Anak-Anak yang Terlepas

Mendidik anak adalah amanah terbesar yang Allah berikan kepada orang tua.

Dua pekan lalu, di tengah aksi unjuk rasa pelajar di Jakarta, ada kejadian yang mengharukan. Seorang ibu seketika tampil dengan pengeras suara untuk menenangkan massa yang anarkistis dan memanggil nama anaknya.

“Nak, kamu anak sekolah. Belajar, belajar, itu tugas kalian. Orang tua kalian menunggu di rumah. Kamu anak saleh, tolong hentikan, untuk apa kamu lakukan ini. Kasihan orang tua kalian, pasti mereka sangat waswas. Anakku Faiz, tolong pulang ya sayang…” Itulah ungkapan hati seorang ibu sambil menangis setelah mengetahui anaknya ikut dalam aksi tersebut.

Kejadian di atas menyadarkan bahwa ada masalah dalam pendidikan anak-anak kita. Paling tidak, ada tiga hal yang patut dievaluasi dan dicari solusi.

Pertama, sedemikian rapuhnya relasi dan komunikasi antara orang tua dan anak di rumah, sehingga tidak merasa perlu minta izin untuk melakukan sesuatu. Sekolah Pertama (al-madrasah al-uulaa) adalah keluarga, di mana ayah dan ibu menjadi guru utama. Dalam keluarga nilai-nilai keimanan (akidah), ketaatan (ibadah), dan kebaikan (akhlak) ditanam dan ditumbuhkan. Adakah anak-anak kita kehilangan adab atau orang tua yang belum sungguhsungguh mengajarkannya?

Kedua, sedemikian renggangnya hubungan intelektual dan emosional antara guru dan murid sehingga begitu mudah tidak hadir di sekolah. Sekolah Kedua (al-madrasah ats-tsaaniyah) adalah lembaga pendidikan formal, di mana guru menjadi orang tuanya. Ketika murid meninggalkan pembelajaran, rasa hormat mereka telah sirna. Pendidikan adab dalam keluarga lalu dipupuk di sekolah, semestinya membuat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang berkeadaban.

Ketiga, sedemikian kuatnya pengaruh media sosial dan teman sebaya sehingga mementahkan peran orang tua dan guru. Sekolah Ketiga (al-madrasah ats-tsaalitsah) adalah media. Kejadian di atas menyatakan, ada kekuatan besar yang sangat menentukan pertumbuhan anak-anak kita, yakni media sosial (medsos). Oleh karenanya, baik orang tua maupun guru harus menguatkan dan mengeratkan kembali jalinan kasih sayang dengan anak-anaknya.

Dr Abdul Aziz Bin Fauzan dalam buku “Aturan Islam tentang Bergaul dengan Sesama” (2010), mengatakan, hubungan antara orang tua dan anak adalah resiprokal dan saling menopang. Setiap kali anak merasakan adanya perhatian orang tua, ia akan semakin berbakti, tulus, dan terdorong untuk memberikan hak-haknya. Adapun sebaliknya, jika yang dirasakan adalah kurang kasih sayang, kurang perhatian, dan tidak peduli dengan pendidikannya, relasi akan menjadi kaku, dingin, dan hampa.

Mendidik anak adalah amanah terbesar yang Allah berikan kepada orang tua. (QS 8:27-28). Karena itu pula, orang tua diperintahkan menjaga keluarganya dari siksa neraka. (QS.66:6). Sejatinya, neraka bukan hanya api yang membara di akhirat nanti, melainkan juga segala tindakan atau keadaan yang menyengsarakan hidup di dunia. Oleh karena itu, Nabi SAW mengingatkan akan arti kepemim pinan dalam keluarga, yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. (HR Bukhari).

Akhirnya, jika hari ini anak-anak terlepas dari geng gaman karena kuatnya pengaruh media sosial dan ling kungan, boleh jadi suatu hari mereka akan terhempas dari pelukan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menguatkan pendidikan adab, serta meningkatkan perha tian dan pengawasan dalam pergaulannya. Insya Allah, anak-anak kita tidak akan terlepas lagi, aamiin. Allahu a’lam bish-shawab. 

Oleh: Hasan Basri Tanjunh

KHAZANAH REPUBLIKA


Saat Anakku Bilang “Aku Nggak Mau Jadi Orang Islam”

“Ayah, aku nggak mau jadi orang Islam.” Rasanya bagai disambar geledek saat aku mendengar kalimat itu keluar dari lisan anakku. Tapi aku menahan diri untuk tidak berkomentar dulu. Aku tak mau menanggapinya dengan emosi.

“Ayah sedang nyetir, Sayang. Nanti saja ya kita bicara lagi,” istriku berusaha mengambil alih. Agar ada jeda. Kami memang sudah punya kesepakatan, jika kami belum siap memberikan jawaban atau tanggapan atas pertanyaan anak-anak, lebih kami kami tidak berkomentar dulu. Sampai kami siap dengan jawabannya.

“Nanti malam ya, Sayang,” pintaku.

“Nggak mau. Jam 4 sore saja.”

“Kalau jam 4 sore, mungkin kita baru nyampai rumah. Malam saja ya Sayang,” istriku menjelaskan.

“Ya udah, nanti malam.”

Sesampainya di rumah, anakku minta waktunya dimajukan. “Aku maunya habis Maghrib. Kita kan tibanya lebih awal.”

Segera aku dan istri masuk kamar. Kami mendiskusikan jawaban apa yang terbaik. Semua kemungkinan pertanyaan kami siapkan jawabannya. Jika nanti terkait tauhid, bagaimana jawabannya. Meskipun sejak kecil kami telah membiasakan pendidikan tauhid, bisa saja muncul pertanyaan itu. Mungkin karena ia pernah mendengar sesuatu dari teman, membaca dari buku atau tontonan yang kurang bijak.

