Hukum Bertransaksi Menggunakan Mata Uang Kripto (Cryptocurrency)

الحمْدُ للهِ ربِّ العالمينَ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على نبيِّنا محمَّدٍ وآلِه وصحْبِه أجمعينَ، وبعدُ

Banyak pertanyaan yang telah diajukan terkait hukum perdagangan mata uang kripto (cryptocurency/العُملةِ الإلكترونيَّةِ), khususnya Bitcoin (البتكوينُ) yang merupakan jenis mata uang kripto terpopuler. Artikel ini berusaha untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama, kita harus memahami esensi mata uang kripto (cryptocurency) ini, yang mungkin bisa didefinisikan bahwa mata uang kripto adalah mata uang digital yang terenkripsi dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi untuk melindungi proses transaksi yang berlangsung dengan menggunakannya. Salah satu isunya adalah apa yang disebut dengan “double-spend” (الإنفاقَ المُزْدوجَ), yang menciptakan uang dari ketiadaan (إيجاد النقود من لا شيء); atau untuk mengendalikan proses penciptaan unit baru, sehingga hal itu tidak terjadi dengan mudah atau bisa diciptakan oleh siapa pun sehingga menghindari praktik pemalsuan.

Diskusi perihal penggunaan mata uang kripto sebagai alternatif atau pendamping mata uang kertas telah menjadi berita umum di sebagian negara seperti Jepang dan Swedia. Pencetakan mata uang di atas kertas cukup menghabiskan harta dan tenaga; dan dengan adanya kecenderungan dunia mengarah pada era elektronik, maka ketimbang mencetak mata uang di atas kertas maka lebih baik mencetaknya dalam bentuk angka atau bentuk elektronik yang tersimpan di perangkat komputer; akan tetapi ia dienkripsi dengan cara yang sangat kompleks sehingga tidak ada kemungkinan untuk disalin dan dipalsukan seperti yang bisa terjadi pada mata uang kertas.

Mata uang kripto pun terdiri dari beberapa jenis sebagaimana halnya dengan mata uang kertas yang terdiri dari Dolar, Poundsterling, Riyal, Yen, dan lain-lain. Bitcoin, Lightcoin, Ethereum adalah sejumlah contoh dari mata uang kripto.

Demikian pula, kita bisa mengetahui bahwa mayoritas jenis mata uang kripto tidak berstandarkan oleh segala jenis harta yang bersifat riil (مُغطًّى بأيِّ نوعٍ مِن أنواعِ المالِ الحقيقيِّ); tidak emas, tidak pula oleh mata uang kertas. Sebagian jenis mata uang kripto diyakini oleh pemiliknya berstandarkan harta, atau mungkin saja berstandarkan emas dan perak. Namun, sebenarnya saya tidak mengetahui bagaimana sebenarnya mata uang kripto itu berstandarkan harta, kecuali sebatas janji dari sebagian pihak yang menggunakannya dalam transaksi, yaitu membelinya dengan sejumlah harta atau barang berwujud (tangible goods). Inilah perbedaan utama antara standar dan kemampuan membeli yang akan dijelaskan kemudian.

Perbedaan antara mata uang kripto dan mata uang kertas adalah mata uang kertas umumnya hanya diterbitkan oleh Bank Sentral suatu negara dan diakui secara internasional. Adapun mata uang kripto awalnya diterbitkan oleh sejumlah pihak dan individu, baik diketahui maupun tidak diketahui. Ia tidak tunduk, hingga saat ini, pada regulasi dan ketentuan perundang-undangan internasional, meskipun ada orientasi untuk menuju ke sana. Oleh karena itu, para penyelundup dan yang semisal mereka menggunakan mata uang kripto ini sebagai alternatif mata uang kertas, karena ia mampu mengatasi transaksi-transaksi perbankan yang tunduk pada pengawasan internasional.

Selain itu, nilai mata uang kripto ini mampu berfluktuasi sangat signifikan dalam waktu singkat dan dipengaruhi oleh sejumlah variabel pasar yang banyak, yang boleh jadi bersifat artifisial. Sementara nilai mata uang kertas pada umumnya terpengaruh dengan kekuatan dan kelemahan ekonomi negara. Nilainya pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai mata uang kripto dari segi stabilitas dan osilasi.

Jika bukan karena mata uang ini diterima oleh sebagian besar orang, baik disengaja atau tanpa disengaja oleh pihak yang menerbitkannya, tentu ia tidak memiliki nilai apa pun. Bahkan pada dasarnya ia tidak layak disebut sebagai mata uang karena asal-usul uang adalah sesuatu yang diterima sebagai media perantara untuk membeli dan melakukan transaksi keuangan, dalam artian uang itu memungkinkan untuk digunakan dalam pembelian dan penjualan secara luas dan bukan hanya pertukaran yang terbatas dan bertopang pada persetujuan kedua belah pihak.

Sebagai contoh, diasumsikan ada dua belah pihak yang saling melakukan pertukaran, dimana salah satu pihak memberikan pakaian, sementara pihak lain mengambil pakaian itu dengan menukarkan makanan sebagai kompensasi. Dalam hal ini, makanan dan pakaian tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang. Bahkan jika kita berasumsi dengan berargumen bahwa apabila suatu pakaian tertentu bisa diterima sangat luas di masyarakat karena mampu dipertukarkan dengan barang lain, dan manusia dapat menyimpannya untuk digunakan sebagai media tukar di saat membutuhkan; dan semua itu bukan karena statusnya sebagai pakaian tapi karena fungsinya yang menyimpan harta (menjaga nilai) sehingga bisa digunakan untuk membeli dan menjual, maka dalam kondisi tersebut status pakaian itu sama dengan status uang meskipun hal ini merupakan realita yang tak terbayangkan dapat terjadi. Saya mengira hal itu hanya bisa terjadi dalam sejarah di waktu-waktu tertentu sebagai hasil dari keadaan yang spesifik dan tidak permanen. Inilah wawasan yang dimiliki Imam Malik (w: 179H) sejak dahulu, di saat beliau mengatakan,

ولو جَرَت الجلودُ بيْن الناسِ مَجرى العَينِ المسكوكِ، لَكَرِهتُ بيْعَها بذَهبٍ أو وَرِقٍ نَظِرَةً

“Seandainya kulit berfungsi sebagai mata uang di tengah-tengah masyarakat, saya enggan menjualnya untuk dipertukarkan dengan emas dan perak.”

Di sini, saya melihat suatu keharusan untuk mengingatkan perbedaan antara suatu komoditi yang memiliki nilai yang sesungguhnya (nilai asli) yang melekat pada fisiknya, yang kemudian dianggap sebagai harta yang dipergunakan untuk membeli dan menjual; nilainya sebagai uang sebanding dan mendekati nilai aslinya, tidak terpisah secara total. Dan suatu komoditi yang tidak memiliki nilai pada fisiknya sebagaimana halnya dengan uang kertas dan mata uang kripto (mata uang digital). Dengan demikian, nilai kertas yang di atasnya tercantum nominal sebesar 100 dolar sama sekali tidak sebanding dengan nilai 100 dolar itu. Inilah perbedaan mendasar yang mengakibatkan sulit untuk menganalogikan antara sesuatu yang diterima masyarakat sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dan tidak memiliki standar nilai yang riil seperti uang kertas dan sesuatu yang diterima masyarakat untuk digunakan bertransaksi layaknya uang yang memiliki nilai asli pada fisiknya, seperti contoh pakaian yang disebutkan tadi.

Emas dan perak telah diterima manusia untuk digunakan dalam transaksi mereka. Allah telah menitipkan penerimaan keduanya sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dalam fitrah manusia. Meskipun demikian, keduanya memiliki nilai pada fisiknya, sehingga pembahasan keduanya merupakan hal yang berbeda. Itulah mengapa keduanya istimewa dibandingkan yang lain. Syariat menganggap keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang khusus, dimana pembahasannya disampaikan secara terpisah oleh para ahli fikih dalam topik Sharf dan Riba.

