Gaji Tak Sesuai UMR dalam Islam

BOLEHKAH memberi upah karyawan di bawah UMR? Jika kita memiliki perusahaan yang baru pemula, sehingga penghasilan msh sedikit, bolehkah di bawah UMR?

Hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah akad ijarah, bantuknya akad jual beli jasa. Dan idealnya dalam jual beli jasa, karyawan dan perusahaan sama-sama mengetahui nilai upah yang disepakati. Agar tidak menimbulkan sengketa ketika kerja sudah dilakukan.

Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda melarang memper-kerjakan orang, sampai dijelaskan berapa nilai upahnya.” (HR. Ahmad 11565).

Bagaimana jika tidak disebutkan? Beberapa perusahaan, ketika ada karyawan yang diterima kerja, mereka langsung diminta kerja tanpa dijelaskan berapa nilai upahnya. Terkadang karyawan ngertinya hanya terima gaji tiap bulan.

Jika semacam ini terjadi maka nilai upah karyawan mengacu kepada nilai upah semisal yang umumnya berlaku di masyarakat untuk tingkat pekerjaan seperti yang disebutkan. Upah semacam ini disebut ujrah al-mitsl. Terdapat kaidah mengatakan, “Kebiasaan masyarakat bisa menjadi hakim”.

Ibnu Masud pernah ditanya, “Ada seorang lelaki yang menikahi wanita namun belum disebutkan maharnya dan belum berhubungan badan dengannya, hingga lelaki ini meninggal.” Jawaban Ibnu Masud, “Wanita ini berhak mendapatkan mahar seperti umumnya wanita di daerahnya, tidak boleh dikurangi maupun didzalimi (tidak kurang dan tidak lebih), dia wajib menjalani iddah dan dia berhak mendapat warisan.”

Setelah itu datang Maqil bin Sinan radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa dulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan yang sama untuk seorang wanita bernama Barwa bintu Wasyiq. (HR.Turmudzi 1176, Nasai 3524, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Keterangan Ibnu Masud, “Mahar seperti umumnya wanita” menunjukkan bahwa ketika terjadi ketidak jelasan dalam hak atau kewajiban dalam muamalah, dikembalikan kepada urf (aturan yang berlaku di masyarakat).

Di tempat kita, nilai ujrah mistl distandarkan salah satunya dalam bentuk UMR (Upah Minimum Regional). Bolehkah Upah di bawah UMR? Bukan syarat dalam ijarah, upah harus mengikuti ujrah mitsl. Sebagaimana bukan syarat dalam pernikahan, mahar harus mengikuti mahar mitsl. Hanya saja, jika tidak sesuai dengan ujrah mitsl, harus ditegaskan di awal, agar tidak terjadi sengketa.

Umar bin Khatab pernah memberikan kaidah, “Sesungguhnya bagian-bagian hak itu harus dipersyaratkan (di awal).” (HR. Bukhari secara muallaq).

Normalnya, seorang karyawan menerima upah senilai UMR. Namun jika perusahaan hendak memberikan yang kurang dari itu, makaaa dia harus jelaskan di depan, sewaktu penerimaan karyawan. Selanjutnya, karyawan berhak untuk menentukan pilihan, antara melanjutkan jadi karyawan dengan upah di bawah UMR ataukah mundur.

Jika calon karyawan setuju dan tetap memilih bekerja di perusahaan itu, berarti dia telah ridha dengan upah di bawah UMR. Sehingga nantinya dia tidak boleh menuntut. Yang bisa dilakukan adalah mengajukan resign, jika kedepannya ingin mendapat lebih.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Merindukan Rasulullah SAW

Orang yang benar-benar merindukan Nabi adalah orang yang tidak hanya menyebut saja.

Alkisah, beberapa tahun setelah Nabi SAW wafat, Abdullah bin az-Zubair (Ibnu az-Zubair), ke ponakan Aisyah RA, pernah bertanya kepada bibinya itu. “Wahai Bibi, beri tahu aku tentang hal paling istimewa yang engkau dapati dalam diri Nabi Muhammad?”

Saat ditanya itu, Aisyah diam, tidak langsung menjawab. Air matanya mulai mengalir. Dia pun menangis seseng gu kan, begitu menyayat hati, hingga Abdullah bin az-Zubair berpikir mungkin dia bertanya pada momen yang tidak tepat. Ia pun berkata, “Bibi, kalau eng kau tidak bisa menjawab sekarang tidak apa-apa.”