Jika nanti ia ‘protes’ terkait shalat, puasa atau ibadah lainnya, kami juga menyiapkan jawabannya. Bahkan bagaimana argumentasinya untuk anak seusia dia. Pun jika nanti ia ‘protes’ terkait ajaran Islam yang lain, kami berusaha memprediksi semua pertanyaan dan menyiapkan jawabannya.

Ba’da Maghrib, sepulang dari masjid, aku dan istri menemuinya. Bismillah, kami siap.

“Nak, silakan sekarang kita bicara. Kita lanjutkan ngobrol di mobil tadi.”

“Aku nggak mau jadi orang Islam.” Kalimat yang sama. Persis. Masih agak kaget, tapi aku berusaha lebih tenang. Toh kami sudah menyiapkan penjelasannya jika ada ajaran Islam yang ia persoalkan.

“Mengapa kamu nggak mau jadi orang Islam?” Kami nggak mau menghakimi, bahkan menyimpulkan, sebelum tahu alasannya.

“Soalnya aku nggak boleh makan Kinder Joy.” Kinder Joy? Ya Allah… kami sudah menyiapkan demikian banyak jawaban untuk sekian banyak kemungkinan, ternyata alasannya hanya Kinder Joy. Mungkin ini karena standar orang dewasa terlalu serius, sementara anak-anak punya standarnya sendiri.

“Kenapa dengan Kinder Joy?”

“Kan Kinder Joy nggak ada label halalnya. Sedangkan orang Islam nggak boleh makan yang nggak halal,” jawabnya polos.

Ya Allah… ternyata sesederhana itu. Jawaban itu juga membuat aku bersyukur, selama ini value dalam keluarga kami demikian menancap di hati. Kami memang mengajarkan, kalau beli makanan kemasan, harus diperiksa ada label halal atau tidak. Sebab sebagai pemeluk Islam, harus memastikan makanan yang dimakannya halal. Sementara Kinder Joy waktu itu belum ada label halalnya.

Kini kami berpikir, bagaimana mengatasi masalah sederhana ini.

“Adik mau Kinder Joy, suka mainannya atau mau makan coklatnya?” tanya istriku.

“Aku kepingin mainannya. Tapi kalau coklatnya boleh dimakan, aku juga mau.”

“Baiklah. Kalau begitu, nanti Ayah belikan mainan seperti Kinder Joy.”

“Memang ada, Ayah?”

“Ada. Di pasar Kapasan.”

Besoknya, saat mendapat KinderJoyKinderJoy-an itu, ia memamerkan kepada teman-temannya. “Nih, aku juga punya. Harganya jauh lebih murah.”

Beberapa pekan kemudian, sepulang sekolah, wajahnya tampak sumringah.

“Ayaahh… ada kabar gembira!”

“Kabar gembira apa?”

“Sekarang Kinder Joy sudah ada label halalnya.” Aduh. Ini persoalan baru. Bukan soal lain, tapi soal harganya.

***

Kisah ini diadaptasi dari kisah nyata yang dialami Ayah Adri Suyanto, motivator yang dikenal dengan seminar Ngguyu Oleh Ilmu.

Tidak sedikit orang tua yang kadang lupa, bahwa anak memiliki standarnya sendiri. Yang perlu dilakukan orang tua bukan mematikan daya kritis anak, tetapi bagaimana mendampinginya dan mengarahkan pada jalur yang benar.

Biasakan anak mendapatkan jawaban logis dan latih mereka untuk berpendapat. Jangan menghakimi, namun tanyakan mengapa ketika anak bersikap atau berkata yang tidak sesuai harapan kita. Insya Allah, anak akan tumbuh menjadi anak yang taat. Yang selalu mentaati Allah kemudian mentaati aturan yang telah disepakati bersama.

[BersamaDakwah]


Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Hati Siapakah yang Marah ketika Melihat Kesyirikan? (Bag. 3)

Kondisi Kaum Muslimin Saat Ini

Realita yang kita temukan pada kaum muslimin saat ini adalah mereka belum memahami aqidah al-wala’ wal bara’  ini. Kita bisa melihat bersama, ketika hak Allah Ta’ala yang dilecehkan, dengan tidak menujukan ibadah hanya kepada-Nya saja, kubur wali disembah, kotoran kerbau atau nasi tumpeng dijadikan rebutan untuk dimintai berkahnya, dukun dan paranormal ramai-ramai beriklan di televisi dan majalah-majalah, maka hati siapakah yang miris? Hati siapakah yang menjadi benci, marah, dan murka? Siapakah yang berteriak lantang untuk mengingkari itu semua? Demikianlah, kemarahan dan kebencian hati kita ketika melihat kesyirikan mungkin masih kalah jauh daripada ketika kita melihat ribuan orang dibantai di Palestina atau kejahatan-kejahatan mengerikan lainnya. Kebencian kita terhadap pelaku kemusyrikan mungkin masih kalah jauh daripada kebencian kita terhadap penjudi, perampok, atau pembunuh. Apakah kita menyadari hal ini?