Hukum bertransaksi dengan mata uang kripto

Sejumlah ulama dan peneliti telah meneliti hukum mata uang ini. Akan tetapi, mayoritas ulama dan peneliti yang saya teliti pendapatnya membatasi pembahasan mereka hanya pada satu aspek. Aspek terpenting dari kasus ini, yang menjadi inti artikel ini, belum tersentuh.

Mayoritas peneliti membahas status mata uang kripto ini, apakah ia merupakan “harta (ماليَّة)” atau “uang (نَقديَّة)”; dan mereka menetapkan ketentuan-ketentuan yang lain berdasarkan penilaian apakah status mata uang kripto ini uang atau tidak. Di antaranya adalah legalitas bertransaksi menggunakan mata uang kripto sebagai uang, berlakunya riba pada mata uang kripto, dan kewajiban zakat pada mata uang kripto sebagaimana ketentuan tersebut berlaku pada emas, perak, dan mata uang kertas.

Sebagian peneliti menyampaikan bahwa fluktuasi nilai mata uang kripto serupa dengan judi yang diharamkan agama. Sebagian peneliti mengindikasikan ia mudah dipalsukan menjadi bentuk apa pun sehingga berujung pada pengharaman. Peneliti yang lain menyebutkan bahwa mata uang kripto bisa digunakan dalam praktik penyelundupan dan tindak kejahatan internasional. Oleh karena itu, bertransaksi menggunakannya adalah hal yang terlarang. Sebagian besar hal ini merupakan sebab eksternal yang bisa mempengaruhi hukum mata uang kripto, meskipun bukan alasan utama yang mempengaruhinya.

Sejumlah ulama bersikap abstain dalam menetapkan hukumnya. Bukan tanpa alasan, tapi karena mereka bersikap abstain dalam menilai apakah mata uang kripto ini berstatus uang. Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa jika mata uang kripto ini berlaku sebagaimana mata uang kertas, dimana ia diakui oleh seluruh atau mayoritas negara di dunia; dan penggunaannya dalam transaksi tunduk pada peraturan dan ketentuan yang mampu mencegah terjadinya kecurangan (fraud), maka di saat itulah bertransaksi dengan menggunakan mata uang kripto diperbolehkan.

Beberapa peneliti yang merupakan pakar di bidang ekonomi memberikan uraian terperinci terkait hukum mata uang kripto. Mereka menyampaikan bahwa mata uang kripto yang berstandarkan emas atau harta fisik yang lain, boleh jadi hukumnya diperbolehkan. Sayangnya mereka tidak mengangkat dan menyorot isu standar emas (غِطاءِ الذَّهبِ) dan dampaknya bagi perekonomian dunia, sehingga permasalahan ini menjadi salah satu aspek terpenting dari proses penelitian hukumnya.

Sebelum membicarakan status mata uang kripto, apakah ia merupakan harta atau bukan; dan agar kita mampu memahami standar emas dan dampaknya terhadap hukum bertransaksi menggunakan mata uang kripto, kita harus merenungkan prinsip dan bagaimana kemunculannya. Dengan merenungkan, kita dapat memahami bahwa seluruh bentuk mata uang ini muncul dari ketiadaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ia hanyalah angka atau terkadang berupa bentuk digital yang ditulis, dirumuskan, dan diprogram oleh pengguna komputer. Dengan demikian, sama sekali ia tidak memiliki aset yang berwujud, tidak pula ada materi yang dikeluarkan darinya. Tak ada biaya nyata yang diperlukan untuk menerbitkannya selain listrik yang dikonsumsi untuk mengoperasikan komputer dan waktu yang dialokasikan oleh pemrogram dalam mencatatnya.

Dengan kata lain kita bisa menyatakan bahwa mata uang jenis ini termasuk mata uang atau uang yang diciptakan dari ketiadaan. Hal ini membawa memori kita ke belakang, untuk menyegarkan ingatan perihal kondisi uang kertas setelah tidak lagi memiliki keterikatan dengan emas; yang diinisiasi oleh kebijakan yang dicetuskan oleh Amerika Serikat tahun 1971 dan dikenal dengan Nixon Shock (صدْمةِ نِيكسون).

Dahulu mata uang kertas berstandarkan emas hingga saat itu. Atau kita bisa menyatakan, uang kertas adalah istilah bagi bukti kepemilikan sejumlah emas. Oleh karena itu, di atas mata uang itu biasanya tertulis pernyataan yang mengindikasikan bahwa negara penerbit mampu menjamin penyerahan emas kepada pemegang mata uang kertas, yang nilainya setara dengan nilai mata uang kertas tersebut. Tatkala Amerika Serikat mengakhiri keterikatan mata uang kertas dengan emas, emas tak lagi menjadi standar bagi mata uang dolar. Negara lain pun akhirnya menjalankan pola kebijakan yang sama. Hal ini berarti bahwa negara mampu membuat harta dari ketiadaan selain kertas yang dicetak dan memang itulah yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, negara mencetak mata uangnya di atas kertas tanpa memiliki standar apa pun berupa emas, perak, atau harta yang lain.

Banyak ekonom Barat telah berbicara perihal transformasi ini. Mereka menganggap transformasi ini termasuk peristiwa ekonomi terbesar di dunia. Beberapa dari mereka turut mengemukakan sejumlah bahayanya, namun karena transformasi tersebut merupakan kebijakan Amerika Serikat, pandangan sebagian besar orang tertutup sehingga tidak mampu melihat bahaya yang timbul. Ia melemahkan suara ekonom Barat yang sangat memahami bahayanya. Hal yang juga menyedihkan adalah lenyapnya suara ahli fikih dan ekonom Islam, apalagi suara umat Islam seperti yang direpresentasikan oleh negara Islam.

Tidak berlebihan kiranya jika saya menyatakan bahwa transformasi ini dapat dianggap sebagai sumber penderitaan yang mengakibatkan seluruh dunia mengalami berbagai permasalahan ekonomi. Saya belum menemukan, sebatas penelitian sederhana yang saya lakukan, pihak yang menyingkap hakikat bahaya transformasi tersebut dan hubungannya dengan segelintir konglomerat dan orang yang berkuasa terhadap perekonomian dunia. Demikian pula belum ada pihak yang menyingkap hubungan transformasi tersebut dengan seluruh permasalahan ekonomi yang menimpa dunia. Hal ini adalah upaya untuk menjelaskan hakikat kebijakan tersebut dan bahayanya; kemudian hubungannya dengan apa yang dikenal saat ini dengan mata uang digital terenkripsi (mata uang kripto).

Pada kenyataannya, kebijakan ini dianggap membuka pintu peluang aktivitas yang dikenal dengan nama “creation of money”, menciptakan uang dari ketiadaaan, yang berjalan dalam sejumlah bentuk diantaranya adalah peningkatan pasokan uang dari berulangnya aktivitas kredit. Segala hal ini takkan terjadi apabila mata uang kertas merupakan bukti kepemilikan riil yang memiliki keterikatan dengan emas, perak, harta riil yang lain sebagai kompensasi.

Pencetakan mata uang dolar yang dianggap sebagai mata uang yang kuat, bahkan yang terkuat saat ini, untuk dipergunakan dalam perdagangan hanyalah menciptakan uang dari ketiadaan. Maka, sangat memungkinkan untuk mengkreasi mata uang dolar dari ketiadaan karena ia bukanlah bukti kepemilikan sejumlah emas; bahkan bukan pula dianggap sebagai bukti kepemilikan sejumlah harta riil yang lain. Atau dengan kata lain tak ada lagi keterikatan antara mata uang dolar dan emas atau harta riil. Ini satu persoalan. Adapun perintah negara atau ketetapan negara kepada warga negaranya untuk menyetujui mata uang yang diterbitkan negara sebagai uang yang dipergunakan dalam transaksi jual-beli; dan menerimanya sebagai kompensasi dan pembayaran, merupakan persoalan yang lain.