Di sela-sela tangisnya, Aisyah kemudian berkata, “Aduhai betapa rindunya hati ini dengan beliau. Aku be gitu rindu dengan beliau.” Selan jutnya ia berkata, “Wahai keponakanku, engkau bertanya kepadaku tentang hal paling istimewa yang aku dapati dalam diri beliau, aku tak tahu bagaimana menjawabnya karena seluruhnya yang ada dalam diri beliau adalah istimewa.” Dalam kisah lain, Aisyah juga pernah ditanya seseorang mengenai akhlak suaminya, lalu ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Alquran.” Orang itu bertanya lagi, “Apa maksudnya?”

Aisyah menjawab, “Alquran ber pcerita tentang orang-orang yang sabar. Ketahuilah, beliau adalah orang paling sabar di dunia. Ketika Alquran bercerita tentang orang-orang yang shalat khu syuk, maka beliau adalah orang yang paling khusyuk shalatnya. Ketika Alquran memerintahkan tentang sedekah, ikhlas, memaafkan siapa saja yang ber salah, maka beliau adalah orang yang paling dermawan, ikhlas, dan pemaaf. Andai kata ada orang yang tidak membaca Alquran sekalipun, melihat beliau saja dia bisa memba yang kan isi Alquran itu seperti apa.”

Nabi SAW memang telah wafat, tetapi kerinduan akan beliau tidak pernah lenyap dalam diri orang-orang terdekatnya, terutama istrinya, Aisyah. Kerinduan yang membangkitkan lagi gairah untuk mengikuti dan meneladani akhlak beliau dalam kehidupan.

Semua yang dilakukan Nabi adalah istimewa karena beliau adalah ejawantah Alquran dan selalu berada dalam bim bingan Allah. Karena itu, Allah mengatakan bahwa orang yang menga ku mencintai Nabi perlu membuktikannya dengan mengikuti beliau, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah men cintaimu dan mengampuni dosa-dosa mu.’ Allah Maha Pengam pun, Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Orang yang benar-benar merindukan Nabi adalah orang yang tidak hanya mengingat atau menyebut-nyebut nama beliau, tetapi yang lebih penting juga adalah meneladani akhlak luhur dan mengikuti ajaran rasulullah secara kafah. Seseorang belum dikatakan merindukan Nabi SAW jika perilakunya justru berlawanan dengan akhlak luhur beliau. Wallahu a’lam. ¦ 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Sehat itu Nikmah

Baginda Nabi SAW menasihati kita agar meminta nikmat tersebut kepada Allah SWT

Sungguh, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi nikmat kepada kita berupa iman dan Islam. Lalu, apalagi nikmat yang paling besar nilainya bagi kehidupan seorang Muslim di dunia ini? Tiada lain, kecuali sehat wal-afiat (ash-shihhah wal ‘aafiyah). Yakni, kesehatan yang mengarahkan untuk melakukan ketaatan dan menebar kemanfaatan di tengah masyarakat. Bukan pula sebaliknya, yakni kesehatan yang mendorong kepada kemaksiatan dan kerusakan (sihhah wal-ma’shiyah).

Baginda Nabi SAW menasihati kita agar meminta nikmat tersebut kepada Allah SWT dalam lantunan doa, seperti diriwayatkan Anas Bin Malik RA bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW didatangi seseorang, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, doa apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan (al-afwu) dan ke sehatan(al-‘afiyah) kepada Rabbmu di dunia dan akhirat.” Kemudian, lelaki itu datang lagi esok hari dan bertanya, “Wahai Rasulullah, doa apa yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan dan kesehatan kepada Rabbmu di dunia dan akhirat”. Kemudian, ia datang lagi di hari ketiga, kemudian bertanya, “Wahai Nabi Allah, doa apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mintalah pemaafan dan kesehatan kepada Rabbmu di dunia dan akhirat. Jika kamu telah diberi maaf dan sehat di dunia dan akhirat, kamu telah beruntung.” (HR Ibnu Majah).

Boleh jadi karena kesadaran akan kedua nikmat tersebut membuat kita mengerti bahwa selalu ada peluang untuk salah, baik kecil maupun besar, sengaja maupun tidak. Begitu pula halnya dengan keteledoran yang membuat kita jatuh sakit. Kalaulah bukan karena pemaafaan (pengampunan) atas kelemahan dan karunia sehat dari Allah SWT, kita akan terbelenggu kesalahan dan didera sakit berkepanjangan. (QS 2:286, 26:60).

