Tips untuk Mualaf Agar Khusyuk Saat Sholat

Sangat penting membiasakan diri mendengarkan Alquran setiap hari.

Untuk seorang yang baru masuk Islam, sholat dalam bahasa Arab mungkin tampak sedikit rumit pada awalnya. Seperti diketahui, sholat adalah pertemuan antara seorang hamba dengan Tuhan. Seorang mualaf yang dulunya Kristen atau Yahudi sebelumnya terbiasa melakukan ibadah dalam bahasanya sendiri.

Dilansir dari About Islam, Sabtu (21/8), Allah SWT memang tahu semua yang ada di hati setiap orang, Dia mengenali setiap doa dan permohonan. Namun, karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, seorang Muslim harus menggunakan bahasa Arab.

Sebagai seorang Muslim baru sekarang, hal pertama yang mungkin muncul di benak seorang mualaf adalah bagaimana berkomunikasi dengan Tuhan dalam bahasa yang tidak dikuasai? Bagaimana cara memiliki ketaqwaan (khusyuk) selama sholat dan memiliki perhatian penuh kepada Tuhan saat membaca dalam bahasa yang tidak diketahui?

Dalam Islam, fakta bahwa semua Muslim berdoa dengan cara yang sama, mengucapkan kata-kata yang sama memberikan keindahan yang nyata, yakni kesatuan Islam. Persatuan yang dapat dilihat saat umat Islam berdoa di ka’bah.

Tidak peduli dari mana mereka berasal atau bahasa apa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, ketika mereka berkumpul bersama untuk menyembah Tuhan, mereka semua mengucapkan “Allahu Akbar” dan membaca kata-kata yang sama dari Quran, dan mereka semua membungkuk dan sujud bersama.  

Maka karena fakta ini, wajib atas setiap Muslim melakukan sholat mereka dalam bahasa Arab dengan kata-kata dan gerakan yang diajarkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Seorang mualaf, Timea Aya Csanyi membagikan tipsnya untuk mengatasi masalah yang biasa dihadapi orang-orang yang baru memeluk Islam.

Perbanyak mendengar bacaan Alquran

Menurutnya, sangat penting membiasakan diri untuk mendengarkan Alquran setiap hari, atau beberapa video Youtube dalam bahasa Arab;  Meski belum memahami bacaannya, setidaknya Anda akan lebih mengenal bunyi bahasa Arabnya.

Mintalah pengawasan orang lain

Timea menyebut, upaya lain yang bisa dilakukan adalam dengan meminta salah satu teman Muslim Arab atau siapa pun yang memiliki pengucapan bahasa Arab yang benar untuk mengklarifikasi kata-kata yang Anda ucapkan dalam sholat. Pastikan beri perhatian khusus pada huruf dan suara yang tidak ada dalam bahasa Inggris.

Pakai alat bantu

Sebelum berdiri untuk sholat, bisa juga mengambil selembar kertas besar dan tulis secara fonetis dalam bahasa kalian apa yang harus diucapkan pada bagian-bagian tertentu dari sholat dengan huruf besar yang dapat dibaca dalam posisi berdiri. Letakkan di depan saat sholat dan baca saja. Lakukan itu lima kali sehari selama beberapa hari dan Anda akan menghafalnya dengan sangat mudah dengan sedikit usaha.

Sholat berjamaah

Menurutnya, sangat penting juga untuk sholat dengan orang lain. Jika memungkinkan, perlu juga mencoba sholat dengan Muslim lain atau bahkan lebih baik dalam kelompok yang sudah berdoa tanpa kesulitan.

Dengan cara ini Anda akan menikmati semangat kelompok Islam. Seorang mualaf akan mendapatkan lebih banyak pahala untuk sholat berjamaah dan pada saat yang sama, secara bertahap menghafal apa yang mereka katakan.

Belajar lewat video

Jika seorang mualaf tidak dapat berdoa bersama orang lain, maka putarlah video atau program apa pun yang mengajarkan bagaimana melakukan shalat dan ikuti instruksi mereka. Perlu juga memastikan sebelum memilih cara ini atau berdoa dengan seseorang, Anda telah membaca beberapa kali apa yang harus diucapkan dengan tepat di setiap bagian selama sholat.

Hal ini karena, seperti lagu-lagu yang biasa didengarkan, kadang-kadang Anda mungkin berpikir penyanyi itu mengatakan suatu kata, tetapi setelah memeriksa liriknya Anda menyadari mereka menyanyikan sesuatu yang benar-benar berbeda. 

Cara lain yang menurutnya harus dilakukan adalah tetap berteman dengan Muslim yang saleh, menghadiri sholat berjamaah bersama mereka pada hari Jumat dan hari-hari lainnya selama seminggu sebanyak mungkin untuk memperkuat iman. Saat Anda berdoa, atau benar-benar melakukan sesuatu, ingatlah Tuhan selalu mengawasi Anda.

KHAZANAH REPUBLIKA

Alasan Mengapa Muslim Penting Harus Senantiasa Sehat?

Kesehatan bagi Muslim sangat mendukung aktivitas ibadah

Agama Islam adalah satu-satunya agama yang menaruh perhatian kepada kesehatan raga persis seperti perhatian kepada jiwa dan roh. 

Meskipun telah berusaha mengangkat jiwa manusia ke tingkat yang tinggi , Islam tetap tidak menelantarkan tubuh dengan tidak memberinya perhatian khusus untuknya.  

“Tidak hanya itu, Islam juga berusaha melindungi dan memeliharanya dari keletihan dan penyakit,” kata  tulis Dr dr Muhammad Washfi dalam bukunya “Menguak Rahasia Ilmu kedokteran dalam Alquran.”   

Menurutnya, satu dari banyak bentuk kebahagiaan orang mukmin adalah segala yang terkait dengan eksistensi mereka dan bisa memelihara tubuh mereka. Dan ini telah dijelaskan secara lengkap dan sempurna oleh Islam. 

“Tujuannya supaya jiwanya sampai pada kesempurnaan mutlak yang telah disyariatkan Allah SWT,” katanya. Dalam surat Ash Shaf ayat 8 Allah SWT berfirman:  

 وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ “….Dan Allah telah menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.”

Orang sakit tidak punya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban kemanusiaan yang diwajibkan agamanya. Dan penyakit akan membuatnya tidak maksimal dalam menjauhkan diri dari pikiran pikiran jahat dan bisikan bisikan nafsu. “Penyebabnya adalah hubungan erat antara jasad dan roh,” katanya. 

Seperti yang telah dipahami bahwa penyakit memberi pengaruh pada organ saraf seseorang, pikiran, pemahaman, perasaan, dan aktivitas. Dan dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara penyakit tubuh, gangguan kejiwaan maupun gangguan mental.    

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Childfree dalam Islam

Istilah Childfree belakangan viral di media sosial. Pasalnya, salah satu selebgram memutuskan untuk menjalani childfree. Childfree adalah istilah yang memiliki pengertian, kesepakatan sepasang suami dan istri untuk hidup tanpa memiliki anak setelah menikah. Lantas, bagaimana hukum childfree dalam Islam?

Tak bisa dipungkiri, childfree merupakan istilah yang baru bagi sebagian orang. Meski demikian, di Indonesia sendiri, terdapat juga komunitas childfree. Dan banyak juga praktisi childfree ini. Bila kita menelusuri terdapat pelbagai alasan para pasangan suami dan istri memutuskan tidak ingin memiliki anak.

