Alquran Dibaca, Syirik Jalan, Tauhid Ditinggalkan

TIDAK diragukan lagi bahwa Alquran telah menjelaskan segala aspek yang dibutuhkan oleh manusia.

Allah Taala berfirman:

“dan Kami telah menurunkan Alkitab kepadamu sebagai penjelasan atas segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim” (QS. An Nahl: 89).

Dan penjelasan yang paling dibutuhkan serta paling urgen bagi manusia di dalam Alquran adalah tentang tauhid dan syirik. Karena perkara ini adalah pokok agama dan hal mendasar dalam Islam. Tauhidlah yang menjadi pondasi dari semua amalan yang dilakukan seorang Muslim, dan syiriklah yang bisa membatalkan semua amalan tersebut.

Karena itu Allah Subhanahu wa Taala telah menjelaskan kedua perkara ini di dalam Alquran dengan penjelasan yang gamblang dan jelas. Allah Taala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.” (QS. Al Baqarah: 99).

Bahkan semua bagian dari Alquran adalah penjelasan mengenai tauhid dan syirik. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa Alquran seluruhnya menjelaskan tentang tauhid. Karena isi dari Alquran pasti tidak lepas dari:

– Perintah untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik

– Penjelasan tentang balasan baik bagi ahli tauhid, dan balasan buruk bagi ahli syirik

– Penjelasan tentang hukum halal dan haram, yang ini merupakan konsekuensi tauhid

– Kisah-kisah tentang para Rasul dan umat mereka, dan pergolakan yang mereka alami, yang ini merupakan pelajaran mengenai balasan atas tauhid dan syirik” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 16).

Maka Alquran yang dibaca siang dan malam, dalam salat, di luar salat, dilantunkan oleh para qaari, dan dihafal oleh banyak orang, semuanya berisi tentang tauhid. Namun sayang sungguh sayang, masih banyak orang yang terluput dari hal ini. Mereka membaca dan mendengarkan Alquran namun tauhid tidak nampak dalam perilaku mereka, bahkan mereka terjerumus dalam kesyirikan.

Tujuan membaca Alquran

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan: “anda dapati banyak orang yang membaca Alquran namun mereka terjerumus dalam kesyirikan dan meninggalkan tauhid. Padahal perkara tauhid ini sangat jelas di dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam. Karena mereka melestarikan apa yang mereka dapati dari kakek moyang mereka, para syaikh mereka, dan kebiasaan penduduk daerah mereka. Mereka tidak merenungkan barang satu hari pun, dan tidak mentadabburi, apa yang ada di dalam Alquran. Dan mereka tidak berusaha mengkiritis apa yang dilakukan orang-orang, apakah hal tersebut sudah benar atau tidak?”.

Beliau melanjutkan, “bahkan mereka mempraktikkan taklid buta kepada kakek moyang mereka. Mereka menganggap Alquran hanya dibaca sekadar untuk mengambil berkahnya saja dan meraih pahala dari membacanya. Mereka tidak bermaksud untuk mentadabburi dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 10).

Padahal Alquran dibaca untuk diamalkan, karena ia adalah sumber hidayah, Allah Taala berfirman:

“Sesungguhnya Alquran ini memberikan hidayah kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al Isra: 9).

Allah Taala juga memerintahkan kita untuk mentadabburi isi Alquran, bukan sekadar membaca tanpa perenungan. Allah Taala berfirman:

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).

Bahkan sebaik-baik manusia adalah orang yang mempelajarinya, berusaha memahami isinya dan mengajarkannya kepada orang lain. Bukan sekadar membacanya tanpa pemahaman. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

“..sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya” (HR. Al Bukhari 4639).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan melanjutkan, “Sedikit sekali orang yang membaca Alquran dengan tujuan ini. Kebanyakan mereka hanya membacanya untuk mencari berkah atau sekadar bernikmat-nikmat mendengarkan tilawah sang qaari, atau untuk mengobati orang sakit. Adapun membaca Alquran untuk mengamalkannya, serta mentadabburinya, dan mengembalikan apa yang dilakukan oleh orang-orang kepada Alquran, ini semua tidak ditemukan kecuali hanya pada sedikit orang saja” (Syarh Al Ushul As Sittah, Syaikh Shalih Al Fauzan, 11-12).

Terlalu perhatian pada tajwid, namun lalai para tauhid

Sebagian orang, memberikan perhatian yang begitu serius dalam tajwid (membaguskan bacaan Alquran). Atau sangat perhatian pada langgam-langgam dalam membaca Alquran, menghafal dan melatih langgam-langgamnya, atau mengoleksi banyak rekaman para qaari dan menirukan bacaan serta iramanya. Namun justru mereka lalai terhadap esensi dari apa yang dibaca.