Salah satu yang membuat kita jatuh sakit adalah ketidakseimbangan atau berlebihan dalam segala tindakan atau aktivitas, baik dalam kerja, makan, tidur maupun ibadah. Nabi SAW pernah bersabda, “dua nikmat yang sering kali dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. (HR Bukhari). Kadang, kita perlu diberi sedikit sakit agar mengerti arti sehat dan mensyukurinya. Juga, sering kali kita susah diberi pengertian kecuali jika sudah kehilangan karunia itu.

Bukankah kita baru sadar akan nikmatnya mata, keti ka sakit mata atau mengerti nikmatnya lidah, jika saria wan ? Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari pernah berkata, “Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memper olehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas darinya”. Suatu hari Salman al-Farisi RA mengunjungi Abu Dar da RA. Lalu, ia hidangkan makanan, sedang ia berpuasa. Sang tamu pun memaksanya untuk makan bersama.

Ketika malam hari, Abu Darda beranjak shalat, tapi disuruh tidur kembali. Hal tersebut terulang hingga tiga kali. Ketika di akhir malam, mereka pun shalat bersama. Setelah itu, Salman berkata, “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atas dirimu, badanmu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah haknya pada setiap yang memiliki hak.” Selang beberapa saat, Nabi SAW datang dan diberitahukan kejadian tersebut. Nabi SAW bersabda, “Salman benar”. (HR Bukhari).

Sungguh, agama mengajarkan keseimbangan agar hi dup menjadi sehat. Sehat itu nikmat dan mahal harga nya. Gunakan sehat sebelum sakit mendera. Sebab, sakit itu tak enak dan banyak hal tak bisa dilakukan, termasuk iba dah dengan baik kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

KHAZANAH REPUBLIKA

6 Syarat Agar Shalat Bisa Menyejukkan Pandangan dan Menenangkan Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat 6 hal yang mesti terkumpul pada diri seseorang agar shalat yang dikerjakan mampu menjadi penyejuk pandangan dan penenang hati.

Keenam hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ikhlas

Bahwa faktor pendorong dan motif mendirikan shalat adalah keinginan dan kecintaan hamba kepada Allah, mencari keridhaan-Nya, memperoleh kedekatan dengan diri-Nya, menunjukkan kecintaan kepada-Nya, serta menaati perintah-Nya.

Bukan didorong oleh maksud dan tujuan duniawi. Namun, semata-mata untuk mengharapkan kesempatan melihat Wajah Allah kelak di surga karena cinta kepada-Nya, takut akan siksa-Nya, dan berharap memperoleh ampunan dan pahala dari-Nya.

2. Kejujuran dan ketulusan

Berupaya untuk mengosongkan hati untuk Allah di dalam shalat, mencurahkan segenap kemampuan agar hati mampu menghadap Allah dan fokus di dalam shalat, serta melaksanakan shalat dengan bentuk yang paling baik dan sempurna ditinjau dari aspek lahir dan batin.

Hal ini mengingat shalat memiliki dua aspek, yaitu :

  1. Aspek lahir yang mencakup gerakan dan dzikir shalat, dan
  2. Aspek batin yang mencakup khusyu’muraqabah (merasa diawasi Allah), memfokuskan dan menghadapkan hati secara total kepada Allah di dalam shalat sehingga hati sedikit pun tidak berpaling pada selain-Nya.

Aspek batin ini layaknya ruh bagi shalat. Sementara aspek lahir laksana badan. Analoginya, jika shalat kosong dari aspek batin tersebut, maka pastilah serupa dengan suatu badan yang tidak memiliki ruh.

Apakah kita sebagai hamba tidak malu jika menghadap Allah dalam shalat dengan kondisi demikian?

3. Menjadikan shalat Nabi sebagai pedoman

Bersungguh-sungguh agar shalat yang dikerjakan sesuai dengan yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak mengacuhkan berbagai bentuk inovasi gerakan dalam shalat yang diada-adakan, tidak pula memperhatikan berbagai kreasi dalam shalat yang keabsahannya tidak pernah diketahui berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang sahabat beliau.

4. Ihsan

Ihsan berarti merasa dirinya diawasi Allah sehingga dia menyembah seakan-akan Allah berada di hadapannya.