Yulaika Ramadhani dalam laporan reportase di Tirto.id yang berjudul Mereka Memutuskan Tidak Punya Anak, terdapat beragam alasan.  Dengan mengutip pendapat Susannah Rigg, ia menulis terdapat pelbagai hal yang melatarbelakangi keputusan ini berkaitan dengan kesehatan, latar belakang keluarga, pertimbangan gaya hidup, alasan finansial, sampai alasan terkait emosional atau ‘maternal instinct’.

Selain itu ada juga yang memiliki alasan childfree, seperti yang ditulis oleh Ustadz Ahong, pasangan suami istri memiliki pandangan banyak anak yang disayangi—selain anak biologis. Misalnya, anak yatim piatu korban Covid atau korban bencana alam lainnya.

Tentu ada juga yang memilih tidak  memiliki anak karena takut anaknya telantar. Tidak terawat. Sebab suami dan istri sibuk dengan karier dan pekerjaan masing-masing. Hal itu akan mengakibatkan anak kekurangan perhatian dari orang tua. Dan besar tanpa ada kasih dan sayang orang tua. Tentu ini akan memengaruhi mental dan psikologis anak.

Tentu masih banyak lagi alasan pasangan childfree, namun  terlepas dari alasan itu semua, Syekh Syauqi Ibrahim Alam dari Dar Ifta Mesir, mengeluarkan fatwa nomor 4713, 5 Februari 2019, mengatakan sebuah fatwa yang di antara poinnya. Pertama, dalam Islam tidak ada keterangan Al-Qur’an atau Hadis yang mewajibkan pasangan suami istri untuk punya anak. Berikut kutipan teksnya;

ولم يوجب الشرع على كل من تزوَّج أن ينجب أولادًا، لكنه حثَّ عمومَ المسلمين على النكاح والتكاثر، واكتفى بالترغيب في ذلك مع بيان أنها مسؤوليةٌ على كل من الوالدَيْن

Artinya; Syariat tidak mewajibkan setiap orang yang menikah untuk memiliki anak, tetapi kebanyakan kaum muslimin pada umumnya untuk menikah dan memperbanyak anak.  Dan keputusan itu tercukupi dengan dorongan untuk melakukannya dengan penjelasan sebagai tanggung jawab orang tua (suami-istri).

Kedua, adanya kesepakatan suami dan istri tidak memiliki anak. Pasalnya, menjadi orang tua bukanlah hal yang sepele. Terdapat tanggung jawab besar. Orang tua bertugas menyayangi anak, membesarkan, memberikan perhatian, dan mendidik anak. Kesepakatan suami istri tidak mempunyai anak merupakan hal yang dibolehkan dalam agama. Terlebih bila ada alasan jelas semisal adanya penyakit, khawatir tidak dapat menjaga, menyayangi dan mendidik anak dengan baik.

وإذا غلب على ظن الزوجَيْنِ أنهما غيرُ قادرَيْنِ على هذه المسؤولية، أو قَرَّرا عدمَ الإنجاب لمصلحةٍ معينةٍ: كأن يكون في الإنجاب خطورة مثلًا على صحَّة الزوجة، أو خَافَا فسادَ الزمان على الذريَّة، فاتفقا على عدم الإنجاب، فلا حَرَجَ في ذلك عليهما؛ لأنه لم يرِدْ في كتاب الله تعالى نصٌّ يُحرِّم منعَ الإنجاب أو تقليلَه

Artinya: Jika pasangan berpikir kemungkinan besar mereka tidak mampu untuk tanggung jawab ini, atau mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak untuk kepentingan tertentu, seperti jika melahirkan anak berbahaya bagi kesehatan istri, atau mereka takut kehancuran zaman—perubahan iklim sebab angka kelahiran, dan keduanya setuju untuk tidak memiliki anak, maka tidak ada yang salah/dosa dengan itu bagi mereka itu, Pasalnya tidak ada nash dalam Al-Qur’an yang melarang mencegah atau mengurangi kelahiran anak.

Ketiga, ketidakinginan punya anak ini, menurut Syekh Ibrahim Alam, dianalogikan dengan kasus azal atau pemutusan sanggama sebelum mencapai orgasme sehingga sperma suami keluar diluar lubang vagina istri. Azal ini  terjadi di era Nabi Muhammad dan para sahabat;

واتفاقهما على منع الإنجاب في هذه الحالة يُقاس على العزل, وقد اتفق جمهور العلماء على أنَّ العزلَ مباحٌ في حالة اتفاق الزوجين على ذلك

Artinya; Dan sepakat suami dan istri untuk mencegah kelahiran (chidfree)  pada keadan ini diqiyaskan pada azal, dan terkait azal, para ulama sepakat bahwa sesungguhnya hukumnya adalah boleh,apabila ada kesepakatan suami dan istri.

Lebih lanjut, Mufti Mesir ini juga mengatakan childfree  merupakan hak suami dan istri. Mereka boleh memutuskan untuk punya anak atau bukan. Hal itu adalah urusan individual. Dan harus dilingdungi. Akan tetapi, childfree itu harus atas kesepakatan kedua, tidak boleh salah satu.

عدمُ الإنجابِ هو حقٌّ للزوجين معًا، ويجوز لهما الاتفاقُ عليه إذا كان في ذلك مصلحة تخصُّهما، ولا يجوز لأحدهما دون موافقة الآخر، وهذا الجواز على المستوى الفردي

Artinya: tidak punya anak merupakan hak suami dan istri secara bersamaan. Dan boleh bagi keduanya untuk sepakat childfree jika itu untuk kepentingan mereka, dan tidak boleh bagi salah satu dari mereka tanpa persetujuan yang lain, dan kebolehan ini merupakan hak/urusan individu

Sementara di sisi lain, ada juga yang menjelaskan bahwa hukum childfree dalam Islam hukumnya haram. Alasannya pun beragam. Ada yang menyebutkan tujuan menikah salah satunya untuk memiliki anak. Ada juga yang mengutarakan, anak adalah investasi berharga bagi orang tua. Oleh karena itu keputusan tak punya anak, merupakan sesuatu hal yang terlarang.

Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terkait pentingnya anak. Hal ini juga yang menjadi hujjah sebagian ulama yang menyatakan childfree dalam Islam merupakan sesuatu yang terlarang. Imam Ghazali berkata ;

وفى التواصل الى الولد قربة من اربعة وجوه هي الاصل فى الترغيب فيه عند امن من غوائل الشهوة حتى لم يحب احد ان يلقي الله عزبا الاول موافقة الله بالسعي فى تحصيل الولد الثانى طلب محبة الرسول صلى الله عليه وسلم في تكثير من به مباهته الثالث طلب التبرك بدعاء ولد الصالح بعده الرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير اذا مات قبله

Artinya; pada usaha untuk memiliki keturunan  merupakan ibadah dalam empat sisi. Yang menjadi alasan dasar dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat/hawa nafsu sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menikah.

Pertama, menggapai ridha Allah dengan memiliki keturunan. Kedua, mencari cinta kasih Nabi Muhamad sebab memperbanyak umatnya yang dibanggakan. Ketiga, berharap mendapatkan berkah dari doa anak saleh setelah orang tuanya meninggal. Keempat, menuntut syafaat dari anak sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.

Demikian penjelasan hukum childfree dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Childfree dalam Padangan Islam

Saudaraku yang semoga disayangi Allah Ta’ala. Sebelum Engkau memutuskan untuk melakukan “Childfree” yaitu memutuskan tidak punya anak dalam pernikahan, kami ajak Anda merenung. Salah satunya adalah renungkan kalimat berikut,

“Kita tidak ada di dunia,  jika orang tua kita memutuskan childfree.”