Syaikh Shalih Al Fauzan menyebutkan, “orang-orang membaca Alquran, memperbanyak bacaannya, mengkhatamkannya berkali-kali, menghafalnya, mentartilkannya, mereka sangat perhatian pada lafadz-lafadz dan tajwidnya. Sangat perhatian pada hukum-hukum mad, hukum-hukum idgham, ghunnah, iqlab, izhar, ikhfa, dan mencurahkan perhatian yang sangat besar dalam hal itu. Ini memang baik. Namun tujuan yang lebih urgen bukanlah ini. Tujuan yang lebih urgen adalah mentadabburinya, memahami Kitabullah, dan mengembalikan amalan kita serta amalan manusia kepada Kitabullah, apakah amalan-amalan tersebut sesuai dengan Kitabullah atau bertentangan?” (Syarh Al Ushul As Sittah, 13).

Tantangan berat bagi pada dai tauhid

Beliau juga mengatakan, “bahkan jika ada seorang dai yang ingin memperbaharui kebiasaan buruk yang ada pada diri mereka, mereka akan marah dan menuduhnya berbuat kesesatan. Bahkan mereka juga menuduhnya telah keluar dari ajaran agama, atau ia telah membaca ajaran baru, dan tuduhan-tuduhan lainnya” (Syarh Al Ushul As Sittah, 12).

Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa orang mendakwahkan untuk kembali kepada Alquran dan As Sunnah, mengajak manusia untuk bertauhid yang benar dan meninggalkan kesyirikan, akan mendapat penentangan dari orang-orang. Hal itu tidak akan membuat mereka menjadi rendah dan hina, justru akan mengangkat derajat mereka di sisi Allah. Justru orang-orang yang menyelisih Alquran dan sunah yang hakikatnya hina dan rendah.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:

“Allah mengangkat derajat kaum-kaum dengan Alquran ini, dan merendahkan kaum-kaum yang lainnya dengannya” (HR. Muslim).

Mereka telah didahului oleh para Nabi dan Rasul Allah yang juga mengalami hal yang serupa, bahkan lebih dahsyat lagi. Oleh karena itu Allah menghibur Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam serta para dai ilallah yang berjalan di atas jalannya:

“Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu (wahai Muhammad) kecuali sesungguhnya hal serupa telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu. Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih” (QS. Fushilat: 43).[Muslimorid]

INILAH MOZAIK

Lupa Membaca Surah Al-Fatihah Saat Shalat, Apa Hukumnya?

Membaca surah al-Fatihah sangat utama saat shalat.

Assalaamu ‘alaikum wr wb.

Saya terkadang merasa membaca al-Fatihah dua kali karena lupa atau takut belum terbaca. 

Kadangkala saya juga merasa pada salah satu rakaat belum membacanya. Apa yang harus saya lakukan? Bolehkah saya menambahnya pada saat duduk tasyahud sebelum salam? 

Wassalam.

Farida

Kuningan, Jawa Barat

Jawaban Oleh Pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof M Quraish Shihab:

Lupa atau keliru adalah manusiawi. Karena itu, agama tidak menuntut tanggung jawab seseorang bila ia lupa atau keliru. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: “Allah tidak akan menghukum umat-Nya akibat salah, lupa, atau dipaksa?” (HR at-Thabrani).

Dalam Alquran pun ditegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS al-Baqarah:286).

Kendati demikian ayat tersebut melanjutkan; (Mereka berdoa): “Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” Permohonan ini karena bukan semua kekeliruan atau lupa pasti diampuni Allah.

Ada lupa dan kekeliruan yang dapat dihindari karena ada di antaranya yang merupakan akibat kecerobohan, atau kelalaian. Seorang yang diberi tugas memberi obat seorang anak, lalu ia keliru dengan memberinya obat lain sehingga penyakitnya bertambah parah atau ia lupa memberinya obat karena dia asyik bermain, maka di sini tentu saja ia wajar dikecam dan dituntut.

Seorang yang diberi tugas mengantar surat penting, kemudian surat itu lupa dia antar karena pergi menonton, maka kelupaan semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlalu, seakan tidak terjadi apa-apa. Itulah yang dimaksud dengan permohonan ini.

Selanjutnya soal lupa atau takut terlupa yakni ragu bisa juga diakibatkan oleh gangguan setan, karena kurangnya konsentrasi. Karena itu bertaawwuzlah, mohonlah perlindungan Allah dari godaannya.

Kalau Anda dalam shalat membaca dua kali dengan alasan lupa atau takut lupa maka itu tidak mengapa. Di sisi lain jika Anda benar-benar merasa lupa tidak membaca Al-Fatihah, maka jika itu terjadi sebelum rukuk dan Anda sedang membaca surah pendek misalnya, maka Anda harus menghentikan pembacaan surah pendek itu dan membaca al-Fatihah. 

Tetapi jika Anda teringat di dalam shalat dan setelah selesainya rukuk, maka rakaat shalat itu tidak sah, menurut pandangan Imam Syafi`i. Anda harus mengulangnya bukan ketika Anda rukuk, sujud atau tasyahud tetapi dalam keadaan berdiri sebelum rukuk karena al-Fatihah harus dibaca setiap rakaat dalam keadaan tersebut. Dengan demikian Anda tidak boleh membacanya saat duduk bertasyahud.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Ikhlas Doakan Sesama

SAUDARAKU, dalam bergaul sehari-hari mungkin kita pernah diminta oleh saudara, tetangga, teman maupun kenalan lainnya, untuk mendoakannya. “Tolong doakan, ya!” atau “Mohon doanya!” Entah saat itu dia sedang menghadapi ujian di sekolah, hendak mencari kerja, memulai sebuah usaha, atau pun bersyukur atas kelahiran anaknya.

