Lokasi Shalat Jumat Pertama Kali, di Mana?

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah

Pada Jumat pagi, 16 Rabiul Awal, Rasulullah meninggalkan Quba’.  Rasulullah dan para sahabat melanjutkan perjalanan ke Madinah. Namun, pada siang hari, mereka berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj yang masih berada di sekitar Quba.

Mereka kemudian melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya di tempat itu. Sebelum melaksanakan shalat Jumat, Rasulullah menyampaikan khotbah di depan ratusan jamaah. 

Meski 16 Rabiul Awal dianggap sebagai hari dilaksanakannya shalat Jumat perdana namun sejumlah riwayat mengungkapkan bahwa sebelum hari itu, shalat Jumat pernah dilaksanakan oleh umat Islam.

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah, melainkan As’ad bin Zurarah. Fakta tersebut dikisahkan dalam hadis yang diungkapkan oleh Qutaibah bin Sa’id. Qutaibah menyatakan, setiap kali Ka’ab bin Malik mendengar azan hari Jumat, dia akan memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. 

“Lantas, aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa Anda memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah setiap kali mendengar azan Jumat?” Ka’ab pun menjawab, “As’ad adalah orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jumat di tengah-tengah kami di Hazmin-nabit, yang terletak di Bani Bayadhah di Baqi’, yaitu Naqi’ul Khadhamat.” 

Qutaibah bertanya lagi, “Berapakah jumlah kalian ketika itu?” Ka’ab menjawab, “Empat puluh orang.” 

As’ad dikisahkan mengetahui bahwa perintah untuk melaksanakan shalat Jumat sampai kepada Rasulullah. Kabar tersebut tersiar ke Madinah, tempat dia berada. Hal inilah yang menjadi dasar baginya untuk melaksanakan shalat Jumat.

Sementara, Rasulullah tidak mungkin melaksanakan shalat Jumat berjamaah di tengah kondisi Makkah yang tidak kondusif bagi dirinya dan Muslim lainnya. Karena itu, Rasulullah baru bisa melaksanakan shalat Jumat ketika beliau hijrah di Madinah. 

Setiap hari Jumat, Muslim di desa tempat tinggal As’ad akan menuju rumahnya dan berkumpul di sana. Mereka  lalu menyelenggarakan shalat dua rakaat. Setelah itu, Asad memotong kambing untuk dimakan bersama.

KHAZANAH REPUBLIKA


Deretan Alasan Mengapa Jumat Disebut Tuan Semua Hari

Jumat adalah hari yang dimuliakan dari semua hari.

Hari Jumat memiliki makna penting dalam Islam. Dalam Islam, hari Jumat juga disebut sebagai ‘sayyidul ayyam’ atau bermakna tuannya semua hari. Dengan demikian, hari Jumat adalah hari yang istimewa dalam Islam. 

Pakar Alquran Indonesia, Dr KH Ahsin Sakho Muhammad, mengatakan bahwa makna sayyid (tuan) pada hari Jumat berarti hari tersebut adalah hari paling utama dari semua hari dalam perspektif Islam. 

Hal demikian seperti dikatakan Rasulullah SAW, “Sungguh hari Jumat adalah tuannya hari-hari dan yang paling agung di sisi Allah” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Pernyataan demikian juga diriwayatkan dalam beberapa hadits lainnya.

Kiai Ahsin mengatakan, Jumat adalah hari rayanya umat Islam. Sebagaimana dikatakan Rasulullah, “Ini (hari Jumat) adalah hari yang dijadikan Allah sebagai hari raya bagi kaum Muslimin” (HR Ibnu Majah dan ath-Thabrani).

“Dalam hadis disebutkan, sebaik-baiknya hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat. Sebab di hari Jumat, Nabi Adam diciptakan dan dimasukkan ke dalam surga, Nabi Adam juga diturunkan ke bumi dari Surga pada Jumat, diterima taubatnya juga pada Jumat. Dan hari kiamat terjadi pada Jumat,” kata Kiai Ahsin, saat dihubungi Republika.co.id. 

Di dalam Alquran, Jumat secara khusus menjadi nama sebuah surah, yakni AlJumuah. Pada Jumat juga, Allah SWT selesai menyelesaikan pekerjaan dalam menciptakan langit dan bumi. Penciptaan langit dan bumi tersebut dimulai pada Ahad.  

Hari Jumat adalah hari beribadah. Imam Ibnu Qayyim berkata, “Allah menjadikan bagi setiap penganut agama suatu hari di mana mereka meluangkan pada hari itu untuk beribadah dan mereka mengosongkan dari berbagai kesibukan dunia.”

Kiai Ahsin menuturkan, disunahkan untuk memperbanyak zikir, shalawat, membaca Alquran dan ibadah di hari Jumat. Kegiatan do’a dan ibadah tersebut, menurutnya, dimulai dari malam Jumat. Saat itulah, para malaikat akan mencatat shalawat yang dilantunkan dan melaporkannya kepada Nabi Muhammad saw.