Bahkan, yang kita dapati justru dukungan dan sambutan mereka yang meriah terhadap pelecehan Allah Ta’ala itu dengan ikut menonton dan menikmatinya melalui acara-acara di televisi, membaca iklan-iklan atau liputan berita tentang kesyirikan itu di koran dan majalah, bahkan ikut serta memeriahkan acaranya. Masyarakat pun merasa enjoy dengan kejahatan syirik itu dan menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Atau, mereka justru ikut mengunjungi dan meramaikan tempat-tempat kesyirikan itu. Buktinya, masyarakat kita tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk berwisata ke tempat-tempat kesyirikan dan menganggapnya sebagai aktivitas rutin biasa dalam kehidupan mereka. Sehingga kita lihat makam-makam dan petilasan-petilasan para wali penuh disesaki pengunjung, candi-candi peninggalan sejarah masa lampau berdiri dengan megahnya dengan dilengkapi fasilitas yang lengkap, serta masjid-masjid yang menjadi satu dengan makam orang shalih ramai dipenuhi peziarah. 

Sikap Bertolak Belakang dengan Aqidah Al-wala’ Wal  bara’

Bukannya membenci, memusuhi, mengingkari, dan menjauhkan diri dari tempat-tempat kesyirikan dan pelakunya, mereka justru ikut meramaikan dan memelihara kelestarian syirik tersebut. Menurut mereka, inilah bentuk melestarikan warisan budaya bangsa yang luhur dan menyelamatkannya dari kepunahan. Sehingga, mereka justru menjuluki orang-orang yang membenci dan memusuhinya sebagai “orang yang tidak tahu adat” atau sebagai “orang yang tidak mau menghargai budaya bangsa dan warisan leluhur”.

 Alasan “melestarikan adat/budaya” atau “melestarikan warisan leluhur” untuk ”melestarikan kesyirikan” merupakan alasan yang dipakai oleh umat-umat pada zaman dahulu untuk membela kesyirikan mereka. Sebagaimana perkataan kaum Nuh ‘alaihis salaam, ketika mereka diajak untuk mentauhidkan Allah Ta’ala, 

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ’Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu’.” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 24)

Dalam ayat ini, mereka melawan dakwah Nuh’alaihis salaam dengan mengatakan bahwa ajaran nenek moyangnya itulah ajaran yang benar. Sedangkan ajaran Nuh adalah ajaran yang batil karena menyelisihi ajaran nenek moyang mereka.

Menjadikan Budaya Nenek Moyang Sebagai Alasan

Adapun kaum kafir Quraisy, mereka mengatakan,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir. Ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad [38]: 7)

Kaum kafir Quraisy menyebut ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah dusta dan kebohongan karena menyelisihi budaya nenek moyang mereka, yaitu budaya menyembah berhala. Mereka tidak merujuk kepada agama pendahulu mereka, yaitu Ibrahim ‘alaihis salaam, akan tetapi justru merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih dekat, yaitu nenek moyang mereka di Mekah dari kaum kafir Quraisy. [1]

Pertanyaannya, apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama untuk melestarikan kesyirikan di negeri kita ini? Apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama untuk mengunjungi candi-candi, makam para wali, petilasan-petilasan, tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat kesyirikan lainnya? Apakah kita juga akan menggunakan alasan yang sama ketika kita ikut menghadiri dan memeriahkan acara kirab Kerbau Kyai Slamet, pemandian pusaka-pusaka kerajaan, atau acara sedekah laut yang marak diadakan setiap tanggal 1 Suro? Apakah kita masih menginginkan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab? Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari kesyirikan dan para pelakunya.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51975-marah-ketika-melihat-kesyirikan-bag-4.html

Allah Sangat Dekat: Yakinlah, Jangan Resah-Gelisah

DI tengah ayat-ayat shiyam yaitu ayat 183-187 surah Al-Baqarah, ayat 186 menyatakan:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang Daku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Sepintas lalu ayat ini seakan-akan tidak ada hubungannya dengan puasa; keterangannya seperti terselip di antara berita-berita lain. Tentu saja Allah tidak akan khilaf menempatkan ayat-ayat-Nya. Ayat ini diletakkan di tengah-tengah ayat tentang puasa justru karena berkenaan dengan orang-orang yang menunaikan puasa, yaitu orang-orang yang dibicarakan pada ayat sebelum dan sesudahnya.

Kita perlu memahami makna ayat tersebut seperti ini: “Apabila hamba-hamba-Ku yang sedang berpuasa Ramadan ini bertanya kepadamu wahai Rasul, tentang Daku, jawablah bahwa Aku sungguh sangat dekat kepada mereka!”.

Allah sangat dekat berarti perlindungan-Nya sangat dekat, dan pertolongan-Nya sangat dekat, dan pemberian-Nya sangat dekat. Maka orang-orang yang yakin akan pernyataan ini tidak akan resah dan gelisah.

Dengan pertolongan Allah tidak akan ada bahaya yang tidak terbentengi, tidak ada kesulitan yang tak teratasi, tidak ada kekurangan yang tak terisi. Dekatnya Allah berarti pula dekatnya petunjuk kepada kebenaran, sehingga orang yang beriman dapat dengan mudah dan tenang tenteram meniti jalan kebenaran yang menyelamat-kan hidupnya di dunia, dan mengantarnya menuju kebahagiaan abadi di alam akhirat kelak.

Demikianlah firman Allah pada pangkal ayat yang kita baca tadi menyentuh hati sampai ke hulu dengan cinta kasih yang agung tak berbatas. Allah senantiasa dekat kepada hamba-Nya, namun banyak hamba yang tidak menyadarinya. Maka hanya orang-orang yang berusaha mendekatkan diri (antara lain dengan menunaikan puasa Ramadhan), yang menghayati betapa dekatnya Allah kepadanya.

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah swt berfirman: “Idzaa taqorroba ilayyal abdu syibran taqorrobtu ilaihi dzirooan wa idzaa taqorroba ilayya dzirooan taqorrobtu minhu baaan wa idzaa ataa ilayya masy-yan ataituhu harwalatan apabila seorang hamba datang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekati-Ku sehasta Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku datang kepadanya dengan berlari”. (HR Bukhari dan Al-Thobbroni).