Sebetulnya, tanpa diminta pun kita sudah semestinya melakukan. Misalkan ketika ada seseorang yang selalu berbuat baik kepada kita, maka doakanlah dia. Atau, dalam sebuah urusan kita terpaksa meminta bantuan seseorang, dan saat itu kita tidak mampu membalasnya. Maka, selain mengucap terima kasih, benar-benar doakanlah dia dengan ikhlas.

Terhadap orang yang baik atau rajin menolong, bahkan sering terbebani oleh kita, kalau bisa kita balas dengan yang lebih baik. Kalau tidak bisa, ucapkanlah terima kasih dengan tulus, serta serius dan ikhlas mendoakannya. Supaya kemuliaan (izzah) kita tetap terjaga, tidak lantas turun dengan menjadi beban bagi orang lain.

Misalkan setelah tahajud, doakanlah sebanyak-banyaknya bagi orang yang sudah membantu kita. Mohonkan kepada Allah SWT, kebaikan demi kebaikan maupun apa yang kira-kira sedang diperlukannya. Jadi tidak perlu di-sms. (KH Abdullah Gumnastiar)

Seperti mungkin kita pernah menerima sms pukul setengah tiga pagi, “Ya Allah, di saat yang mustajab, hamba mendoakan sahabatku ini. Balaslah semua kebaikannya. Engkaulah Yang Mahamendengar dan Mahamelihat. Kabulkanlah, ya Tuhanku Yang Mahapemurah.” Tapi mungkin kita tidak pernah mendapat sms begitu, karena kitalah yang biasa mengirimnya.

Saudaraku. Benarkah yang seperti itu kita sedang mendoakan? Atau, sebenarnya kita hanya memberi informasi, bahwa kita sedang tahajud dan kita teringat kepadanya. Lalu merasa kalau sering sms akan diartikan saleh, karena misalkan berharap dia mau menikah dengan kita. Bagaimana kalau sambil mengantuk ternyata salah kirim? Sudah berdoanya kepada sesama makhluk, dan yang dikirimi pun sama-sama lelaki misalnya.

Sekalipun seseorang meminta kita mendoakannya, maka doakan saja. Yang penting bukanlah dia tahu kalau kita sudah mendoakannya, tapi yang penting adalah diijabah.

“Apabila salah seorang mendoakan saudaranya sesama muslim tanpa diketahui oleh yang didoakan, maka para malaikat berkata: Amin dan semoga engkau memperoleh pula seperti apa yang engkau doakan itu.” (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).

Jadi, tidak perlu diberi tahu. Baik lewat sms atau pun lainnya. Misalkan saat bertemu kita berkata, “Kang, semalam akang sudah saya doakan.” Mungkin si akang jadi senang, “Terima kasih, tapi doa apa?” “Doa lunas utang.” “Enak saja! Saya kan tidak punya utang.” Akhirnya malah jadi tersinggung.

Begitu kalau misalnya dia benar-benar sedang terlilit utang. Maka saat nanti utangnya sudah lunas dan usahanya terus maju, kita juga tidak perlu merasa berjasa. Walaupun doa kita memang kuat. Nanti jadi ujub.

Misalkan ada teman sedang mengikuti tes masuk kerja. Kita doakan karena dia sering menolong kita. Meski kita sering mendoakannya hingga berderai air mata, tapi saat dia diterima, kita tidak usah jadi ikut-ikutan keren. Karena merasa doa kita yang diijabah. Seperti mendadak berlagak tawadhu sambil menepuk-nepuk pundaknya, “Alhamdulillah, diterima kan?” Teman kita jadi bingung, “Kamu kenapa? Lagi sakit, ya?”

Jadi, saudaraku. Balaslah kebaikan orang dengan ikhlas. Walaupun yang bisa kita perbuat hanya mengucap terima kasih dan berdoa. Sesudah itu diam, dan terserah Allah saja. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Belajar Agama Kepada Siapa? Bag. 2

Metode Dalam Meraih Ilmu

Ada dua metode dalam meraih ilmu, yaitu:

1. Otodidak
Maksudnya adalah mempelajari ilmu dengan membaca buku saja tanpa bimbingan guru yang mumpuni. Orang yang mengambil langkah ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki kesalahan yang lebih banyak dibanding kebenarannya atau kekeliruannya akan mengalahkan kebenarannya. Barangsiapa yang mempelajari ilmu secara otodidak maka mayoritas akan tersesat karena di hadapannya terbentang laut yang tidak bertepi dan kedalaman yang tidak dapat diselami.

2. Mengambil ilmu dari guru
Metode ini lebih singkat, bebannya lebih sedikit dan lebih mengarah kepada kebenaran karena jika mempelajari ilmu dari guru yang ahli maka ia akan memberikan ilmu yang sudah matang dan jika guru tersebut amanah maka ia akan memerintahkan untuk muthala’ah dan muraja’ah.