Dengan demikian, negara-negara di dunia mampu menciptakan harta dari ketiadaan; sehingga mereka pun memiliki kebebasan tak terbatas untuk memiliki emas dan perak. Bahkan mampu untuk merekayasa emas dan perak yang spesifik dari ketiadaan yang tak seorang pun bisa mempertanggungjawabkannya. Setiap kali kekuatan militer dan politik suatu negara menguat, menguat pula kekuatan mata uangnya. Demikian pula, segelintir orang yang berkuasa mampu mendominasi ekonomi dunia melalui uang imajiner sehingga mengambil keuntungan dari hal itu untuk memperkuat kekuatan dan kekuasaannya. Adapun negara-negara yang lemah, mata uang yang dihasilkannya adalah mata uang yang lemah, tak memiliki kekuatan apa pun kecuali melalui keterikatannya dengan mata uang dolar. Bahkan meskipun negara itu adalah negara yang kaya akan sumber daya alam berupa emas dan perak; sementara dolar itu sendiri tak memiliki kapital dan standar yang riil.

Salah satu indikator terpenting yang menunjukkan perbedaan utama antara status mata uang kertas sebagai bukti kepemilikan riil, baik emas, perak, atau harta riil yang lain; dan statusnya sebagai mata uang kertas yang diakui negara penerbitnya sebagai alat pembayaran adalah terjadinya inflasi, yaitu peningkatan jumlah uang yang beredar versus jumlah barang yang harus direpresentasikannya. Jika uang merupakan bukti kepemilikan yang riil untuk harta yang riil, inflasi itu takkan terjadi. Sebagaimana telah diketahui bersama inflasi adalah salah satu permasalahan ekonomi terbesar yang dialami oleh negara-negara di dunia, khususnya negara-negara yang lemah, walaupun mereka memiliki aset penting berupa emas alam.

Orang yang merenungkan semangat syariat Islam yang tinggi dalam menetapkan ketentuan serah-terima (التقابُضِ) di majelis akad, khususnya jika yang dipertukarkan adalah uang dengan uang, akan menemukan salah satu mukjizat dari sekian mukjizat syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadis populer yang dinilai sebagai hadis utama dalam topik riba,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ؛ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah (burr) ditukar dengan gandum, gandum putih (sya’ir) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam; takaran/timbangannya sama dan dipertukarkan secara tunai. Jika jenis barang tadi berbeda, maka silahkan kalian menjualnya sesuka hati, namun harus dilakukan secara tunai.”

Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh hadis di atas, maka kriteria sepadan dan sejenis (tamatsul) akan mencegah praktik riba, sedangkan kriteria serah-terima secara tunai akan mencegah praktik penciptaan uang. Kedua praktik ini, yaitu riba dan penciptaan uang, memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Serah-terima yang mampu mencegah praktik riba dan penciptaan uang tidak akan terwujud kecuali jika mata uang yang dipertukarkan bersifat riil. Dengan demikian, praktik riba dan penciptaan uang merupakan landasan kehancuran dan beragam permasalahan ekonomi dunia. Ia merupakan sebab hilangnya keseimbangan yang menjadi dasar Allah menciptakan alam semesta dan mendistribusikan rezeki. Allah menganugerahi sebagian negara dengan kekayaan alam berupa emas, sedangkan negara lain dianugerahi dengan kekayaan alam selain emas. Jika emas dan perak, atau bahkan uang, dikreasi dari ketiadaan, maka rusaklah keseimbangan yang merupakan keadilan ilahi ini. Keadilan itu tergantikan oleh kezaliman yang dilakukan pihak yang kuat dan tidak beriman kepada Allah, yang akan menentang kekuasaan-Nya.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-Alaq: 6-7)

Penciptaan uang memberikan kesempatan untuk mewujudkan uang imajiner yang tidak memiliki standar apa pun. Bahkan, sebagaimana halnya dengan mata uang terenkripsi, beberapa pihak yang memiliki keterampilan menciptakan uang mampu memperoleh kekayaan dan bahkan memonopolinya. Status mata uang tersebut tidak terukur, sehingga menjadi pintu yang terbuka luas untuk tindakan penggelapan dan penipuan. Hal ini dikarenakan tidak ada harta riil yang mampu mengevaluasinya. Selain itu, nilai mata uang tersebut dapat dimanipulasi dan dikendalikan sesuka hati, sehingga nilainya bisa mengalami kenaikan dan penurunan yang siginifikan dalam waktu singkat. Dikarenakan uang yang tidak nyata ini kerap terjadi pula pembelian ganda (الشِّراءُ المُزدَوجُ), sehingga dari uang imajiner ini tercipta uang imajiner yang lain, betapa pun ketentuan yang telah diberlakukan untuk mengendalikan aktifitas tersebut. Ekonomi dunia atau ekonomi pasar itu pun menjadi bubble yang siap-siap meledak kapan saja dengan membawa efek destruktif yang besar.

Hal yang menyedihkan, isu penciptaan uang ini belum mendapatkan porsi yang cukup dalam riset dan kajian ahli fikih Islam. Walaupun ia berkorelasi dengan riba di banyak kasus, namun sebagian bentuk dan turunannya melebihi bentuk dan turunan riba.

Berdasarkan hal ini, segala bentuk penciptaan dan pembuatan uang dari ketiadaan adalah perkara yang haram dalam syariat. Ia melangkahi dan melanggar hak Sang Pencipta dalam penciptaan. Hanya Dia ‘azza wa jalla yang berhak mewujudkan sesuatu dari ketiadaan.

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. al-A’raf: 54)

Seandainya memilki kemajuan di arena internasional dan ekonomi dunia, dunia Islam tentu tak akan menyetujui hilangnya keterikatan antara emas dan mata uang kertas. Ia akan mendesak agar mata uang kertas menjadi bukti kepemilikan emas yang setara dengan nilainya. Negara-negara Islam akan menolak transaksi uang imajiner ini yang dikreasi oleh pihak yang kuat lagi zalim dan menolak penggunaannya hingga menit terakhir agar tidak menjadi korban bagi uang tersebut dan pihak yang mengkreasinya.

Hukum mata uang kripto yang tidak berstandarkan harta

Mata uang terenkripsi ini merupakan bentuk lain dari penciptaan harta yang tidak berstandar. Sebagaimana yang telah kami sampaikan, mata uang ini dibuat baik oleh individu, perusahaan, atau negara. Mata uang ini belum diadopsi dalam transaksi internasional hingga saat ini. Boleh jadi hal itu akan segera dilakukan agar mata uang terenkripsi ini menggantikan mata uang kertas, yang sebenarnya menampilkan dua sisi dari mata uang yang sama. Uang imajiner tidak memiliki standar harta, terlebih lagi diharapkan berstandarkan dengan mata uang riil, yaitu emas dan perak.

Oleh karena itu, penciptaan mata uang yang dikenal dengan mata uang terenkripsi (cryptocurrency) ini terlarang, baik secara langsung maupun melalui aktivitas yang disebut dengan menambang (mining/ التَّنقيب), karena ia merupakan aktifitas pembuatan uang dari ketiadaan seperti yang disampaikan sebelumnya. Demikian juga memompa uang untuk memperkuat mata uang terenkripsi ini melalui proses jual-beli merupakan hal terlarang.

Apabila ternyata dalam kasus ini:

  • mata uang terenkripsi menggantikan atau mendampingi mata uang kertas;
  • negara, bank sentral, atau otoritas hukum yang menerbitkan berkomitmen menguangkannya dengan semua jenis komoditi atau produksi dalam negeri (GDP) yang setara dengan nilainya; semisal kita memiliki mata uang dolar kertas, mata uang dolar digital, atau mata uang Amerika lain yang mendampingi mata uang dolar, memiliki nilai tukar spesifik dan tetap sebagaimana kondisi mata uang dolar;
  • instrumen mata uang terenkripsi diberlakukan di seluruh negara di dunia, termasuk di negara-negara Islam, sebagai pengganti atau pendamping mata uang kertas;
  • nilai mata uang terenkripsi juga dapat disesuaikan dengan nilai tukar tetap – dengan sedikit kenaikan atau penurunan, seperti halnya mata uang kertas, tanpa mengalami fluktuasi yang besar dan cepat yang menjadikannya serupa dengan perjudian yang terlarang dalam agama;
  • perundang-undangan yang memadai diberlakukan untuk menjamin kegiatan transaksi yang menggunakannya,

maka jika berbagai persyaratan di atas terpenuhi, mungkin bisa dikatakan saat itu boleh bertransaksi dengan mempergunakannya, sebagaimana kondisi transaksi saat ini yang terpaksa menggunakan mata uang kertas. Mata uang terenkripsi ini di saat itu menjadi alternatif yang serupa, meskipun pada asalnya mata uang kertas pun terlarang (haram) setelah tak lagi memiliki keterikatan dengan emas.