Selain itu, disunahkan untuk membaca surah al-Kahfi pada Jumat. Sebab, menurutnya, barang siapa yang membaca surah tersebut pada malam atau hari Jumat, Allah akan memberikan cahaya dan pahala kepadanya.

Imam Nawawi mengatakan, bahwa hari Jumat adalah hari berdoa, zikir dan ibadah. Dalam hal ini, umat Muslim biasanya mandi untuk berangkat shalat Jumat di masjid. Kemudian, mereka akan mendengarkan khutbah dari khatib saat shalat Jumat.

Bahkan, pada Jumat terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa. Kiai Ahsin mengatakan, ada satu waktu yang sedikit di hari Jumat yang doanya mustajab. JIka Muslim berdoa pada waktu itu, maka doanya akan diijabah Allah SWT.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat akan kapan waktu tersebut. Sebagian ulama berpendapat waktu itu adalah saat khatib berada di mimbar hingga selesai. Sementara sebagian lagi ulama berpendapat waktu tersebut adalah di waktu setelah ashar hingga Maghrib pada Jumat.

Sesuai asal katanya, Jumat dari kata Jama’a bermakna ‘berkumpul’. Karena itulah, Kiai Ahsin mengatakan bahwa Jumat adalah hari berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat secara berjamaah. Di dalam surah al-Jumuah disebutkan secara khusus tentang hari Jumat.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Jumuah:9).

Dengan demikian, dia mengatakan bahwa shalat Jumat dilaksanakan dalam rangka pertemuan pekanan bagi kaum Muslimin. Selain itu, hal ini juga semacam imbauan bagi kaum Muslim untuk bersatu.

“Setiap harinya, ada shalat lima waktu yang bisa dikerjakan secara berjamaah. Setiap pekannya, ada shalat Jumat dan setiap tahunnya ada shalat ied yang dikerjakan berjamaah,” kata mantan rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) ini.  

Pada Jumat inilah, umat Muslim berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Hal ini dikatakan Kiai Ahsin tidak terdapat pada hari yang lain. Karena itu, berjalannya seorang Muslim ke masjid pun mendapat pahala yang besar. 

Pada saat khatib sudah naik ke mimbar, malaikat pencatat amal sudah menutup catatan bukunya. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa malaikat mencatat orang yang datang ke masjid pada awal waktu dan menutup catatan bukunya begitu khatib naik ke mimbar.

Dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) ini mengatakan karena hari Jumat adalah hari raya umat Islam, maka dilarang untuk berpuasa di hari itu tanpa ada sebab tertentu. Namun, menurutnya, diperbolehkan berpuasa pada Jumat jika beberapa hari sebelumnya atau sesudahnya juga melakukan puasa.

Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Janganlah ada di antara kamu yang berpuasa pada Jumat kecuali jika dia berpuasa pada hari-hari sebelumnya atau sesudahnya” (HR Bukhari dan Muslim).  

KHAZANAH REPUBLIKA

Dianjurkan Membaca Doa Ini Setiap Jumat Pagi

Jumat merupakan hari istimewa bagi umat Islam. Pada hari Jumat, umat muslim dianjurkan memperbanyak berdoa. Salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap jumat pagi yaitu:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

Astagfirullahalladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi (3x)

Aku memohon kepada dzat yang tiada tuhan selain Dia, yang Maha Hidup, Maha Kekal dan aku bertaubat kepada-Nya

Doa ini sebagaimana tercantum dalam al-Adzkar an-Nawawiyah dari riwayat Ibnu Sinni. Dari Anas bin Malik Ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa membaca Astagfirullahalladzi laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi sebanyak tiga kali pada Jumat pagi sebelum shalat ghadat (shubuh), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.

ISLAMIco

Keutamaan Membangun Masjid Dengan Niat Yang Ikhlas

Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu beliau berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى – قَالَ بُكَيْرٌ: حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ: يَبْتَغِيْ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ – بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا

Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah Ta’ala (mengharapkan wajah-Nya) maka Allah akan membangunkan baginya rumah (istana) di Surga1.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan ganjaran pahala bagi orang yang membangun masjid di dunia dengan niat ikhlas karena mengharapkan perjumpaan dengan Allah Ta’ala dan mencari keridhaan-Nya, sehingga Imam An-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: Keutamaan (besar) dan anjuran membangun masjid2.

Keutamaan membangun masjid ini juga termasuk yang ditunjukkan dalam makna firman AllahTa’ala tentang keutamaan besar bagi orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah, dalam firman-Nya:

{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS At-Taubah: 18).

Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat ini) ada dua pendapat:

  1. Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah Ta’ala)
  2. Membangun masjid dan memperbaikinya”3.