Ya, kalimat di atas untuk memberikan renungan bagi mereka yang memutuskan untuk melakukan childfree. Benar, salah satu dampak memutuskan childfree yaitu tidak mempunyai anak dalam pernikahan.

Apabila kita berbicara masalah hak asasi dan hak memilih, memang benar, setiap orang berhak untuk memutuskan tidak punya anak, baik untuk sementara maupun selamanya dengan alasan apapun. Karena hidup itu adalah pilihan. Bahkan apabila ada orang memilih tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, kita tidak bisa memaksa mereka untuk beriman. Tidak ada paksaan dalam agama ini.

Allah Ta’ala berfirman,

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Akan tetapi, kita adalah muslim yang beriman, tentu kita berusaha menjalankan syariat Islam yang Allah Ta’ala turunkan dan Allah Ta’ala hanya ridha dengan agama Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ

“Sesungguhnya agama yang diridai dan diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19)

Patut kita camkan bahwa Allah Ta’ala yang lebih mengetahui bagaimana cara manusia hidup berbahagia dengan kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan semu semata. Konsep kehidupan selain dari konsep Islam yang Allah Ta’ala turunkan hanyalah membawa kepada kesengsaraan yang terlihat seolah-olah kebahagiaan. Allah Ta’ala yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta sehingga Allah Ta’ala yang paling tahu konsep dan cara untuk berbahagia.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Katakanlah, “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al-Baqarah: 140)

Tentu saja konsep childfree ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, sangat banyak sekali poin-poinnya, di antaranya:

Pertama, mempunyai anak adalah fitrah manusia dan kebahagiaan orang tua adalah memiliki anak. Betapa banyak pasangan mandul yang sampai saat ini berusaha memiliki anak. Mereka bahkan rela mengorbankan apa saja untuk berobat agar memiliki anak. Pasangan yang mandul ini tentu saja sedih hidup mereka belum dikarunai anak.

Anak-anak adalah permata hati dan kebahagiaan bagi mereka yang masih berada dalah fitrah.

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Para Nabi ada yang belum dikaruniai anak sampai mereka berumur tua. seperti Nabi Ibrahim dan Zakaria ‘alaihimassalam. Mereka tentu sedih jika tidak mempunyai anak dan yang meneruskan generasi dan gen mereka di muka bumi. Mereka pun berdoa kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai anak dan Allah Ta’ala mengabulkan doa mereka.

Perhatikan doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam berikut ini,

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَْ

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia menyeru Tuhannya, “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung.” (QS. Al-Anbiya’: 89-90)

Kedua, memiliki anak dan mendidik dengan baik termasuk sunnah.

عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban. Lihat Al-Irwa’ no. 1784)

Ketiga, terlalu banyak dalil perintah agar kita memiliki dan memperbanyak keturunan.

Salah satunya bahwa jumlah keturunan yang banyak adalah karunia. Sehingga Kaum Nabi Syu’aib ‘alaihissalam diperingatkan tentang karunia mereka, yaitu jumlah yang banyak padahal dahulunya sedikit,

وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ

“Dan ingatlah di waktu dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu.” (QS. Al-A’raf: 86)

Keempat, anak mendatangkan rizki dengan izin Allah Ta’ala.

Yaitu dengan menjemput rizki dan tidak bermalas-malasan. Allah Ta’ala menyebut memberi rizki anak DAN baru kemudian orang tuanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’: 31)

Kelima, anak-anak adalah harapan kita ketika sudah tua. Bisa jadi ketika kita tua renta kelak akan berpenyakitan seperti terkena stroke (semoga Allah Ta’ala menjaga kita). Dalam keadaan seperti ini, yang paling ikhlas merawat kita adalah anak-anak kita.

Terlebih anak tersebut adalah anak yang shalih yang berusaha berbakti mencari ridha orang tua.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Keenam, anak-anak adalah amal jariyah paling berharga yang akan mendoakan kita ketika kita sudah meninggal kelak. Anak-anaklah yang paling mengingat kita dan mendoakan kita di saat orang lain melupakan kita.

Bisa jadi orang tua akan terkaget-kaget di akhirat, karena dia mendapat kedudukan tinggi. Dia bertanya-tanya, ternyata karena doa anak-anaknya, bukan orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga.” Maka ia pun bertanya, “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab, “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu.” (HR. Ahmad, Ibnu Katsir berkata, isnadnya shahih)

Tentu masih banyak poin pembahasan lainnya.

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68365-childfree-dalam-padangan-islam.html

Antara Luasnya Islam dan Sempitnya Kotak Kecil

ISLAM adalah agama yang indah dan luas selama kita tidak terperangkap dalam kotak kecil.

Jika kita sudah terperangkap dalam kotak kecil maka hilanglah indahnya Islam dan berubah menjadi agama kebencian dan gelap.

Pada akhirnya kita semua dalam beragama ini dihadapkan pada dua pilihan;

Pertama, terperangkap dan terkurung dalam kotak kecil.

Kedua,  keluar dari kotak kecil menuju luasnya Islam.

Saya sendiri pernah terperangkap dalam kotak kecil dan alhamdulillah kemudian Allah sadarkan dan selamatkan saya sehingga saya sudah putuskan untuk keluar dari kotak kecil tersebut, dan sekarang fokus maju ke depan dan tidak akan mundur lagi ke belakang.

Siapa saja yang berada dalam kotak kecil itu beranggapan bahwa kebenaran mutlak hanyak milik kelompoknya saja, sedangkan yang selainnya adalah tersesat, berbahaya dan manusia harus diselamatkan darinya.

Siapa saja yang berada dalam kotak kecil itu selalu berprasangka buruk dan berpandangan buruk terhadap siapa saja yang dianggap berbeda dengannya dan yang pasti dianggap sebagai orang-orang tersesat dan menyesatkan serta berbahaya bagi Islam dan kaum muslimin.

Kotak kecil itu adalah siapa saja yang kerjaannya dan misinya menanamkan kebencian dan menuduh sesat sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, menjatuhkan, menghancurkan dan pembunuhan karakter siapa saja yang dianggap beda dengannya karena tidak siap untuk berbeda dan tidak lapang dada menyikapi perbedaan padahal terhadap saudaranya sendiri sesama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Sesama orang Islam itu seharusnya rukun dan damai, karena antara perbedaan dan persamaan diantara kelompok Islam itu lebih banyak samanya daripada bedanya.

Berikut ini permasalahan prinsip yang kita semua sama di dalamnya:

Tuhannya sama, Allah.

Nabinya sama, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam.

Kiblatnya sama, Ka’bah.

Kitabnya sama, Al-Qur’an.

Rukun Islamnya sama, ada lima; Dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah bagi yang mampu.

Rukun imannya sama, ada enam; Iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir dan takdir.

Pemahaman tentang definisi keimanan juga sama, yaitu mengimani semua yang wajib diimani dengan ucapan lisan, keyakinan hati dan pengamalan dengan anggota tubuh. Iman bisa bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan bisa berkurang dengan kedurhakaan kepada Allah.

Sahabat Nabinya sama, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dan semua sahabat lainnya, Radhiyallahu ‘Anhum.

Imam madzhabnya sama, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal Rahimahumullah.

Kitab haditsnya sama, Bukhari, Muslim, dll.

Dan persamaan-persamaan lainnya..