Kedudukan ihsan ini merupakan pokok seluruh amalan hati. Ihsan akan melahirkan sifat malu untuk bermaksiat, memuliakan dan menghormati-Nya, takut dan cinta kepada-Nya, tunduk dan merasa hina di hadapan-Nya, memutus keraguan hati, dan memfokuskan hati dan keinginan menuju ridha Allah.

Kedekatan hamba dengan Allah sangat bergantung pada seberapa besar maqam ihsan yang terdapat pada dirinya.

Demikian juga kadar ihsan pada diri seseorang menentukan perbedaan kualitas shalat yang dikerjakan, sehingga dua orang yang mengerjakan shalat dengan bentuk qiyam, ruku’, dan sujud yang serupa namun keutamaan yang diperoleh keduanya dapat berbeda jauh seperti langit dan bumi.

5. Mengakui karunia-Nya

Bersaksi bahwa segala kenikmatan bersumber dari Allah semata, karena Dia-lah yang menegakkan dirinya di kedudukan ini, membimbing, dan memberikan taufik sehingga hati dan raganya mampu berkhidmat kepada-Nya.

Seandainya bukan karena Allah, semua itu tidak akan terjadi.

Persaksian ini merupakan merupakan persaksian yang paling agung dan mendatangkan manfaat bagi hamba. Sangat bergantung pada kadar tauhid seseorang. Di mana persaksian ini semakin sempurna seiring dengan peningkatan tauhid pada diri hamba.

Salah satu manfaatnya adalah persaksian ini akan mencegah hati hamba dari sikap mengingat-ingat dan merasa bangga dengan amal yang telah dilakukan.

Ketika hamba mengakui dengan tulus bahwa Allah yang telah memberikan karunia, taufik, dan petunjuk pada dirinya, tentu dia akan tersibukkan dari mengingat-ingat dan merasa bangga terhadap amalnya.

6. Senantiasa merasa memiliki kekurangan

Betapa pun serius seorang hamba melaksanakan perintah dan mengeluarkan tenaga dengan maksimal, tetap akan ada kelalaian dan kekurangan.

Hak Allah teramat besar. Atas karunia yang telah diberikan-Nya adalah layak bagi Allah menerima ketaatan, penghambaan, dan khidmat yang lebih. Keagungan dan kemuliaan-Nya menuntut penghambaan yang layak bagi diri-Nya.

Apabila para pelayan dan pembantu para raja memperlakukan mereka dengan penuh pemuliaan, pengagungan, penghormatan, disertai rasa sungkan, takut, sehingga hati dan fisik mereka fokus pada apa yang diinginkan sang raja.

Maka tentu, Raja segala raja, Rabb langit dan bumi, lebih berhak untuk diberi perlakuan demikian bahkan dengan derajat perlakuan yang lebih tinggi.

***

Referensi: Risalah Ibn al-Qayyim ilaa Ahadi Ikhwaanihi

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27543-6-syarat-agar-shalat-bisa-menyejukkan-pandangan-dan-menenangkan-hati.html

Menundukkan Pandangan Mata

Mata adalah sahabat sekaligus penuntun bagi hati. Mata mentransfer berita-berita yang dilihatnya ke hati sehingga membuat pikiran berkelana karenanya. Karena melihat secara bebas bisa menjadi faktor timbulnya keinginan dalam hati, maka syariat yang mulia ini telah memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan kita terhadap sesuatu yang dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk.

Perintah untuk Menundukkan Pandangan

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (QS. An-Nur [24] : 30).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

هذا أمر من الله تعالى لعباده المؤمنين أن يغضوا من أبصارهم عما حرم عليهم، فلا ينظروا إلا إلى ما أباح لهم النظر إليه ، وأن يغضوا أبصارهم عن المحارم

Ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41)

Menundukkan pandangan mata merupakan dasar dan sarana untuk menjaga kemaluan. Oleh karena itu, dalam ayat ini Allah Ta’ala terlebih dulu menyebutkan perintah untuk menahan pandangan mata daripada perintah untuk menjaga kemaluan.