Beberapa mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  • Keutamaan dalam hadits di atas hanya diperuntukkan bagi orang yang yang membangun masjid dengan niat ikhlas karena Allah semata-mata, bukan karena mencari balasan duniawi, baik harta, kedudukan, ataupun pujian dan sanjungan. Sebagian dari para ulama memperingatkan dengan keras akan hal ini, sampai-sampai Imam Ibnul Jauzi berkata: “Barangsiapa yang menulis namanya pada masjid yang dibangunnya maka dia jauh dari keikhlasan”4.
  • Yang dimaksud dengan rumah (istana) di Surga yang Allah Ta’ala bangunkan bagi orang yang mendirikan masjid tentu lebih indah, lebih luas dan lebih mulia daripada rumah-rumah yang ada di dunia5. Berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi: “Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh (kenikmatan/keindahan di Surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia”6.
  • Sebagian dari para ulama menjelaskan bahwa untuk mendapatkan keutamaan ini harus benar-benar ada masjid yang dibangun dan didirikan, jadi tidak cukup dengan hanya menyiapkan tanah atau bahan-bahan bangunan tanpa mengusahakan pembangunan masjid tersebut7.
  • Keutamaan dalam hadits ini juga tentu tidak berlaku bagi orang yang membangun masjid untuk tujuan-tujuan buruk, seperti memecah belah kaum muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya8. Allah Ta’ala berfirman:{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ}“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya” (QS At-Taubah: 107-108).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27087-keutamaan-membangun-masjid-dengan-niat-yang-ikhlas.html

Memakmurkan Masjid Sifat Terpuji Yang Identik Dengan Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allâh, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allâh)” [At-Taubah/9:18]

Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allâh Azza wa Jalla dengan semua bentuk pemakmuran masjid. Perbuatan terpuji ini sekaligus menjadi bukti benarnya iman dalam hati seorang hamba.

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid itu sebagai orang-orang beriman adalah (persaksian yang) benar. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini … Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya.”[1]

Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang menyebutkan hal ini. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Mâjah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hâkim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ، فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ

Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya. kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.

Namun tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri. Dia meriwayatkan hadits ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani.[2]

Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas.[3]

Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan tersebut. Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ  وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ

Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allâh dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya) yaitu seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid.[4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Artinya, dia sangat mencintai masjid dan selalu berada disana untuk melaksanakan shalat berjamaah.”[5]

HAKIKAT MEMAKMURKAN MASJID

Makna memakmurkan masjid adalah selalu berada di sana untuk melaksanakan ibadah dalam rangka mencari keridhaan-Nya. Misalnya untuk shalat, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk membangun masjid, menjaga dan memeliharanya.[6]

Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para Ulama Ahli tafsir ketika menafsirkan ayat di atas. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:

  1. Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla)
  2. Membangun masjid dan memperbaikinya.[7]

Jadi, hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil dengan sanad beliau ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allâh dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu membaca ayat tersebut di atas.[8]

Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang sehingga masjid menjadi penuh dan ramai, itu tidak termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah[9] yang dilakukan di beberapa masjid kaum Muslimin. Apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla) dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam yang lurus.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allâh hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allâh dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla).”[10]

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum Muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.

Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut. Diantaranya, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid.”[11]

Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid lainnya.[12]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya.[13]

Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan). Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “(Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka).[14]

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan ini dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Perbuatan ini juga bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah[15].

Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.

Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata, “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan masjid adalah yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau Radhiyallahu anhu tidak merubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau Radhiyallahu anhu hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan).[16]

BERCERMIN PADA MASJIDIL HARAM DAN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla yaitu Mekkah dan Madinah.

Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam, seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan ibadah-ibadah agung lainnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid lain kecuali Masjidil haram.[17]

Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ada tambahan:

وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Dan shalat di Masjidil haram seratus seribu (kali) lebih utama daripada shalat di masjid lain[18].

Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

Sesungguhnya iman akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[19]

Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid (Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya[20]

Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian Ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”[21]. ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam.

Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya. Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para Ulama yang terpercaya dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , membaca al-Qur’an hanya marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan yang berlipat ganda yang Allâh Azza wa Jalla khususkan bagi dua masjid mulia ini.

Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang bisa dikatakan tidak pernah terputus, baik ketika musim haji ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.

Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah[22] dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.

Lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang mereka sediakan.

SubhanAllâh! Mereka ini, benar-benar ingin mengamalkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Barangsiapa memberi makan orang lain untuk berbuka puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun[23]

Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.

MASJID YANG TIDAK BOLEH DIMAKMURKAN BAHKAN WAJIB DIJAUHI DAN DIHANCURKAN

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿١٠٧﴾ لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allâh menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” [At-Taubah/9:107-108]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Inilah yang disebut sebagai Masjid dhirar.

Maka Allâh Azza wa Jalla melarang Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya.[24]

Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan[25], karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum Muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya.[26]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Termasuk dalam kandungan (ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai masjid-masjid kaum Muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum Mukminin, tempat yang disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allâh dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan Masjid dhirar[27].