Perbedaan yang ada itu kebanyakan bukan dalam hal yang prinsip, tapi sayang kadang di paksakan untuk menjadi seakan hal itu adalah permasalahan yang prinsip.

Banyak membaca dan terus belajar akan membuka wawasan, juga jangan lupa banyak berdoa memohon petunjuk kepada Allah.

Harapan saya sederhana saja, jangan mudah vonis sesat terhadap sesama muslim!

Masihkah Anda memilih untuk tetap berada dalam kotak kecil..?!

Hamba Allah yang selalu berharap petunjuk, ampunan dan kasih sayangNya.*

Oleh: Abdullah Sholeh Hadrami/@AbdullahHadrami

HIDAYATULLAH

Uzlah di Akhir Zaman

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir.” [HR. Muslim no. 169, Tirmidzi no. 2121, dan Ahmad no. 7687.]

Ahmad Thomson menyebutkan tiga macam pola dasar pengelompokan sosial. Pertama, masyarakat pedalaman sederhana yang hidup selaras dengan alam namun tidak mengikuti syari’at kenabian dalam peribadatan. Kedua, masyarakat Islam yang selaras dengan alam dan mengikuti syari’at kenabian. Ketiga, masyarakat kafir yang hidup tidak selaras dengan alam semesta dan sengaja menolak syariat Sang Pencipta.

Masyarakat pertama perlahan semakin menghilang seiring laju perkembangan teknologi dan informasi, walaupun eksistensi mereka akan tetap ada namun mayoritas kita tidak berada di kelas itu.

Adapun jenis kelompok kedua, gambaran yang paling ideal terjadi pada generasi terbaik umat Islam; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka bisa selaras fitrahnya dengan lingkungan dan pada saat yang sama juga menjadikan keselerasannya dengan alam semesta dalam bingkai ibadah kepada pencipta alam semesta. Pada kehidupan mereka terdapat sistem hidup yang mengandung kecukupan dan keberkahan, materil dan non materil..

Kelompok kedua ini menjadikan dunia sebagai ladang menanam amal untuk memetik kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Karenanya mereka tidak mengeksplorasi alam semesta dengan semangat ketamakan dan eksploitasi, melainkan agar sarana menegakkan agama ini makin mudah dan efektif.

Mereka tidak merusak hutan atau menambang isi bumi secara brutal yang di kemudian hari menyisakan persoalan bagi anak cucu mereka. Sebaliknya langit dan bumi mendatangkan keberkahan dalam semua yang mereka lakukan. Syariat kenabian yang mereka jadikan sebagai dasar pijak dan petunjuk arah, telah membuat tujuan dari semua yang mereka lakukan menjadi terang dan jelas. Karenanya mereka kaya dan makmur dengan sebenar-benarnya. Dunia telah mengikutinya, bahkan berada dalam genggaman tangannya. Sementara hatinya tetap bebas untuk tunduk dalam kendali syariat pencipta dunia itu.

Kepada kelompok kedua ini Allah jadikan Iblis tak berdaya untuk menggodanya. Badai api fitnah pun padam tak kuat untuk menyala. Bahkan Allah jadikan musuh-musuh mereka lumpuh tak berdaya.

Sebagian tertunduk lesu tanda menyerah kalah dan sebagiaannya ’terpaksa’ masuk dalam barisan mereka karena pribadi mereka terlalu mulia untuk ditentang. Demikianlah kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada kelompok manusia yang hatinya selaras dengan semesta dan jiwanya tunduk kepada syariat Sang Pencipta.

Adapun masyarakat ketiga, inilah jenis masyarakat yang paling mendominasi dunia; masyarakat yang bermusuhan dengan alam semesta dengan beragam aktivitas eksploitasi alam -juga manusianya- secara liar, dimana semua itu dilakukan untuk memenuhi nafsu mereka dan dalam rangka menentang syari’at pencipta mereka. Inilah masyarakat kafir yang kehidupan mereka tunduk di bawah kendali Iblis melalui sistem Dajjal dan kaki tangannya.

Inilah era di mana kita hidup, era yang tanpa sadar menyeret kaum Muslimin untuk masuk dalam pusaran permainan mereka untuk selanjutnya mustahil bisa keluar darinya. Pola hidup masyarakat kelas ini telah menjadi sesuatu yang sistemik, berlaku secara global dan menjangkau seluruh bidang kehidupan manusia. Politik, sosial, ekonomi, budaya, militer, pemikiran dan peradaban, semuanya berada dalam kendali sistem kufur ini.

Inilah zaman yang oleh nabi disebut sebagai zaman fitnah, zaman yang semua sistem kenabian telah dijurkirbalikkan, norma dan nilai kebenaran dirusak tanpa ada yang tersisa. Sangat berat hidup di era ini; era dajjal, era dimana seluruh masyarakat dunia telah buta, yang karenanya si mata satu merasa pantas menjadi raja. Lantas, apa yang dapat kita perbuat?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Sebaik-baik manusia pada masa terjadinya kekacauan adalah seorang laki-laki yang memegang tali kendali kudanya di belakang musuh Allah. Ia membuat mereka gentar dan mereka juga membuatnya gentar. Atau seorang laki-laki yang mengasingkan diri di daerah pedalaman, dengan menunaikan hak Allah atas dirinya.” [HR. Al-Hakim dan Abu ‘Amru Al-Dani. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 698]

Pilihan pertama sangat cocok untuk penduduk negeri yang Allah karuniakan ibadah jihad. Adapun bagi kaum Muslimin yang berada di wilayah ‘damai’, maka pilihan kedua adalah solusi terbaik; ‘uzlah dengan tetap menunaikan hak Allah atas dirinya. Uzlah yang hak Allah tetap terpenuhi adalah ‘uzlah berjamaah’, membentuk komunitas yang memiliki kesamaan tujuan; menegakkan agama ini hingga bisa mewujudkan masyarakat yang selaras dengan alam semesta dan tetap tunduk kepada syari’at Allah swt. Wallahu a’lam bish shawab.*

Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani

HIDAYATULLAH

Andaikan Kaum Kristen Tak Pakai Kata “Allah”

BAGAIMANA jika kaum Kristen di Indonesia tidak lagi menggunakan kata ‘Allah’ dalam Bibel dan ritual mereka, seperti diserukan sejumlah kelompok Kristen di Indonesia? Jawabnya: tidak apa-apa. Sebab, kaum Kristen Barat, yang menjadi sumber agama Kristen di Indonesia, juga tidak menggunakan kata ‘Allah’. Lagi pula, kata ‘Allah’ juga tidak dikenal dalam teks asal kitab kaum Kristen, yang berbahasa Ibrani dan Yunani kuno.

Juga, hingga kini, kaum Kristen pun terus berdebat tentang siapa nama Tuhan mereka yang sebenarnya. Sebelumnya telah dipahami, bagaimana perdebatan seputar nama “YHWH”; apakah itu nama atau sebutan Tuhan. Sebagian Kristen mengklaim, YHWH adalah nama Tuhan, tetapi tidak diketahui dengan pasti bagaimana menyebutnya, sehingga lebih aman dibaca ‘Adonai’. Dalam Bibel bahasa Indonesia, YHWH diterjemahkan dengan ‘TUHAN’, dalam sebagian Bibel edidi bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘the LORD’. Dalam bahasa Arab, YHWH dialihbahasakan menjadi ‘al-Rabb’. Pandangan jenis ini dianut oleh Kristen mainstream yang diwakili oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).

