Dunia Hewan dalam Al-Qur’an

Banyak kemiripan antara dunia hewan dengan dunia manusia. Bahkan hewan pun kelak juga dibangkitkan.

وَإِذَا ٱلۡوُحُوشُ حُشِرَتۡ

“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS.At-Takwir:5)

Namun kali ini kita hanya akan mempelajari dunia hewan dalam pandangan Al-Qur’an, yaitu :

1). Hewan juga umat seperti manusia.

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ

“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu.” (QS.Al-An’am:38)

2). Ibadah hewan.

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلطَّيۡرُ صَٰٓفَّٰتٖۖ كُلّٞ قَدۡ عَلِمَ صَلَاتَهُۥ وَتَسۡبِيحَهُۥۗ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِمَا يَفۡعَلُونَ

“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS.An-Nur:41)

3). Bahasa hewan.

عُلِّمۡنَا مَنطِقَ ٱلطَّيۡرِ

“Kami telah diajari bahasa burung.” (QS.An-Naml:16)

4). Tugas dan fungsi hewan.

a. Hewan adalah prajuritnya para Nabi dan Rasul.

وَحُشِرَ لِسُلَيۡمَٰنَ جُنُودُهُۥ مِنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ وَٱلطَّيۡرِ فَهُمۡ يُوزَعُونَ

“Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib.” (QS.An-Naml:17)

b. Memiliki kekuatan khusus yang dikirimkan oleh Allah saat menurunkan adzab untuk manusia.

وَأَرۡسَلَ عَلَيۡهِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ

“Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong..” (QS.Al-Fil:3)

c. Memiliki tugas sebagai mata-mata dan tugas penting lainnya.

فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۭ بِنَبَإٖ يَقِينٍ

Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita yang meyakinkan. (QS.An-Naml:22)

Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dari Kisah Hudhud ini, yaitu :

1. Burung Hudhud saat itu berada di Yaman, bagaimana ia begitu cepat kembali kepada Nabi Sulaiman as?

2. Begitu detailnya informasi yang disampaikan oleh Hudhud mulai dari nama kotanya, bahkan kota tersebut dipimpin oleh seorang wanita yang memiliki singgasana.

3. Hudhud memperhatikan kaum Balqis menyembah matahari dan ia memahami apa yang mereka ucapkan dam itu semua menunjukkan kemusyrikan kaum tersebut. Bahkan Hudhud mampu membedakan Tauhid dan Syirik.

5). Hewan adalah tanda-tanda Allah yang harus kita renungi.

أَلَمۡ يَرَوۡاْ إِلَى ٱلطَّيۡرِ مُسَخَّرَٰتٖ فِي جَوِّ ٱلسَّمَآءِ مَا يُمۡسِكُهُنَّ إِلَّا ٱللَّهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ

“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dapat terbang di angkasa dengan mudah. Tidak ada yang menahannya selain Allah. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS.An-Nahl:79)

حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوۡاْ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمۡلِ قَالَتۡ نَمۡلَةٞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمۡلُ ٱدۡخُلُواْ مَسَٰكِنَكُمۡ لَا يَحۡطِمَنَّكُمۡ سُلَيۡمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ

Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS.An-Naml:18)

Bagaimana seekor semut mengetahui nama Nabi Sulaiman as ?

Bagaimana semut ini bisa membedakan di injak dengan sengaja dan tidak sengaja terinjak?

Hingga Nabi Sulaiman as pun tertawa mendengarnya.

Itulah beberapa informasi yang dapat kita kumpulkan tentang dunia hewan dalam Al-Qur’an. Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam kepada nabi dan rasul yang paling mulia, Muhammad bin ‘Abdillah, serta kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,

Tulisan ini ditujukan untuk semua muslim yang akan bertemu dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat wal afiat, agar dapat memanfaatkan bulan tersebut dalam ketaatan pada Allah Ta’ala. Semoga melalui tulisan ini dapat menjadi sarana untuk membangkitkan semangat di dalam jiwa seorang mukmin dalam beribadah kepada Allah di bulan yg mulia ini. Maka penulis memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufik dan jalan yang lurus serta menjadikan amal ini ikhlas hanya karena mengharap Wajah-Nya Yang Mulia semata. Dan semoga Allah mencurahkan shalawat atas junjungan kita, Muhammad, dan kepada keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Bagaimanakah Seharusnya Kita Menyambut Ramadhan?

Pertanyaan: Apa saja cara-cara yang benar untuk menyambut bulan yang mulia ini?

Seorang muslim seharusnya tidak lalai terhadap momen-momen untuk beribadah, bahkan seharusnya ia termasuk orang yang berlomba-lomba dan bersaing (untuk mendapatkan kebaikan) di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ )المطففين : 26)

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berloma-lomba.” (QS. Al-Muthaffifiin:26)

Maka bersemangatlah wahai saudara-saudara muslim dalam menyambut Ramadhan dengan cara-cara yang benar sebagaimana berikut ini:

1. Berdo’a agar Allah mempertemukan dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat dan kuat, serta dalam keadaan bersemangat beribadah kepada Allah, seperti ibadah puasa, sholat dan dzikir.

Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa dia berkata, adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdoa,

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta pertemukanlah kami dengan Ramadhan.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).

Catatan: Syaikh Al-Albani rahimahullah mendhaifkan hadits ini dalam kitab Dha’if al-Jaami‘ (4395) dan tidak mengomentarinya dalam kitab Al-Misykaah.

Demikian juga generasi terbaik terdahulu (as-salaf ash-shalih) berdoa agar Allah menyampaikan mereka pada bulan Ramadhan dan menerima amal-amal mereka.

Maka apabila telah tampak hilal bulan Ramadhan, berdoalah pada Allah:

الله أكبر اللهم أهله علينا بالأمن والإيمان والسلامة والإسلام , والتوفيق لما تحب وترضى ربي وربك الله

“Allah Maha Besar, ya Allah terbitkanlah bulan sabit itu untuk kami dengan aman dan dalam keimanan, dengan penuh keselamatan dan dalam keislaman, dengan taufik agar kami melakukan yang disukai dan diridhai oleh Rabbku dan Rabbmu, yaitu Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ad-Darimi, dishahihkan oleh Ibnu Hayyan)

2. Bersyukur pada Allah dan memuji-Nya atas dipertemukannya dengan bulan Ramadhan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkaar,

“Ketahuilah, dianjurkan bagi siapa saja yang mendapatkan suatu nikmat atau dihindarkan dari kemurkaan Allah, untuk bersujud syukur kepada Allah Ta’ala, atau memuji Allah (sesuai dengan apa yg telah diberikan-Nya).”