PENUTUP

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allâh Azza wa Jalla dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Read more https://almanhaj.or.id/6395-memakmurkan-masjid-sifat-terpuji-yang-identik-dengan-iman-kepada-allah-subhanahu-wa-taala.html

Keutamaan Memakmurkan Masjid

Seorang orientalis barat pernah berkata: “Umat Islam akan senantiasa jaya bila mereka selalu berpegang teguh dengan Al-Quran dan memakmurkan masjid”. Ucapan populernya ini tentunya tidak muncul dari hayalan semata, namun ia adalah satu kesimpulan akhir dari penelitian dan pengkajian sejarah Islam yang ia tekuni dengan misi membantah dan meruntuhkan ajaran aqidah dan syariat Islam. Meskipun kita tidak menjadikan ucapannya sebagai dalil, bahkan kita menganggap dirinya sebagai musuh Islam, namun kita mesti membenarkan kesimpulan ini sebab faktanya peradaban Islam tidaklah jaya dan memancarkan cahaya hidayah melainkan berawal dari masjid yang merupakan pusat aktifitas keislaman.

Masjidlah yang menjadi parameter kejayaan umat ini selama berabad-abad, sebab ia adalah lambang keislaman dan syiar keimanan yang menjadi kekuatan umat Islam. Namun nampaknya, sekarang ini betapa banyak masjid yang berdiri gagah tak ubahnya istana-istana megah namun hanya sekedar menjadi bangunan bisu yang terabaikan, atau bangunan kosong yang sangat sedikit dari kalangan umat Islam yang mau mengunjungi dan memakmurkannya minimal lima kali sehari semalam. Bila shalat berjamaah di masjid saja sangat berat dilakukan maka apatah lagi bila harus menjadikannya sebagai pusat peradaban dan aktifitas keislaman, tentu akan lebih berat lagi. Sebab itu, solusi utama untuk mengembalikan masjid sesuai misi dan fungsi utamanya adalah memakmurkannya dengan berbagai jenis ibadah dan aktifitas keislaman, pendidikan dan sosial. Hal ini bisa dipahami secara tersirat dari firman Allah tentang memakmurkan masjid yang Dia selipkan dalam ayat-ayat yang memotivasi perjuangan Islam, sebagaimana dalam Surat At-Taubah ayat 18: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.  

Ayat ini sekaligus mengisyaratkan pada kita semua bahwa orang yang benar-benar memakmurkan masjid Allah secara ikhlas, bukan karena agar dipuji dan mengharapkan ganjaran dunia semata: memiliki empat kriteria:

  1. Beriman kepada Allah dan hari kiamat.
  2. Mendirikan shalat karena ia merupakan rukun terpenting dalam Islam setelah dua kalimat syahadat.
  3. Menunaikan zakat bagi yang mampu, ini juga merupakan salah satu rukun Islam.
  4. Merasa takut atau khasy-yah kepada Allah, beribadah dengan penuh keikhlasan, rasa takut dan harapan akan ampunan-Nya.

Sebagian muslim menganggap bahwa cara memakmurkan masjid hanyalah sekedar mendatangi dan meramaikannya pada waktu-waktu shalat lima waktu dan shalat jumat saja, padahal memakmurkan masjid dan menjadikannya sebagai pusat dan sumber peradaban Islam tidak hanya sekedar dengan meramaikannya dalam waktu-waktu shalat, tetapi bisa diwujudkan dengan berbagai aktifitas keIslaman lainnya diantaranya:

1.Membangun masjid dan menjaga keindahan dan kebersihannya.

Membangun masjid merupakan amalan yang sangat utama dalam Islam karena memberikan manfaat dan bantuan yang besar terhadap umat Islam dalam menjalankan ibadah dan aktifitas keIslaman mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangunkan baginya rumah di surga”. (HR Muslim: 24).

2. Mendatanginya untuk shalat lima waktu berjamaah.

Shalat lima waktu berjamaah ini merupakan salah satu kewajiban muslim yang mesti ditunaikannya dalam sehari semalam sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang mengancam orang yang tidak shalat berjamaah di masjid untuk membakar rumah-rumah mereka: ”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti shalat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka” (HR Bukhari: 7224)

3. Menjadikannya sebagai tempat zikir, baca Al-Quran dan bermunajat kepada Allah Ta’ala.

Seorang muslim hendaknya menjadikan masjid sebagai tempat membaca dan mentadabburi Al-Quran baik secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah, juga sebagai tempat melakukan zikir-zikir yang dianjurkan seperti zikir pagi petang, zikir biasa (muthlaq), atau zikir setelah shalat, serta menjadikannya sebagai tempat bermunajat dan banyak berdoa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah memuji mereka yang menjadikan rumah-rumah-Nya sebagai tempat ibadah sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petan: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, dan dari membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. Mereka mengerjakan yang demikian itu supaya Allah memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunian-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas“. (QS An-Nur: 36-38).