Tetapi, ada sebagian Kristen yang secara tegas menyatakan, YHWH adalah nama Tuhan yang bisa dibaca dengan ‘Jehovah’ atau ‘Yahweh’. Di Indonesia, pandangan jenis ini diwakili oleh sejumlah kelompok yang menolak penggunaan kata Allah, seperti Beit Yeshua Hamasiakh. Dalam bahasa Inggris ada juga Bibel yang secara tegas menyebutkan ‘YHWH’ dengan ‘Yahweh’, seperti The New Jerusalem Bible menulis Keluaran 3:15: “God further said to Moses, “You are to tell the Israelites, “Yahweh the God of your ancestors, the God of Abraham, the God of Isaac and the God of Jacob, has sent me to you.”

Membaca ayat tersebut, dipahami, bahwa Yahweh memang nama Tuhan Israel. Yahweh adalah nama diri, yakni ungkapan “Yahweh the God of your ancestors…”. Dalam Bibel versi LAI, ayat Bibel ini ditulis: “TUHAN, Allah nenek moyangmu…”. Maknanya, “TUHAN” adalah Allah-nya nenek moyang bangsa Israel. Padahal, “TUHAN” disitu bukan nama diri, tapi sebutan untuk menyebut ‘Tuhan itu’ (the LORD).

Akan tetapi, kita akan menemukan kejanggalan, jika membaca sejumlah ayat Bibel lain yang menyandingkan kata Yahweh dan God (dalam edisi Inggris), juga kata TUHAN dan Allah dalam Bibel versi Indonesia. Misalnya, The New Jerusalem Bible menulis ayat Kejadian 2:8 sebagai berikut: “Yahweh God planted a garden in Eden…” Dalam versi LAI, ayat itu ditulis: “Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden…”
Jadi, pada Keluaran 3:15 tertulis “Yahweh the God….” atau dalam edisi Indonesia: “TUHAN, Allah nenek moyangmu…” (ada tanda koma setelah TUHAN). Lebih jelas lagi, bisa disimak teks Ulangan 6:4 yang berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.” (Bandingkan dengan teks Keluaran 6:4 versi Kitab Suci: Indonesian Literal Translation: “Dengarkanlah hai Israel, YAHWEH Elohim kita, YAHWEH itu Esa.”)

Sementara itu, dalam Kejadian 2:8 dan banyak ayat Bibel lainnya, tertulis “Yahweh God…” dan “TUHAN Allah” tanpa tanda koma lagi. Bentuk “TUHAN Allah” menyiratkan, bahwa “TUHAN” – yang merupakan terjemah dari tetragram “YHWH” bukan lagi nama Tuhan. Jurtru, ‘Allah’ di situ, seolah-olah merupakan nama Tuhan.

Yahweh bukan kata Benda

Persoalan penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan dalam Kristen ternyata juga dipersoalkan kalangan Kristen sendiri. Ada kalangan Kristen yang berpendapat bahwa “YHWH” sebenarnya bukan nama Tuhan. Ensiklopedi Perjanjian Baru, misalnya, menulis tentang Yahweh sebagai berikut:

“Inilah nama Ibrani yang berasal dari kata hâwah: “datang, menjadi, ada”, menurut etimologi popular yang terdapat dalam kisah pewahyuan. Nama yang diberikan Allah kepada diri-Nya pada waktu penampakan yang dikenal dengan nama “di semak bernyala” (Kel. 3:14). Diperdebatkan, apakah makna kata itu aktif (“dia yang ada” – sebagaimana diterjemahkan oleh Septuaginta) atau kausatif (“dia yang membuat ada”). Bagaimana pun juga, ini bukan kata ganti nama, bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan aktivitas Allah sendiri. Istilah ini tidak mengungkapkan identitas Allah melainkan menunjukkan Allah dalam aktivitas-Nya yang setia dan selalu ada bagi umat-Nya. Menurut para ahli bahasa, kata ini berhubungan dengan bentuk Yau yang di Babel menunjukkanAllah yang disembah manusia yang bernama demikian; begitulah ibu Musa bernama Yô-kèbèd: “kemuliaan-Yô”.(Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 591-592).

Perlu digarisbawahi, menurut penulis Ensiklopedi Perjanjian Baru tersebut, YHWH “bukan kata ganti nama, bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan aktivitas Allah sendiri.” Pandangan bahwa YHWH bukan kata benda, dijelaskan oleh The New Jerusalem Bible: “Clearly, however, it is part of the Hebr. verb ‘to be’ in an archaic form. Some see it as a causative form of the verb: ‘ he causes to be’, ‘he brings into existence’. But it is much more probably a form of the present indicative, meaning ‘he is’.” (The New Jerusalem Bible, foot note Keluaran 3:14, hal. 85).

Shabir Ally dalam bukunya, “Yahweh, Jehovah or Allah, Which is God’s Real Name?” memberikan komentar terhadap penjelasan The New Jerusalem Bible tersebut: “If Yahweh means ‘he is’, how can that be the name of God? When, for example, a Muslim says, “I believe in Allah as He is, “clearly in that statement God’s name is not ‘he is’. God’s name in that statement is ‘Allah’. Notice that if you say that God’s name is Yahweh, you are in effect saying that God’s name is he is. That does not make any sense, Does it?” (hal. 20).

Lebih jauh, kata YHWH muncul dalam statemen Tuhan kepada Musa dalam Keluaran 3:14; saat Musa bertanya tentang nama-Nya, lalu Tuhan menjawab yang dalam bahasa Ibrani ditulis: “ehyeh esher ehyeh.” (I am what I am). Jawaban ini mengindikasikan seolah-olah Tuhan enggan memberikan nama-Nya kepada Musa. Untuk itulah, dimasukkan kata Yahweh yang maknanya “he is”. Karena itulah, simpulnya, “the name of Yahweh is derived through human effort, not expressly revealed by God.”

Pada sisi lain, adalah menarik mencermati penjelasan tentang Yahweh dalam berbagai versi teks Bibel.

Pertama, versi King James Version, Keluaran 6:2-3: “And God spoke unto Moses, and said unto him, I am the LORD. And I appeared unto Abraham, unto Isaac, and unto Jacob, by the name of God Almighty, but by my name JE-HO-VAH was I not known to them.”

Kedua, versi The New Jerusalem Bible, Keluaran 6:2-3: “God spoke to Moses and said to him, ‘I am Yahweh’. To Abraham, to Isaac and Jacob I appeared as El Shaddai, but I did not make my name Yahweh known to them.”

Ketiga, versi Kitab Suci Indonesian Literal Translation, Keluaran 6:2-3: “Dan berfirmanlah Elohim kepada Musa, “Akulah YAHWEH. Dan Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub, sebagai El-Shadday, dan nama-Ku YAHWEH; bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?”

Keempat, versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), Keluaran 6:1-2: “Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: “Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.”

Kelima, versi Lembaga Alkitab Indonesia (1968), Keluaran 6:1-2: “Arakian, maka berfirmanlah Allah kepada Musa, firmannja: Akulah Tuhan! Maka Aku telah menyatakan diriku kepada Ibrahim, Ishak dan Jakub seperti Allah jang Mahakuasa, tetapi tiada diketahuinja akan Daku dengan namaku Tuhan.”