Alangkah mesra sikap Allah Swt kepada kita.[Sakib Machmud]

INILAH MOZAIK

‘Jangan Asal Pukul Istri Anda Bermodal Surah an-Nisa: 34’

Ayat ini tidak boleh dijadikan legitimasi berbuat kekerasan pada perempuan.

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan Tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan serta pukullah mereka. Lalu jika mereka telah menaati kamu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” (QS an-Nisa [4]: 34). 

Ayat ini kerap disalahartikan sebagai alasan dibolehkannya tindakan kekerasan pada istri, nyatanya diperlukan kajian yang cukup mendalam untuk memahami makna dari ayat tersebut. Seperti yang dijelaskan Quraish Shihab dalam bukunya, Perempuan

Kesalahpahaman dapat muncul jika seseorang buta terhadap penggunaan kosa kata atau melepaskan pemahaman satu ayat dari penjelasan Nabi SAW. “Padahal keduanya mutlak diperlukan dalam memahami Alquran,” tulis Quraish Shihab.  

Menurut penjelasannya, kata nusyuz diambil dari kata yang berarti tempat yang tinggi. Sebagian ulama mengartikan nusyuz-nya seorang istri adalah kebencian istri kepada suaminya sambil menempatkan dirinya di atasnya, baik dengan membangkang perintah suami (yang tidak bertentangan dengan ajaran agama), sedangkan matanya berpaling pada lelaki lain.  

Sementara pakar lainnya memahami bahwa nusyuz bukan hanya dapat dilakukan istri, tapi juga suami. Suami yang dinamai nasyiz (orang yang melakukan nusyuz) adalah suami yang tidak memenuhi kewajibannya, seperti enggan memberi nafkah atau bersikap kasar. 

Sedangkan istri yang dinilai nasyizah adalah istri yang enggan dalam kewajiban agama, bepergian tanpa izin atau restu suami.  “Nusyuz juga diartikan sebagai bentuk pembangkangan yang lahir karena merasa lebih tinggi daripada pasangannya,” tulis Quraish Shihab. 

Persoalan yang sering dinilai dari penafsiran ayat di atas (QS an-Nisa: 34), adalah keberpihakan pada lelaki. Jika dinilai dari kata pukullah mereka (fadhribuhunna) sejatinya berasal dari kata memukul (dharaba) yang digunakan Alquran untuk pukulan yang keras maupun lemah lembut. 

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti.” Beliau juga bersabda, “Tidakkah kalian malu memukul istri kalian seperti memukul keledai?” 

Tuntunan peneguran atas sikap nusyuz dalam surat An-Nisa ayat 34 memiliki beberapa tahapan, yaitu dimulai dengan nasihat, meninggalkannya di tempat tidur (pisah ranjang), dan diakhiri dengan pukulan. Namun sikap nusyuz disini memang benar-benar telah melampaui batas dan perlu ditegur. 

Perlu disadari bahwa dalam kehidupan rumah tangga, tentu ada saja anggota keluarga yang tak mempan dengan teguran berupa nasihat, maka diperlukan cara lain agar mereka sadar atas kesalahannya. Namun perlu diingat bahwa pendidikan dalam hukuman tidak hanya ditujukan kepada istri tapi secara umum bagi siapa pun yang membangkang.

“Jangan pula berkata bahwa memukul dalam artian ini bukanlah pukulan yang mencederai atau menyakitkan,” tulis Quraish Shihab. 

Sementara itu, ulama besar Atha’ berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibnu al-Arabi berkata, “Pemahamannya (ulama Atha’) berdasar pada perkataan Nabi SAW kepada para suami yang memukul istrinya, beliau bersabda, “orang-orang terhormat tidak memukul istrinya.”


KHAZANAH REPUBLIKA

Alquran Bersumpah Atas Nama Dewi Pertiwi?

Oleh: Menachem Ali
, Dosen Philology di Universitas Airlangga

Saya baru saja memberikan tausiyah/ceramah kepada para jamaah berkaitan dengan tema: “Quran terjemah Bahasa Hindi dan Islam di Asia Tenggara.” Hasilnya mengagetkan, pada forum tanya jawab, ternyata banyak jamaah yang punya nama berbau Sanskrit: Indra, Brama, Wisnu, Surya. Mereka Muslim, dan mereka bertanya; apa perlu namanya diganti?

Saya menjawab dengan jawaban yang termaktub dalam Quran saja. Berpedoman pada Quran terjemahan bahasa Hindi (India) dan Quran terjemahan bahasa Benggali (Bangladesh), keduanya terbitan  ‘Negeri Salafi’ Saudi Arabia, saya mengatakan bahwa dalam Quran terjemahan bahasa Hindi dan Benggali, ternyata “petir” disebut “Indra”, “matahari” disebut “Surya”, “bulan” disebut “Candra”, maka ini bukan berarti nama para jamaah bernuansa syirik semua.

Ini juga bukan berarti penyembah dewa Indra (dewa Petir), penyembah dewa Surya (dewa Matahari), dan penyembah dewi Candra (dewi bulan). Istri saya juga bernama Dewi Utami, bukan berarti nama istri saya berbau kesyirikan, meski namanya DEWI. Semua itu sekedar makna generic alias etimologis, bukan bermakna teologis. Makna teologisnya sudah dibuang. Sama halnya, nama Qamarun, Syamsun dan lainnya.

