Nikmat Bukan Cuma Harta, Melainkan Juga Hidayah Islam

Nikmat berupa hidayah Islam juga wajib disyukuri

Manusia harus bersyukur atas nikmat hidayah kepada islam. Ini juga merupakan syarat masuk ke dalam surga.  

“Ketika kita dijadikan muslim, syukuri nikmat ini, pertahankan sampai meninggal dunia,” kata pendakwah lulusan Universitas Islam Madinah, Ustadz Abu Yahya Badrusalam dalam kajian pembahasan Kitab Syarhus Sunnah di Masjid Al Muttaqin, Bekasi pada Selasa (4/1). 

Allah SWT berfirman, اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ… “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam” (QS Ali Imran ayat 19).  

Ustadz mengungkapkan, agama semua nabi sama yakni islam. Allah berfirman: 

 مَا كَانَ إِبْرَٰهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS Ali Imran ayat 67). Begitu pula dengan agama Nabi Musa, Isa dan lainnya yakni Islam. 

“Rasulullah ﷺ menyifati surga, surga tidak akan dimasuki kecuali jiwa Muslim saja. Sadari nikmat terbesar adalah Islam. Pencinta dunia tidak menyadari itu, pecinta dunia mengganggap harta, kedudukan,” kata Ustadz. 

Ustadz Abu Yahya mengatakan, lewat islam, seseorang akan mengenal Tuhannya, juga tujuan hidupnya. Dunia yang ditinggali tidak akan selamanya, dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah. Islam agama yang sesuai dengan fitrah, membimbing manusia kepada jalan yang lurus.  

“Orang yang merasakan nikmatnya islam dia tidak mau menggadaikan keislamannya untuk mendapatkan dunia. Islam ini luar baisa, untuk mendapatkan kesenangan abadi dengan islam, kenikmatan dunia dibandingkan dengan kenikmatan surga tidak ada apa-apanya,” kata Ustadz.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasihat Ali kepada Orang yang Punya Banyak Utang

Ada sebuah tentang permohonan doa kepada Allah SWT agar segala urusan dunia dimudahkan. Kisah ini terjadi saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Wa’il, seorang pria mendatangi Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak bisa membayar hutangku. Tolong bantu aku.”

Kemudian Ali bin Thalib berkata, “Apakah kamu mau aku ajarkan tentang sesuatu yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang jika kamu membacanya maka Allah SWT akan membuat hutangmu lunas meski sebesar gunung?” Si pria mengiyakannya.

Lalu Ali bin Abi Thalib menyampaikan sebuah doa, sebagaimana berikut ini:

اَللّهُمَّ اكْفِنِىْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

‘Allahummakfinii bihalaalika ‘an haroomika wa aghninii bi fadhlika ‘amman siwaaka’

Artinya: “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan dari apa yang Engkau karuniakan. Dan dengan karunia-Mu, jadikanlah aku tidak membutuhkan kecuali kepada Engkau.” (HR Tirmidzi dan terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal)

Nabi Muhammad SAW melarang umatnya berputus-asa dari rahmat Allah SWT dan tidak boleh menyerah serta harus meyakini bahwa semua yang terjadi itu baik. Selain itu, seorang Muslim juga harus yakin bahwa qadha dan qadar itu ada di tangan Allah SWT.

KHAZANAH REPUBLIKA

Imam Hasan bin Ziyad; Tokoh Mazhab Hanabilah yang Mulai Belajar di Usia 80 Tahun

“Jika dalam mazhab Syafi’iyah ada Imam Nawawi dan Imam ar-Rafi’i yang bisa menentukan pendapat-pendapat Imam Syafi’i antara pendapat yang bisa diikuti dan tidak, dan memiliki gelar ulama yang bisa menentukan validitas pendapat imamnya, maka dalam mazhab Hanabilah ada Imam Hasan bin Ziyad al-Luklu’i, yang memiliki otoritas dan gelar tersebut.”

Imam Hasan bin Ziyad merupakan salah satu di antara ribuan tokoh-tokoh dalam mazhab Hanabilah yang keilmuannya sangat mentereng, memiliki otoritas yang tinggi, dan daya hafal yang kuat. Kehidupannya hanya untuk ilmu dan umat. Apapun yang berkaitan dengan ilmu, akan selalu didahulukan daripada yang lainnya.