****

Bisa dicermati, terjemah Keluaran 6:2-3 versi Indonesian Literal Translation yang menyebutkan “bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?” seperti menyimpang jauh dari teks-teks lain. Teks Kitab Keluaran ini menjelaskan bahwa nama ‘Yahweh/Jehovah/TUHAN/Tuhan’ belum diketahui oleh Ibrahim,Isak dan Yakub. Sementara itu, Kitab Kejadian 26:25, sudah menyebutkan, bahwa Ishak sudah kenal nama Yahweh. The New Jerusalem Bible menulis: “There he built an altar and invoked the name of Yahweh.” King James Version menyamarkan nama Yahweh: “And he builded an altar there, and called upon the name of the LORD.” Bibel versi LAI menulis ayat ini: “Sesudah itu Ishak mendirikan Mezbah di situ dan memanggil nama TUHAN.” Sedangkan Kitab Suci Indonesian Literal Translation menulisnya: “Dan dia mendirikan mezbah di sana, dan memanggil Nama YAHWEH.”

Jadi, menurut Kejadian 26:25 tersebut, Ishak sudah mengenal dan menyebut nama Yahweh. Sementara dalam Keluaran 6:1-2 dijelaskan, bahwa nama Yahweh belum dikenal oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Bibel versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), menulis: “… Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri.”

Adalah juga menarik memperhatikan terjemahan teks Keluaran 6:1-2 versi Lembaga Alkitab Indonesia edisi tahun 1968, yang ternyata menerjemahkan tetragram ‘YHWH’ dengan ‘Tuhan’, bukan ‘TUHAN’. Ini menunjukkan adanya diskusi dan perkembangan soal nama Tuhan yang terus berubah dalam tradisi Kristen. Cara penerjemahan LAI terhadap YHWH itulah yang menuai kritik dari kelompok pendukung nama Yahweh, karena menimbulkan kerancuan makna.

Misalnya, terjemahan LAI untuk Matius 4:4 adalah: “Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Dalam kasus ini, YHWH diterjemahkan menjadi Allah, bukan TUHAN. Menurut Rev. Yakub Sulistyo, penggunaan kata ‘Allah’ oleh LAI adalah bentuk penyalahgunaan kata Allah dan bisa menimbulkan konflik dengan orang Muslim. Yakob Sulistyo menulis:

“Dengan umat Kristen memakai kata “ALLAH, atau Allah, atau allah” maka muncul istilah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh, serta Bunda Allah bagi kalangan Katolik. Dan ini menyakiti hati umat Islam dan menimbulkan rasa tidak suka, karena nama Tuhannya dipakai oleh umat Kristen dan Katolik…. Jadi kebingungan masalah nama ALLAH dan YHWH (YAHWEH) adalah karena orang Nasrani di Indonesia tidak mampu membedakan antara SEBUTAN (GENERIC NAME) dan NAMA PRIBADI (PERSONAL NAME).” (Lihat, Rev. Yakub Sulistyo, ‘Allah’ dalam Kekristenan Apakah Salah, 2009, hal. 18-19. NB. Huruf kapital sesuai buku aslinya).

Kalangan Kristen pendukung penggunaan kata ‘Allah’ beralasan, bahwa kaum Kristen di Arab sudah menggunakan kata ‘Allah’ jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi oleh Allah SWT. Herlianto menulis:

“Di kalangan orang Arab pengikut Yesus, penggunaan nama ‘Allah’ sudah terjadi sejak awal kekristenan. Pada Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin Uskup bernama ‘Abd Allah’, Inkripsi Zabad (512) diawali ‘Bism, al-llah’ (dengan nama Allah, band. Ezra 5:1, demikian juga Inkripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad ke-6) menyebut ‘Allahu ghufran’ (Allah yang mengampuni)… Nama ‘Allah’ bukanlah kata ‘Islam’ melainkan kata ‘Arab’ sebab sudah digunakan sejak keturunan Semitik suku Arab yang menyebut ‘El’ Semitik dalam dialek mereka, dan juga digunakan orang Arab yang beragama Yahudi dan Kristen jauh sebelum kehadiran Islam… Kalau mau jujur, nama Ilah/Allah sebenarnya bukan merupakan terjemahan El/Elohim Ibrani dan Elah/Elaha dalam bahasa Aram, melainkan merupakan dialek (logat) yang berkembang dalam suku-suku turunan mereka. Jadi, transliterasi nama El/Elohim/Eloah menjadi Ilah/Allah justru lebih dekat dibandingkan istilah Yunani Theos dan Inggris God.” (Herlianto, Nama Allah, Nama Tuhan Yang Dipermasalahkan, Mitra Pustaka, 2006, hal. 26-27).

Bagaimana pandangan Islam terhadap klaim kaum Kristen soal kata ‘Allah’ tersebut?

Islam mengakui, kata ‘Allah’ – sebagai nama Tuhan — sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab dan kaum Kristen. Tetapi, setelah diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir dan diturunkannya al-Quran sebagai wahyu terakhir, maka Allah telah mengenalkan namanya secara resmi dalam bahasa Arab, yaitu ALLAH: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku). (QS Thaha:14).

Tak hanya itu, Al-Quran juga mengkoreksi penggunaan dan pemaknaan kata Allah yang keliru oleh kaum Kristen, sehingga Allah diserikatkan dengan makhluk-Nya, seperti Nabi Isa a.s. yang oleh kaum Kristen diangkat sebagai Tuhan. “Sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga.” (QS 5:73).

Logika Islam sangat mudah: Jika ingin tahu nama Tuhan yang sebenarnya, sifat-sifat-Nya, dan cara yang benar dalam menyembah-Nya, maka – logisnya — hanya Tuhan itu sendiri yang dapat menjelaskannya. Tidak usah bingung, tidak perlu repot-repot dan tanpa berbelit-belit. Nama Tuhan itu adalah ALLAH. Pakai huruf kecil atau kapital, nama Tuhan yang sah adalah ALLAH. Tuhan sudah memilih nama-Nya yang resmi. Nama itu sudah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman yang diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya untuk Bani Israil saja (QS 34:28).

Maka, dalam pandangan Islam, amat sangat tidak patut, jika kata ALLAH – nama Tuhan Yang Maha Suci — digunakan secara sembarangan dan diberi sifat-sifat yang tidak sesuai dengan sifat yang dikenalkan oleh Allah SWT itu sendiri. Karena itulah, kaum Muslim sangat takut melakukan dosa syirik atau pun mengarang-ngarang nama Tuhan atau mereka-reka cara-cara ibadah kepada Allah SWT.

Seperti dijelaskan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia baru menggunakan kata Allah pada abad ke-17. Seyogyanya kaum Kristen tidak perlu melanjutkan ambisi kaum penjajah untuk mengelabui kaum Muslim agar berpindah agama melalui penggunaan kata Allah yang tidak sepatutnya.

Karena itu, menyimak kebingungan dan polemik penggunaan kata Allah di kalangan kaum Kristen di Indonesia yang tiada ujung, tampaknya akan lebih baik ANDAIKAN kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia, meninggalkan kata ‘Allah’ dan menyebut Tuhan mereka sebagaimana induk dan asal agama Kristen di Barat, yaitu God, Lord, Yahweh, Elohim, atau TUHAN. InsyaAllah itu akan lebih baik dan tidak membingungkan di antara kaum Kristen dan umat beragama lainnya. Wallahu a’lam./Bojonegoro, 30 Januari 2013.*

Oleh: Dr. Adian Husaini

Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

HIDAYATULLAH

Tirza Yo Zandra, Hati Tergugah Alquran

Dalam kehidupan manusia, selalu ada ujian atau bahkan musibah. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu optimistis menatap masa depan. Sebab, di balik kesukaran akan muncul kelapangan.