Kriteria Guru Agama Yang Baik

Agar terhindar dari kesalahan dalam memahami ilmu maka perlu bimbingan dari guru dan ilmu adalah agama maka kita tidak boleh mengambil ilmu dari sembarang orang. Di antara kriteria guru agama yang baik adalah:

1. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman para salaf

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berusaha memahami kandungan maknanya dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam memahami kandungan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Begitu pula dalam memahami penjelasan mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati, pengenalan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih dan meninggalkan riwayat-riwayat yang tidak shahih, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hal. 6).

2. Mengajak ke jalan Allah

Guru agama yang baik adalah yang mengajak pada Allah bukan mengajak pada organisasinya, partainya dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).” (Q.S Fushshilat: 33)

3. Memiliki keahlian dan amanah

Menuntut ilmu sebaiknya dilakukan secara ta’shil dan ta’sis, hal ini hanya bisa didapatkan dengan mengambil ilmu kepada guru yang ahli bukan kepada guru yang sedikit tingkatan ilmunya di atasnya. Sebagian orang jika melihat pelajar lain memiliki kelebihan darinya dalam beberapa masalah ilmu maka ia akan menjadikannya guru, hal ini merupakan tindakan yang keliru. Yang benar ialah seharusnya ia memilih guru yang memiliki keahlian jauh di atasnya dan amanah. Keahlian adalah kekuatan dan kekuatan membutuhkan amanah. Jika mengambil ilmu dari seorang ‘alim yang memiliki keahlian, ilmu yang luas, kemampuan untuk memetakan dan membagi masalah dan lain sebagainya akan tetapi ia tidak amanah maka mungkin saja ia akan menyesatkan tanpa disadari.

4. Tidak menuntut ilmu agama kepada ahlul bid’ah

Imam Malik rahimahullah berkata : “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
a. Orang bodoh yang nyata kebodohannya,
b. Shahibu hawa’ (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
c. Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walau pun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
d. Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (2/821) no. 1542 dengan sanad yang hasan dan ia meriwayatkan pula di al-Tamhid (1/66)).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah, bahkan ilmu yang tidak ada kaitannya dengan kebid’ahannya, karena dapat menyebabkan dua kerusakan yaitu :

  • Ahlul bid’ah tersebut akan tertipu dengan dirinya sendiri, ia akan mengira dirinya berada dalam kebenaran
  • Orang awam akan tertipu dengan si ahlul bid’ah karena melihat banyak orang yang mengambil ilmu kepadanya.

Orang yang mempelajari ilmu agama hakikatnya ia sedang membangun ideologi. Jika ia mengambil ilmu dari sumber yang salah maka salah pula ideologinya begitu pun sebaliknya-biidznillah-. Oleh karena itu pandai-pandailah dalam memilih sumber ilmu.

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

Referensi :
– Terjemah Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Akbar Media, Jakarta
– Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir
– Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir

– https://konsultasisyariah.com/28473-hati-hati-mengambil-sumber-ilmu.html

– https://muslim.or.id/18980-keutamaan-ilmu-yang-bermanfaat.html
https://quran.com

Muraji’: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11813-belajar-agama-kepada-siapa-bag-2.html

Belajar Agama Kepada Siapa? Bag. 1

Bismillahirrahmanirrahim
Ilmu syar’i adalah bagian dari agama, sehingga kita harus selektif dalam memilih dari siapa kita memperolehnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tabi’in yang merupakan murid Anas bin Malik rahimahullah yaitu Muhammad bin Sirin rahimahullah,

إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينك

Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu perhatikan, dari mana kalian mengambil agama kalian” (Siyar A’lam an-Nubala’, 4/606).

Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu
Ilmu adalah agama sehingga setiap ada lafaz ilmu dalam nash al-Qur’an atau as-Sunnah, maka itu mengarah pada ilmu agama. Ilmu adalah cahaya yang menerangi seorang hamba, sehingga ia bisa mengenal Rabbnya dan mengetahui cara beribadah yang baik dan benar. Ilmu adalah cahaya yang dapat menunjuki manusia kepada perkara agama dan dunianya.

Allah mengangkat derajat manusia yang berilmu di dunia dan akhirat
Sebagaimana firman Allah Ta’ala

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ

Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujadilah: 11)

Allah menggandengkan persaksian Allah dan malaikat dengan persaksian para ahli ilmu.
Allah berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 18-19,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ * إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan yang haq selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan yang haq selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya”.
Allah memulai menyebutkan persaksian dengan diri-Nya kemudian yang kedua dengan malaikat dan yang ketiga dengan ahli ilmu, Allah mencukupkan dengan mereka. Hal ini menunjukkan betapa mulia, utama dan agungnya mereka.

Allah memudahkan jalan penuntut ilmu menuju surga
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجن

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699).

Kita ketahui bersama bahwa ada banyak sekali ibadah-ibadah yang dapat mengantarkan menuju surga, seperti berjalan menuju masjid, berhaji ke Baitullah, dan masih banyak lagi. Akan tetapi mengapa di sini yang disebutkan adalah menuntut ilmu? Yaitu karena menuntut ilmu adalah jalan tercepat untuk sampai pada surga dan untuk melakukan ibadah yang lainnya tentu perlu didasari dengan ilmu.