Dan sesungguhnya di antara nikmat yang paling besar dari Allah atas seorang hamba adalah taufiq untuk melaksanakan ketaatan. Selain dipertemukan dengan bulan Ramadhan, nikmat agung lainnya adalah berupa kesehatan yang baik. Maka ini pun menuntut untuk bersyukur dan memuji Allah Sang Pemberi Nikmat lagi Pemberi Keutamaan dengan nikmat tersebut. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan pantas bagi keagungan Wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya.

3. Bergembira dan berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan.

Telah ada contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dahulu memberi berita gembira pada para sahabatnya dengan kedatangan Ramadhan. Beliau bersabda,

جاءكم شهر رمضان, شهر رمضان شهر مبارك كتب الله عليكم صيامه فيه تفتح أبواب الجنان وتغلق فيه أبواب الجحيم… الحديث

“Telah datang pada kalian bulan Ramadhan, bulan Ramadhan bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk berpuasa didalamnya. Pada bulan itu dibukakan pintu-pintu surga serta ditutup pintu-pintu neraka….” (HR. Ahmad)

Dan sungguh demikian pula as-salaf ash-shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in, mereka sangat perhatian dengan bulan Ramadhan dan bergembira dengan kedatangannya. Maka kebahagiaan manakah yang lebih agung dibandingkan dengan berita dekatnya bulan Ramadhan, moment untuk melakukan kebaikan serta diturunkannya rahmat?

4. Bertekad serta membuat program agar memperoleh kebaikan yang banyak di bulan Ramadhan.

Kebanyakan dari manusia, bahkan dari kalangan yang berkomitmen untuk agama ini (beragama Islam), membuat program yang sangat serius untuk urusan dunia mereka, akan tetapi sangat sedikit dari mereka yang membuat program sedemikian bagusnya untuk urusan akhirat. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran terhadap tugas seorang mu’min dalam hidup ini, dan lupa atau bahkan melupakan bahwa seorang muslim memiliki kesempatan yang banyak untuk dekat dengan Allah untuk mendidik jiwanya sehingga ia bisa lebih kokoh dalam ibadah.

Di antara program akhirat adalah program menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan ibadah. Seharusnya seorang muslim membuat rencana-rencana amal yang akan dikerjakan pada siang dan malam Ramadhan. Dan tulisan yang anda baca ini, membantu anda untuk meraih pahala Ramadhan melalui ketaatan pada-Nya, dengan ijin Allah Ta’ala.

5. Bertekad dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh pahala di bulan Ramadhan serta menyusun waktunya (membuat jadwal) untuk beramal shalih.

Barangsiapa yang menepati janjinya pada Allah maka Allah pun akan menepati janji-Nya serta menolongnya untuk taat dan memudahkan baginya jalan kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ )محمد : 21(

“Maka seandainya mereka benar-benar beriman pada Allah, maka sungguh itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad:21)

6. Berbekal ilmu dan pemahaman terhadap hukum-hukum di bulan Ramadhan.

Wajib atas seorang yang beriman untuk beribadah kepada Allah dilandasi dengan ilmu, dan tidak ada alasan untuk tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya. Di antara kewajiban itu adalah puasa di bulan Ramadhan. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim belajar untuk mengetahui perkara-perkara puasa serta hukum-hukumnya sebelum ia melaksanakannya (sebelum datang bulan Ramadhan), agar puasanya sah dan diterima Allah Ta’ala.

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) الأنبياء :7(

“Maka bertanyalah pada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’:7)

7. Wajib pula bertekad untuk meninggalkan dosa-dosa dan kejelekan, serta bertaubat dengan sungguh-sungguh dari seluruh dosa, berhenti melakukannya serta tidak mengulanginya lagi.

Karena bulan Ramadhan adalah bulan taubat. Barangsiapa yang tidak bertaubat di dalamnya, maka kapankah lagi ia akan bertaubat? Allah Ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ) النور : 31(

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

8. Mempersiapkan jasmani dan rohani dengan membaca dan menelaah buku-buku serta tulisan-tulisan, serta mendengarkan ceramah-ceramah islamiyah yang menjelaskan tentang puasa dan hukum-hukumnya, agar jiwa siap untuk melaksanakan ketaatan di bulan Ramadhan.

Demikian pulalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan jiwa-jiwa para sahabat untuk memanfaatkan bulan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat bersabda pada akhir bulan Sya’ban,

جاءكم شهر رمضان … إلخ الحديث

“Telah datang pada kalian bulan Ramadhan…(sampai akhir hadits).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).[1]

9. Mempersiapkan dengan baik untuk berdakwah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, melalui:

Menghadiri pertemuan-pertemuan serta bimbingan-bimbingan dan menyimaknya dengan baik agar dapat disampaikan di masjid di daerah tempat tinggal. Menyebarkan buku-buku kecil, tulisan-tulisan serta nasehat-nasehat tentang hukum yang berkaitan dengan Ramadhan kepada orang-orang yang shalat serta masyarakat sekitar.

Menyiapkan “hadiah Ramadhan” sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hadiah tersebut dapat berupa paket yang didalamnya terdapat kaset-kaset dan buku kecil, yang kemudian pada paket tersebut dituliskan “hadiah Ramadhan”. Memuliakan fakir dan miskin dengan memberi sedekah serta zakat untuk mereka.

10.Menyambut Ramadhan dengan membuka lembaran putih yang baru, yang akan diisi dengan:

Taubat sebenar-benarnya kepada Allah Ta’ala. Ta’at pada perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meninggalkan apa yang dilarangnya.

Berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, saudara, istri atau suami serta anak-anak. Berbuat baik kepada masyarakat sekitar agar menjadi hamba yang shalih serta bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أفضل الناس أنفعهم للناس

“Seutama-utama manuia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”[2]

Demikianlah seharusnya seorang muslim menyambut Ramadhan, seperti tanah kering yang menyambut hujan, seperti si sakit yang membutuhkan dokter untuk mengobatinya dan seperti seseorang yang menanti kekasihnya.