Jika seseorang mengumbar pandangan matanya, maka dia telah mengumbar syahwat hatinya. Sehingga mata pun bisa berbuat durhaka karena memandang, dan itulah zina mata. Rasulullah bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657. Lafadz hadits di atas milik Muslim).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنُ تَزْنِي، وَالْقَلْبُ يَزْنِي، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا الْقَلْبِ التَّمَنِّي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ مَا هُنَالِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata adalah dengan melihat (yang diharamkan), zina hati adalah dengan membayangkan (pemicu syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan semua itu.” (HR. Ahmad no. 8356. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zina mata pertama kali, karena inilah dasar dari zina tangan, kaki, hati, dan kemaluan. Kemaluan akan tampil sebagai pembukti dari semua zina itu jika akhirnya benar-benar berzina, atau mendustakannya jika tidak berzina. Oleh karena itu, marilah kita menundukkan pandangan kita. Karena jika mengumbarnya, berarti kita telah membuka berbagai pintu kerusakan yang besar.

Fitnah telah Mengepung Kita

Di zaman sekarang ini, sungguh berat memang fitnah yang ada di sekeliling kita. Ketika kita keluar rumah, maka kita segera dikepung dengan fitnah yang dapat menggoda pandangan kita ke arah yang haram. Terlihatlah oleh pandangan kita, wanita-wanita yang keluar rumah tanpa menutup aurat, tanpa sedikit pun rasa malu di hadapan Allah Ta’ala yang telah menciptakan dan memberikan berbagai nikmat kepadanya.

Sebagian mengenakan pakaian yang ketat, sebagian mengenakan rok mini, dan sebagian lagi mengenakan pakaian yang transparan. Mereka berpakaian, akan tetapi pada hakikatnya telanjang. Bisa jadi ketika iman dan rasa takut kita kepada Allah Ta’ala sedang luntur, maka dengan mudah kita mengumbar pandangan dan syahwat kita itu dan melalaikan perintah Allah Ta’ala kepada kita.

Dan ketika pandangan mata bisa membangkitkan nafsu birahi, maka dari pandangan mata itu pula bisa menjerumuskan kita kepada kerusakan yang besar, seperti onani, masturbasi, sampai ke zina yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, benarlah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Aku tidaklah meninggalkan cobaan yang lebih membahayakan bagi laki-laki selain dari (cobaan berupa) wanita” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 9798).

Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun perlu memperingatkan kita secara khusus dengan sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menguasakan dunia itu kepada kamu sekalian, dan memperhatikan apa yang kalian kerjakan. Maka takutlah kepada dunia dan takutlah kepada wanita. Karena sumber bencana bani Israil pertama kali berasal dari wanita.” (HR. Muslim no. 2742).

Pahala bagi Orang yang Menundukkan Pandangannya dari Perkara yang Haram

Begitu beratnya menundukkan pandangan mata, apalagi pada zaman sekarang ini, sehingga Allah pun akan membalas hamba-hambaNya yang istiqomah melaksanakan perintah-Nya dengan pahala yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda,

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومَةٌ فَمَنْ تَرَكَهَا مِنْ خَوْفِ اللَّهِ أَثَابَهُ جَلَّ وَعَزَّ إِيمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ

Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang terasa manis baginya” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7875).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِنْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ

Jaminlah aku dengan enam perkara, dan aku akan menjamin kalian dengan surga: jujurlah (jangan berdusta) jika kalian berbicara; tepatilah jika kalian berjanji; tunaikanlah jika kalian dipercaya (jangan berkhianat); peliharalah kemaluan kalian; tahanlah pandangan kalian; dan tahanlah kedua tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Dinilai hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Menikah, Sarana Menjaga Pandangan Mata

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Dengan keimanan dan rasa takut dalam hatinya, seseorang bisa saja menahan pandangan matanya dari yang haram. Akan tetapi, dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa dengan menikah, seseorang akan lebih dapat menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Karena dia bisa menyalurkan syahwatnya kepada sesuatu yang halal, yaitu istrinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

Sesungguhnya wanita itu maju dalam rupa setan dan membelakang dalam rupa setan. Jika salah seorang dari kalian melihat wanita yang mengagumkannya, maka datangilah istrinya. Karena hal itu menghilangkan apa yang terdapat dalam dirinya.” (HR. Muslim no. 1403).

Hal ini karena pandangan mata bisa membangkitkan kekuatan birahi, sehingga beliau memerintahkan untuk mengurangi kekuatan itu dengan cara mendatangi istri.