Ada banyak sekali dalil tentang keutamaan ilmu dan ahli ilmu yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, adapun yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja.

Bersambung insyaallah.

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

Muraji’: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11811-belajar-agama-kepada-siapa-bag-1.html

Memahami Asma’ dan Kerahiman-Nya

Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang.

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu (Muhammad), maka katakanlah: “Salamun ‘alaikum,” (keselamatan atas kamu). Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-An’am 6: 54)

Bagaikan dua mata sisi uang, iman seseorang seperti sepasang. Kadang baik ketika iman sedang naik; sebaliknya, kadar iman bisa turun ketika setiap nafas yang terhirup dilalui dengan  perbuatan khilaf dan dosa. Surat al-An’am  6: 54  di atas seperti memberikan energi! Allah secara langsung, melalui Rasulullah Saw menyapa orang-orang beriman, “Salaamun ‘alikum” yang  artinya mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu. Maksudnya lafadz ini ialah agar Allah telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya— untuk siapa? Yaitu untuk mereka, orang yang berbuat (‘amila) maksiat (su’u) dengan tidak mengetahui (jahil).

Terkait surah di atas, Ibn Katsir membagi golongan jahil ini menjadi tiga bagian yaitu; pertama, mereka yang tidak atau belum mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat. Kedua, orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. Ketiga, orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu (emosi).

Untuk golongan ketiga, Allah menghimpunnya ke dalam orang-orang yang merugi karena surga (seluas langit dan bumi) tidak diwarisi bagi mereka yang sukar menahan emosi (silahkan buka Qs. A>li Imra>n/3: 133)—ayat tersebut mengelompokkan orang-orang yang mampu menahan amarah (ka>dzhimi>na al-ghayz) sebagai salah satu golongan (dari tiga golongan) pewaris surga yang luasnya seluas langit dan bumi. MasyaAllah!

Kembali ke Qs. Al-An’am 6: 54, rahmah Allah berlaku tatkala dua syarat dari pendosa itu mampu dilakukan; pertama, taba bertaubat dengan sebenar-benarnya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu kembali dan kedua, ashlaha. Ashlaha menggunakan ism tafdhil (shaliha- ashlaha/ baik- lebih baik) yang memiliki makna bahwa seseorang yang terlanjut melakukan kekhilafan harus memiliki keinginan kuat untuk menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya.

Dua syarat ini setidaknya harus dilakukan; agar rahmah (kasih sayang) yang dimaksud  Allah dalam Qs. Al-An’am 6: 54 bisa dicapai. Selain itu, dalam ayat lain yakni surah  az-Zumar 39:  53) Allah pun sebenarnya berikrar dan memberikan dukungan penuh untuk siapapun yang telah “terpelosok” jatuh ke dalam dosa dan kesalahan, untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut secara khusus sangat menekankan pada pentingnya berhusnuzhan pada ke-rahiman Allah. Sifat rahim-Nya melampaui apa yang hamba-Nya pikirkan. Maaf-Nya seluas samudera dan tiada hingga selagi hamba tersebut mau mengakui dosa-dosanya dan berikrar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Sesungguhnya, Allah mengampuni (yaghfiru—menggunakan fi’il mudhari) semua dosa (adz-dzunub) baik dosa-dosa besar, apalagi dosa kecil, sebagai bukti bahwa maaf, ampunan dan rahmat-Nya selalu dan selamanya berlaku dan melingkupi seluruh hamba-hamba-Nya yang terlanjut melakukan khilaf pada-Nya.

Jika kita cermati kedua ayat di atas, yakni Qs. Al-an’am/6: 54 dan Qs. Az-zumar/39: 53, kata kunci dari kedua ayat di atas ialah ‘rahmat’. Rahmat  yang memiliki kata dasar ra-ha-mi>m, yarhamu (fi’il mudhari/ kata kerja) dan rahmah/ rahmat (mashdar) tersebar di 37 surah dalam Alquran. Rahmah di dalam Alquran terbagi menjadi lima kategori yakni pertama, dalam bentuk lafadz (kata). Kedua, berdasarkan urutan mushaf. Ketiga, tertib turunnya ayat (tartib an-nuzu>), berdasarkan tempat turunnya; Mekkah (Makiyyah). Terakkhir, kelima, kategori Madinah (Madaniyyah).

Bentuk rahmah dan perubahannya di dalam Alquran pun sangat bermacam-macam. Rahmah terdiri atas 327 kata yang terbagi atas  enam bentuk; dalam bentuk fiil madhi (disebutkan 8x), fiil mudhari (15x), fiil amr (5x), ism fa’il (113x), masdar (173x) dan terakhir dalam bentuk ism tafdhil (13x). Jika kita cermati, beberapa derivasi kata ra, ha, mim, maka tersurat bentuk yang paling banyak ialah bentuk masdar (rahmah) sebanyak 173x. Tentu, hal ini bukan secara kebetulan. Makna tersembunyi dari bentuk rahmah yang paling banyak dari kelima bentuk lain (fiil madhi dan lain sebagainya) memiliki makna bahwa rahmah (kasih saying Allah) selalu melingkupi semua hamba-hamba-Nya terlebih mereka yang berbuat dosa.