Negara-negara Islam harus berupaya keras untuk menghindari penjualan kekayaan mereka dengan imbalan pembayaran berupa mata uang tersebut, jika menginginkan kemandirian ekonomi dan tegaknya keadilan di muka bumi. Dengan begitu, mata uang tersebut tidak akan menguat, karena selayaknya negara-negara Islam menjual kekayaan mereka dengan emas dan perak asli, atau melalui pertukaran dengan harta bergerak.

Hukum mata uang kripto yang berstandarkan emas

Seperti yang disampaikan sebelumnya, tidak terbayangkan bahwa mata uang ini akan berstandarkan emas secara riil. Paling banter pihak penerbit berjanji untuk menyerahkan sejumlah emas yang setara dengan nilai mata uang tersebut. Kita harus memverifikasi janji tersebut, apakah ia sekadar janji moral atau janji yang mengikat karena keterikatannya dengan aturan yang tetap dan diakui.

Di sisi lain, nilai mata uang ini harus sebanding dengan nilai emas, sehingga kita bisa memverifikasi kredibilitas standarnya. Jika demikian, tidak boleh bertransaksi dengan mempergunakan mata uang tersebut dengan cara yang memisahkannya dari emas yang menjadi standar melalui penawaran harga. Harga emas memang bisa berubah, namun perubahannya terbatas jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengubahnya. Jika berfluktuasi secara signifikan dalam waktu singkat, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada standar riil berupa emas bagi mata uang kripto. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang melarang transaksi mempergunakan mata uang ini. Hal itu dikarenakan transaksi mempergunakan mata uang tersebut dalam jual-beli termasuk aktifitas perjudian sebagaimana telah disampaikan di atas.

Jika terbukti bahwa mata uang tersebut memiliki standar emas dengan batasan-batasan yang kami sampaikan, maka hal itu tidak lantas menjadikannya sebagai mata uang yang independen; tapi faktanya adalah mata uang itu merupakan bukti kepemilikan emas yang karena hal itu ia tunduk pada ketentuan-ketentuan Sharf yang telah jamak diketahui. Saya tidak akan membahas hal ini secara detil, karena saya hanya menyampaikannya sebagai suatu kemungkinan; karena saya menganggap hal itu sulit terjadi secara nyata, setidaknya hingga saat ini.

Hukum mata uang kripto yang berstandarkan harta dan aset bergerak yang lain

Sebagaimana yang telah saya sampaikan perihal hukum mata uang kripto yang berstandarkan emas; bahwa tak terbayangkan sebagian bentuk atau jenis mata uang ini akan berstandarkan emas, demikian pula halnya jika mata uang ini akan berstandarkan dengan harta atau aset bergerak yang lain. Bahkan probabilitas hal itu tak akan terjadi lebih kuat. Apapun kasusnya, jika diasumsikan terdapat jenis mata uang kripto yang memiliki standar harta yang lain seperti tanah, properti, dan sejenisnya, maka mata uang ini hanya bisa menjadi bukti kepemilikan bagi harta tersebut. Di saat itu, kita harus memperlakukannya sebagaimana bukti kepemilikan dan bukan sebagai mata uang kertas. Kecuali jika bertransaksi dengan mempergunakannya telah stabil sebagaimana bertransaksi dengan uang kertas; di saat itulah kita harus meninjau kembali hukumnya dan tindakan-tindakan pencegahan yang telah disampaikan juga diberlakukan demi menghindari terjadinya perjudian ketika bertransaksi mempergunakannya.

واللهُ الموفِّقُ والهادِي إلى سواءِ السَّبيلِ

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari artikel “حُكمُ التعامُل بالعُملة الإلكترونيَّة المُشفَّرة: (البتكُوين) وأخواتها” karya Dr. Haitsam ibn Jawwad al-Haddad; dapat diakses di https://dorar.net/article/1982.

Sumber: https://muslim.or.id/69188-hukum-bertransaksi-menggunakan-mata-uang-kripto-cryptocurrency.html

Masjidil Haram Alokasikan 25 Jalur Baru

Masjidil Haram Alokasikan 25 Jalur Baru

 Kepresidenan Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi telah mengalokasikan 25 jalur baru di Masjidil Haram. Puluhan jalur ini disiapkan untuk memberikan kenyamanan bagi para pengunjung masjid, sekaligus menerapkan tindakan pencegahan.

Dilansir di Al-Riyadh Daily, Rabu (29/9), upaya tersebut dilakukan pihak berwenang, mengingat jumlah jamaah umrah yang semakin meningkat.

Kepresidenan Umum mengatur stiker jarak sosial untuk 25 jalur baru di sekitar area Tawaf. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari persiapan musim umrah 1443 Hijriah.

Pihak Kepresidenan juga mengalokasikan jalur bagi penyandang disabilitas, sesuai dengan langkah-langkah kehati-hatian dan protokol kesehatan.

Kepresidenan Umum Urusan Dua Masjid Suci menyiapkan area shalat baru di dalam Masjidil Haram maupun halamannya untuk jamaah umrah. Perluasan dilakukan untuk memastikan keselamatan mereka.

Sebanyak 12 ribu jamaah disebut telah bertolak ke Arab Saudi untuk melaksanakan umrah, sejak dibuka Agustus 2021. Sepuluh negara telah mengirimkan jamaahnya, seperti Irak, Nigeria, Sudan, Jordan, Senegal, Bangladesh, Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Emirat Arab.

Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali, mengatakan dari semua jamaah yang berangkat itu, belum ada yang menggunakan skema booster.

“Sampai saat ini, berdasarkan informasi yang saya peroleh, belum ada jamaah yang memakai vaksin booster. Artinya, semua menggunakan vaksin yang juga di gunakan di Arab Saudi,” kata Endang Jumali.

Kerajaan Arab Saudi selama ini menggunakan empat jenis vaksin, yaitu: Pfizer, AstraZeneca, Jhonson & Jhonson, serta Moderna.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Rahasia di Balik Jumlah Dzikir yang Berbeda-beda

Dzikir mempunyai sejumlah keutamaan bagi para pelakunya

Pernahkah terpikirkan mengapa mengucap dzikir  itu perlu diulang berkali-kali? Dan mengapa pula Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk memuji-Nya dalam bertasbih berkali-kali pula?

Dilansir di Masrawy, Kamis (30/9), Sekretaris Fatwa di Darul Ifta Mesir, Syekh Muhammad Wissam, menjelaskan hikmah di balik jumlah dzikir  dan juga bertasbih kepada Allah SWT. Di sisi lain, beliau juga menjelaskan mengenai hukum syariat dari dzikir serta bilangannya itu.

Syekh Wissam mengatakan bahwa bertasbih merupakan salah satu jenis dzikir  yang diperintahkan Allah SWT, hal ini sebagaimana termaktub dalam Surat Al Ahzab ayat 41, Dia berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا “Ya ayyuhalladzina aamanu-dzkuruullaha dzikran katsiran.” Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikir lah (dengan menyebut nama) Allah (dengan) dzikir  yang sebanyak-banyaknya.” 

Beliau menjelaskan mengenai hikmah bertasbih dan berdzikir  dalam ayat tersebut. Menurutnya, Allah adalah Dzat yang tanpa satu pun kekurangan. 

Dia Sang Pencipta kesempurnaan dan sumber cahaya, dan karena itulah segala pujian dalam dzikir dan tasbih memang sudah selayaknya dilekatkan kepada Allah SWT.

Demikian juga Syekh Wissam menjelaskan bahwa sesungguhnya wahyu hanya diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. 

Sehingga ketika umat Islam belajar bagaimana mengagungkan Allah dalam shalat, Nabi mengajari umat Islam untuk bertasbih memuji Allah sebanyak 33 kali. 