Sebagaimana disampaikan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lami an-Nubala, Imam Hasan bin Ziyad adalah ulama yang sangat alim, memiliki kepiawaian dalam menyampaikan ilmu, salah satu ahli fiqih (fuqaha) di kota Irak, memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang jarang dimiliki oleh yang lainnya.

Betapapun demikian, Imam Hasan bin Ziyad merupakan salah satu ulama yang bisa dikatakan sangat telat dalam belajar. Bahkan, awal belajarnya di usia yang sangat senja. Tidak seharusnya ia memiliki gelar mentereng dalam mazhab Hanabilah, akan tetapi semangat dan cita-cita yang tinggi tidak mampu menghalangi semua itu.

Nama Lengkap dan Rihlah Keilmuannya 

Ulama yang satu ini memiliki nama lengkap Abu Ali Al-Hasan bin Ziyad al-Luklu’i al-Kufi. Akhir namanya merupakan nisbat pada tanah kelahirannya, yaitu kota Kufah, Irak. Salah satu kota yang banyak melahirkan ulama-ulama tersohor. Tidak ada catatan pasti dari para ulama perihal tahun kelahirannya, ahli sejarah hanya mencatat tahun wafatnya, yaitu pada tahun 204, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekh Taqi al-Ghazi dalam kitab at-Thabqatu as-Sunniyah fi Tarajimi al-Hanafiyah.

Jika ulama-ulama besar lain belajar ilmu-ilmu keislaman sejak masih sangat kecil, bahkan sejak masih kanak-kanak sudah banyak yang hafal beberapa kitab kuning, maka tidak demikian yang terjadi pada Imam Hasan bin Ziyad. Ia sangat telat dalam mencari ilmu.

Akan tetapi, telat mencari ilmu tidak berarti otomatis gagal untuk bisa memahaminya. Imam Hasan bin Ziyad adalah referensi bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk berpeluh dalam belajar. Menurut Imam az-Zarnuji dalam kitab Ta’limu al-Muta’allim, Imam Hasan bin Ziyad menjadi memulai rihlahnya untuk mencari ilmu di usianya yang sudah terbilang sangat senja,

دَخَلَ حَسَن بن زِيَاد فِى التَّفَقُّهِ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانْينَ سَنَةً، وَلَمْ يَبِتْ عَلَى الفِرَاشِ أَرْبَعِيْنِ سَنَةً فَأَفْتَى بَعْدَ ذَلِكَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً

Artinya, “Hasan bin Ziyad al-Luklu’i mulai belajar agama ketika beliau memasuki umur 80 tahun. (Sejak saat itu), ia tidak tidur malam di atas kasurnya selama 40 tahun kedepan, (ketika sudah berumur 120 tahun) kemudian beliau menduduki kursi fatwa, memberi fatwa sampai 40 tahun kedepan (hingga beliau wafat)”. (az-Zarnuji, Ta’limu al-Muta’allim fi Thariqi at-Ta’allum, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, cetakan kedelapan: 2010], halaman 50].

Demikian potret awal rihlah yang ditempuh oleh Imam Hasan bin Ziyad. Di ujung usianya yang hampir satu abad, beliau baru memulai untuk membuka cakrawala berpikirnya tentang keilmuan. Sebelumnya tidak pernah terpikir untuk menjadi ulama tersohor dengan penguasaan ilmu yang luas.

Akan tetapi, sekali ia duduk dengan istiqamah untuk mendapatkan ilmu, mendengarkan penyampaian gurunya dengan penuh semangat, bahkan tidak ada kata putus asa untuk meraih semua ilmu yang ada pada masa itu, sekalipun teman-teman yang ada di sekitarnya sudah tidak seumuran dengannya. Bahkan, bukti semangatnya dalam mencari ilmu bisa dilihat dari tidurnya yang tidak pernah menggunakan kasur selama 40 tahun. Waktu yang tidak sebentar, akan tetapi akan tetap dijalani oleh orang-orang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan keinginan yang luhur untuk mendapatkan ilmu.

Waktu menjawab, bahwa yang sukses adalah mereka yang bersungguh-sungguh, bukan mereka yang umurnya masih relatif muda, setelah 40 tahun Imam Hasan bin Ziyad habiskan hanya untuk mendalami ilmu, maka saat ini ia telah menjadi ulama terkemuka di kalangan mazhab Hanabilah. Fatwanya dijadikan rujukan oleh semua kalangan. Pendapatnya menjadi pertimbangan para imam pada masanya dan masa selanjutnya.