Bermacam-macam ahli kosa kata Alquran berusaha mengartikan makna rahmah. Ibn Faris dalam al-Maqa>yis menyebutkan, kata yang terdiri atas ra-ha-mim bermakna  kelembutan hati, belas kasih, kehalusan, yang pada akhirnya kata ini juga dimaknai ikatan darah, persaudaraan, hubungan kerabat. Penamaan rahim; dalam organ tubuh perempuan juga bermakna bahwa rahim adalah tempat terbaik, ternyaman dan teraman untuk janin, sebab disitulah sumber kasih sayang Allah Sang Khaliq juga sang ibu yang mengandungnya.

Sedangkan Syaikh ar-Raghib al-Ashfahani memaknai rahmah dari Allah sebagai al-in’am (karunia/ ni’mat), anugerah dan fadhl (keutamaan/ kelebihan) untuk siapapun hamba-Nya yang ia kehendaki, tanpa batas. Sedangkan rahmah dari manusia ialah ar-riqqah  (belas kasih) yang sifatnya terbatas.

Sedangkan Ibn Mandzhur dalam Lisan  al-‘Arab, memaknai rahim sebagai kelembutan sifat-sifat Allah dan takdir-Nya,juga kebaikan-kebaikan dan limpahan rezeki-Nya.

Pemaknaan rahmah menurut ahli kosa kata Alquran di atas sesungguhnya menjadi isyarat bahwa cinta, kasih saying, ampunan, rezeki Allah sesungguhnya luas  dan maha tak terbatas, terbukti dalam petikan lafadz Qs. Al-An’am 6: 54 di atas, “.. kataba rabbukum ‘ala nafsihi ar-rahmah..,”—Tuhanmu telah menuliskan dalam diri/ zat-Nya  (sifat) kasih sayang,”, sehingga, memaknai asma’ husna (ar-Rahim) tak cukup hanya terulang lima kali kali saat shalat fardhu saja, namun juga harus melahirkan dan meneladani sifat-sifat rahim Allah; penuh kasih sayang, santun, mudah memaafkan dan tidak mudah tersulut emosi. Jika rahmah Allah melingkupi seluruh nafas dan hidup kita; maka, sebagai manusia yang tak luput dari dosa, harus mudah memaafkan bukan menyimpan rasa dendam.

Harus mudah bersikap ramah, bukan menjadi muslim pemarah. Harus bisa menjadi agen perbaikan dan perdamaian, bukan sebagai agen penebar hoax yang akhirnya menyebabkan perpecahan. Demikian, wallahu a’lam. 

Oleh: Ina  Salma Febriany

KHAZANAH REPUBLIKA

12 Sifat Paripurna yang Diteladankan Rasulullah SAW

Sifat paripurna sebagai perilaku utama seorang Muslim.

Karakter manusia paripurna telah dicontohkan Rasulullah SAW. Rasulullah memberikan teladan sepanjang masa kepada umatnya. Kesempurnaan tersebut terlihat jelas dari akhlak Rasulullah, yang digambarkan dalam hadis Aisyah RA, sebagaimana Alquran itu sendiri.

Hal ini menunjukkan betapa perilaku adalah sangat utama dalam Islam. Perilaku juga menjadi kunci bagaimana seorang hamba bisa diterima tidak hanya dalam ridha Allah SWT, tetapi juga makhluknya. 

Berikut ini beberapa akhlak yang penting dimiliki oleh seorang Muslim. Pertama, berbicara yang baik saja. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (HR Bukhari dan Muslim). Sebuah pembicaraan dikatakan baik apabila isinya bermanfaat, mengandung kebajikan, membuat senang pendengarnya, atau tidak menyakiti hati orang lain. 

Pembicaraan yang baik juga bercirikan penggunaan kata-kata yang benar atau sesuai kaidah bahasa yang berlaku (qaulan sadida, QS  4:9), kata-kata yang tepat sasaran, komunikatif, atau mudah dimengerti (qaulan baligha, QS  4:63), serta mengunakan kata-kata yang santun, lemah-lembut, atau tidak kasar (qaulan karima, QS  17:23). Pembicaraan yang baik juga harus penuh kejujuran atau kebenaran (shidqi).

Kedua, malu (haya’). Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan-Nya. 

Malu kepada manusia harus dalam konteks malu kepada-Nya. “Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!'” (HR Bukhari).

Ketiga, rendah hati (tawadhu), yaitu perasaan lemah dan kecil di hadapan Allah. Sifat ini akan membuat seseorang tidak berlaku sombong, tidak memandang dirinya mulia apalagi merasa paling benar. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak kecil.