Dan ketika kita bertasbih sebanyak 33 kali dan kemudian jumlahnya bertambah sebanyak 33 kali ataupun 34 kali, hal ini menekankan bahwa angka tersebut memiliki rahasia di dalamnya.

Karena itu, Nabi SAW ketika mengatakan itu, beliau berbicara tentang Allah Yang Maha-Esa. Untuk itulah, sunnah Nabi SAW yang demikian lebih utama untuk diikuti. Dijelaskan bahwa angka tersebut berbeda dengan pujian yang mutlak. 

Syekh Wissam berkata bahwa bertasbilah sesuka kalian, kapan saja, dalam waktu-waktu yang panjang, namun tetap dalam pakem sunnah.

Syekh Wissam menjelaskan bahwa Nabi SAW diwahyukan kepadanya dan Allah SWT menjadikan angka-angka tersebut sebuah rahasia penciptaan. 

Dan jika seorang hamba mengucapkannya, maka dia telah akan mendapati kecukupan atas ketaatannya pada Rasulullah SAW. Meskipun apa yang dia ikuti tidak sampai dalam bayangannya. 

Sumber: masrawy   

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat Sunnah Sambil Berbaring, Padahal Mampu Berdiri, Sahkah Shalatnya?

Shalat sunah berbeda dengan shalat wajib dalam pelaksanaannya. Salah satu titik perbedaan dari keduanya, adalah kewajiban untuk berdiri. Jika menunaikan shalat wajib, maka berdiri bagi yang mampu merupakan rukun shalat. Jika, sengaja duduk atau berbaring dalam shalat, padahal ia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah.

Namun dalam shalat sunnah sebaliknya. Tidak ada kewajiban untuk berdiri, sekalipun ia mampu. Itulah titik perbedaan shalat sunnah dan fardu. Di samping itu, shalat sunnah juga bisa dikerjakan dalam keadaan telentang atau berbaring. Sekalipun orang yang shalat itu mampu untuk duduk. Itu keringanan hukum, sekalipus pembeda dengan shalat wajib.

Bolehnya shalat sambil berbaring, diungkapkan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in.  Shalatnya dianggap sah meskipun tak berdiri atau duduk. Berikut teks pembahasan shalat sunnah dalam keadaan berbaring dalam kitab Fathul Mu’in berikut;

فيجوز له أن يصلي النفل قاعدا ومضطجعا مع القدرة على القيام أو القعود، ويلزم المضطجع القعود للركوع والسجود

Artinya; Shalat sunnah sambil duduk dan berbaring dibolehkan walaupun mampu berdiri dan duduk. Akan tetapi, bagi orang yang berbaring diharuskan duduk ketika rukuk dan sujud.

Menurut Ibnu hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al Minhaj, bahwa ketika shalat sunnah dalam keadaan telentang, seyogianya orang shalat tersebut berbaring ke arah kanan. Hal ini lebih ashah (baik). Ibnu Hajar berkata;

وللقادر التنفل ) ولو نحو عيد ( قاعدا ) إجماعا ولكثرة النوافل ( وكذا مضطجعا ) والأفضل كونه على اليمين ( في الأصح)

Artinya; Dan untuk orang yang mampu melaksanakan shalat sunah, seumpamanya shalat Ied, boleh dalam keadaan duduk, ini ijma’ ulama, dan ini bagi kebanyakan shalat-shalat sunnha. Dan demikian juga dalam kedaan berbaring (juga boleh), dan saat shalat berbaring ia lebih baik menghadap kanan, ini lebih utama.

BINCANG SYARIAH

3 Kondisi Ini Wanita Dilarang Gunakan Parfum Kecantikan

Larangan penggunaan parfum untuk menjaga kehormatan perempuan

 Parfum menjadi salah satu barang wajib bagi kebanyakan orang untuk meningkatkan kepercayaan diri. Entah untuk memikat lawan jenis, memberikan kesan baik atau alasan lain. 

Namun ternyata dalam Islam ada batasan penggunaan parfum bagi para wanita seperti yang dijelaskan dalam hadist Nabi Muhammad SAW. 

Berikut tiga batasan penggunaan parfum bagi wanita yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Fiqih Wanita karya Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim: 

Pertama, ketika ihram 

Wanita dilarang untuk memakai parfum atau minyak wangi saat sedang menjalankan ihram. Larangan ini sebenarnya juga berlaku bagi pria yang dilarang menggunakan parfum di baju atau tubuhnya. Larangan ini dijelaskan langsung oleh Nabi Muhammmad SAW melalui sabdanya yang artinya:

ولا ثوبًا مَسَّه الزعفرانٌ ولا وَرْسٌ “Dan janganlah kalian memakai sesuatu yang dioleskan (minyak wangi) ja’faran atau wars.” (HR Bukhari).  

Menurut Abu Malik Kamal, hikmah dilarangnya minyak wangi bagi wanita yang sedang ihram adalah karena wewangian merupakan salah satu daya tarik untuk melakukan jima. Hal ini dapat memicu gairah dan dapat merusak ihram.

Kedua, ketika berkabung 

Dalam sebuah hadits, Ummu Habiibah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ أُمّ عَطِيَّةَ، ” نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ “. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الْقُسْطُ وَالْكُسْتُ مِثْلُ الْكَافُورِ وَالْقَافُور 

Dari Ummu ‘Athiyyah, dia berkata : “Nabi SAW melarang memakai wewangian (saat berkabung) kecuali di akhir masa sucinya (dari haid). Jika ia telah suci, dia boleh memakai qusth (sejenis kayu yang wangi) dan minyak wangi adhfar.” (HR Bukhari).

Telah dijelaskan dalam pembahasan jenazah bahwa seorang wanita yang sedang berkabung dilarang mengenakan minyak wangi dan yang lainnya. 

Adanya pengecualianbagi wanita haid adalah untuk sekedar menghilangkan aroma tak sedap selepas haid dengan cara mengusap bekas darahnya, bukan bermaksud untuk berhias dengan memakai wewangian  

Ketiga, ketika keluar rumah

Abu Malik Kamal menjelaskan, seorang wanita tidak boleh menggunakan minyak wangi saat keluar rumah. Walaupun wanita itu berniat memakai minyak wangi untuk suaminya. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ 

Dari (Abu Musa) Al Asyari, dia berkata, “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, lalu melewati satu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.” (HR Abu Daud) 

Larangan ini bahkan berlaku bagi wanita yang berjalan menuju masjid. Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ، فَلَا تَمَسَّ طِيبًا “

Dari Zainab istri Abdullah, dia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kami, “Jika salah satu kalian, para muslimah, mau pergi ke masjid maka janganlah dia memakai wewangian.” (HR Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Pakai Software Bajakan Dilarang Menurut Islam?

Menggunakan software yang bukan open source sangat rawan

Berbagai jenis peranti lunak (software) kini semakin mudah ditemukan. Bahkan di sejumlah toko daring peranti lunak bajakan atau hasil menyalin dari yang aslinya bisa didapatkan dengan harga sangat murah. Tetapi bolehkah seorang Muslim memakai software bajakan? 

Penceramah yang juga pendiri dan pimpinan Quantum Akhyar Institut, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan pada prinsipnya tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersial atas suatu karya yang diikat hak cipta adalah perbuatan yang melanggar hukum positif serta dilarang syariat. 

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat Undangan-Undang Hak Cipta yang juga mengatur tentang larangan melakukan plagiat, memperbanyak dan menyebarluaskan karya orang lain tanpa izin. Di mana orang yang melanggar undang-undang tersebut maka akan terancam sanksi kurungan penjara dan juga denda.  

Menurut Ustadz Adi Hidayat bila terdapat aturan seperti halnya UU Hak Cipta yang menjadi dasar larangan menggunakan software bajakan, atau pun tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersial maka setiap Muslim harus tunduk terhadap aturan atau hukum yang telah disepakati itu.

Ini sesuai dengan kaidah fiqih yang diambil dari hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan bahwa orang-orang Islam itu diikat lewat syarat-syarat yang disepakati.  

Selain itu tindak penggandaan ilegal, plagiat, dan menyebarkan atas karya orang lain untuk tujuan komersial merupakan tindakan yang batil. 