4. Membentuk halaqah belajar baca Al-Quran atau halaqah tahfidzh (hafalan Al-Quran).

Tentunya dengan adanya halaqah ini, masjid akan sangat berguna bagi masyarakat Islam karena darinya akan lahir pemuda-pemudi muslim yang bisa fasih membaca Al-Quran atau menghafalkannya, serta bisa mengamalkan kandungannya dalam keseharian mereka.

5. Membentuk majelis pembinaan (tarbiyah) atau kajian-kajian keislaman.

Dengan adanya majelis pembinaan atau kajian Islam di masjid, maka umat Islam pun akan tercerahkan dengan berbagai ilmu keislaman yang bisa menguatkan iman, memperbaiki akhlak dan menambah taqwa mereka kepada Allah Ta’ala. Kajian masjid inilah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya zaman dahulu, mereka menjadikan masjid sebagai pusat ilmu dan kajian keIslaman, sebagaimana yang banyak dikisahkan dalam sejarah perjalanan hidup beliau.

6. Menjadikan masjid sebagai tempat musyawarah.

Sejarah Islam mencatat bahwa kebanyakan musyawarah Nabi dan para sahabatnya adalah di masjid, sehingga ini merupakan sunnah beliau yang mesti dijaga.

Tentunya, setiap muslim sangat diharuskan untuk memakmurkan masjid sesuai kemampuannya, baik dengan bentuk materi maupun non materi sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk memakmurkan masjid-masjid Allah sesuai kesanggupan kita semua, sebab keimanan yang sempurna itu hanya ada pada diri orang-orang yang memakmurkan masjid-Nya, dan merekalah yang mendapat petunjuk dan akan meraih surga-Nya kelak. Dengan kembalinya misi masjid seperti dahulu kala lewat proses memakmurkannya dengan berbagai kegiatan atau aktifitas keIslaman, sosial, dan pendidikan, maka umat Islam akan menjadi kuat dari segi iman dan ilmu, meraih kejayaan peradaban, serta akan ditakuti oleh musuh-musuh mereka. Wallaahu a’lam.[]

Oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc., MA.

Sumber dari: https://wahdah.or.id/keutamaan-memakmurkan-masjid/

Mengapa Rasulullah Singgah di Rumah Abu Ayyub al-Anshari?

Ketika tiba di Madinah, pembesar-pembesar Anshar berebut mendekati unta Nabi Muhammad, memegangi kendalinya, berdesak mengitarinya, dan saling menariknya. Masing-masing ingin Nabi tinggal bersamanya dan memberi layanan terbaiknya. Rumah-rumah mereka dipamerkan kelayakannya untuk beliau, status sosial mereka pun ditunjukkan.

Semua berharap Nabi menyambut tawaran jamuan mereka.

Di tengah kerumunan pembesar itu terdapat pula paman-paman beliau dari jalur ibu, dari Bani Najjar. Dan, tentu saja, mereka inilah orang teragung bagi Kanjeng Nabi. Tetapi, beliau adalah pemimpin agung yang bijak dan genius. Pria yang ingin diterima semua kalangan, membuka hati untuk semua orang, tak ingin menyulitkan siapa melukai perasaan.

Pada detik-detik yang dikenang dalam sejarah itu, dunia menyaksıkan Kanjeng Nabis bersabda, “Biarkan untaku berjalan, biarkan ia yang memilih. Unta ini ada yang menuntun. Dan, aku akan tinggal di mana aku ditempatkan Allah nanti.”

Semua takjub, semua terkesima. Tak ada hati yang tersinggung, tak ada pembesar yang merasa kalah saing, tak ada yang harus diperselisihkan. Semua puas menerima ucapan Kanjeng Nabi tersebut.

Unta itu melangkah pelan di ruas-ruas jalanan Madinah diikuti tatapan beratus mata manusia. Jalanan yang sama sekali asing baginya. Suasana demikian agung dan sakral. Sampai di suatu tempat unta berhenti, menatap ke sekeliling, seolah mencermati tempat itu, kemudian menderum tepat di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari

Tak pernah terlintas di hati Abu Ayybu al-Anshari waktu di hadapan Nabi rumahnya akan mendapat kehormatan di luar dugan.

Di tengah para pemuka Quraisy yang bersaing ketat memperebutkan kehormatan itu, ia sadar dirinya bukan siapa-siapa. Tak berani ia berdiri se barisan dengan mereka. Maka, bukan kepalang bahagianya, ketika tanpa diduga kehormatan itu ternyata untuknya. Apa gerangan anugerah langit, embusan kudus, dan kebaikan Allah yang turun serta merta ini?