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ، فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Jika salah seorang dari kalian melihat wanita yang mengagumkannya,maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Karena apa yang dimiliki wanita tersebut sama dengan yang dimiliki oleh isterinya.” (HR. Tirmidzi no. 1158 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 5572. Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Semoga Allah Ta’ala memberikan keteguhan ke dalam hati kita untuk dapat menjaga pandangan mata kita dari yang haram dan menjauhkan kita dari berbagai fitnah yang dapat merusak keimanan kita. Amiin.

***

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26590-menundukkan-pandangan-mata.html

Mata Pengkhianat

Dalam artikel kali ini kita membahas tentang maksiat mata yang akan kita sebut sebagai ‘mata pengkhianat

Apa Itu Mata Pengkhianat?

Pengkhianatan adalah sebuah perilaku yang amat tercela. Sangat menyakitkan hati. Apalagi bila dilakukan oleh orang terdekat. Tidak ada satupun di antara kita yang mau dijuluki si pengkhianat. Walaupun barangkali kita pernah berkhianat, atau bahkan sering berkhianat. Loh, kapan?

Mari kita perhatikan firman Allah ta’ala berikut,

“يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ”

Artinya: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada”. QS. Ghafir (40): 19.

Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan maksud ayat di atas, 

“Yaitu seorang lelaki yang sedang bersama dengan teman-temannya. Lalu lewatlah wanita di depan mereka. Lelaki tersebut berpura-pura menundukkan pandangan mata. Bila merasa teman-temannya tidak memperhatikannya, maka dia melirik wanita tadi. Namun jika ia khawatir mereka memergokinya, maka iapun kembali menundukkan mata. Sungguh Allah mengetahui keinginan hatinya untuk melihat aurat wanita tersebut”. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 17396).

Itulah pengkhianatan mata. Berbeda antara kondisi yang dikesankan kepada orang lain dengan kondisi sebenarnya. Dia mengesankan seakan sangat shalih dan selalu menjaga matanya dari hal haram. Padahal realitanya tidak demikian. Dia hanya berpura-pura belaka.

Cara Mengatasi Pengkhianatan Mata

Untuk mengatasi kebiasakan buruk pengkhianatan mata ini, kita bisa mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Tingkatkan Muraqabah

Muraqabah adalah salah satu ibadah mulia dalam Islam. Kurang lebih maknanya adalah merasa selalu diawasi Allah ta’ala. Sebab Dia mengetahui apapun yang kita kerjakan. Perbuatan baik maupun buruk. Dirahasiakan ataupun dilakukan di depan khalayak.

Allah ta’ala berfirman,

“إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى”

Artinya: “Sungguh Dia mengetahui yang terang dan tersembunyi”. QS. Al-A’la (87): 7.

Banyak di antara kita merasa malu manakala ketahuan orang lain berbuat jelek. Namun anehnya tidak merasa malu manakala dilihat Allah ta’ala berbuat jelek. Seakan-akan di matanya penilaian manusia lebih berharga dibanding penilaian Sang Penguasa alam semesta.

2. Ingat, yang Halal Lebih Nikmat

Manakala godaan datang untuk melihat atau merasakan hal yang haram, maka lawanlah! Dengan cara mengingat bahwa yang halal itu jauh lebih nikmat dibanding yang haram.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ”

“Setiap engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, sungguh Dia pasti akan menggantikan untukmu sesuatu yang lebih baik”. HR. Ahmad dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Albaniy. 

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52929-mata-pengkhianat.html

Korban First Travel: Kami Hanya Ingin Segera Diberangkatkan

Juru Bicara Persatuan Agen dan Jamaah Korban Firts Travel (Pajak FT), Eni Rifkiah, menyambut baik upaya semua pihak memperjuangkan hak jamah. Seperti saat ini Kejaksaan dan FT bertemu dan sepakat berpihak kepada jamaah.  

“Terimakasih atas semua usahanya membela. Kami tidak punya kuasa pembela selain pemerintah yang bisa bela kami,” kata Eni saat dihubungi, Jumat (22/11). 

Eni mengaku, saat ini jamaah tidak mau bahas tentang aset dirampas negara, dan mengungkit aset yang kurang sejak awal penyidikan. Menurutnya hal itu sudah tidak penting lagi buat jamaah untuk jadi bahan perdebatan.   

“Kami hanya ingin segera diberangkatkan atau aset FT yang disita negara bagikan kekuranganya tambahin sama pemerintah,” ujarnya.

Eni mengatakan, kalau ada niat tulus dari semua pihak, akan ada jalan keluar, bagi pemerintah bisa nambahin dari sisa aset FT yang dirampas untuk negara.  