“Ya Allah pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan dan terimalah amalan kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

***

Khalid bin ‘Abdirrahman ad-Durwaisy

Sumber: http://saaid.net/mktarat/ramadan/22.htm


[1] Hal ini disebutkan dalam Lathoif Al Ma’arif (kitab karya Ibnu Rajab Al-Hambali-ed).
[2] Dalam lafadz lain disebutkan,

أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس

“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (Hadits shahih dishahihkan Syaikh Al-Bani dalam Al-Hadits Ash-Shahihah No.906 -red)

Penerjemah: Ummu Ahmad Juwita Laila Ramadhan
Murojaah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslimah.or.id

Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035: Akhlak Ada, Agama Perlu Ditegaskan

PETA  Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 menetapkan Visi Pendidikan Indonesia 2035 sebagai berikut: “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”

Tujuan pendidikan membentuk manusia berakhlak mulia memang sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 (3), UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Tujuan itu begitu mulia, sejalan dengan misi kenabian, yaitu “menyempurnakan akhlak mulia.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Innamaa buitstu li-utammima makaarimal akhlaq.” (HR Bukhari dan Ahmad).

Syeikh Mahmud al-Misri, dalam kitabnya, Mausu’ah min Akhlaaqi Rasulillah Shallallaahu ‘alaihi wa-sallam, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “akhlak mulia” adalah ajaran yang dihimpun dari seluruh ucapan dan perbuatan Rasulullah ﷺ.

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ tentang kebaikan dan dosa (keburukan)? Lalu beliau bersabda: Kebaikan adalah bagusnya perangai; sedangkan dosa (keburukan) adalah apa yang mengganjal di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain.” (HR: Muslim)

Jadi, kebaikan (al-birru) adalah akhlak mulia, dan dosa adalah apa yang meresahkan hati manusia dan tidak ingin orang lain mengetahuinya.

Imam al-Ghazali merumuskan, bahwa orang yang berakhlak mulia itu pemalu, tidak suka menyakiti, suka berbuat baik, jujur lisannya, sedikit bicara, banyak bekerja, sedikit salah, tidak berlebihan, baik hati, suka bergaul, berwibawa, penyabar, bersyukur, ridho, bijaksana, pengasih-penyayang, menjaga kehormatan, lemah lembut, tidak melaknat, tidak mencaci-maki, tidak mengadu domba, tidak menggunjing, tidak terburu-buru, tidak iri hati (dengki), tidak bakhil, selalu ceria, cinta dan benci karena Allah, ridho karena Allah, marah karena Allah.

Yusuf bin Asbath menyebut ada 10 tanda akhlak mulia: (1) Jarang berseteru (2) Melayani dengan baik, (3) Tidak mencari kemewahan (4) Memperbaiki keburukan  yang  pernah dilakukan (5) Mudah memaklumi (6) Menanggung derita (7) Kembali kepada Allah dengan merendahkan nafsu (8) Fokus memperhatikan kekurangan diri, bukan aib orang lain (9) Berwajah ceria pada yang muda atau yang tua (10) Berbicara santun. (Penjelasan lebih jauh tentang akhlak mulia, lihat: Syaikh Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Rasulullah ﷺ, (Jakarta: al-Kautsar, 2019).

Sementara itu, Ibnu al-Haitsam (w. 1038 M), dalam kitabnya, Tahdziib al-Akhlaq, menyebutkan, bahwa tujuan Pendidikan Akhlaq adalah menuntun manusia menuju “manusia sempurna” (al-insān al-tāmm/al-insān al-kāmil). Menurut Ibn al-Haitsam, manusia sempurna biasanya memiliki empat kebajikan utama yaitu: (1) adil (‘adl), (2) berani (shajāʿah), (3) menjaga kesucian (ʿiffah), dan (4) bijaksana (ḥīkmah).

Jika seseorang mengikuti hal-hal baik dan menghindari hal-hal tercela, maka ia akan menjadi manusia sempurna atau al-insān al- tāmm. Manusia yang sempurna adalah manusia yang telah mencapai kebahagiaan hakiki di dunia ini sebagaimana dinyatakan Ibn al-Haytsam: “… maka ia tidak akan lama lagi untuk sampai pada kesempurnaan, dan naik menuju puncak dari keparipurnaan, sehingga ia meraih kebahagiaan insani …” (Ibnu al-Haitsam,  Tahdzib al-Akhlaq (Diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Ishaq dengan judul “Pendidikan Akhlak” (Bandung: Ellunar, 2020).

Agama perlu!

Begitulah, dalam Islam, masalah akhlak merupakan ajaran yang sangat penting. Karena itu, kita tidak boleh sembarangan mendefinisikan istilah kata “akhlak mulia”. Tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, akan bisa dicapai jika kurikulumnya memang mengarahkan para pelajar untuk berakhlak mulia.

Kurikulum (curriculum) adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jika jalannya salah, maka tujuan tidak akan pernah tercapai. Merujuk kepada definisi “akhlak mulia” sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dan para ulama, maka kurikulum pendidikan nasional adalah serangkaian proses Pendidikan yang mengarahkan para pelajar menjadi “manusia yang sempurna”.

Kurikulum akhlak mulia itu tidak boleh bertentangan tuntunan Allah SWT, sebagaimana tuntunan dan contoh-contoh dari Rasulullah ﷺ. Jadi, Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, seyogyanya mengaskan peran agama dalam pembentukan akhlak mulia. Jangan sampai ada pemikiran untuk membentuk manusia berakhlak tanpa agama!

Sebab, dengan agama (Islam), maka pendidikan akan diarahkan untuk membentuk manusia yang sempurna. Yakni, manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia; bukan hanya manusia yang punya ilmu dan keahlian tertentu untuk bisa mencari makan.

Bisa mencari makan, itu hal penting. Tetapi, itu baru sebagian kriteria dari kriteria orang yang sempurna. Lebih mendasar lagi, adalah “membentuk manusia yang baik”. Inilah yang dirumuskan oleh Prof. Syed Muhammad Naqib al-Attas: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to produce a good man.”

Para ulama mendefinisikan akhlak sebagai “sikap jiwa yang kokoh yang melahirkan perbuatan tanpa dipikir lagi.” Jadi, akhlak adalah kondisi jiwa. Karena itu, kurikulum pendidikan yang terpenting adalah “pensucian jiwa” (tazkiyyatun nafs). Maka, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya! Bagi kaum muslim, tujuan mulia ini hanya bisa dicapai dengan baik, jika dilandasi kemianan yang kuat berdasarkan ajaran agama Islam.

Muatan kurikulum pendidikan terpenting adalah proses pensucian jiwa manusia-manusia Indonesia, agar mereka bersih dari aneka penyakit jiwa, seperti: kelemahan, kemalasan, sombong, dengki, riya’, ujub, bakhil, dan sebagainya. Dan penyakit jiwa yang sangat merusak adalah penyakit “hubbud-dunya” (cinta dunia), seperti cinta jadi gubernur, bupati, camat, rektor, dekan, ketua Ormas, dan sebagainya.