Maka, sebelum kesempatan tercabut, cepat-cepat Abu Ayyub menyambut Nabi dan sahabatnya lalu membawa mereka masuk. Sementara, bagi istri Abu Ayyub, Yatsrib terlalu sempit untuk merangkum kebahagiaan yang menyeruak di hatinya. Tak pernah ia bermimpi anugerah agung ini turun ke rumahnya, mengalahkan rumah-rumah lain di seluruh Madinah.

Sebelum masuk, Nabi dikepung gadis-gadis cilik Bani Najar, yang tak lain adalah kerabat-kerabat dekat beliau. Mereka bersenandung merayakan kedatangan beliau, menabuh rebana dengan riang. Kanjeng Nabi tampak bahagia dengan sambutan ini. Beliau menebar senyum kepada gadis-gadis cilik itu.

“Apakah kalian menyukaiku?” tanya Kanjeng Nabi.

“Ya, demi Allah, Wahai Rasulallah.” Suara mereka jernih dan polos.

“Allah Maha Mengetahui hatiku sangat mencintai kalian,” Nabi menimpali

Sebenarnya rumah Abu Ayyub tidak luas. Tak ada yang istimewa dibanding umumnya rumah penduduk Madinah. Tak ada kesan megah, tak ada yang layak diperhatikan. Ukurannya kecil, hanya ada dua kamar, satu di atas satu di bawah. Dindingnya lempung, tiangnya batang kurma, atapnya pelepah daun kurma yang rapuh.

Abu Ayyub pun bukan orang berpengaruh, bukan orang kaya, dan tidak memiliki status sosial terhormat. la hanya orang biasa seperti penduduk pada umumnya, cukup makan, hidup tenang.

Pilihan Kanjeng Nabi terhadap rumah itu menunjukkan bahwa beliau tidak menginginkan rumah kaya dan berlimpah harta, atau rumah miskin yang akan terbebani kehadiran beliau.

Rumah yang beliau cari adalah rumah bersahaja yang dipenuhi cinta dan rida. Rumah itu adalah rumah Abu Ayyub yang di belakang hari diketahui berasal dari Bani Najjar; klan paman Nabi dari jalur ibu, klan yang paling dekat dengan Nabi secara nasab dan kerabat.

Kelebihan lain, rumah itu terletak di tengah-tengah areal Madinah, bukan di pinggiran. Sesuatu yang kelak menjadi titik sentral Madinah, bahkan sentral bagi dunia hingga hari ini.

Nabi menempati kamar bawah. Sengaja tidak memili kamar atas agar tidak menyulitkan tamu yang akan menemui beliau, tidak perlu memaksa mereka naik ke kamar tingkat.

Malam pertama, Abu Ayyub dan istrinya di kamar atas saling berbisik tentang makanan yang akan dihidangkan besok dan penghormatan yang layak. Sehari berlalu. Dicengkeram rasa capek Abu Ayyub tak kuat menahan kantuk. Tetapi, ia hanya duduk termangu, seperti disengat ular

“Bagaimana mungkin tidur tenang, di bawah kan ada Nabi?” ia berbisik kepada istrinya.

“Lalu?”

Keduanya diam termangu. Lalu diputuskanlah tidur di ujung paling tepi agar, paling tidak, terhindar dari titik lurus tempat Nabi di bawah. Tetapi sial, baru saja beranjak mau ke pojok kamar, Abu Ayyub tersandung sebuah tempayan hingga terdorong dan air di dalamnya tumpah ruah.

la terkesiap. Begitu pula istrinya. Mereka khawatir air akan menetes melalui celah-celah atap darurat itu, lalu mengenai kepala dua tamu agung itu hingga mereka terganggu.

Tanpa ragu, Ummu Ayyub melesat meraih kain beludru miliknya, lalu dilapnya air itu hingga kering tandas. la tak peduli betapa bagus dan mahalnya beludru itu; betapa itu satu-satunya miliknya yang paling berharga. Beludru yang hanya ia pakai pada acara-acara tertentu dan hari raya.

Sejak kejadian itu, Abu Ayyub tak-henti-hentinya mendesak Nabi tinggal di atas. Desakan itu disambut Nabi demi menenangkan hati Abu Ayyub. Lagi pula, bukankah tamu mesti nurut tuan rumah? Sebab, ia yang lebih tahu bagaimana membuat tamunya betah.

ALIF ID

Ayo Kita Makmurkan Masjid!

Alhamdulillâh, wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillah…

Keimanan Terpusat di Hati

Keimanan itu aslinya berpusat di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,

“التَّقْوَى هَاهُنَا” وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.

“Takwa itu di sini”. Sambil beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Sesuatu yang berada di dalam hati aslinya tidak terlihat. Sebab tersembunyi di dalamnya. 

Namun keimanan yang berada di dalam hati, bisa diketahui keberadaannya dengan tanda-tanda lahiriah yang terlihat mata.

Memakmurkan Masjid dan Tanda Keimanan

Di antara tanda keimanan tersebut adalah memakmurkan masjid. Allah ta’ala berfirman,

“إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ”

Artinya: “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Mereka itulah golongan yang selalu mendapat petunjuk”. QS. At-Taubah (9): 18.