Sebelum umurnya rampung bahkan di akhir-akhir hidupnya yang mendekati kematian, Imam Hasan bin Ziyad benar-benar menjadi ulama terkemuka, namanya tersohor dan dikenal oleh semua umat. Beliau menjadi bukti sejarah, bahwa tidak ada waktu terlambat untuk memulai belajar. Tidak ada kata selesai untuk terus mendalami ilmu.

Komentar Ulama tentangnya 

Setelah beberapa tahun di akhir usianya ada dalam pengembaraan ilmu, tiba saatnya bagi Imam Hasan untuk memetik buah dan keberhasilan yang didapatkan. Tiba saatnya bagi Ibnu Ziyad untuk mendedikasikan dirinya sebagai ahlul ilmi. Dengan keluasan ilmu dan kepakarannya dalam menjelaskan, beliau mendapatkan banyak pujian dari para ulama kala itu.

Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala mengutip perkataan Syekh Muhammad bin Sama’ah, bahwa sang imam telah menulis dua belas ribu hadis hanya dari Imam Ibnu Juraij (ulama fikih dan hadits), dan hadits-hadits tersebut diperlukan oleh semua ulama-ulama fikih.

Adz-Dzahabi juga mengutip pujian Imam Ahmad bin Abdul Hamid al-Haritsi, beliau mengatakan, tidak saya temukan perangai yang sangat baik melebihi perangainya Imam Hasan bin Ziyad. Ia menggunakan dan mengamalkan semua ilmunya sebagaimana ia menggunakan ruh dalam dirinya.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Hukumnya ‘Pelihara’ Spirit Idol, Ini Penjelasannya MUI

Jagat maya dihebohkan dengan fenomena spirit doll. Sederet artis memiliki boneka arwah ini. Adalah presenter Ivan Gunawan yang pertama diketahui memperkenalkan sebuah boneka bayi yang ia akui sebagai anaknya.

Desainer kondang tersebut percaya bahwa boneka yang bernama Miracle dan Marvelous tersebut hidup layaknya bayi manusia. Semenjak itu, boneka arwah menjadi sorotan masyarakat dan satu per satu selebriti tanah air mulai menunjukkan koleksinya.

Boneka arwah sendiri merupakan boneka bayi yang kabarnya secara magis dapat dimasukkan arwah manusia yang sudah meninggal. Namun, kebenaran soal kabar horor tersebut belum dapat dipastikan oleh masyarakat.

Selain Ivan Gunawan, ternyata empat artis Indonesia ini juga memiliki spirit doll. Salah satunya adalah Celine Evangelista.

Menanggapi fenomena spirit idol ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengingatkan bahwa boneka yang diisi arwah hukumnya haram dalam ajaran Islam. Dia meminta masyarakat agar menjadikan boneka hanya sebagai mainan.

“Boneka itu mainan atau hoby itu boleh aja. Tapi kalo dijadikan demit arwah atau diisi arwah makhluk halus dan jin itu haram, jika disembah ya syirik,” tulis Cholil dalam akun Twitternya @cholilnafis, Senin (3/1/2022).

Menurut Cholil, rasa sayang kepada benda memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan. Sebaliknya, akan lebih baik bila rasa sayang tersebut disalurkan kepada sesame manusia yang lain.

“Jangan berlebihan menyayangi boneka. Kalau lebih uang atau rasa sayang maka sayangilah anak yatim dan dhu’afa,” ujarnya.

ISLAM KAFFAH

Alasan Allah Bersumpah dengan Gunung Thur dan Mekkah

Surah At-Tin terdiri dari 8 ayat dengan salah satu komposisi di dalamnya mengandung rangkaian sumpah Allah dengan makhluk-Nya. Di antaranya Allah bersumpah dengan gunung Thur dan Mekkah. Di mana kemudian sumpah tersebut diikuti dengan sumpah Allah atas nikmat penciptaan sempurna-Nya atas manusia, ancaman bagi mereka yang membangkang dan tidak mensyukuri nikmat-Nya, kabar bahagia bagi orang yang beriman dan beramal salih, pengingkaran terhadap mereka yang mendustakan agama dan diakhiri dengan penetapan bahwa Allah-lah dzat yang paling bijaksana.

Thuri Sinin” (gunung Thur) dan “Al-Balad Al-Amin” (negeri yang aman) adalah nama yang menjadi pusat sumpah Allah lainnya selain buah Tin dan Zaitun dalam surat tersebut. Mengapa Allah sampai bersumpah dengan nama gunung Thur dan Mekkah?