Sementara mencari rezeki, keuntungan, dari jalan yang batil dilarang dalam Islam. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (QS An Nisa ayat 29).  

“Jadi kalau memang ada satu ketentuan, ada hak ciptanya, ngga boleh kemudian diperbanyak, dibajak, diperjualbelikan, maka dilarang pula secara syariat kita mengerjakan demikian dan bisa menghasilkan unsur dosa di dalamnya,” kata Ustadz Adi Hidayat dalam kajian daringnya beberapa waktu lalu.  

Kendati demikian menurut Ustadz Adi terhadap peranti lunak yang terbuka atau open source atau dibuat untuk dapat diakses publik dengan cuma-cuma maka diperbolehkan untuk menggunakannya.  

Sementara itu menurut Ustadz Adi dalam kondisi tertentu semisal peranti lunak tersebut sangat dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak atau bahkan dapat menopang kehidupan bernegara semisal untuk kepentingan pendidikan,

sementara masyarakat tidak dapat mengaksesnya karena adanya monopoli salah satu pihak maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan memperbanyak peranti lunak tersebut. Sementara perbuatan memonopoli kebutuhan publik sehingga sulitnya masyarakat untuk mengaksesnya merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam.    

Karena itu Ustadz Adi Hidayat mengatakan hal ini juga dibahas dalam fiqih nawazil. Sehingga diperbolehkan menggunakan atau memperbanyak peranti lunak yang bajakan sepanjang hajatnya sangat dibutuhkan masyarakat luas, yang tidak bisa  atau tidak ada kesanggupan mengakses pada yang peranti utama dan bukan untuk diperjualbelikan.  

“Jadi kesimpulannya jika itu (peranti lunak) open source maka itu dibolehkan (digunakan). Jika tidak open source maka dilihat apalah itu menjadi hajat hidup orang banyak yang sekiranya bisa digunakan untuk kepentingan pribadi bukan untuk diperjualbelikan. Kalau diperjualbelikan maka kembali kepada hukum-hukum asalnya,” katanya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Melakukan Shalat di Saat Jam Kerja

Salah satu cara seseorang untuk mendapatkan penghasilan adalah dengan cara bekerja. Namun, karena jadwal kerja yang padat membuat sebagian orang kesulitan untuk melakukan ibadah shalat di luar jam kerja. Lantas, bagaimanakah hukum melakukan shalat di saat jam kerja?

Seorang karyawan tidak boleh melakukan aktivitas lain pada jam kerja. Aktivitas seorang karyawan itu harus sesuai kebijakan-kebijakan kantor. Ini Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir juz 4, halaman 275,

عن رافع بن خديج قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : المسلمون عند شروطهم فيما أحل

Dari Rafi’ ibn Khodij yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslimin wajib mematuhi kesepakatan yang mereka buat selagi halal menurut syariat.”

Imam Abdurrouf Al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir, juz 6 halaman 453 memberi keterangan  lebih lanjut mengenai hadis diatas. Menurutnya, segala syarat yang kantor tetapkan itu seluruh karyawan harus melaksanakannya selama tidak berkaitan dengan perkara yang haram menurut syariat. Sebagaimana dalam penjelasan beliau berikut ini,

المسلمون عند شروطهم فيما أحل بخلاف ما حرم فلا يجب بل لا يجوز الوفاء به

Kaum Muslimin wajib mematuhi kesepakatan yang mereka buat selagi halal menurut syariat. Bila menyepakati hal yang dilarang, maka hukumnya tidak wajib, bahkan tak boleh memenuhinya.

Meskipun demikian, apabila di dalam kontrak kerja itu terdapat klausul bahwa karyawan harus bekerja 8 jam sehari bukan berarti dia harus menghabiskan waktu 8 jam untuk senantiasa bekerja. Hal ini karena tidak mungkin karyawan itu kerja terus menerus tanpa makan, minum, ke toilet dan lainnya.

Rasanya tidak seperti itu yang terjadi selama ini. Biasanya kedua belah pihak sama-sama tahu dan mafhum, bahkan tidak mungkin manusia bekerja tanpa makan dan minum selama 8 jam berturut-turut. Pasti ada toleransi yang bisa karyawan dan kantor sepakati bersama.

Demikian juga halnya dengan shalat, seharusnya ada toleransi yang bisa tersepakati antara karyawan dengan perusahaannya. Mengingat kebutuhan untuk shalat sama halnya dengan kebutuhan untuk makan, minum dan sekedar ke toilet.

Syekh Sulaiman Al Bujairimi dalam kitab Hasyiah Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj, juz 3, halaman 174 menyebutkan bahwa waktu-waktu shalat fardu, bersuci, serta waktu makan dan buang air tidak termasuk dalam jam kerja.  Sebagaimana dalam keterangan beliau berikut,

وأوقات الصلوات الخمس وطهارتها وراتبتها وزمن الأكل وقضاء الحاجة مستثناة من الإجارة فيصليها بمحلة أو بالمسجد إذا استوى الزمان في حقه وإلا تعين محله والاستئجار عذر في ترك الجمعة والجماعة

Artinya : “ Waktu-waktu shalat lima waktu, bersuci, shalat rawatib, serta waktu makan dan buang air tidak termasuk dalam jam kerja, maka ia diperbolehkan untuk shalat di suatu tempat atau di masjid jika waktunya sama dengan haknya, sebaliknya  jika ada perbedaan waktu maka dia diharuskan shalat di tempatnya, aktifitas bekerja dapat dijadikan udzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan salat berjamaah. ”

Karyawan mendapat dispensasi untuk melakukan shalat fardu. Ini karena shalat fardu itu kewajiban setiap muslim. Pihak kantor harus memberi waktu luang kepada karyawannya untuk melaksanakan shalat fardu.

Tetapi, seseorang karyawan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah jika harus meninggalkan kewajibannya di kantor terkecuali telah mendapat izin dari pihak kantor.

Sebagaimana keterangan dalam Darul Ifta Mesir berikut,

إذا تعارض الواجب والمستحب لزم تقديم الواجب، وقيام العاملين والموظفين بما أنيط بهم من مهام وتكاليف هو أمر واجب التزموا به بموجب العقد المبرم بينهم وبين جهة العمل، فانصرافه وتشاغله عنه -ولو بالعبادة المستحبة- حرامٌ شرعًا؛ لأنه تشاغلٌ بغير واجب الوقت، ما لم يكن ذلك مسموحًا به في لوائح العمل؛

Jika terjadi pertentangan antara perkara wajib dan sunnah, maka perkara wajib harus kita  dahulukan. Melaksanakan tugas bagi karyawan terhadap segala hal yang merupakan tanggung jawabnya adalah hal wajib yang menyebabkan mereka terikat berdasarkan kontrak yang dibuat antara mereka dan majikan. Jika mereka beralih kepada aktivitas lain sekalipun dengan melaksanakan ibadah Sunnah maka hukumnya haram selama belum ada toleransi dari pihak yang berwenang

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa karyawan dapat dispensasi untuk melakukan shalat fardu. Pihak kantor harus memberi waktu luang kepada karyawannya untuk melaksanakan shalat fardu.

Tetapi, seseorang karyawan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah jika harus meninggalkan kewajibannya di kantor terkecuali telah mendapat izin dari pihak kantor.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Peringatan Alquran untuk Orang-Orang Munafik

Dalam Surah An-Nisa Ayat 138, Alquran memberi kabar atau pesan kepada orang-orang munafik. Bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat kemunafikannya.

بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (QS An-Nisa: 138).

ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ

(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah. (QS An-Nisa: 139)

Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat 138 ini menerangkan, sampaikanlah berita sebagai ejekan dan kecaman kepada orang-orang munafik, wahai Nabi Muhammad, bahwa bagi mereka di akhirat kelak siksaan yang pedih. Bahkan mereka akan berada pada tingkat yang paling rendah, buruk, dan berat dari neraka Jahanam sebagai balasan dari perbuatan mereka.

Ayat 138 dalam Tafsir Kementerian Agama menerangkan, orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang Mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya. 

Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.