Makna Memakmurkan Masjid

Berbagai keterangan para ulama tafsir mengenai makna memakmurkan masjid, bisa disimpulkan menjadi dua: 

  1. Memakmurkan fisik bangunannya.
  2. Memakmurkan kegiatan di dalamnya.

Atau dengan kata lain menjaga masjid agar senantiasa makmur luar dan dalam.

Memakmurkan fisik bangunan masjid, dimulai dari mendirikan masjid baru. Kemudian juga merawat bangunan masjid yang sudah ada. Baik fasilitas penerangannya, pengairannya, sirkulasi udaranya, karpetnya, hingga kebersihan dalam dan luar masjid.

Adapun memakmurkan kegiatan di masjid, terutama adalah dengan menggunakannya untuk shalat fardhu berjamaah tepat waktu. Kemudian juga mengisinya dengan majlis taklim secara rutin. Untuk mengkaji al-Qur’an dan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Baik yang diperuntukkan buat kaum dewasa, maupun untuk anak-anak.

Bahagia Memakmurkan Masjid

Siapapun orang yang memiliki keimanan di hatinya, ia akan merasa bahagia untuk memakmurkan masjid. Atau minimal merasa bahagia melihat masjid-masjid dimakmurkan.

Maka, orang yang terjangkiti kegalauan dan kegelisahan saat melihat suatu masjid makmur, ini pertanda keimanannya bermasalah. Yang lebih parah dari itu, ada orang yang merasa lebih senang melihat masjid sepi dibanding makmur. Bahkan berusaha membuat sepi masjid yang telah makmur. Cuma hanya karena beda ormas atau pilihan politik.

Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada orang-orang yang terjangkiti hasad, iri, dengki dan berbagai penyakit hati lainnya. Amien

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc. MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52837-ayo-kita-makmurkan-masjid.html

Mengenang 37 Tahun Tragedi Kamp Palestina Sabra dan Shatila

Dari kejauhan terlihat kibaran bendera yang sudah sangat saya hapal. Hitam-putih-hijau-merah. Bendera Palestine! Allahu akbar!

Driver Abu Ismail menunjuk sebelah kiri, ia mengatakan kalau itu adalah kamp pengungsi Palestine. Rumah-rumah yang sudah terlihat tua, centang perentang. Ah, hati kembali basah.

Saya teringat buku yang ditulis Dr Ang Swee Chai “From Beirut to Jerusalem” tentang pembantaian di Kamp Sabra-Shatila.

Tiba-tiba tercetus tanya, “Where’s Sabra-Shatila Camp?”

“Sabra-Shatila is in Libanon, Mam,” wajah Abu Ismail berubah sendu.

Ah, tentu saja saya tahu kalau Kamp Sabra-Shatila ada di Libanon. Tapi entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja, ketika mendengarnya mengatakan bangunan yang ada di kiri jalan adalah kamp pengungsi Palestine.

Mungkin karena ini pertama kali saya melihat langsung kamp pengungsi yang sudah ratusan kali saya baca di buku maupun tonton di tayangan berita tentang Palestine.

Hari ini, mungkin tak banyak yang masih mengingat peristiwa memilukan yang terjadi mulai 16 September selama beberapa hari, 37 tahun lalu. Tragedi berdarah di kamp pengungsi Palestine yang bernama Sabra dan Shatila di Libanon.

Sebenarnya, Sabra adalah nama pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk pengungsi Palestine pada 1949.

Interaksi selama bertahun-tahun membuat penduduk kedua wilayah itu menjadi biasa menggunakan istilah kamp Sabra dan Shatila.

Pembantaian penduduk sipil di kamp pengungsi itu terjadi sewaktu zionis Israel menduduki Beirut. Mereka menggunakan tangan-tangan milisi Maronit yang dipimpin Elie Hobeika.

Selama beberapa hari kamp pengungsian itu berubah menjadi neraka. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak dibantai di tepi jalan. Tak kurang 500 orang syahid atau dinyatakan hilang.

Seorang saksi hidup bernama Magida mengatakan, “Tetangga kami ikut bersembunyi. Gaunnya berlumuran darah. Ia mengatakan orang-orang dibantai di jalanan. Awalnya kami tidak percaya, tapi setelah mendengar jeritan di sana-sini kami baru sadar apa yang terjadi.”

Pejabat yang dituding paling bertanggung jawab atas tragedi itu adalah Menteri Pertahanan Ariel Sharon. Dunia murka, hingga ia dipaksa meletakkan jabatannya.

Meski begitu, ia melenggang bebas tanpa pernah diadili. Belakangan, ia bahkan sempat menjabat menjadi Perdana Menteri Israel.

Kematian Sharon setelah koma selama 8 tahun disyukuri warga Sabra dan Shatila. Dirayakan dengan membagikan permen dan makanan manis. Beberapa menyanyi dan menabuh gendang.