Syekh Fakhr ad-Din Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib Juz 32 mengutip pendapat Ibnu Abbas dari riwayat Ikrimah berkata bahwa: maksud dari lafadz “Thur” dalam ayat tersebut ialah nama gunung sedangkan “Sinin” bermakna bagus atau baik (hasan; red) dalam bahasa Habasyah (Etiopia) dan terberkahi menurut Imam Mujahid. (Mafatih Al-Ghaib 32 Juz hal 10 cet Dar Al-Fikr 1981)

Gunung Thur ialah gunung di mana Nabi Musa As menerima wahyu, berbicara dan bermunajat dengan Allah Swt sehingga diberi gelar “Kalim Allah”, yang bermunajat dengan Allah. Oleh karenanya ia disifati dengan “Sinin” yang memiliki arti bagus atau terberkahi.

Sedangkan maksud dari “Al-Balad Al-Amin”, negeri yang aman pada ayat sumpah setelahnya ialah Mekkah. Syekh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 8 berkata demikian:

(وهذا البلد الأمين) يعنى: مكة. قاله ابن عباس, ومجاهد, وعكرمة, والحسن, وإبرهيم النخعى, وابن زيد, وكعب الأحبار, ولا خلاف فى ذلك

Maksud dari lafadz wa hadzal baladil amin ialah Mekkah. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas, Imam Mujahid, Ikrimah, Hasan, Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Zaid, Ka’ab Al-Ahbar dan tidak ada perdebatan di dalamnya”. (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 8 cet Daar Thayyibah, Riyadh hal 434)

Penama’an Mekkah sebagai negeri yang aman sendiri juga tak lepas dari janji Allah terhadap tanah Mekkah itu sendiri dengan menyebutnya “haraman aaminan”, tanah mulia yang aman dalam ayat 67 surat Al-Ankabut.

Dalam hal ini, keduanya merupakan tempat yang menjadi medium dakwah pada masanya masing-masing. Gunung Thurisayna atau sinin merupakan tempat di mana Nabi Musa As mendapatkan wahyu dari Allah Swt, sedangkan Mekkah merupakan tempat di mana Islam menjadi pusat dakwah Islam pada masa Nabi Muhammad Saw bertugas, selain juga menjadi pusat peribadatan Islam dunia.

Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam kitabnya Safwat At-Tafasir Juz 3 hal 578 (cet: Daar Al-Qur’an Al-Karim, Beirut) mengutip penjelasan Imam Al-Alusi menjelaskan sumpah Allah atas tempat-tempat tersebut dengan berkata demikian:

Ini merupakan sumpah dengan tempat-tempat yang terberkahi dan mulia menurut pendapat kebanyakan pakar tafsir. Adapun Al-Balad Al-Amin ialah Mekkah yang terjaga dengan tanpa khilaf, Thurisinin ialah tempat di mana Nabi Musa menerima wahyu, sedangkan Tin dan Zaitun merupakan nama gunung tempat tumbuh kedua buah tersebut, tepatnya gunung di daerah Damaskus dan Baitul Maqdis

Kemudian Syekh Ali Al-Shabuni selanjutnya berkata:

Tujuan dari bersumpah dengan tempat-tempat tersebut ialah memperlihatkan kemuliaan tanah-tanah yang terberkahi dan yang tampak darinya berupa kebaikan dan keberkahan dengan diutusnya para nabi dan rasul darinya”.

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH

MUI Diminta Beri Pencerahan Agar Umat tak Paksakan Umroh

Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfudin berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat memberikan pencerahan, agar umat Islam tidak memaksakan diri berangkat umroh di masa pandemi. Apalagi kasus Covid-19 varian baru omicron terus meningkat.

“Untuk menyikapi kondisi ini, peran dan kehadiran MUI diperlukan,” kata Ade Marfudin saat dihubungi Republika, kemarin.

Dalam kondisi ini MUI bisa menjelaskan kaidah dalam ushul fiqh tentang dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih atau menghindari keburukan harus didahulukan daripada meraih kebaikan. Untuk itu kata dia, MUI sebagai penjaga umat dapat memberikan pemahaman urgensi umroh di masa pandemi.

“Untuk memberikan penguatan tentang urgensi ibadah umroh di tengah pandemi,”katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof KH Cholil Nafis pernah menyarankan masyarakat tidak memaksakan berumroh di masa pandemi Covid-19. Menurutnya calon jamaah umroh perlu mempertimbangkan risiko kesehatan maupun besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan terkait aturan karantina.