Ayat 139 dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama menerangkan, walau mengaku beriman, mereka sebenarnya tetap dalam keadaan kufur dan menyembunyikannya. Salah satu buktinya ialah bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya, yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung meraka. Hal itu dilakukan dengan meninggalkan orang-orang Mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap.

Mereka seharusnya menjadikan orang Mukmin itu auliya mereka, tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Apakah mereka yaitu orang-orang munafik mencari kekuatan di sisi mereka yakni orang-orang kafir untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada mereka? Ketahuilah, wahai Muhammad dan orang-orang yang beriman, bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan hal yang sia-sia karena semua kekuatan itu milik Allah.

IHRAM

Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim

Kita telah ketahui bersama bahwa berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, semua ini bagian dari perkara muamalah yang hukum asalnya mubah (boleh). Lalu, bagaimana jika kegiatan ini semua dilakukan dengan non muslim?

Hukum asal muamalah adalah mubah

Terdapat kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama yang berbunyi,

الأصل في المعاملات الإباحة

“Hukum asal muamalah adalah mubah.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala tidak melarang perbuatan baik dan menyambung silaturahmi (kepada non muslim). Demikian juga, Allah tidak melarang membalas kebaikan dengan cara yang ma’ruf (baik), serta tidak melarang berbuat adil kepada kaum musyrikin, baik mereka adalah karib-kerabat ataupun bukan. Selama bukan dalam keadaan yang membuat non muslim tersebut wajib diperangi dan non muslim tersebut bukanlah orang-orang yang mengusir mereka dari negerinya. Maka, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk menyambung tali silaturahmi dengan kerabat yang non muslim. Karena menyambung tali silaturahmi adalah perbuatan yang tidak ada keharaman di sana dan tidak ada mafsadah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang tua yang musyrik jika anaknya seorang muslim,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفً

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik!” (QS. Luqman: 15) (Taisir Karimirrahman, hal. 856).

Maka, berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, atau menggunakan produk non muslim, semua ini jika dilakukan terhadap non muslim, juga hukum asalnya mubah (boleh).

Rasulullah pun dahulu berjual beli dan berbisnis dengan non muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bermuamalah dengan orang musyrikin. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ

“Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan. Padahal ketika itu, ia masih beragama dengan agama orang kafir Quraisy. Lalu, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari.  Lalu, orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi.” (HR. Bukhari no. 2264)

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan muamalah-muamalah di atas dengan non muslim. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068)

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun berjual-beli dengan non muslim bahkan menggunakan produk non muslim. Tentu saja selama produk tersebut halal dan baik.

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan non muslim. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2285, Muslim no. 1551).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لا مانع من معاملته في البيع والشراء والتأجير ونحو ذلك، فقد صح عن رسول الله عليه الصلاة والسلام أنه اشترى من الكفار عباد الأوثان، واشترى من اليهود وهذه معاملة، وقد توفي عليه الصلاة والسلام، ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام اشتراه لأهله

“Tidak ada larangan untuk bermuamalah jual-beli, sewa-menyewa, atau muamalah lainnya (dengan non muslim). Terdapat dalam hadis sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli barang dari orang-orang kafir penyembah berhala, juga membeli barang dari orang Yahudi, dan ini semua perkara muamalah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan kepada orang Yahudi, ketika membeli makanan sebagai nafkah untuk keluarga beliau.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 6 hal. 285).

Ringkas kata, berbisnis dengan non muslim hukum asalnya boleh. Tentunya selama bisnis yang dilakukan itu halal, tidak terdapat riba, gharar, maisir, dan perkara-perkara yang diharamkan syariat.

Bolehkah melayani non muslim?

Namun, memang terdapat khilaf di antara ulama tentang muamalah berupa khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada non muslim. Jumhur (mayoritas) ulama melarangnya. Mereka berdalil dengan ayat,

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sama sekali Allah tidak pernah memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

Dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Para fuqaha sepakat bolehnya seorang kafir memberikan  khidmah (pelayanan) kepada seorang muslim. Demikian juga, para fuqaha sepakat bolehnya seorang muslim disewa untuk orang kafir dalam suatu pekerjaan yang mu’ayyan fi dzimmah (spesifik dan ada batas temponya). Seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, menanami lahan, dan semisalnya. Namun, para ulama khilaf tentang hukum khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada orang kafir. Baik dengan akad ijarah (sewa), akad i’arah (pinjam-meminjam), atau akad lainnya.

Mazhab Hanafiyyah berpendapat hal tersebut hukumnya dibolehkan. Karena akad-akad tersebut termasuk akad mu’awadhah (saling menguntungkan), sehingga dibolehkan sebagaimana jual-beli. Namun, dimakruhkan jika mengandung unsur khidmah (pelayanan) kepada orang kafir. Karena khidmah itu bentuk perendahan diri.

Adapun mazhab Malikiyah, disebutkan oleh Ibnu Rusyd bahwa seorang muslim disewa untuk melayani orang Nasrani atau Yahudi, ini ada empat macam. Ada yang boleh, ada yang makruh, ada yang mahzhur, dan ada yang haram.

Pertama, yang boleh adalah jika seorang muslim melakukan pekerjaan untuk orang kafir di rumah si muslim tersebut. Seperti seorang yang memproduksi suatu barang yang dikonsumsi masyarakat secara umum.

Kedua, yang makruh adalah jika orang kafir mendominasi seorang muslim dalam suatu pekerjaan atau muamalah, namun orang kafir tersebut tidak punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim yang berhutang kepada orang kafir, atau orang seorang muslim bekerjasama musaqah (merawat lahan) milik orang kafir.

Ketiga, yang mahzhur (terlarang) adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan untuk orang kafir yang orang kafir ini punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim menjadi pembantu di rumah orang kafir.

Keempat, yang haram adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan, seperti mengolah khamr, menggembala babi, dan semisalnya. Untuk jenis ini, akadnya batal sebelum ia bekerja. Jika sudah terlanjur mendapat gaji, maka wajib disedekahkan untuk orang miskin.

Mazhab Syafi’iyyah berpendapat haramnya seorang muslim memberikan pelayanan kepada orang kafir jika secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, seperti mengucurkan air cuci tangan untuk orang kafir, membawakan sandal untuk dipakai orang kafir, membersihkan kotoran pada badan dan pakaiannya, atau semisal itu. Secara tidak langsung, contohnya seperti seorang muslim diutus untuk mengurus suatu kebutuhan orang kafir (yang mubah). Dihukumi haram dalam rangka menjaga kaum muslimin dari perendahan dan penghinaan. Namun, makruh hukumnya meminjamkan dirinya atau menyewakan dirinya untuk melayani orang kafir, selama orang kafir tersebut tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Mazhab Hambali dalam riwayat yang sahih menyatakan haramnya seorang muslim disewa untuk melayani orang kafir atau meminjamkan dirinya untuk melayani orang kafir. Karena dalam kondisi ini, terdapat unsur pengekangan seorang muslim di bawah kendali orang kafir dan juga unsur perendahan diri di depan orang kafir.” (diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 19 hal. 46).

Ringkasnya, wallahu a’lam, jika muamalah seorang muslim terhadap non muslim berupa pelayanan kepada mereka, perlu kita bagi menjadi tiga macam:

Pertama, jika itu berupa pelayanan yang spesifik, ada batas temponya, tidak ada unsur perendahan diri, serta tidak dikuasai penuh oleh orang kafir, maka ulama sepakat bolehnya.

Kedua, jika bukan termasuk pada poin 1, namun bukan dalam perkara haram, maka hukumnya makruh. Lebih utama bagi seorang muslim untuk tidak melakukannya. Namun, andaikan ia melakukannya, tidak ada dosa baginya.

Ketiga, jika pelayanan yang dilakukan dalam perkara haram, maka ulama sepakat akan haramnya.

