ramadhan 1442 H, 16 April 2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Saat Puasa Hindari Tidur di Tiga Waktu Ini

Ketika kita sedang melaksanakan puasa, kita sering tidur dengan tidak beraturan. Asal ngantuk, kita biasanya langsung tidur saja tanpa memperdulikan waktu-waktu yang sebetulnya dilarang untuk tidur. Bahkan sebagian orang ada yang tidur sampai seharian. Padahal selain tidak baik untuk kesehatan, tidur seharian penuh saat berpuasa akan melewatkan banyak waktu yang sebenarnya dianjurkan untuk diisi dengan ibadah kepada Allah. Berikut ini kita perlu hindari tidur di tiga waktu ini, terutama saat kita sedang berpuasa.

Pertama, tidur setelah shalat Subuh sampai terbitnya matahari. Menurut para ulama, tidur di waktu ini akan menjadikan orang yang melakukannya terhalangi mendapatkan berkahnya rezeki dan umur. Sebab pada waktu ini Allah banyak menurunkan keberkahan dan rizeki pada hamba-Nya.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Habib Zain bin Smith dalam kitab Fawaid Al-Mukhtarah berikut;

النوم بعد الصبح يذهب بركة الرزق والعمر لأن بركة هذه الأمة فى البكور وهو بعد صلاة الفجر إلى طلوع الشمس

Tidur setelah subuh menghilangkan berkah rezeki dan berkah umur, sebab berkahnya umat ini ada di waktu pagi, yakni waktu setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari.

Kedua, tidur setelah Ashar. Tidur pada waktu ini berisiko mengurangi daya aktif akal pelakunya. Ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Dailami berikut;

مَنْ نَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

Barangsiapa tidur setelah waktu Ashar, lalu hilang akalnya, maka jangan pernah salahkan kecuali pada dirinya sendiri.

Ketiga, tidur sebelum melaksanakan shalat Isya. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Barzah, dia berkata;

 كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا

Sesungguhnya Rasululullah tidak senang tidur sebelum shalat Isya dan berbincang-bincang setelah shalat Isya.

Dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, Syaikh Badruddin Al-‘Aini menyebutkan alasan kemakruhan tidur sebelum shalat Isya ini. Beliau berkata sebagai berikut;

وَأما سَبَب كَرَاهَة النّوم قبلهَا فَلِأَن فِيهِ تعرضا لفَوَات وَقتهَا باستغراق النّوم، وَلِئَلَّا يتساهل النَّاس فِي ذَلِك فيناموا عَن صلَاتهَا جمَاعَة

Adapun sebab makruhnya tidur sebelum Isya adalah karena akan berpotensi hilangnya waktu Isya dengan menghabiskan waktu untuk tidur dan juga supaya orang-orang tidak menganggap enteng hal demikian, hingga mereka tidur dan meninggalkan shalat Isya secara berjamaah.

BINCANG SYARIAH

Hukum Sholat Sambil Melihat dan Membaca Mushaf Al-Quran Menurut 4 Mazhab

Di era globalisasi yang serba instan ini, pendidikan merupakan kebutuhan pokok untuk menciptakan generasi yang ilmiah amaliah dan amaliah ilmiah, sehingga bisa melakukan ibadah dengan sempurna. Ulama 4 mazhab berbeda pendapat mengenai sholat sambil melihat dan membaca mushaf Al-Qur’an. Dengan cara sudah hafal tanpa melihat mushaf itu tentu lebih baik. Berikut beberapa pendapat Ulama terkait hukum sholat sambil melihat dan membaca mushaf Al-Qur’an:

Sholat Sambil Melihat dan Membaca Mushaf Al-Quran Menurut Ulama 4 Mazhab

Hukum membaca bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf, Ulama berbeda pendapat dari berbagai Mazhab empat, bahkan mayoritas memperbolehkannya, hanya saja ada sebagian pendapat dari kalangan Mdzhab Malikiyah yang mengatakan makruh sholat dengan cara tersebut, bahkan pendapat Imam Abu Hanifah mengatakan sholatnya batal.

Pertama, Ulama Kalangan Mazhab Syafi’iyah

Imam Nawawi menjelaskan, orang sholat itu boleh melihat Mushaf, baik hafal atau tidak. Imam Nawawi mengatakan:

لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة كما سبق ولو قلب أوراقه أحيانا في صلاته لم تبطل ولو نظر في مكتوب غير القرآن وردد ما فيه في نفسه لم تبطل صلاته وإن طال لكن يكره نص عليه الشافعي في الاملاء

“Jika membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf, maka sholatnya tidak batal, baik hafal atau tidak. Bahkan menjadi wajib melihat Mushaf apabila tidak hafal surah Al-Fatihah sebagaimana penjelasan sebelumnya. Begitupun tidak batal apabila sampai membolak-balik Al-Qur’an di waktu-waktu tertentu. Juga tidak batal bagi orang sholat yang melihat catatan-catatan lain selain Al-Qur’an dan diulang-ulang isinya dalam hati meski lama, akan tetapi hukumnya makruh. Demikian penjelasan Imam as-Syafi’I dalam kitab al-Imla’.” (Lihat, Imam Nawawi, Majmu Syarh al-Muhaddzab, juz 4, hlm 95)