“Menurut saya, meskipun dibuka, sebaiknya ditunda dulu untuk melaksanakan umroh, karena pertama tidak efektif melaksanakan umroh sebab di sini di karantina, di sana karantina,” katanya.

Menurut Kiai Cholil, di situasi saat ini, terlalu mahal jika mengejar pahala sunnah sampai harus mengeluarkan uang sebesar Rp 50 juta hingga Rp 70 juta. Padahal, ada ibadah sunnah setelah subuh yang pahalanya sama dengan ibadah umrah dan haji, bahkan ada jaminan diterima.

Andaikan masih membahayakan dan ketentuan karantina juga merepotkan, Kiai Cholil merekomendasikan untuk menunda berangkat beribadah ke Tanah Suci. Ia mengingatkan, banyak ibadah sunnah lainnya yang bisa dikejar umat.

“Uang yang dipakai kenapa nggak diberikan sebagai bantuan kepada orang yang nggak mampu, yang sekarang terkena pandemi ini, mereka kan lebih membutuhkan. Jadi, jangan sampai kita menjadi egois dalam beribadah,” katanya.

IHRAM

Bahaya Meninggalkan Salat Asar

Terdapat hadis khusus yang mengancam dengan keras orang-orang yang meninggalkan salat asar. Dari Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَكِّرُوا بالصَّلَاةِ، فإنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قَالَ: مَن تَرَكَ صَلَاةَ العَصْرِ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Bersegeralah untuk melakukan salat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggalkan salat asar, maka akan terhapus amalannya.” (HR. Bukhari no. 553 dan 594)

Dalam riwayat lain, dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ مُتَعَمِّدًا ، حَتَّى تَفُوتَهُ ، فَقَدْ أُحْبِطَ عَمَلُهُ

Barangsiapa yang meninggalkan salat asar dengan sengaja sampai keluar waktunya, maka akan terhapus amalnya.” (HR. Ahmad no. 27492, disahihkan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad)

Penjelasan hadis

Meninggalkan salat secara umum adalah dosa besar dan bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّ العَهدَ الذي بيننا وبينهم الصَّلاةُ، فمَن تَرَكها فقدْ كَفَرَ

“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 2621, disahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi)

Dan khusus salat asar, meninggalkannya lebih ditekankan lagi larangannya dalam hadis di atas.

Yang dimaksud meninggalkan salat asar adalah dengan sengaja tidak salat asar. Sehingga, hadis ini tidak membahas orang yang salat asar, namun tidak di awal waktu atau lelaki yang salat asar di rumah tanpa uzur. Karena, dua model orang ini masih termasuk orang yang mengerjakan salat asar. Demikian juga, orang-orang yang menjamak salat zuhur dan asar atau orang yang terluput salat asar karena ada uzur, ini tidak termasuk yang diancam dalam hadis ini.

Adapun lafaz “akan terhapus amalnya” ini diperselisihkan para ulama tentang maknanya. Secara garis besar ulama berbeda menjadi tiga pendapat:

Pertama, sebagian ulama menafsirkan bahwa maknanya adalah terhapus pahala amalnya pada hari itu saja. Ini pendapat dari Ibnul Qayyim rahimahullah.

Kedua, sebagian ulama menafsirkan bahwa maknanya adalah terhapus seluruh pahalanya sebagaimana zahir hadis. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah.

Ketiga, pendapat sebagian ulama yang mentakwil makna hadits ini. Seperti Ibnu Bathal rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa maknanya adalah terhapus pahala dan keutamaan salat asar baginya, bukan pahala amal lainnya. Dan banyak sekali takwil yang lainnya. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَتَمَسَّكَ بِظَاهِرِ الْحَدِيثِ أَيْضًا الْحَنَابِلَةُ ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِمْ مِنْ أَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ يَكْفُرُ ، وَأَمَّا الْجُمْهُورُ فَتَأَوَّلُوا الْحَدِيثَ , فَافْتَرَقُوا فِي تَأْوِيلِهِ فِرَقًا

“Ulama Hanabilah dan ulama yang berpendapat bahwa meninggalkan salat itu kufur, mereka berpegang pada zahir hadits. Adapun jumhur ulama, mereka mentakwil hadis ini. Namun, mereka berbeda-beda dalam mentakwilkannya dengan perbedaan yang banyak.” (Fathul Bari, 2: 31)