Begitulah janji Allah SWT, seperti terlukiskan dalam Alquran surah al-Insyirah ayat 5 dan 6, yang artinya, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Bukti nyata dialami seorang mualaf dari Malang, Jawa Timur. Tirza Yo Zandra, demikian namanya, pernah merasakan pahitnya hidup. Kedua orang tuanya berpisah. Kondisi psikisnya pun hampir menjurus depresi. Akan tetapi, pelbagai ujian hidup itu menjadi awal baginya untuk mendapatkan hidayah Ilahi.

Perempuan yang kini berusia 23 tahun itu merupakan seorang anak dari pasangan yang beda agama. Ibunya adalah seorang Muslim. Namun, sejak lahir Zandra diarahkan untuk mengikuti kepercayaan yang dipeluk ayahnya.

Zandra kecil pun ditempa untuk menjadi pribadi yang taat beribadah. Dia tidak pernah absen mengikuti ritual agama sang ayah. Malahan, sempat terpikirkan olehnya untuk menempuh sekolah khusus demi menekuni agama non-Islam tersebut.

Jalan hidup sering kali tak bisa diduga. Saat Zandra berusia remaja, keluarganya dilanda keretakan. Kedua orang tuanya tidak lagi bisa menjaga keutuhan. Akhirnya, ayah dan bundanya itu memutuskan untuk bercerai.

Keputusan itu sangat berat dirasakan Zandra sebagai anak tunggal. Sesudah bapak dan ibunya berpisah, ia tinggal bersama ayahnya. Tak menunggu waktu lama bagi perempuan tersebut, kehidupan sehari-hari menjadi sangat berbeda. Ia lalu merasa tertekan, baik secara mental maupun spiritual.

Saat mengalami masalah batin, fisiknya ikut menjadi sakit. Kira-kira, dua bulan lamanya kesulitan itu dialaminya. Karena merasa tidak punya siapa-siapa sebagai tempat bercerita, ia menjadi kesepian. Untungnya, momen itu seperti membuka jalan baginya untuk lebih religius. Ia kian sering berdoa dan beribadah.

Harapannya, hati dan pikirannya akan semakin tenang dengan terus giat mengamalkan ritual-ritual agama. Nyatanya, saat itu ia merasa ibadah-ibadah yang dijalaninya tidak menenteramkan diri. Batinnya dari hari ke hari kian terasa kosong.

“Saya waktu itu (sebelum memeluk Islam –Red) merasa kosong di hati. Ini terjadi selama dua bulan dan menyebabkan saya jatuh sakit,” tutur dia kepada Republika beberapa waktu lalu.

Ia kala itu lebih sering tinggal seorang diri di dalam rumah. Ayahnya acap kali bekerja di luar. Untuk mendapatkan bantuan ke dokter, misalnya, Zandra cenderung mengandalkan saudara sepupu dari pihak ibunya.

Menenteramkan hati

Saudaranya itu adalah seorang Muslim. Salah satu hobinya adalah membaca Alquran. Waktu itu, Zandra tidak begitu paham apa yang dibacakan sepupunya itu. Bagaimanapun, suara lantunan ayat-ayat suci terdengar syahdu. Bahkan, hatinya menjadi tenteram ketika menyadari, sumber suara merdu itu berasal dari saudaranya yang sedang mengaji.

“Saya baru pertama kali mendengar suara orang mengaji di dalam rumah. Sebelum-sebelumnya, memang banyak suara pengajian dari masjid sekitar, misalnya. Tapi saat itu terasa berbeda, begitu menenangkan hati,” tuturnya. Saya baru pertama kali mendengar suara orang mengaji di dalam rumah. Saat itu terasa berbeda, begitu menenangkan hati.  

Pada malam harinya, Zandra tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia menjumpai sosok kakeknya yang telah wafat. Sang kakek semasa masih hidup bekerja sebagai seorang pendeta. Kepada sang cucu, kakek ini berpesan bahwa apa pun keputusan Zandra, itu harus dijalani dengan sepenuh hati; jangan setengah-setengah.

“’Papi dukung apa pun keputusan kamu,’ begitu kata terakhir beliau di mimpi saya. Saya memanggil kakek saya dengan sebutan ‘papi’,” jelas dia.

Beberapa hari telah berlalu. Uniknya, setiap malam Zandra sering memimpikan pertemuan yang sama. Bahkan, kakeknya itu juga menyampaikan pesan yang sama.

Zandra tidak memahami maksud perkataan sang kakek. Bagaimanapun, mimpi berikutnya membuatnya sedikit merenung. Dalam mimpinya tersebut, ia seperti berada di sebuah tempat ibadah, tetapi bukan khas agama non-Islam yang sedang dianutnya saat itu. Beberapa malam kemudian, ia bermimpi sedang berdiri di tepian sungai yang mengalir.

Untuk menenangkan hatinya, Zandra kian meningkatkan intensitas ibadah dan amalan-amalan kebaikan. Menjelang tidur, ia semakin rutin berdoa, memohon petunjuk kepada Tuhan. Akan tetapi, pikirannya justru tak lepas dari bayangan tentang Islam. Menjelang tidur, ia semakin rutin berdoa, memohon petunjuk kepada Tuhan. Akan tetapi, pikirannya justru tak lepas dari bayangan tentang Islam.

Sempat terpikir pertanyaan dalam dirinya, siapa yang akan membimbingnya kepada Islam. Kalaupun meminta ibunya, permintaan itu mungkin disanggupi. Namun, bukan ritual harian Muslim saja yang diinginkannya, tetapi juga sampai mendalami ajaran agama ini.

Terlebih lagi, ada kekhawatiran bila ayahnya—beserta keluarga besar—akan merespons negatif. Dengan segala pertimbangan itu, Zandra pun belum berani untuk secara terbuka memeluk Islam.

Yang dilakukannya hingga saat itu sekadar yang bisa diperbuatnya seorang diri. Sebagai contoh, mencoba-coba berbusana Muslimah. Ia pun belajar memakai jilbab. Khawatir ayahnya akan mengetahui, ia pun diam-diam mengenakan kain penutup kepala itu.

“Saat hendak pergi ke lokasi-lokasi dekat rumah, saya tidak mengenakan jilbab. Tapi, waktu pergi ke (tempat yang) agak jauh, barulah saya memakai jilbab yang saya bawa dalam tas,” ujarnya mengenang.

Memeluk Islam

Zandra mengaku, saat itu walaupun belum resmi berislam sangat senang berjilbab. Ia merasa aman dan hatinya pun tenteram ketika memakai kain busana khas Muslimah itu. Hingga saat itu, kebiasaannya berhijab dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, akhirnya ayahnya mengetahui hal itu.

Meskipun dimarahi bapaknya, Zandra tak bergeming. Tekadnya sudah bulat untuk memeluk Islam. Ia lalu mengunjungi ibunya untuk mendiskusikan niatnya menjadi seorang Muslimah. Hari itu tepat pada 6 Juli 2018.

“Mama kaget, dikiranya saya hamil dan memiliki pacar seorang Muslim sehingga ‘terpaksa’ memeluk Islam. Padahal, tidak begitu. Saya tahu batasan-batasan dalam pergaulan sebelum menikah. Saya juga bisa menjaga diri,” kata dia.