Cinta jabatan, harta, popularitas dimasukkan kategori “penyakit jiwa”, sebab manusia yang jiwanya sehat, pasti yakin bahwa semua nikmat di dunia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar kekuasaannya, maka semakin berat pula tanggung-jawabnya di akhirat. Semakin banyak harta dan istrinya, maka semakin rumit proses laporannya di akhirat.

Maka, aneh, jika ia mencintai semua yang akan memberatkannya di akhirat. Tetapi, jika jabatan itu mampu dia gunakan untuk kebaikan, maka jabatan itu akan menjadi jalan untuk mengantarkannya ke sorga.

Karena itu, tidaklah sehat jiwa seseorang,  jika ia menggunakan segala cara untuk berkuasa, dan kemudian ia berbangga-bangga sebagai pejabat negara, pemimpin kampus, atau pemimpin Ormas. Amanah kepemimpinan itu begitu berat. Jika ia berbuat salah dan diikuti oleh banyak orang, maka ia akan menanggung dosa seluruh orang yang mengikutinya.

Jadi, sangatlah berat amanah yang diemban oleh Menteri Pendidikan atau Menteri Agama dalam membuat kebijakan tentang Pendidikan Nasional. Upaya membentuk manusia yang sempurna, hanya bisa tercapai dengan panduan ajaran agama. Inilah keyakinan setiap muslim

Maka, sangatlah tepat, imbauan Ketua Muhammadiyah, Prof. Haedar Nasir, agar kata “agama” ditegaskan dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035.  Karena itu, visi Pendidikan Nasional dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 sebaiknya direvisi menjadi:  “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, budaya Indonesia, dan Pancasila.” (Semarang, 9 Maret 2021).*

Oleh: Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor

HIDAYATULLAH

UAS Kisahkan Keutamaan dan Amalan Utama Saat Sya’ban

Sya’ban adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ustadz Abdul Somad (UAS) menceritakan kisah Usamah bin Zaid RA, cucu angkat Rasulullah, yang datang menemui Rasulullah. Pemuda yang mendapat judulan Hibbu Rasulullah (orang yang dicintai Rasulullah) itu bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, kenapa aku tidak pernah melihat Anda berpuasa sunah dalam satu bulan tertentu yang lebih banyak dari bulan Sya’ban?”

Nabi SAW menjawab:

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفِلُ النَّاسُ عَنْهُ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَال إِلى رَبِّ العَالمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عملي وَأَنَا صَائِمٌ

“Ia adalah bulan di saat manusia banyak yang lalai (dari beramal shalih), antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di saat amal-amal dibawa naik kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila amal-amalku diangkat kepada Allah saat aku mengerjakan puasa sunnah.” (HR. Tirmizi, An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Khuzaimah menshahihkan hadits ini).

“Jadi dalam 12 bulan itu, bulan yang paling dianjurkan puasa setelah bulan Ramadhan adalah Sya’ban,” kata UAS dalam ceramah virtualnya yang dikutip Republika.co.id, Selasa (16/3).

Hal ini selaras dengan hadits Aisyah RA yang berkata, “Aku tidak pernah melihat beliau SAW lebih banyak berpuasa sunnah daripada bulan Sya’ban. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruh harinya, yaitu beliau berpuasa satu bulan Sya’ban kecuali sedikit (beberapa) hari.” (HR. Muslim no. 1156 dan Ibnu Majah no. 1710).

“Mengapa Rajab dan Ramadhan selalu diingat sedangkan Sya’ban sering dilupakan? Karena bulan Rajab sudah diagungkan, dimuliakan oleh orang-orang jahiliyah bahkan sebelum Islam datang.

Rajab juga termasuk dalam bulan-bulan haram yang dimuliakan dalam Alquran. Sedangkan Ramadhan, siapa yang tidak mengetahui Ramadhan karena didalamnya ada lailatul qadr dan momen Alquran diturunkan,” kata UAS. 

“Beribadah pada saat orang lupa, pahalanya besar, contohnya tahajud, banyak orang lalai makanya pahalanya besar bagi yang menjalankannya. Maka dari itu, keutamaan beramal saat orang lalai itu pahalanya amat luar biasa,” ujarnya. 

Dai yang meraih gelar profesor di Universitas Islam Omdurman Sudan itu mengutip penjelasan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya, Fathul Bari bahwa catatan amal manusia  diangkat sebanyak tiga kali, yaitu harian, mingguan, dan tahunan. Catatan amal harian akan diangkat setiap ba’da Ashar, catatan amal mingguan akan diangkat setiap Kamis. Sedangkan catatan amal tahunan akan diangkat setiap bulan Sya’ban.

“Jika saat catatan amal diperiksa dan diangkat oleh malaikat, seseorang itu sedang berpuasa atau sedang sholat berjamaah maka akan baik laporan amalannya kepada Allah SWT,” ujar Dosen UIN Sultan Kasim Riau itu.

“Bulan Sya’ban memiliki malam yang istimewa yakni pada 15 Sya’ban, yang biasa disebut Nisfu Sya’ban. Di malam itu, Allah SWT akan memperhatikan seluruh makhluk-Nya dengan perhatian khusus. Allah SWT juga akan ampunkan dosa semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik (orang yang menyekutukan Allah) dan orang musahid (orang yang berkelahi dan belum berdamai),” kata UAS. 

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitab Ghunyah al-Thalibin, malam nisfu Sya’ban adalah malam yang diberkati Allah (lailah mubarakah). Malam tersebut disebut juga dengan malam pembebasan (lailatul bara’ah).

“Dan di antaranya, malam pembebasan disebut dengan ‘mubarakah’ (yang diberkati) karena di dalamnya terdapat turunnya rahmat, keberkahan, kebaikan, dan pengampunan bagi penduduk bumi.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ghunyah al-Thalibin, juz 3, hal. 278).

“Dikatakan bahwa malam nisfu Sya’ban disebut malam pembebasan karena di dalamnya terdapat dua pembebasan. Pertama, pembebasan untuk orang-orang celaka dari siksa Allah yang Maha-Penyayang. Kedua, pembebasan untuk para kekasih Allah dari kehinaan.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ghunyah al-Thalibin, juz 3, hal. 283).