Makna yang dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dan juga Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumallah adalah pendapat kedua yang sesuai zahir dari hadis. Bahwa orang yang meninggalkan salat asar dengan sengaja maka terhapus semua amalnya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

هذا يدل على أن ترك الصلاة كفر إذا تركها عمدًا، عزم على تركها بالكلية، فهذا يحبط عمله لأن تركها كفر

“Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat asar itu kufur jika meninggalkannya dengan sengaja dan memang berniat untuk meninggalkannya secara keseluruhan. Orang seperti ini terhapus amalannya karena meninggalkan salat itu kekufuran.” (Fatawa Al-Lajnah, 28: 89)

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menjaga salat asar. Jangan sampai meninggalkannya. Karena, meninggalkan salat asar sangat keras ancamannya.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71589-bahaya-meninggalkan-shalat-ashar.html

Belajar Adab Mendengarkan Adzan Dari Habib Umar

Adzanialah seruan yang ditujukan kepada umat Islam untuk sebagai pertanda masuknya waktu sholat atau panggilan untuk menunaikan sholat. Hukum mengumandangkan adzan ialah sunah muakadah dalam syariat, namun adapula yang berpendapat hukumnya fardhu kifayah dan ini lebih kuat. Dalam fiqh Syafi’iyyah adzan dikumandangkan tidak hanya ketika masuk waktu sholat, melainkan dalam beberapa keadaan, seperti saat kelahiran bayi, kematian seseorang, dan ketika terjadi badai, gempa bumi, kebakaran, dll.

Syariat juga mengajurkan untuk umat Islam yang mendengarkan adzan agar khusyu’ dan menjawab adzan dengan lafaz yang sama sebagaimana yang muadzin kumandangkan, hanya saja ketika sampai seruan hayya ‘alash sholah dan hayya ‘alal falah, orang yang mendengarnya mengucapkan laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Disunahkan pula untuk menghentikan berbagai aktifitas ketika mendengar suara adzan berkumandang, guna mendengarkan adzan dengan khusyu’ dan menjawab seruannya. Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan aktifitas yang sedang dikerjakan, maka cukup mendengarkannya dan menjawabnya.

Dari Sahabat Sa’id al Khudriy bahwasanya Nabi Muhammad Saw. bersabda “Apabila kalian mendengar Adzan, maka jawablah seperti yang diucapkan oleh muadzin (orang yang mengumandangkan adzan).”

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini, Nabi Muhammad Saw. sendirilah yang memerintahkan Sahabat dan umatnya untuk menjawab panggilan adzan. Nabi Saw. juga menjelaskan tentang ganjaran untuk orang-orang yang mau menjawab adzan.

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, dari Sahabat Abu Hurairah bahwasanya, pernah suatu saat kami bersama Rasulullah Saw., lalu Beliau Saw. memerintahkan Sahabat Bilal untuk berdiri mengumandangkan adzan. Setelah selesai adzan. Rasulullah Saw. bersabda “Siapa orang yang mengucapkan seperti yang diucapkan seorang muadzin dengan yakin, maka dia masuk surga.”

Bagi pecinta Nabi Muhammad Saw. sudah pastilah akan mengamalkan setiap kesunahan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Karena pembuktian dari cinta adalah perbuatan (amal). Termasuk kesunahan untuk mendengarkan adzan dan menjawabnya. Di akhir zaman ini sudah banyak yang telah meninggalkan kesunahan-kesunahan Nabi Saw. bahkan ada yang menganggapnya sebagai suatu hal yang remeh –Na’udzubillah–.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz ketika memberikan nasehatnya pada acara Haul Syeikh Abu Bakr bin Salim, Habib Umar menghentikan ceramahnya dikarenakan Beliau mendengar suara adzan dan Beliau pun mengumandangkan adzan.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari kejadian tersebut.

Pertama, Adzan ialah suatu syiar di dalam Islam yang harus dimuliakan. Dan setiap Muslim dianjurkan untuk memuliakan syiar ini, dengan cara mendengarkannya secara khusyu’ dan menjawabnya serta memenuhi panggilannya. Maka, sungguh hal yang aneh jika ada seorang Muslim yang tidak merasakan hal yang istimewa dikala ia mendengarkan adzan atau justru ia cenderung merasa biasa saja.

Kedua, Sunah yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. hendaknya dilakukan semaksimal mungkin, mengingat bahwa setiap kesunahan yang diajarkan oleh Nabi Saw. adalah petunjuk berkehidupan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan.
Ketiga, Berpegangteguhlah akan ajaran dan syariat Nabi Muhammad Saw. karena tidak ada kebaikan untuk umat Islam melainkan di dalam menjalankan syariat Nabi Saw. dengan penuh kecintaan dan keikhlasan.