Setelah mengetahui duduk perkara, ibunya mengucapkan syukur. Kepada putrinya itu, dijelaskan bahwa menjadi seorang Muslimah tidaklah mudah. Apalagi, ayah Zandra belum mengetahui hal tersebut. Bisa jadi, konflik nanti menjadi tidak terhindarkan. Zandra hanya berpikir, saat ini yang terpenting baginya adalah resmi berislam terlebih dahulu.  SHARE

Zandra hanya berpikir, saat ini yang terpenting baginya adalah resmi berislam terlebih dahulu. Kalaupun ada masalah di kemudian hari, itu bisa dipikirkan belakangan. “’Aku sudah besar, aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri,’ saya mengatakan itu. Mama lalu hanya diam saja, tak lagi berkomentar,” tutur dia.

Akhirnya, disepakatilah bahwa Zandra akan mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bimbingan seorang ustaz. Kebetulan, masjid di dekat rumah ibunya beberapa kali menjadi saksi islamnya sejumlah mualaf. Kemudian, Zandra dipertemukan dengan Ustaz Mujib. Di depan tokoh agama Islam tersebut, perempuan ini lalu bersyahadat.

Beberapa hari sesudah momen tersebut, kabar menyeruak ke mana-mana. Akhirnya, ayahnya mengetahui bahwa kini Zandra telah berislam. Anak perempuan itu lalu diusir dari rumah.

Zandra tahu hal ini akan terjadi. Ia pun memilih pergi, untuk kemudian tinggal bersama ibunya. Tak ingin larut dalam kesedihan, ia lebih fokus untuk belajar Islam.

Zandra mulai melancarkan ibadah, semisal menghafalkan gerakan shalat dan bacaannya. Kini, surat-surat pendek telah dihafalkannya dengan baik. Saat berpuasa Ramadhan, ia pun tidak mengalami kesulitan. Memang, di agama lamanya dahulu, dirinya terbiasa berpuasa hingga 40 hari. Alhasil, Ramadhan pun mampu dijalaninya tuntas selama 30 hari.Pada Agustus 2019, Zandra menikah dengan seorang pemuda Muslim yang datang untuk melamarnya – (Istimewa)SHARE 

Pada Agustus 2019, ia menikah dengan seorang pemuda Muslim yang datang untuk melamarnya. Prosesi lamaran itu berlangsung di rumah ibunya. Sayangnya, saat akad dan resepsi ayahnya tidak berkenan hadir.

Zandra dan suaminya memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah sewaan. Waktu terus berlalu, dan pasangan ini dikaruniai buah hati. Ternyata, dengan hadirnya anak itu Allah membukakan jalan perbaikan hubungan antara Zandra dan ayahnya.

“Waktu usia anak kami lima bulan, Ayah datang ke rumah. Katanya, ingin menengok cucu. Alhamdulillah, sejak itu, silaturahim kami menjadi kembali harmonis. Ayah bahkan sering mendoakan saya dan suami agar hidup rukun dan harmonis,” jelasnya.

Zandra pun terus mendalami Islam dengan bimbingan suaminya. Untuk siraman rohani, ia senang sekali menyimak ceramah secara daring yang dibawakan pelbagai ustaz, semisal Gus Miftah atau Prof M Quraish Shihab.

Rasa syukur terus dipanjatkannya kepada Allah Ta’ala. Terlebih lagi, ia kemudian mendapatkan kabar, beberapa saudara sepupu dari pihak ayahnya memutuskan untuk berislam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Filantropi Ekonomi Islam Jadi Solusi Atasi Dampak Pandemi

Filantropi ekonomi islam dapat membantu mengatasi masalah yang muncul saat pandemi

Filantropi ekonomi Islam dinilai dapat membantu mengatasi dampak pandemi Covid-19. Hal ini disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang menurutnya zakat, infaq dan sedekah (ZIS) yang dihimpun umat Islam menjadi solusi kebangsaan dalam mengatasi pandemi.

“Filantropi ekonomi islam dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang muncul karena dampak ekonomi saat pandemi,” kata Sultan dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Sabtu (21/8).

Dalam sambutannya pada pelantikan pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) periode 2021-2024, Sultan menuturkan, ZIS harus secara masif untuk dipahamkan kepada masyarakat. Pasalnya, melalui ZIS merupakan kunci sukses mengatasi masalah yang berawal dari kebersamaan.

Ia menjelaskan, penggalangan ZIS di Indonesia sendiri mencapai Rp 180 triliun per tahun berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia. Dalam hal ini, MES DIY juga diharapkan dapat memberikan solusi dalam penanganan pandemi.

“Memahamkan bahwa ZIS yang selama ini hanya lebih banyak diperbincangkan di masjid, mushala atau pondok harus secara masif dimasyarakatkan. Sehingga keberadaan MES dapat lebih dirasakan masyarakat karena memberikan solusi secara baik dan lebih bermanfaat,” ujarnya.

Pakar Ekonomi MES DIY, Akbar Susamto mengatakan, MES perlu berkontribusi dalam mendorong pergerakan aktivitas ekonomi di DIY. Pasalnya, pandemi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perekonomian DIY.

Selama 2020, katanya, laju pertumbuhan ekonomi di DIY ada di minus 2,69 persen. Walaupun begitu, di 2021 ini dimungkinkan pertumbuhan perekonomian DIY menjadi positif meskipun belum kembali ke posisi awal sebelum pandemi.

“MES perlu ikut berupaya mendorong pergerakan aktivitas ekonomi di DIY. Mengingat pandemi belum selesai, maka upaya mendorong aktivitas ekonomi tersebut harus tetap dilakukan secara hati-hati,” kata Akbar.

Akbar pun menjabarkan tiga upaya yang dapat dilakukan dalam mendorong pergerakan ekonomi di DIY. Pertama terkait upaya emergensi dengan memberikan bantuan kepada warga terdampak dan rentan sesegera mungkin.

“Bantuan dapat bersumber dari dana ZIS,” ujarnya.

Kedua, upaya yang dilakukan dapat berupa pendampingan terkait dengan kegiatan usaha yang terdampak. Sebab, selama pandemi ini banyak pelaku usaha yang kesulitan menjaga kelangsungan usahanya, terutama pengusaha kecil.

“Ketiga, upaya yang bersifat jangka panjang berupa pendampingan dan pemberdayaan yang memperhatikan perubahan lingkungan bisnis,” jelas Akbar.

Ketua Umum MES DIY, Heroe Purwadi juga menekankan agar masyarakat secara luas saling peduli dan berbagi di masa pandemi. “Kita harus secara bersama berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk kehidupan yang lebih baik,” kata Heroe yang juga Wakil Wali Kota Yogyakarta tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bicara Baik atau Diam

Sungguh beruntung orang yang banyak diam
Ucapannya dihitung sebagai makanan pokok
Tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya
Jawaban yang tidak disukai adalah diam
Sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya
Sementara meyakini bahwa ia akan mati

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan
.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan,
Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”

Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?

Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”

Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)

Wallahul Musta’an.

Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.

Bandung, 18 Dzulhijjah 1434 H (1 November 2013 M).

Maraji’:

  • Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
  • Syarah Arbain An-Nawawi, karya Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi.
  • Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
  • Tazkiyatun Nafs, karya: Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali.
  • Catatan pribadi kajian islam ilmiah “Waspada Bahaya Lisan” yang disampaikan oleh Al-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. Hafidzahullah; Masjid Habiburrahman PT. DI, Bandung; Ahad, 27 0ktober 2013; diselenggarakan oleh Yayasan Ihya’us Sunnah Bandung bekerja sama dengan DKM Masjid Habiburrahman PT. DI.
  • Almanhaj.or.id

Penulis: Umi Romadiyani (Ummu ‘Afifah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html