Meskipun itu semua istilah Arab, bukan berarti yang empunya nama itu musyrik, karena hanya sekedar makna etimologis, bukan makna teologis. Bila dimaknai teologis hasilnya sama saja, penyembah dewi Al-Qamar (dewi Bulan), penyembah dewa Al-Syams (dewa Matahari). Misalnya, bukankah ada nama Arab tapi mengandung kesyirikan? Abdus Syams (hamba dewa Matahari). Ini musyrik. Sebaliknya, kalau namanya Syamsul ‘Arifin namanya ngak perlu diganti meskipun ada unsur Syams, tetapi bukan berarti penyembah dewa Al-Syams.

Dalam Quran terjemahan  bahasa Benggali (Bangladesh), Muslim Bangladesh kalau menyebut “bumi” juga menggunakan sebutan/nama “prthiwi.” Apakah mereka menyembah Dewi Prthiwi? Apakah Quran terjemahan Benggali terbitan lembaga kerajaan Saudi Arabia juga mengakui dan berkeyakinan adanya tuhan selain ALLAH yakni Dewi Prthiwi? Sebab والارض ( wal ardh ) diterjemahkan “demi Prthiwi.”

Apakah ulama Saudi mengajarkan kesyirikan karena bersumpah demi dewi Pertiwi? Tentu tidak. Silakan baca teks bahasa Benggali yang saya tunjuk pada gambar tersebut.

Hal ini penting dibahas karena sebelumnya ada wacana yang sudah viral dan membuat umat bingung. Saya memberikan solusi agar mereka tidak bingung dan resah sesuai dalil naqli dan ‘aqli. Ini menyebabkan kegaduhan bagi warga Muhammadiyah pada khususnya, dan umat Islam di Indonesia pada umumnya.

Wacana yang salah dan viral harus diluruskan dengan wacana pembanding dengan saling menyodorkan data yang lebih shahih dan valid. Wacana kalau dibiarkan liar tanpa ada wacana pembanding, pasti hal itu akan menimbulkan berbagi kegaduhan yang berkelanjutan di antara umat Islam. Biarlah kita semakin bijak dalam mewacanakan sesuatu di ruang publik secara ilmiah dan bertanggung jawab.

Silakan Anda baca sendiri teks Quran terjemahan Benggali (Bangladesh) terbitan Saudi Arabia tersebut. Teks sudah saya tunjuk dengan tangan saya sesuai gambar. Itu bukti shahih terhadap sebuah data yang berdalil. Apakah Anda akan mengatakan bahwa semua Muslim di Bangladesh menyembah dewa Surya dan dewi Candra serta dewi Pertiwi karena Quran terjamahan Benggali memakai istilah Surya, Prthiwi dan Candra?

Janganlah Anda fanatik dan kultus individu pada sesuatu tanpa dalil. Saya berhujjah memakai dalil dan data resmi dari teks terbitan lembaga Salafi yang diakui kredibiliasnya oleh para ulama kerajaan Saudi Arabia. Bagaimanapun, upaya pengalihbahasaan sebuah kitab, termasuk penerjemahan kitab suci Quran di Saudi Arabia tentu bukan sebuah pekerjaan perorangan. Hal tersebut merupakan sebuah proyek panjang sebuah tim ahli yang pakar bahasa Arab dan bahasa terjemahan.

Apalagi proses penerjemahan Quran memakai standar “tim ahli Saudi Arabia”. Tim Saudi tidak mungkin bekerja secara serampangan, dan tanpa melibatkan masyarakat pengguna bahasa sasaran, termasuk pengguna bahasa Benggali, dan pengguna bahasa Hindi.

Wacana pembanding yang saya tulis ini sangat urgen untuk meluruskan wacana sebelumnya yang telah viral. Bila wacana yang viral itu dibiarkan tanpa ada upaya kritik, maka dikhawatirkan akan menjadi fatwa/ rujukan umat “zaman now.” Fatwa populis ini berdampak pada upaya untuk “menghakimi” orang lain tanpa dasar, dan hanya berdasarkan pada asumsi tanpa landasan keilmuan yang terverifikasi validitas datanya. Bila fatwa populis itu hanya berkaitan dengan soal fiqh, misalnya sekedar bagaimana meluruskan tangan saat ber-i’tidal maka saya kira ini tidak ada masalah.

Namun, fatwa populis yang lagi viral tersebut menyentuh tataran aqidah, antara Tauhid dan Syirik. Apakah Anda bisa membayangkan, berapa juta orang bernama “SRI”, “PERTIWI”, “CANDRA”, “SUPARNO”, “SURYA”, “INDRA”, MITRA, yang akan dituduh sebagai “berbau” Hindu, dan akan dipersalahkan oleh para pengikut fatwa populis tersebut, terutama akibat “dosa orang tua” mereka dahulu yang telah memberi nama anak-anak mereka dengan nama dewa-dewi Hindu.

Itulah sebabnya, fatwa populis yang viral tersebut harus diluruskan karena sudah menyentuh soal aqidah, bukan sekedar perbedaan persoalan fiqh semata.

Mewacanakan sesuatu itu boleh saja, asal sesuai dengan bukti yang shahih dan berdalil sesuai standard yang jelas. Bagi saya, penerbitan Quran dari “tim Saudi Arabia” adalah kebenaran dalil yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, termasuk para ustadz lulusan Saudi Arabia.

Semoga kita semakin arif dan bijaksana dalam mewacanakan sesuatu yang bernuansa keagamaan.

KHAZANAH REPUBLIKA



Pentingnya Sikap Ilmiah dalam Beragama

Agama Islam ini dibangun di atas ilmu. Beragama itu dengan ilmu, bukan dengan perasaan, bukan dengan sekedar “pendapat terbanyak”,  bukan dengan wangsit & mimpi, bukan juga dengan sekedar warisan adat turun-temurun.