Keempat, Meneladani kehidupan Nabi Saw. adalah metode menjaga diri dari fitnahnya akhir zaman ini. Akhir zaman ini pastilah akan dipenuhi dengan berbagai fitnah dan bala bencana dan untuk membentengi diri ini dari hal-hal tersebut ialah dengan meneladani Nabi Saw.

Kelima, Hendaknya seorang figur atau tokoh mempraktekkan ilmu yang diajarkannya secara langsung dihadapan umat atau jamaahnya. Biasanya, hal itu lebih membekas di dalam hati jamaahnya ketimbang Sang Tokoh hanya memberikannya teori-teori tanpa adanya penerapan secara langsung.

Keenam, Seorang tokoh adalah buku pandunan yang sangat mudah dilihat dan dibaca oleh umat, sehingga setiap perilaku sang tokoh akan lebih mudah diingat dan diamalkan oleh jamaahnya. Jika sang tokoh mengamalkan amalan kebaikan maka niscaya jamaahnya akan melakukannya.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz adalah seorang Ulama yang sangat berpengaruh di dunia. Dakwahnya yang sangat indah sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw. itulah yang menjadikan Beliau Hafidzahullaah dirindukan oleh jamaahnya di berbagai negara. Nasehatnya bagaikan mutiara yang sangat berharga. Perilakunya menjadi teladan untuk pecintanya.

Semoga Allah memudahkan kita dalam menjalankan kesunahan Nabi Muhammad Saw. Wallaahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Adzan secara etimologi bermakna memberi informasi (I’lam). Adapun secara terminologi, adzan berarti kalimat yang jamak diketahui oleh khalayak yang dikumandangkan sebelum shalat. Definisi adzan dan iqomah sama saja, yang membedakan adalah kalimat yang dikumandangkan (Fath Al-muin bi syarh qurrat al-ain bi muhimmat ad-din). Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Lafadz adzan diulangi itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW terhadap sahabat Bilal bin Rabbah, berikut adalah redaksi hadisnya;

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ»

Dari Anas yang bercerita bahwa Bilal diperintah (oleh Rasulullah SAW) untuk menggenapkan (bacaan) adzan, dan mengganjilkan (bacaan) iqamah” (HR Muslim No.378)

Jadi adzan diulangi dan iqomah tidak, itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW. Imam An-nawawi (676 H) ketika mengomentari hadis ini, beliau menjelaskan mengenai hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan dan mensatu kali kan lafadz iqamah, berikut adalah penjelasan beliau yang tertera dalam kitab Al-minhaj syarah sahih muslim;

وَالْحِكْمَةُ فِي إِفْرَادِ الْإِقَامَةِ وَتَثْنِيَةِ الْأَذَانِ أَنَّ الْأَذَانَ لِإِعْلَامِ الْغَائِبِينَ فَيُكَرِّرُ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي إِعْلَامِهِمْ وَالْإِقَامَةُ لِلْحَاضِرِينَ فَلَا حَاجَةَ إِلَى تَكْرَارِهَا وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ يَكُونُ رَفْعُ الصَّوْتِ فِي الْإِقَامَةِ دُونَهُ فِي الْأَذَانِ

“Hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan adalah karena adzan diserukan guna memberi informasi kepada segenap masyarakat (bahwa waktu sholat sudah masuk), maka dari itu adzan diulangi. Agar informasi ini terdengar oleh mereka. Adapun iqamah, tidak ada kebutuhan untuk mengulanginya (sebab masyarakat sudah berada di masjid). Oleh karena itu, ada ulama’ yang berpendapat bahwasanya volume iqamah itu seyogyanya lebih rendah dari volume adzan” (Imam An-nawawi, Al-minhaj Syarah Sahih Muslim, juz 4 halaman 79)