KHAZANAH REPUBLIKA

Tidak Membayar Zakat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushshilat: 6-7)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan (emas perak) itu dalam neraka jahanam…” (QS. At-Taubah: 34-350

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidaklah seorang pemilik onta, tidak pula sapi, dan tidak pula kambing, yang tidak membayar zakatnya, melainkan pasti dia akan dicampakkan karenanya di Hari Kiamat di sebuah padang lapang yang datar luas, di mana hewan-hewan itu akan menyeruduknya dengan tanduk-tanduknya dan menginjak-injaknya dengan kakinya; setiap yang terakhir telah selesai, maka yang pertama kembali lagi (menyeruduk dan menginjaknya), sehingga usai diputuskannya pengadilan (Allah) di antara manusia, yaitu pada hari yang ukurannya adalah lima puluh ribu tahun, kemudian dia melihat jalannya, baik ke surga atau ke neraka.”

Dan tidaklah seorang pemilik harta simpanan yang tidak menunaikan zakatnya, melainkan pasti hartanya akan dijadikan untuknya serupa seekor ular botak…” (al-Hadis).

Abu Bakar radhiallahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, dan beliau berkata,

Demi Allah, kalau mereka mencegahku (memungut zakat) seekor anak domba betina (sekalipun) yang dulu mereka bayar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya akan saya perangi mereka karena tidak mau membayarnya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di Hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali-Imran: 180)

Dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidak mau membayar zakat, beliau bersabda,

Barangsiapa yang tidak mau membayarnya, maka kami akan mengambilnya dan setengah dari hartanya; sebagai suatu kewajiban yang ditegaskan dari kewajiban-kewajiban yang ditegaskan Rabb kita.” (Diriwaytkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i dari hadis Bahz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya.

Kemudian dari Yahya bin Abi Katsir (dia berkata), Amir al-Uqaili menceritakan kepadaku, bahwasanya bapak mengabarkannya bahwa beliau pernah mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tiga orang yang paling pertama masuk neraka adalah: penguasa yang diktator (bengis), orang yang memiiki kekayaan harta tapi dia tidak menunaikan hak Allah dalam hartanya, dan orang fakir yang angkuh.”

Dari Syarik dan lainnya, dari Abu Ishaq, dari Abu al-Ahwash, dari Abdullah, beliau berkata,

“Kalian diperintahkan melaksanakan shalat dan membayar zakat, barangsiapa yang tidak membayar zakat, maka shalatnya tidak sah.”

Sumber: 76 Dosa Besar yang Dianggap Biasa, Al-Imam Al-Hafizh adz-Dzahabi, Tahqiq Muhyiddin Misti, Darul Haq Cetakan 3 2011/1432 H.

Artikel www.Yufidia.com

Selektif dalam Berinfak

Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).

Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:

Pertama

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:

Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa’di hlm. 341].

Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ   mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].

Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Memiliki siimahyaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Firman Allah تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ  maksudnya adalah anda mengetahui kondisi mereka sebenarnya dengan tanda-tanda yang ada pada diri mereka. Apabila seseorang melihat kondisi mereka, maka dia akan menduga bahwa mereka itu berkecukupan, namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka barulah diketahui bahasanya mereka itu fakir, namun mereka muta’affif (memelihara diri dari meminta-minta)… Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang dianugerahi Allah firasat sehingga dapat mengetahui kondisi manusia dengan hanya memperhatikan wajahnya secara sekilas [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/368].

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.

Kedua

Tidak boleh memberikan sedekah kepada orang yang sanggup untuk bekerja karena Allah berfirman لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ. Oleh karena itu, harus selektif dalam memberikan sedekah, karena sedekah tidak diberikan kepada mereka yang malas bekerja kemudian mencari jalan pintas dengan meminta-minta.

Anehnya, di negara kita ini banyak orang yang justru enjoy berprofesi sebagai peminta-minta karena malas dan ajaibnya hasil yang diperoleh dari hasil mengemis itu bisa lebih besar dari penghasilan seorang karyawan atau pegawai negeri. Anggaplah mereka fakir harta, tapi mereka bukanlah fakir dari segi fisik. Artinya, mereka itu pada dasarnya sanggup untuk bekerja namun lebih memilih menjadi peminta-minta.

Alhamdulillah, kami melihat sudah ada gerakan nyata untuk mengatasi hal tersebut di daerah seperti di Yogyakarta terdapat gerakan yang menyerukan kepada masyarakat bahwa peduli kepada peminta-minta bukanlah dengan cara memberikan uang kepada mereka.

Ketiga

Pada hakekatnya peminta-minta yang sering ditemui di jalanan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang miskin karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس المسكين الذي ترده الأكلة والأكلتان ولكن المسكين الذي ليس له غنى ويستحيي أو لا يسأل الناس إلحافا

Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta manusia secara mendesak [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لا يجد غنى يغنيه ولا يفطن به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس

Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].

Keempat

Kapankah seorang bisa dikatakan meminta-minta dengan mendesak? Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seorang yang meminta-minta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi kebutuhan dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta, maka berarti dia telah meminta-minta dengan mendesak [Tafsir Ibn Katsir 1/432; Asy Syamilah] . Lebih jelas lagi nabi shallahu ‘alai wa sallam bersabda,

من سأل و له أربعون درهما فهو ملحف

Barangsiapa yang meminta-minta dan ternyata memiliki harta sebanyak 40 dirham maka dia telah meminta-minta dengan mendesak [Hasan Shahih. HR. Ibnu Khuzaimah: 2448].

Kelima

Keutamaan ta’affuf (memelihara diri dari meminta-minta) meski miskin, karena firman Allah يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ  orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan bagi mereka yang memiliki sifat ta’affuf dalam sabda beliau,

ومن استعف أعفه الله عز وجل

Barangsiapa yang bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) niscaya Allah akan menjaga kesuciannya [Hasan Shahih. HR. An Nasaa-i: 2595].

Keenam

Ayat ini merupakan dalil bahwa label fakir boleh disematkan kepada orang yang memiliki pakaian yang cukup mewah karena firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ. Hal itu tidaklah menghalangi pemberian zakat kepada mereka karena dalam ayat ini Allah telah memerintahkan untuk memberi sedekah kepada mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Ketujuh

Seseorang hendaknya memiliki sifatjeli karena Allah ta’ala menyifati orang yang tidak tahu akan kondisi orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas dengan karakter jahil sebagaimana firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ .

Kedelapan

Isyarat akan adanya firasat berdasarkan firman-Nya تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ karena siimah merupakan tanda yang hanya diketahui oleh mereka yang berfirasat kuat [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesembilan

Pujian kepada orang yang tidak minta-minta kepada manusia berdasarkan firman Allah لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا. Karakter ini merupakan salah satu poin perjanjian tatkala nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat. Sehingga ketika pecut kuda salah seorang sahabat jatuh, dia tidak meminta tolong kepada rekannya untuk mengambilkan demi mengamalkan janji baiat yang telah diucapkannya. Bagaimana hukum meminta kepada orang lain khususnya terkait harta? Meminta harta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang darurat merupakan perkara yang diharamkan kecuali kita tahu bahwa orang yang dimintai senang apabila ada yang meminta kepadanya. Jika demikian, maka tidak mengapa meminta kepada orang tersebut, bahkan meminta kepadanya dapat bernilai pahala dikarenakan hal itu termasuk perbuatan menyenangkan hati saudaranya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesepuluh

Ayat ini menjelaskan keumuman sifat ilmu yang dimiliki Allah karena segala kebaikan yang dikerjakan hamba, Allah mengetahuinya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Bersedekahlah Sebelum Modal Waktumu Habis!

Allah swt berfirman,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS.Al-Munafiqun:10)

Ayat ini sedang mengajak kita untuk berinfak sebelum ajal menjemput kita. Namun ayat ini juga memberikan pelajaran-pelajaran dahsyat yang dapat kita petik darinya, yaitu :

1. Ketika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berinfak, Allah tegaskan bahwa yang diminta untuk di-infakkan adalah sebagian dari “rezeki dari-Ku”, bukan asli milik manusia.

2. Allah gandengkan perintah infak dengan mengingat kematian. Karena ketika ajal datang semua kesempatan telah tertutup dan tidak ada waktu lagi untuk berbuat.

3. Ayat ini juga mengajarkan bahwa kematian itu datang tiba-tiba. Dan ketika sampai waktunya, tidak ada yang bisa lari atau menundanya.

4. Mereka yang telah menghadapi kematian pasti akan menyesal dan berteriak, “Ohh andai aku diberi kesempatan untuk kedua kalinya, pasti aku akan bersedekah dan berinfak dijalan-Nya.”

5. Kisah dalam ayat ini menimbulkan pertanyaan yang menarik, “Mengapa jika mereka diberi kesempatan lagi untuk hidup, mereka ingin memperbanyak infak dan sedekah dan tidak menyebut amal yang lain? Tidak menyebut umrah, haji atau amal sholeh lainnya?”

Jawabannya adalah karena mereka telah melihat langsung di alam sana, betapa besarnya pahala sedekah. Betapa agungnya pahala berbagi kepada orang yang membutuhkan.

6. Akhir ayat ini juga memberi pesan yang indah ketika Allah gandengkan kalimat “Aku ingin bersedekah dan aku ingin menjadi orang yang sholeh..”

Disini Allah ingin menjelaskan kepada kita bahwa salah satu bukti kesalehan seseorang adalah kepeduliannya dalam berinfak dan membantu orang yang membutuhkan.

Secara ringkas ayat ini sedang ingin mengajak kita untuk berinfak sebelum habis modal waktu kita. Jangan sampai kita tenggelam dalam penyesalan karena kurang dalam bersedekah di masa hidup kita.

Ingat tanda kesalehan bukan hanya tampak dari bekas sujudmu, tapi tanda itu juga dinilai dari kepedulianmu terhadap sesamamu.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Bulan Sya’ban

Asal Penamaan

Nama Sya’ban diambil dari kata: sya’bun, yang artinya kelompok atau golongan. Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan ini masyarakat jahiliyah berpencar mencari air. Ada juga yang mengatakan, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan. (Lisanul ‘Arab ). Al-Munawi mengatakan: “Bulan rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” (at-Tauqif a’laa Muhimmatit Ta’arif, hal. 431)

Hadits Shahih Seputar Sya’ban

  1. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan: Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakana, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa’. Dan terkadang beliau tidak puasa terus hingga kami katakan, ‘Beliau tidak melakukan puasa’. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering dari pada ketika di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Mulim)
  2. A’isyah mengatakan: Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh. (HR. Al Bukhari & Mulim)
  3. A’isyah mengatakan: Saya pernah memiliki hutanng puasa Ramadhan. Dan saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Mulim)
  4. A’isyah mengatakan: Bulan yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau lanjutkan dengan puasa Ramadhan. (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanadnya dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
  5. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al Albani)
  6. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan: Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Sya’ban dan Ramadhan. (HR. An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani)
  7. Dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)
  8. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali orang yang sudah terbiasa puasa sunnah, maka silahkan dia melaksanakannya.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  9. Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluqnya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani)

Hadits Dhaif Seputar Sya’ban

  1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Puasa sunnah apakah yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda: “Sya’ban, dalam rangka mengagungkan Ramadhan…” (HR. At Turmudzi dari jalur Shadaqah bin Musa. Perawi ini disebutkan oleh Ad Dzahabi dalam Ad Dhu’afa, beliau mengatakan: Para ulama mendhaifkannya. Hadits ini juga didhaifkan Al Albani dalam Al Irwa.)
  2. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengtakan: Suatu malam, saya kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya cari keluar, ternyata beliau di Baqi’….Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia. Kemudian Dia mengampuni dosa yang lebih banyak dari pada jumlah bulu kambingnya suku Kalb.” (HR. Ahmad, At Turmudzi, dan didhaifkan Imam Al Bukhari & Syaikh Al Albani)
  3. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika masuk malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalat-lah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman: Mana orang yang meminta ampunan, pasti Aku ampuni, siapa yang minta rizki, pasti Aku beri rizki, siapa…. sampai terbit fajar.” (HR. Ibn Majah. Di dalam sanadnya terdapat Ibn Abi Subrah. Ibn Hajar mengatakan: Para ulama menuduh beliau sebagai pemalsu hadits. Hadits ini juga didhaifkan Syaikh Al Albani)
  4. Hadits: Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. (Riwayat Abu Bakr An Naqasy. Al Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir mengatakan: An Naqasy adalah pemalsu hadits, pendusta. Ibnul Jauzi, As Shaghani, dan As Suyuthi menyebut hadits ini dengan hadits maudlu’)
  5. Hadits: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil: Hai Ali, siapa yang shalat seratus rakaat di malam pertengahan bulan Sya’ban, di setiap rakaat membaca Al Fatihah dan surat Al Ikhlas sepuluh kali. Siapa saja yang melaksanakan shalat ini, pasti Allah akan penuhi kebutuhannya yang dia inginkan ketika malam itu…. (Hadits palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/127 – 128, As Suyuthi dalam Al-Lali’ Al Mashnu’ah, 2/57 – 59, dan ulama pakar hadits lainnya )
  6. Hadits: Siapa yang melaksanakan shalat pada pertengahan bulan Sya’ban dua belas rakaat, di setiap rakaat dia membaca surat Al Ikhlas tiga kali maka sebelum selesai shalat, dia akan melihat tempatnya di surga. (Hadits palsu, disebutkan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2/129 Ibnul Qoyim dalam Manarul Munif, hal. 99, dan dinyatakan palsu oleh pakar hadits lainnya)

Amalan Sunnah di Bulan Sya’ban

Pertama, memperbanyak puasa sunnah selama bulan Sya’ban

Ada banyak dalil yang menunjukkan dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan sya’ban. Diantara hadits tersebut adalah:

Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan: Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakana, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa’. Dan terkadang beliau tidak puasa terus hingga kami katakan, ‘Beliau tidak melakukan puasa’. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering dari pada ketika di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Mulim)

A’isyah juga mengatakan: Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh. (HR. Al Bukhari & Muslim)

Hadits-hadits di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, melebihi puasa di bulan lainnya.

Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini. Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadits dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)

Kedua, memperbanyak ibadah di malam nishfu Sya’ban

Ulama berselisish pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut keterangannya:

Pendapat pertama, tidak ada keuatamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah – dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban – mengatakan: “Para ulama ahli hadits dan kritik perawi mengatakan: Tidak terdapat satupun hadits shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, hal. 33).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Saya’ban. Beliau mengatakan: “Terdapat beberapa hadits dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadits yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadits).” (At Tahdzir min Al Bida’, hal. 11)

Pendapat kedua, ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadits shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani).

Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syaikhul Islam mengatakan: ….Pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam madzhab hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadits yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…(Majmu’ Fatawa, 23/123)

Ibn Rajab mengatakan: Terkait malam nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu…(Lathaiful Ma’arif, hal. 247).

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:

  1. Nishfu Sya’ban termasuk malam yang memiliki keutamaan. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan. Meskipun sebagian ulama menyebut hadits ini hadits yang dhaif, namun insyaAllah yang lebih kuat adalah penilaiannya Syaikh Al Albani bahwa hadits tersebut statusnya shahih.
  2. Tidak ditemukan satupun riwayat yang menganjurkan amalan tertentu ketika nishfu Sya’ban. Baik berupa puasa atau shalat. Hadits di atas hanya menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua hamba-Nya di malam nishfu sya’ban, kecuali dua jenis manusia yang disebutkan dalam hadits tersebut.
  3. Ulama berselisih pendapat tentang apakah dianjurkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan banyak beribadah. Sebagian ulama menganjurkan, seperti sikap beberapa ulama Tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam ibadah. Sebagian yang lain menganggap bahwa mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah adalah bid’ah.
  4. Ulama yang membolehkan memperbanyak amal di malam nishfu Sya’ban, mereka menegaskan bahwa tidak boleh mengadakan acara khusus, atau ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendirian di malam ini. Karena tidak ada amalan sunnah khusus di malam nishfu Sya’ban. Sehingga, menurut pendapat ini, seseorang dibolehkan memperbanyak ibadah secara mutlak, apapun bentuk ibadahnya.

Amalan Bid’ah di Bulan Sya’ban

Ada banyak bid’ah yang digelar ketika bulan Sya’ban. Umumnya kegiatan bid’ah ini didasari hadits-hadits dhaif yang banyak tersebar di masyarakat. Terutama terkait dengan amalan nishfu sya’ban. Berikut adalah beberapa kegiatan bid’ah yang sering dilakukan di bulan Sya’ban:

Pertama, Shalat sunnah berjamaah atau mengadakan kegiatan ibadah khusus di malam nishfu sya’ban

Terdapat hadits shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban, namun tidak ditemukan satupun hadits shahih yang menyebutkan amalan tertentu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu, para ulama menegaskan terlarangnya mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk melaksanakan ibadah tertentu.

Kedua, Shalat Alfiyah

Manusia pertama yang membuat bid’ah shalat Alfiyah di malam nishfu Sya’ban adalah seseorang yang bernama Ibn Abil Hamra’, yang berasal dari daerah Nablis, Palestina. Dia datang ke Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki suara bacaan Al Qur’an yang sangat merdu. Ketika malam nishfu Sya’ban, dia shalat dan diikuti oleh seseorang di belakangnya sebagai makmum. Kemudian makmum bertambah tiga, empat,..hingga sampai selesai shalat jumlah mereka sudah menjadi jamaah yang sangat banyak.

Kemudian di tahun berikutnya, dia melaksanakan shalat yang sama bersama jamaah yang sangat banyak. Kemudian tersebar di berbagai masjid, hingga dilaksanakan di rumah-rumah, akhirnya jadilah seperti amalan sunnah. (At Tahdzir Minal Bida’, karya At Turthusyi, hal. 121 – 122).

Tata caranya:

Shalat ini dinamakan shalat alfiyah, karena dalam tata caranya terdapat bacaan surat Al Ikhlas sebanyak seribu kali. Di baca dalam seratus rakaat. Tiap rakaat membaca surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. (Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 149)

Semua ulama sepakat bahwa shalat Alfiyah hukumnya bid’ah.

Ketiga, Tradisi Ruwahan-sadranan (selamatan bulan di Sya’ban)

Tradisi ini banyak tersebar di daerah jawa. Mereka menjadikan bulan ini sebagai bulan khusus untuk berziarah kubur dan melakukan selamatan untuk masyarakat kampung. Pada hakekatnya tradisi ini merupakan warisan agama hindu-animisme-dinamisme. Sehingga bisa kita tegaskan hukumnya terlarang, karena kita dilarang untuk melestarikan adat orang kafir. Atau, setidaknya tradisi ini termasuk perbuatan bid’ah yang sesat.

***

Artikel muslimah.or.id

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits

Hukum Menggunakan Aplikasi MyHeritage?

Belakangan ini viral di media sosial sebuah aplikasi yang mampu membuat foto lawas bergerak dan terasa hidup kembali. Nitizen di tanah air, ramai-ramai mengupload foto jadul  keluarga dan hantai tolan yag sudah meninggal di medsos; Facebook, Instragram, Twitter, dan Tik-Tok. Aplikasi itu bernama MyHeritage. Aplikasi ini populer lantaran menyediakan fitur membuat orang yang sudah meninggal bak hidup kembali. Lantas bagaimana hukum menggunakan Aplikasi MyHeritage?

Sejatinya aplikasi MyHeritage menawarkan jasa mengubah sebuat potret menjadi video singkat. Aplikasi ini juga punya pelbagai fitur canggih. Adapun aplikasi MyHaritage menggunakan teknologi deepfake dan  Artificial Intelligence—alias kecerdasan buatan—, yang kian membuat nitizen jatuh hati untuk segera mendownload aplikasi ini.