Hari ini, mari sejenak kita mengingat para syuhada dan kirimkan doa untuk mereka. “Allahummaghfir lahum, warhamhum, wa’afihi wa’fu ‘anhum, waj’alil jannata matswahum”.

Duka untuk Sabra dan Shatila…

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

IHRAM

Bahaya Takhbib: Merusak Rumah Tangga Orang lain

Merusak rumah tangga orang lain merupakan dosa besar, menyebabkan rumah tangga pasangan muslim menjadi hancur dan tercerai-berai. Perlu diketahui bahwa prestasi terbesar bagi Iblis adalah merusak rumah tangga seorang muslim dan berujung dengan perceraian, sehingga hal ini termasuk membantu mensukseskan program Iblis.

Perhatikan hadits berikut, Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)

Rusaknya rumah tangga dan perceraian sangat disukai oleh Iblis. Hukum asal perceraian adalah dibenci, karenanya ulama menjelaskan hadits peringatan akan perceraian

Al-Munawi menjelaskan mengenai hadits ini,

إن هذا تهويل عظيم في ذم التفريق حيث كان أعظم مقاصد اللعين لما فيه من انقطاع النسل وانصرام بني آدم وتوقع وقوع الزنا الذي هو أعظم الكبائر

“Hadits ini menunjukan peringatan yang sangat menakutkan tentang celaan terhadap perceraian. Hal ini merupakan tujuan terbesar (Iblis) yang terlaknat karena perceraian mengakibatkan terputusnya keturunan. Bersendiriannya (tidak ada pasangan suami/istri) anak keturunan Nabi Adam akan menjerumuskan mereka ke perbuatan zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan kerusakan dan yang paling menyulitkan” (Faidhul Qadiir II/408)

Merusak rumah tangga seorang muslim disebut dengan “takhbib”. Hal ini merupakan dosa yang sangat besar, selain ada ancaman khusus, ia juga telah membantu Iblis untuk mensukseskan programnya menyesatkan manusia.

Bentuk “takhbib” bisa berupa:

Menggoda salah satu pasangan pasutri yang sah dengan mengajak berzina, baik zina mata, tangan maupun zina hati sehingga ia menjadi benci dengan pasangan sahnya

Menggoda istri orang lain dengan memberikan perhatian dan kasih sayang yang semu, misalnya melalui SMS, WA atau inbox sosial media. Sang istri pun terpengaruh karena selama ini mungkin suaminya sibuk mencari nafkah di kantor seharian.

Bisa juga bentuknya menggoda suami orang lain dan mengajaknya berzina atau di zaman ini di kenal dengan istilah “PELAKOR” (Perebut Laki Orang).

Mengompor-ngompori salah satu pasutri agar membenci pasangannya

Semisalnya sering menyebut-nyebut kekurangan suaminya dengan membandingkan dengan dirinya atau suami orang lain. Padahal suaminya sangat baik dan bertanggung jawab, hanya saja pasti ada kekurangannya.

Ancaman dosa melakukan “takhbib” terdapat pada hadits berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ ﻣَﻦْ ﺧَﺒَّﺐَ ﺍﻣﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭﺟِﻬَﺎ

”Bukan bagian dari kami, Orang yang melakukan takhbib terhadap seorang wanita, sehingga dia melawan suaminya.” (HR. Abu Daud 2175 dan dishahihkan al-Albani)

Ad-Dzahabi menjelaskan yaitu merusak hati wanita terhadap suaminya, beliau berkata,

ﺇﻓﺴﺎﺩ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ

”Merusak hati wanita terhadap suaminya.” (Al-Kabair, hal. 209).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ

”Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dari kami.”( HR. Ahmad, shahih)

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah dijelaskan bahwa merusak di sini adalah mengompor-ngimpori untuk minta cerai atau menyebabkannya (mengompor-ngompori secara tidak langsung).

ﻣَﻦْ ﺃَﻓْﺴَﺪَ ﺯَﻭْﺟَﺔَ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﺃَﻱْ : ﺃَﻏْﺮَﺍﻫَﺎ ﺑِﻄَﻠَﺐِ ﺍﻟﻄَّﻼَﻕِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺘَّﺴَﺒُّﺐِ ﻓِﻴﻪِ ، ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﻰ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﻜَﺒَﺎﺋِﺮِ ” ﺍﻧﺘﻬﻰ

“Maksud merusak istri orang lain yaitu mengompor-ngompori untuk meminta cerai atau menyebabkannya, maka ia telah melalukan dosa yang sangat besar.” (Mausu’ah Fiqhiyyah 5/291)

Demikian semoga bermanfaat

@ Gemawang, Yogyakarta Tercinta

Penulis: dr. Raehanul Bahraen
A

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/36777-bahaya-takhbib-merusak-rumah-tangga-orang-lain.html