Meski demikian, ada pengecualian tersendiri. Baik dalam lafadz adzan, maupun iqomah. Maka dari itu, memang tidak semua lafadz adzan diulangi dua kali dan lafadz iqomah tidak diulangi. Hanya saja mayoritas lafadz adzan itu dua kali, sebab takbir di awal adzan itu terjumlah 4 kali. Dan kalimat penutupnya (Tauhid), berjumlah 1 kali. Adapun iqomah, tidak semuanya dikumandangkan satu kali saja. Takbir di awal dan pra akhir, serta lafadz “qad qamat as-shalat” itu diserukan sebanyak dua kali. (Sulaiman Al-bujairimi, Tuhfat al-habib ala syarah al-khatib, juz 2 halaman 49). Jika dikalkulasikan, lafadz adzan berjumlah 19, dan lafadz iqamah berjumlah 11. (Khatib Syarbini, Iqna’ fi hall alfadz abi syuja’, juz 1 halaman 140)

Fungsi Adzan dikumandangkan adalah untuk memberikan informasi bahwa ibadah shalat hendak didirikan. Setiap hari adzan pasti dikumandangkan sebanyak 5 kali, namun meski sudah sering kali didengar, agaknya makna dan filosofi adzan belum banyak diketahui.

Menurut Qadhi Iyad, kalimat adzan itu sudah mencakup teologi keimanan secara komprehensif, baik yang berupa aqliyyat maupun samiyyat (perkara yang diketahui dari media pendengaran, seperti hari kebangkitan dan pembalasan). Adzan diawali dengan kalimat “Allahu Akbar”, yang  mana dengan itu kita berikrar atas eksistensi Allah, sekaligus penetapan dzatnya Allah Azza wa jalla. Di samping itu, kalimat ini merupakan bentuk pujian atas kesempurnaan-Nya, yakni Allah itu lebih agung dari makhluk yang lainnya dalam segi kemuliaannya, bukan jasmaninya.

Kemudian pada lafadz “Asyhadu an la ilaha illa Allah, saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” dan “Asyhadu anna muhammadan rasulullah, saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah” adalah sebuah persaksian mengenai keesaan Allah SWT serta persaksian atas kerasulannya Nabi Muhammad SAW.

Lafadz “Hayya Ala As-shalat, mari menunaikan shalat” adalah sebuah bentuk ajakan untuk menunaikan shalat dengan tanpa adanya rasa malas, apalagi merasa terbebani. Lalu pada lafadz “Hayya Ala Al-falah, marilah menuju keberuntungan”, filosofinya adalah bahwa untuk menuju keberuntungan atau kebahagiaan, maka tunaikanlah kewajiban shalat. Atas izin Allah SWT, pasti akan diberikan jalan menuju keberuntungan. Di samping itu, melalui lafadz ini, kita juga harus percaya dengan perkara akhirat seperti halnya hari kebangkitan dan pembalasan.

Kemudian takbir yang kedua, lafadz ini diulangi karena untuk mengagungkan (Ta’dzim) Allah SWT. Lantas ditutup dengan kalimat tauhid, sebab porosnya perkara itu ada padanya.

Demikianlah filosofi dan makna adzan yang Disarikan dari kitab I’anah At-thalibin fi hall alfadz  fath al-muin (juz 1 halaman 265).

BINCANG SYRAIAH

Syarat untuk Raih Pertolongan Allah

Doktor di bidang Tafsir dan Ilmu Alqur’an Universitas Al Azhar Mesir, Ustaz Fahmi Salim mengatakan, kalau menolong agama Allah, maka pasti Allah akan menolong kita. Menurut dia, ini lah yang dijanjikan Allah dan janji itu adalah sesuati yang haq atau pasti.

Pertanyaannya, apakah kita sudah memenuhi syarat untuk menjadi hamba yang mendapatkan pertolongan Allah?

Dalam bukunya yang berjudul “Tadabbur Qur’an di Akhir Zaman”, Ustaz Fahmi Salim menjelaskan, untuk mendapatkan pertolongan Allah membutuhkan persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Karena, menurut dia, tidak mungkin pertolongan Allah hadir jika masih terus menerus melakukan kemaksiatan.

Selain itu, lanjut dia, mustahil juga pertolongan Allah datang jika berdiam diri terhadap kemungkaran. “Pertolongan Allah membutuhkan komitmen dari kita untuk berani berjuang dan berkorban membela agama-Nya.

Menurut Ustaz Fahmi, syarat untuk mendapatkan pertolongan Allah juga disebutkan dalam surat Al Hajj.

اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS Al Hajj [22]: 41).

Jadi, menurut Ustaz Fahmi, ciri-ciri orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah SWT antara lain, mendiirkan sholat, menunaikan zkat, mengajak kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran. “Empat kategori ini lah yang menjadi kunci untuk mendapatkan pertolongan Allah,” jelas Ustaz Fahmi.

IHRAM