Muhammad bin Sirin  berkata,

ﺇﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺩﻳﻦ ﻓﺎﻧﻈﺮﻭﺍ ﻋﻤﻦ ﺗﺄﺧﺬﻭﻥ ﺩﻳﻨﻜﻢ

”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.” [Muqaddimah Shahih Muslim]

Agama Islam adalah agama yang ilmiah. Contohnya adalah dalam dunia akademis, seseorang harus mencantumkan jurnal dan sumber ilmiah dari nukilan yang kami sebutkan. Apabila tidak, tentu nilai ilmiahnya tidak akan sempurna atau bahkan diragukan kebenarannya. Dalam ajaran Islam pun demikian, kita diajarkan bersikap ilmiah agar tidak semata-mata berpendapat sendiri tanpa ada sumber rujukan yang jelas, bahkan dalam masalah kontemporer sekalipun harus ada sumber ilmiah yang dijadikan rujukan. Menyampaikan suatu pendapat tanpa ada rujukan sebelumnya akan mengurangi keilmiahan hal tersebut.

Perhatikan perkataan Imam Ahmad berikut:

إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ

“Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya.” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].

Contoh lainnya lagi adalah adanya ilmu sanad dalam agama Islam. Ilmu sanad ini sangat ilmiah, kita bisa mengecek keilmiahan suatu pendapat dari ilmu sanad ini.

Abdullah bin Mubarak berkata,

إن الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad itu bagian dari agama. Kalau lah tidak ada ilmu Isnad, pasti siapaun bisa berkata apa yang dia kehendaki.” [HR. Muslim]

Sofyan Ats-Tsauri berkata:

الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه السلاح فبأي شيء يقاتل

“Sanad adalah senjatanya orang-orang beriman. Apabila tidak ada senjata tersebut, lalu dengan apa mereka berperang?” [Jami Al-Ushul hal 109]

Masih sangat banyak contoh bahwa Islam adalah agama yang ilmiah dan menjunjung tinggi ilmu. Sikap keilmiahan ini hanya bisa didapat dengan menuntut ilmu. Agama Islam mendorong kita untuk selalu berilmu, mempelajari hal yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Allah berfirman,

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

Allah juga menegaskan bahwa tentu tidak sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu. Allah berfirman,

Allah Ta’ala berfirman

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ

“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang bisa mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

Semoga kita selalu bisa menumbuhkan sikap ilmiah dalam beragama agar kita bisa selamat dunia dan akhirat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47683-ilmiah-dalam-beragama.html

Berdialog dengan Teroris

(Belajar dari Pengalaman Arab Saudi dalam Menumpas Terorisme)

Pengantar

Setan memiliki dua pintu masuk untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Jika seseorang banyak melanggar dan berbuat maksiat, setan akan menghiasi maksiat dan nafsu syahwat untuk orang tersebut agar tetap jauh dari ketaatan.

Sebaliknya jika seorang hamba taat dan rajin ibadah, setan akan membuatnya berlebihan dalam ketaatan, sehingga merusak agamanya dari sisi ini. Para ulama menyebut godaan jenis pertama sebagai syahwat, dan yang kedua sebagai syubhat. Meski berbeda, keduanya saling berkaitan. Syahwat biasanya dilandasi oleh syubhat, dan syubhat bisa tersemai dengan subur di ladang syahwat1

Masing-masing dari dua penyakit ini membutuhkan cara penanganan khusus. Ibnul Qayyim mengatakan: “Godaan syubhat ditangkis dengan keyakinan (baca: ilmu), dan godaan syahwat ditangkis dengan kesabaran.”2 Untuk menekan penyakit syahwat seperti zina, mabuk, pencurian, dan perampokan, agama Islam mensyariatkan hudud, berupa hukuman-hukuman fisik semacam cambuk, rajam dan potong tangan. Islam tidak mensyariatkan hudud untuk penyakit syubhat seperti berbagai bid’ah dan pemikiran menyimpang, karena syubhat tidak mudah disembuhkan dengan hudud, tapi lebih bisa diselesaikan dengan penjelasan dan ilmu. Meski demikian, kadang-kadang juga diperlukan hukuman fisik untuk menyembuhkan penyakit syubhat.

Mengikis syubhat dan berdiskusi dengan pemiliknya telah dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Kadang-kadang mereka melakukannya dengan menulis surat, risalah, atau kitab dan kadang-kadang dengan berdialog langsung . Di samping melindungi umat dari syubhat yang ada, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menasehati pemilik syubhat agar bisa kembali ke jalan yang benar.

Khusus pemikiran kelompok Khawarij yang identik dengan terorisme, ada beberapa kisah nasehat yang terkenal dari generasi awal umat Islam. Di antaranya kisah Ibnu Abbas – radhiyallah ‘anhuma – yang mendatangi kaum Khawarij untuk meluruskan beberapa pemahaman agama mereka yang menyimpang.

Setelah diskusi yang cukup singkat dengan mereka, sebanyak dua ribu orang tobat dari kesalahan pemikiran mereka.3 Juga kisah Jabir bin Abdillah – radhiyallah ‘anhuma – yang dikunjungi beberapa orang yang tertarik dengan pemikiran Khawarij dan berencana melakukan aksi mereka di musim haji. Mereka bertanya kepada Jabir tentang pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits, dan akhirnya semua rujuk dari pemikiran Khawarij kecuali satu orang.

Dua kisah ini menunjukkan bahwa nasehat dan diskusi sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit syubhat ini. Riwayat tersebut juga menunjukkan bahwa jika pemilik syubhat tidak datang sendiri mencari kebenaran –seperti dalam kisah Jabir-, kita dianjurkan untuk mendatangi mereka, seperti dalam kisah Ibnu Abbas.