Keempat, senyum atau bermanis muka. Senyum adalah suatu kebajikan dan sama dengan ibadah sedekah. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar murah senyum, atau bermuka manis. Menyenangkan, senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang lain pada kita. Sebaliknya, sukakah kita melihat orang cemberut dan bermuka masam terhadap kita? Rasulullah bersabda, “Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu, tetapi hendaklah bermanis muka dan perangai yang baik dari kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).

Kelima, sabar. Bersabar dalam pergaulan adalah sifat mukmin sejati. Dalam bergaul kita menemui banyak orang dengan ragam watak dan perilakunya: ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan. 

Terhadap yang tidak menyenangkan, kita diharuskan bersabar menghadapi sikap mereka. “Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Imam al-Ghazali mengatakan, “Sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama”. Menurut Nabi SAW ada beberapa tingkatan sabar, yaitu (1) sabar dalam menghadapi musibah, (2) sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT, dan (3) sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar yang pertama merupakan kesabaran terendah, yang kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran tertinggi (HR Ibnu Abi Ad-Dunia).

Keenam, kuat atau tahan banting. Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa dimaknai unggul dan berkualitas. Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir (QS 12:87).

Ketujuh, pemaaf, tidak pendendam. Memaafkan kesalahan manusia dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (QS 3: 134). “Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan dengan kemuliaan” (HR Muslim).

Kedelapan, menahan amarah. Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu dan setan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak berfungsi normal. “Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya (dirinya) ketika sedang marah” (HR Bukhari Muslim).

Kesembilan, zuhud. Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan manusia, Nabi SAW menegaskan: “Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia menyukaimu” (HR Ibnu Majah). 

Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam batas-batas yang wajar. Menurut Rasulullah SAW, “Zuhud di dunia tidak mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta…” (HR Tirmidzi).

Kesepuluh, qanaah, yaitu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Sikap demikian membuatnya tenang dan senantiasa mensyukuri pemberian-Nya, sedikit ataupun banyak. “Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya (hatinya)” (HR Bukhari dan Muslim).

Kesebelas, wara, yakni menjauhi hal syubhat karena takut jatuh kepada keharaman. Syubhat artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara halal dan haram). Nabi SAW mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram (HR Muttafaq ‘Alaih).

Keduabelas, suka menolong, yaitu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selama berada pada garis kebaikan dan takwa. Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak membuatnya malu. 

“Siapa yang menutupi aib orang mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” (HR Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA

Air Mata Rasulullah SAW Antarkan Kepergian Sang Putra

Rasulullah SAW menangis atas kepergian sang putra, Ibrahim.

Rasulullah SAW begitu sedih dengan kematian putranya itu. Rasul pun dipapah oleh Abdurrahman bin Auf saat ke rumah Ibrahim. 

Beliau kemudian meletakkan Ibrahim di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam sembari bersabda, “Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah.” 

Rasulullah membiarkan ibunya, Mariyah dan adiknya Sirin, menangis tersedu-sedu di sampaing jenazah Ibrahim. Semuanya larut dalam kesedihan bersama Rasulullah dan keluarganya. 

“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR Bukhari). 

Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, “Engkau juga menangis Rasulullah?, Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.”

Melihat kesedihan Rasulullah SAW, kaum Muslimin turut berduka-cita. Beberapa orang sahabat menyinggung larangan berbuat demikian.

Namun Nabi SAW bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang Aku larang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya.” 

Namun Rasulullah kemudian menguatkan hati mereka. Rasulullah pun mengatakan bahwa Ibrahim memiliki pengasuh yang menyusuinya di surga. Kemudian, setelah dimandikan Ummu Burdah, sumber lain menyebutkan oleh Fadl bin Abbas, Ibrahim dibawa Nabi SAW dengan diantarkan sejumlah kaum Muslimin menuju ke Baqi’.

Di tempat itu dia dimakamkan setelah dishalatkan Nabi Muhammad SAW. Setelah makamnya ditutup, Nabi kemudian meratakan kuburan anaknya dengan tangannya sendiri.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Haidh Datang dan Belum Shalat Wajib

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: 

Jika seorang wanita mengalami haid pada waktu shalat tertentu, misalnya di waktu dzuhur, sedangkan dia dalam kondisi belum shalat dzuhur. Apakah dia wajib meng-qadha’ shalat dzuhur tersebut setelah suci (dari haid)?

Jawaban:

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita tersebut tidak perlu meng-qadha’ shalat tersebut. Hal ini karena wanita tersebut tidaklah dinilai ceroboh (tafriith) dan tidak berdosa, karena memang diperbolehkan untuk menunda shalat sampai di akhir waktunya (selama belum keluar dari waktunya, pen.). 

Sebagian ulama yang berpendapat bahwa wanita tersebut wajib (harus) meng-qadha’, yaitu meng-qadha’ shalat tersebut (dalam contoh ini adalah shalat dzuhur, pen.). Hal ini berdasarkan cakupan makna umum dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa saja yang mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)

Oleh karena itu, sikap yang lebih hati-hati adalah hendaknya dia meng-qadha’ shalat tersebut, karena hanya satu shalat saja, sehingga tidak ada kesulitan (masyaqqah) dalam meng-qadha’-nya. 