Demikian penjelasan ringkas mengenai berjual-beli dan menggunakan produk non muslim, semoga bermanfaat. Wabillahi at-taufik was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69088-hukum-berjual-beli-dan-menggunakan-produk-non-muslim.html



Peristiwa Penghimpitan di Alam Kubur

Ahlusunah mengimani bahwa di alam kubur akan terjadi peristiwa ضغطة /dhoghthoh/ (penghimpitan). Ini didasari oleh beberapa hadis yang sahih, diantaranya:

Pertama, hadis dari Aisyah Radhiallahu’anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا نَجَا مِنْهَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ

“Sesungguhnya di alam kubur akan terjadi penghimpitan. Andaikan ada orang yang selamat darinya, maka sungguh Sa’ad bin Mu’adz akan selamat darinya” (HR. Ahmad [6/55], disahihkan Al Albani dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no.1695).

Kedua, hadis dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu, bahwa bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ketika Sa’ad bin Mu’adz Radhiallahu’anhu meninggal,

هَذَا الَّذِي تَحَرَّكَ لَهُ الْعَرْشُ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَشَهِدَهُ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ الْمَلَائِكَةِ لَقَدْ ضُمَّ ضَمَّةً ثُمَّ فُرِّجَ عَنْهُ

“Lelaki ini membuat Arsy berguncang, dan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit, dan ia akan dipersaksikan oleh 70 Malaikat sebagai orang yang baik. Namun ia mengalami penghimpitan di alam kubur kemudian terlepas darinya” (HR. An Nasa’i no.2055, disahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Ketiga, hadis dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ketika ada seorang anak kecil yang meninggal,

لَوْ أَفْلَتَ أَحَدٌ مِنْ ضَمَّةِ القَبْرِ لَأَفْلَتَ هَذَا الصَبِيُّ

“Andaikan ada orang yang selamat dari penghimpitan di alam kubur, sungguh anak ini akan selamat” (HR. Ath Thabarani dalam Mu’jam Al Kabir [4/121], disahihkan Al Albani dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2164).

Siapa saja yang mengalami penghimpitan?

Ulama sepakat bahwa orang kafir dan munafik pasti akan mengalami penghimpitan. Sebagaimana dalam hadis dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda tentang orang kafir dan munafik,

وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ

“… kemudian kuburnya pun menghimpitnya hingga remuk tulang-tulangnya” (HR. Abu Daud no. 4753, Ahmad no.17803, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Kemudian, jumhur ulama mengatakan bahwa para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalam tidak mengalami penghimpitan di alam kubur. As Suyuthi Rahimahullah mengatakan,

والمعروف أن الأنبياء لا يضغطون

“Pendapat yang makruf, para Nabi tidak mengalami penghimpitan” (Syarhus Shudur bi Syarhi Haalil Mauta wal Qubur, karya As Suyuthi, halaman 114).

Al Munawi Rahimahullah mengatakan,

وأقول: استثناؤه الأنبياء ظاهر، وأما الأولياء فلا يكاد يصح؛ ألا ترى إلى جلالة مقام سعد بن معاذ وقد ضم

“Saya katakan, pendapat yang mengecualikan para Nabi dari terkena penghimpitan adalah pendapat yang kuat. Adapun mengecualikan para wali, maka ini pendapat yang tidak tepat. Tidakkah anda lihat bagaimana Sa’ad bin Mu’adz saja yang kedudukannya tinggi tetap mengalami penghimpitan?!” (Faidhul Qadir, 5/313).

Adapun orang-orang beriman selain para Nabi dan Rasul, maka ada khilaf yang kuat di tengah ulama apakah mereka mengalami penghimpitan ataukah tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa para auliya’ (orang-orang saleh) tidak mengalami penghimpitan di alam kubur. Namun pendapat yang kuat (sebagaimana disebutkan Al Munawi) adalah bahwa orang-orang beriman selain para Nabi dan Rasul, mereka semua mengalami penghimpitan tanpa terkecuali. Sebagaimana zahir dari hadis Aisyah Radhiallahu’anha. Oleh karena itu, Ibnu Abi Mulaikah Rahimahullah, seorang tabiin, beliau berkata,

ما أجير من ضغطة القبر ولا سعد بن معاذ الذي منديل من مناديله خير من الدنيا وما فيها!

“Tidak ada yang selamat dari penghimpitan, bahkan Sa’ad bin Mu’adz saja tidak selamat. Padahal satu sapu tangan beliau itu lebih baik daripada dunia dan seisinya!” (Diriwayatkan dalam kitab Az Zuhd karya Hannad bin as-Sarri [1/125]).

Bahkan anak kecil yang belum terkena beban syariat saja terkena penghimpitan sebagaimana dalam hadis Abu Ayyub Radhiallahu’anhu.

Bagaimana bentuk penghimpitan yang dialami orang-orang beriman?

Walaupun orang-orang beriman mengalami penghimpitan di alam kubur, namun bentuknya berbeda dengan yang dialami orang-orang kafir dan munafik. Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, penghimpitan yang mereka rasakan adalah penghimpitan maknawi, yang berupa rasa takut dan gelisah. Bukan penghimpitan kubur secara hakiki. Abu Bakar At Taimi Rahimahullah mengatakan,

كان يقالُ: إن ضمَّةَ القبرِ إنَّما أصلُها أن الأرض أُمُّهم، ومنها خلقُوا، فغابُوا عنها الغيبةَ الطويلةَ، فلما رَدُّوا إليها أولادَها، ضمَّتهم ضمَّ الوالدةِ التي غابَ عنها ولدُها

“Para ulama mengatakan, bentuk penghimpitan di alam kubur itu pada asalnya karena bumi bagaikan ibu bagi manusia. Di sana mereka diciptakan, kemudian tiba-tiba ia tidak lagi berada di bumi untuk waktu yang lama. Ketika anak-anak bumi ini dikembalikan kepadanya, maka ia merasakan kesempitan sebagaimana sempitnya seorang ibu yang kehilangan anaknya” (Tafsir Ibnu Rajab, 2/373).

Kedua, penghimpitan yang mereka rasakan adalah penghimpitan hakiki, namun hanya sebentar. Al Munawi Rahimahullah mengatakan,

المؤمن الكامل ينضم عليه ثم ينفرج عنه سريعًا، والمؤمن العاصي يطول ضمه ثم يتراخى عنه بعد، وأن الكافر يدوم ضمه، أو يكاد أن يدوم

“Seorang mukmin yang sempurna imannya, akan mengalami penghimpitan, kemudian dengan cepat segera dilepaskan. Sedangkan seorang mukmin yang ahli maksiat akan diperlama penghimpitannya. Sedangkan penghimpitan orang kafir akan selamanya dihimpit atau hampir selamanya” (Faidhul Qadir, 2/168).

Kapan terjadi penghimpitan di dalam kubur?

Penghimpitan di alam kubur terjadi sebelum pertanyaan dua malaikat. Ar Ramli Rahimahullah mengatakan,

وضمة القبر للميت قبل سؤال الملكين

“Penghimpitan di alam kubur terjadi sebelum pertanyaan dua Malaikat” (Fatawa Ar Ramli, 6/33).

Al Muzanni Rahimahullah dalam Syarhus Sunnah beliau berkata,

ثمَّ هم بعد الضغطة فِي الْقُبُور مساءلون

“Kemudian mereka setelah mengalami penghimpitan, mereka akan ditanya (oleh malaikat)” (Syarhus Sunnah lil Muzanni, poin ke 10).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah juga menjelaskan,

الأحاديث الصحيحة تدل على أن الرجل إذا سأله الملكان وأجاب بالصواب فسح له في قبره، فإن صح الحديث فالمعنى أنه أول ما دخل ضمه القبر ثم فسح له

“Hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa seseorang ketika ia berhasil menjawab pertanyaan dua malaikat di dalam kubur dengan benar, maka akan dilapangkan kuburnya. Jika hadis tentang penghimpitan itu sahih, maka maknanya, pertama kali ia masuk ke dalam kubur, ia akan dihimpit oleh kubur, kemudian akan dilapangkan (setelah menjawab pertanyaan)” (Liqa Babil Maftuh, 17/36).

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita al qauluts tsabit di kehidupan dunia, di alam kubur, dan melindungi kita dari azab kubur.

(Diringkas dari penjelasan Syaikh Abdullah bin Abduh Nu’man Al Awadhi dan Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahumallah).

Penyusun: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69086-peristiwa-penghimpitan-di-alam-kubur.html