Dalam banyak kasus terorisme di Indonesia, ditemukan banyak pelaku teror yang sebelumnya pernah menjadi terpidana kasus terorisme. Setelah di penjara dan menjalani hukuman, mereka tidak insaf, dan kembali ke pemikiran dan perilaku mereka semula. Terlepas dari faktor hidayah, hal tersebut sangat mungkin karena penanganan yang salah atau tidak optimal.

Kesalahan pemikiran yang mereka miliki termasuk dalam kategori syubhat, sehingga hukuman fisik yang mereka dapatkan di penjara, atau hukuman sosial berupa pandangan miring masyarakat tidak lantas membuat mereka jera dan insaf. Mereka menganggap aksi mereka sebagai ibadah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah dan hukuman yang mereka dapatkan di dunia adalah konsekuensi ketaatan yang semakin menambah pundi pahala mereka.

Kondisi seperti ini menuntut pemerintah dan ulama untuk memikirkan solusi yang lebih baik, agar terorisme bisa ditekan dengan lebih optimal. Tulisan singkat ini menawarkan sebuah solusi yang telah terbukti mujarab menekan pemikiran dan aksi terorisme berdasarkan pengalaman Kerajaan Arab Saudi .

Arab Saudi dan Terorisme

Seperti Indonesia, Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak dibicarakan saat orang membahas terorisme. Berita kematian Usamah bin Ladin akhir-akhir ini juga membuat Arab Saudi kembali dibicarakan. Sebelumnya, banyak sekali peristiwa seputar terorisme yang telah terjadi di negeri yang membawahi dua kota suci umat Islam ini.

Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota negeri tauhid ini. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang.

Pemboman di Wadi Laban (Provinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya.

Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.

Koran ASHARQ AL-AWSAT telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi 4. Hal ini merupakan bantahan paling kuat untuk mereka yang mengatakan bahwa ideologi terorisme didukung oleh negeri ‘Wahhabi’, karena justru Arab Saudi yang menjadi sasaran utama para teroris.

Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan.

Kota suci Makkah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini. Bahkan ada beberapa tokoh agama yang terang-terangan memfatwakan bolehnya aksi-aksi ini. Terlepas dari objektifitas Amerika dan sekutunya, warga negara Arab Saudi termasuk penghuni terbesar kamp penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo.

Tapi tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi terorisme, penyergapan-penyergapan dini, rujuknya para mufti aksi terorisme dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi teror.

Di samping itu ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasehat).

Apa itu Lajnah al-Munashahah?

Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite Penasehat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (dibawah komando Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasehat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai kegiatannya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi.5

Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:

  1. Lajnah ‘Ilmiyyah (komisi ilmiah) yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syari’ah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
  2. Lajnah Amniyyah (komisi keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah yang sesuai jika ternyata masih dinilai berbahaya.
  3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (komisi psikologi dan sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
  4. Lajnah I’lamiyyah (komisi penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat. 6

Teknik dialog

Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasehat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.

Ada juga kegiatan daurah ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan syubhat-syubhat para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, pejanjian damai dengan kaum kafir dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab.7

Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah Maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.

Pada awalnya banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya.8

Mereka segera menyadari bahwa dialog ini justeru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat di pikiran meraka. Rupanya mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan merekapun dengan senang hati meminumnya.9

Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini Lajnah al-Munashahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah.10

Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.

Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio al-Quran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama.11

Program dan Sarana Penunjang

Program dialog juga ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan fisik para tahanan. Berbeda dengan metode Guantanamo yang menyiksa, para tahanan justru diberikan keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka dan melakukan kegiatan refreshing.

Akses kunjungan keluarga dibuka lebar-lebar, karena hubungan yang baik dengan keluarga adalah faktor penting yang mendorong mereka keluar dari pemikiran rancu mereka. Bahkan saat dilepas, pemerintah memberikan mereka rumah, membiayai kebutuhan anak-anak mereka, bahkan membantu menikahkan mereka yang belum menikah. Intinya, mereka dibuat sibuk dengan tanggung jawab keluarga, sehingga tidak lagi tergoda untuk kembali ke aktifitas negatif yang dahulu mereka lakukan atau persahabatan buruk yang membuat mereka jatuh dalam syubhat. Keluarga mereka juga mendapat arahan khusus untuk mendukung program ini dan menjaga agar keberhasilan munashahah (upaya untuk menasehati) di penjara tidak pudar di rumah.12

Sebelum dilepas kembali ke masyarakat, para tahanan ditempatkan di pusat-pusat pembinaan berupa villa-villa peristirahatan tertutup yang memiliki fasilitas lengkap berupa kelas-kelas pembinaan dan sarana olahraga. Di pusat pembinaan yang dinamai Prince Mohammed Bin Naif Center for Advice and Care ini, program dialog tetap berjalan, ditambah kegiatan-kegiatan pemasyarakatan seperti pelatihan seni rupa dan kursus ketrampilan berijazah. Secara berkala, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga mereka untuk jangka waku tertentu dengan pengawasan.13

Sangat Berhasil, Tapi Kadang Gagal

Program munashahah ini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa. Banyak teroris yang berhasil diluruskan kembali pemikiran dan akidahnya sehingga bisa kembali diterima masyarakat. Hanya sedikit sekali yang yang kembali ke jalan terorisme dari ribuan orang telah mengikuti dialog.