Menurut Dar Ifta Mesir pada dasarnya hukum Islam membolehkan hiburan.Pasalnya hiburan merupakan kebutuhan manusia. Pun hukum Islam membolehkan menggunakan pelbagai aplikasi modern sebagai hiburan.  Namun dengan catatan, selama hiburan itu tidak memuat ejekan dan menampilkan perilaku buruk.

Pada sisi lain, dalam analisis Lembaga Fatwa Mesir, sejatinya tak ada larangan syariat Islam dalam melakukan inovasi dengan menggunakan teknologi program modern (misalnya; deepfake). Pun tak ada larangan syariat untuk menggunakan aplikasi modern yang mampu menggerakkan gambar yang awalnya diam, dengan bantuan teknologi deepfake dan AI menjadi yang mampu mengubah gambar diam menjadi video. Ini suatu inovasi baru, sebagai ganti dari gambar biasa hanya statis, tiba-tiba bergerak dalam bentuk video.

Lembaga Fatwa Mesir pun membolehkan aplikasi MyHeritage. Meskipun aplikasi ini digunakan pada foto jadul dan orang yang sudah meninggal, dan membuatnya hidup kembali.  Lembaga Dar Ifta Mesir pun tak mempermasalahkan demikian, tetapi mereka mempunyai syarat; “foto dan video itu tak menjelekkan si mayit dan tak membuat akhlaknya yang jelek. Dan juga, aplikasi ini tak digunakan untuk penipuan identitas”.

Dar Ifta Mesir mengatakan lewat laman Facebooknya pada tanggal 13 Maret 2021;

فالأَصْل أنَّ هذا مباحٌ بشرط مراعاة خصوصية مَن أفضى إلى رَبِّه بأن لا يشتمل تحريك صورته على سخرية أو سوء أدب مع الميت

Artinya; pada dasarnya aplikasi ini boleh digunakan, dengan syarat menjaga  kehormatan orang yang sudah kembali kepada tuhannya, dengan tidak menampilkan dalam gambar bergerak  dalam bentuk video itu untuk mengumbar kejelekan dan buruk adab beserta orang yang meninggal itu.

Pandangan berbeda diungkapkan oleh Syekh Abd al-Hamid al-Atrash, mantan Ketua Komite Fatwa Al-Azhar al-Sharif. Ulama besar dari Universitas AL-Azhar ini mengimbau masyarakat untuk tidak menggunakan aplikasi  MyHeritage.  Ia menilai dalam aplikasi ini ada  memuat pemalsuan identitas. Ia pun mewanti-wanti agar berhati-hati dalam menggunakan deepfake dengan bantuan AI (kecerdasan buatan)

Dalam fatwanya,  Syekh Al-Atrash mengatakan terkait—fitur foto jadul orang yang sudah meninggal seolah hidup dalam bentuk video—, tidak diperbolehkan oleh syariat Islam. Ia menjelaskan tidak dibolehkan menyerupakan manusia yang sudah mati dengan keadaan apapun.  Ia juga menjelaskan tidak boleh memasukkan foto jadul yang sudah mati tersebut ke dalam aplkasi MyHeritage. Ini tergolong pada penghinaan orang yang sudah wafat. Dan tak menghormati mereka yang sudah wafat.

Padahal Allah memuliakan manusia yang telah wafat. Hal itu berdasarkan firman Allah Q.S al-Isra ayat 70;

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ

Artinya; Sesungguhnya kami muliakan anak Adam.

Lebih lanjut  Syek Al Atrash mengatakan ;

لا يجوز وضع صورة المتوفى على جسد شخص آخر، كذلك لا يجوز الإتيان بصورته القديمة لوضعها في تطبيق لصنع فيديو كأنه حاضر لمناسبة حالية، فهذا ليس احترام للميت،

Artinya; Tidak boleh meletakkan foto atau rupa orang yang sudah meninggal pada tubuh orang lain. Dan begitu pula tidak diperbolehkan untuk menempatkan  foto lamanya untuk dimasukkan ke dalam aplikasi (MyHeritage) untuk membuat video seolah-olah dia hadir pada  saat itu. Demikian itu tidak menghormati orang mati.

Demikian hukum menggunakan MyHeritage dalam pandangan Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kesan Jamaah Saat Ibadah Haji Bersama Nabi

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang lemah lembut, luas, dan menyenangkan. Setiap ucap langkahnya memberikan kesan kepada setiap orang terutama pada saat menjalankan ibadah haji bersama Nabi.

“Tidak ada seorangpun yang lebih banyak tersenyum dari Rasulullah,” kata Abu Thalah Muhammad Yunus Abdussatar dalam kitabnya ‘Kaifa Tastafidu min al-Haramain asy-Syarifain Ayyuha az-Zair wa al-Muqim’. 

Abu Thalhah mengatakan, setiap kali berbicara Nabi SAW pasti diiringi dengan sunggingan senyum. Beliau berupaya untuk mengajak senda gurau serta menyenangkan hati para sahabatnya. 

Di antara contoh mengenai hal ini kata Abu Thalah adalah hadis riwayat Abu Abbas yang menceritakan, “Kami mendatangi Rasulullah bersama anak-anak kecil keluarga Bani Abdul Muthalib pada saat menjelang melempar selepas dari Muzdalifah. Nabi mulai menepuk-nepuk paha kami seraya bersabda, anak-anakku, janganlah kalian melempar jumroh kecuali setelah matahari terbit. (HR Ibnu Majah). 

Abu Thalhah mengatakan, faktor terbesar penyebab keberhasilan Nabi dalam memimpin jamaah haji adalah kesederhanaan dan kejelasan ajarannya, serta meninggalkan hal-hal yang rumit dan mengada-ngada. Siapapun yang mau merenungkan arahan Nabi dalam membimbing jamaah haji akan memahami, bahwa maksud dan tujuan jamaah haji, kepemimpinan Nabi Muhammad, amalan manasik yang dilakukan arahan perjalanan serta tempat dan waktu ke semuanya benar-benar jelas.  

“Inilah yang membuat orang-orang yang dipimpin oleh Nabi mengetahui betul lika-liku urusan ibadahnya,” katanya. 

Setiap orang tahu tempat mana yang akan didatangi dan daerah mana yang akan ditinggalkan. Oleh karena itu, kata Abu Thalhah, apabila Allah memberikan suatu kepercayaan kepada anda untuk mengurus jamaah haji, maka berikan keterangan sejelas-jelasnya kepada jamaah haji, dan hindarilah hal-hal yang mengada-ngada serta tidak jelas.   

IHRAM