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53229-jika-haidh-datang-dan-belum-shalat-wajib.html

Doa Ketika Sendawa

Assalamu alaikum.
Apa yang kita ucapkan ketika sendawa, baik itu karna kenyang atau sebab lain? dan bagaimana tentang balasan ucapan ketika seseorang mengucapkan Alhamdulillah…kemudian kita balas yarhamukallah…apakah ini berlaku khusus untuk orang bersin saja atau setiap orang yg mengucapkan Alhamdulillah. wassalam

Dari: Dewi Khadijah

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, ada dua jenis dzikir yang perlu kita bedakan,

1. Dzikir mutlak, dzikir yang tidak terikat waktu dan tempat.

Kita disyariatkan memperbanyak dzikir mutlak semacam ini, kapanpun, di manapun, selama tidak di tempat yang terlarang. Anda bisa membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak yang bisa anda lakukan, atau membaca alhamdulillah, atau istighfar sesering yang anda bisa.

2. Dzikir muqayad, dzikir yang terikat waktu atau tempat tertentu. Misalnya, dzikir setelah shalat wajib, dzikir ketika hendak tidur, atau doa ketika masuk masjid, dst.

Untuk jenis dzikir kedua ini, kita hanya bisa lakukan sesuai aturan yang berlaku. Baik cara membacanya atau teks yang diajarkan. Tidak boleh berbeda dari apa yang telah dituntunkan. Karena itu, kita hanya bisa mengamalkan dzikir muqayad, jika ada dalilnya. Tanpa dalil, kita tidak mungkin bisa mengamalkannya. Karena dalil itulah aturan.

Termasuk aturan dalam dzikir muqayad, tidak boleh membuat dzikir tertentu untuk aktivitas tertentu tanpa dalil. Misalnya, seseorang menganjurkan untuk membaca hamdalah setiap kali sendawa. Sikap semacam ini butuh dalil. Adakah dalil yang menjelaskan, dianjurkan membaca hamdalah ketika sendawa? Mari kita simak keterangan para ulama berikut,

Hukum Membaca Hamdalah ketika Sendawa

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membaca hamdalah ketika sendawa, jawaban beliau,

وأما الحمد عند التجشؤ فهذا أيضاً ليس بمشروع؛ لأن الجشاء معروف أنه طبيعة بشرية، ولم يقل النبي عليه الصلاة والسلام: إذا تجشأ أحدكم فليحمد الله. أما في العطاس فقد قال: (إذا عطس فليحمد الله) وفي الجشاء لم يقلها.

Membaca hamdalah ketika sendawa, bukanlah sesuatu yang disyariatkan. Karena semua orang tahu bahwa sendawa termasuk bagian rutinitas manusia. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensabdakan, ‘Apabila kalian bersendawa, maka bacalah alhamdulillah.’ Berbeda dengan bersin. Beliau bersabda tentang bersin, “Apabila kalian bersin, bacalah alhamdulillah.” Sementara untuk sendawa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan demikian.

Kemudian beliau melanjutkan,

نعم لو فرض أن الإنسان مريض بكونه لا يتجشأ فأحس بأنه قدر على هذا الجشاء فهنا يحمد الله؛ لأنها نعمة متجددة.

Hanya saja, jika diandaikan ada orang yang sakit disebabkan tidak bisa bersendawa, kemudian suatu saat dia merasakan bisa bersendawa, maka ketika itu dia boleh bisa hamdalah. Karena itu nikmat baru yang dia dapatkan.

[Liqaat Bab Al-Maftuh, volume 89, no. 10]

Hal yang sama juga difatwakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad – pengajar hadis di masjid nabawi –. Beliau ditanya tentang hukum membaca hamdalah setiap kali bersendawa. Jawaban beliau,

لا يوجد شيء يدل عليه، لكن كون الإنسان يحمد الله على كل حال، وأن هذا الشبع الذي حصل له من نعمة الله عز وجل لا بأس بذلك، لكن كونه يعتقد أن هذا أمر مشروع في هذه المناسبة، فليس هناك شيء يدل عليه فيما أعلم

Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran hal itu. Namun jika seseorang memuji Allah dalam setiap keadaannya, dan dia merasa bahwa keadaan kenyang yang dia alami termasuk nikmat Allah, maka tidak masalah dia membaca hamdalah. Namun jika dia meyakini bahwa membaca hamdalah ketika sendawa adalah hal yang disyariatkan, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, menurut apa yang saya ketahui.

[Syarh Sunan Abu Daud, volume 492, pertanyaan no. 10].

Demikianlah yang dijelaskan ulama, mereka merinci bacaan hamdalah ketika sendawa

Karena latar belakang syukur, syukur bisa bersendawa, syukur karena merasa lega, atau syukur atas nikmat kenyang, hukumnya dibolehkan. Hanya saja, untuk pertama ini, anda harus menghadirkan perasaan syukur dulu, baru membaca hamdalah.

Membaca hamdalah karena semata sendawanya. Semacam ini tidak ada dalil dan tidak pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua dzikir muqayad yang tidak ditopang dalil, tidak selayaknya dilakukan.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/19904-doa-ketika-sendawa.html