Zabn bin Zhahir asy-Syammari, eks tahanan Guantanamo yang telah mengikuti program munashahah mengatakan bahwa program ini telah berhasil dengan baik dan orang-orang yang mengikutinya telah memetik faedah yang besar. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih atas diadakannya program yang penuh berkah ini.14

Tapi seperti usaha manusia yang lain, dialog ini juga kadang menemui kegagalan. Salah satu kegagalan yang masyhur adalah kembalinya 7 eks tahanan Guantanamo ke pemikiran mereka selepas dari penjara. Allah tidak membukakan hati mereka untuk nasehat yang telah disampaikan. Sebabnya bisa jadi karena pemikiran takfir sudah mendarah daging pada diri mereka, atau tidak terwujudnya beberapa faktor pendukung dalam dialog. Ada juga yang berpura-pura setuju dengan apa yang disampaikan Lajnah Munashahah secara lahir saja, tanpa kesungguhan batin.15

Menurut Abdul Aziz al-Khalifah, anggota Lajnah al-Munashahah, ada tahanan yang penyimpangannya karena ketidaktahuan atau karena terpedaya. Orang seperti ini akan mudah diajak dialog dan cepat menyadari kesalahan. Ada juga yang penyimpangannya terbangun di atas prinsip yang menyimpang atau kesesatan yang sudah lama dipeluknya. Yang demikian lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra.16

Namun kegagalan kecil ini tidaklah mengurangi kegemilangan Kerajaan Arab Saudi dalam menumpas terorisme. Bagi pemerintah Arab Saudi, pemikiran tidak cukup dihadapi dengan senjata, tapi juga harus dilawan dengan pemikiran17. Dunia internasionalpun mengakui keberhasilan ini. Masyarakat dunia menyebutnya sebagai “Strategi Halus Saudi” atau “Kekuatan Yang Lembut”. Sudah banyak pula negara yang belajar dari pengalaman Arab Saudi dan mentransfernya ke negara mereka.18

Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?

Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktekkan di Arab Saudi insyaallah juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar fitnah terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran! Wallahu a’lam.

1 Bi Ayyi ‘Aqlin wa Din Yakunu at-Tafjiru Jihadan?, Syaikh Abdul Muhsin al-Abad, hal. 3, at-Tahdzir min asy-Syahawat, ceramah Dr. Sulaiman ar-Ruhaili.

2 Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim 2/167

3 Sunan al-Baihaqi 8/179.

4 Koran ASHARQ AWSAT edisi 9297, 12 Mei 2004.

Lihat: http://www.aawsat.com/details.asp?article=233530&issueno=9297

5 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Koran al-Riyadh edisi 13.682.

6 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

7 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

8 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

9 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

10 Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Koran al-Riyadh edisi 13.682.

11 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Koran al-Riyadh edisi 13.682.

12 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

13 Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com

14 Koran al-Riyadh edisi 14.848, Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri’ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com.

15 Koran al-Riyadh edisi 14.848

16 Koran al-Riyadh edisi 14.848.

17 Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su’ud Abdul Aziz Kabuli, koran al-Watan edisi 3.257

18 Koran al-Riyadh edisi 15.042.

Penulis: Anas Burhanuddin, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6929-berdialog-dengan-teroris.html

Makan Kepala Simba dan Baung

SAUDARA saya dan istrinya cekikikan saat kami makan siang di restoran Pindang Sahari Lampung. Bagaimana tidak cekikikan sementara menu utama yang ditawarkan adalah kepala Simba dan Baung.

Kata Simba mengingatkan pada film animasi Simba yang terkenal itu. Iya, Simba adalah harimau. Sementara Baung mengingatkan saudara saya yang asli Madura itu pada Baung Madura. Baung adalah sejenis binatang hantu. Wajar saja kalau mereka kemudian tertawa bersama.

Kepala Simba ternyata adalah kepala ikan laut. Segar sekali dan rasanya maknyus sekali dengan bumbu rempah-rempah dapur yang masih segar-segar. Sementara Baung adalah jenis ikan sungai sejenis kutuk mirip keteng. Ke Lampung tanpa merasakan masakan ini sepertinya belumlah sah. Itu sama dengan ke Mekah tanpa thawaf, kata sang Tuan rumah.

Ada yang unik lagi untuk dikisahkan. Kalau Madura terkenal dengan SAMBEL PENCIT alias sambel mangga muda, di restoran ini terkenal dengan sambel duriannya. Bagaimana rasanya? Ah, kata-kata tak bisa mewakili rasa sambel ini. Keringat di dahi kami lah yang menjadi simbol kelezatannya.

Tuan rumah yang menjamu kami ini memang pandai membaca watak watuk wahing kami, alias kesukaan dan selera kami. Lebih dari itu, beliau memang manusia unik yang baik sekali. Tak ada yang kami bisa balaskan kecuali doa semoga panjang umur selalu saudaraku. Semoga bersama keluarga besarnya senantiasa dalam lindungan dan rahmat Allah. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Peringatan Terakhir Rasulullah: Kiamat Sudah Dekat

DALAM sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah 10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.

“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”

Surat peringatan semacam itu, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi tentang kiamat sudah dekat.

Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya: “Hai Syekh Abdallah… ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir… Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Kabah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”

Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap minggu di masjid-masjid. Di suratkabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.

Surat peringatan lain terbit dalam dua versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Jafar ibn Abd al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan kewajiban agama.

Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.

Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.

Yang menarik mungkin dalam surat peringatan yang lain secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Kabah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.

Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Kabah lambat-laun akan menghilang atau pintu Kabah tak dapat dibuka lagi.

Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama dan perbuatan-perbuatan baik.

“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.

Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan para pejabat Belanda.

“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”

Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial, yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9 Juni 1888.

Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini. Bahkan menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.

Banyak orang mempertanyakan kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Muashirah pada 2001 terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.

Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada 1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.” Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam Nabi bernama Syekh Ahmad.[Hendri F. Isnaeni/Historia]

INILAH MOZAIK