Kedua, Ulama kalangan Mazhab Hanabilah

Syaikh Muhammad Sulaiman dalam kitab at-Ta’liq ala al-Iddah Syarh al-Umdah mengatakan, bagi orang yang sedang sholat, baik sendiri maupun berjama’ah, itu boleh membaca surah Al-Qur’an dengan cara melihat Mushaf. Beliau mengatakan:

يجوز للمنفرد والمنفردة أن يقرأ من المصحف ويجوز للامام أن يقرأ من المصحف

“Boleh bagi orang sholat munfarid (sendiri), baik laki-laki maupun perempuan membaca Al-Qur’an dengan cara melihat mushaf. Juga boleh bagi imam membaca Al-Qur’an dengan melihat Mushaf”. (Lihat, at-Ta’liq ala al-Iddah Syarh al-Umdah, juz 14, hlm, 12)

Ketiga, Ulama kalangan Mazhab Malikiyah

Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Alais dalam kitab Manhul Jalil Syarah Mukhtasor al-Kholil menjelaskan bahwa Makruh hukumnya melihat bacaan Mushaf ketika sholat, baik sholat Fardlu maupun sholat Sunnah. Syaikh Alais mengatakan:

وكره (نظر بمصحف) أي قراءة فيه (في) صلاة (فرض) سواء كانت في أوله أو في أثنائه أو في أثناء نفل لكثرة اشتغاله به

“Makruh melihat bacaan dari Mushaf dalam sholat Fardhu, baik melihat di awal sholat maupun pertengahan sholat, atau juga di pertengahan sunnah, karena banyaknya pekerjaan dengan cara melihat Mushaf”. (Lihat, Manhul Jalil, juz 1, hlm 345)

Keempat, Ulama kalangan Mazhab Hanafiyah

Syaikh Utsman bin Ali dari kalangan Ulama Mazhab Hanafi mengutip beberapa pendapat dari kalngan Hanafi, bahwa melafalkan bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan batal, dan itu pendapat murni Imam Abu Hanifah, ada juga yang mengatakan makruh tidak sampai membatalkan sholat dan ini pendapat dari Syaikh Abu Yusuf dari kalngan Mazhab Hanafi. Syaikh Utsman menjelaskan:

(وَقِرَاءَتُهُ من مُصْحَفٍ) يَعْنِي تَفْسُدُ الصَّلَاةُ وَهَذَا عِنْدَ أبي حَنِيفَةَ وقال أبو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ تُكْرَهُ وَلَا تَفْسُدُ صَلَاتُهُ لِمَا رُوِيَ عن ذَكْوَانَ مولى عَائِشَةَ رضي اللَّهُ عنهما أَنَّهُ كان يَؤُمُّهَا في شَهْرِ رَمَضَانَ وكان يَقْرَأُ من الْمُصْحَفِ

“(Membaca bacaan sholat dengan melihat Mushaf) maksudnya, diantara batalnya sholat adalah membaca bacaan sholat dengan cara melihat mushaf, dan ini pendapat Imam Abu Hanifah. Syaikh Abu Yusuf dan Syaikh Muhammad berkata: dimakruhkan dan tidak sampai membatalkan sholat, karena ada sebuah riwayat dari Dzakwan budah sahaya siti Aisyah radiyallahu ‘anhuma bahwa siti Aisyah sholat berjama’ah dengannya sebagai makmum di bulan Romadhon, dan Dzakwan membaca bacaan sholat dengan cara melihat Mushaf”. (Lihat, Tabyin al-Haqa’iq, juz 1, hlm 158)

BINCANG SYARIAH

Jangan Salah, Perhatikan Waktu-Waktu Makruh untuk Sholat

Ada waktu-waktu makruh untuk mendirikan sholat.

Untuk sholat lima waktu, umat Muslim dianjurkan mengerjakannya di awal waktu. Adapun untuk sholat sunah, umat Islam dianjurkan untuk mengerjakannya sesuai dengan syariat yang berlaku dengan memperhatikan waktu-waktu yang makruh untuk mendirikan shalat.

Imam Syafii dalam Fikih Manhaji setidaknya merangkum tiga waktu sholat yang hukumnya makruh tahrimiy (lebih dekat pada haram). Pertama, ketika tepat tengah hari (kecuali hari Jumat). Kedua, setelah waktu subuh lewat hingga tinggi matahari kira-kira satu tombak. Ketiga, setelah waktu sholat Ashar utama hingga terbenamnya matahari.

Dalam sebuah hadits, Uqbah bin Amir berkata: “Ada tiga waktu kami dilarang oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakan sholat dan menguburkan jenazah. (Yaitu) ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika tepat tengah hari hingga matahari agak condong ke barat, dan ketika matahari mulai terbenam hingga sempurna terbenamnya,”.

Waktu bola matahari mulai terlihat (baazhighah) yaitu waktu tengah hari yang biasanya unta yang tadinya bersimpuh mulai beranjak dari tempatnya karena tanah sangat panas. Keadaan ini menjadi metafora dari saking teriknya matahari, ketika akan terbenam matahari akan menguning.

Makruhnya mengerjakan sholat dalam waktu-waktu tersebut adalah apabila dikerjakan tanpa sebab sebelumnya. Sedangkan makruhnya menguburkan jenazah apabila itu dikerjakan dengan sengaja pada waktu tersebut. Berbeda halnya apabila penguburan dilakukan tanpa kesengajaan.

KHAZNAH REPUBLIKA