Untuk itu, kata Eni, jamaah ingin aset FT segera dilelang. Pertama supaya tahu berapa aset FT yang dalam putusan disita negara itu, sehingga negara bisa punya waktu mencari kekurangannya aset FT yang akan dikembalikan kepada jamaah. “Karena saya dengar aset itu sudah tak mungkin dibagikan ke jamaah sesuai kerugian,” katanya.

Eni mengaku sudah tidak peduli lagi siapa yang mengurangi aset FT sejak awal penyidikan. Karena semua sudah urusannya masing-masing dengan Allah SWT. “Siapa yang bermain curang, tidak adil dalam menangani kasus ini itu urusan dia sama Allah,” katanya.

Sekarang ini, kata dia, jamaah tidak ingin lagi mendengar semua pihak terkait, baik dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif berwacana bantu jamaah. Jamaah ingin semua kerja nyata selesaikan masalah korban FT. “Kami hanya ingin semua kerja nyata sesuai program bapak presiden Jokowi,” katanya. 

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis terhadap pendiri First Travel Andika Surachman dan istrinya, Anniesa Hasibuan, dengan hukuman masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara. Direktur Keuangan First Travel Kiki Hasibuan juga dihukum 15 tahun penjara. 

Permasalahan dimulai dari putusan tingkat kasasi di MA yang menetapkan bahwa seluruh harta First Travel bukan dikembalikan ke jamaah, melainkan dirampas oleh negara. Para korban kasus itu kemudian menyatakan keberatan dan meminta aset First Travel yang disita dapat dibagikan ke para korban.

Total barang sitaan pada kasus tersebut sebanyak 820 item, yang 529 di antaranya merupakan aset bernilai ekonomis, termasuk uang senilai Rp1,537 miliar.

Putusan tersebut, membuat jamaah First Travel resah, karena dana yang mereka setorkan tidak bisa dikembalikan.

Pada Juli 2017, First Travel dihentikan kegiatannya oleh Satgas Waspada Investasi. Saat itu, First Travel diminta menghentikan penawaran perjalanan umrah promo yang dipatok dengan harga Rp14,3 juta. First Travel melakukan penipuan terhadap kurang lebih 63 ribu calon jamaah, dengan total kerugian mencapai Rp 905,33 miliar.

Akibat penipuan perjalanan umroh dan tindak pidana pencucian uang dari uang setoran calon jamaah tersebut, Direktur Utama First Travel Andika Surachman mendapatkan hukuman penjara selama 20 tahun penjara.

Istri Andika, Anniesa dijatuhi hukuman selama 18 tahun penjara, dan keduanya diharuskan membayar dengan masing-masing Rp10 miliar. Sementara Direktur Keuangan sekaligus Komisaris First Travel Siti Nuraida Hasibuan, dijatuhi hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.

Sebelumnya, pihak Kejaksaan Agung telah memerintahkan Kejaksaan Negeri Depok untuk menunda eksekusi aset pada kasus First Travel. Penundaan tersebut dilakukan hingga Kejaksaan selesai mengkaji tindak lanjut kasus itu, namun belum bisa dipastikan untuk berapa lama.

Pihak Kejaksaan menyatakan bahwa akan berupaya untuk mencari solusi pengembalian aset nasabah yang mengalami kerugian.

IHRAM

Mengapa Orang Barat Banyak yang Tertarik Masuk Islam?

Orang Barat tertarik masuk Islam puncaknya sejak 11 September.

REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat sekarang banyak orang yang tergerak hatinya ingin mengkaji agama Islam? Fenomena ini terjadi setelah peristiwa 11 September. Bangsa yang berjaya dan maju sedang berbondong-bondong masuk agama Islam, tetapi sebaliknya di negara terbelakang dan miskin banyak orang yang ingin murtad (keluar) dari Islam. 

Mengapa fenomena ini terjadi? Mereka yang mengkaji Islam secara benar menemukan ajaran Islam seimbang dan relevan. Islam tidak mengharamkan kemoderenan, bahkan Islam menjadi penggerak ke arah kehidupan yang maju dan modern. Tetapi Islam juga menyediakan ruang untuk mendidik rohani di tengah kehidupan yang serba materialistis ini.

Islam bersifat mudah dan fleksibel, tata cara ibadahnya diatur oleh disiplin ilmu yang relevan sepanjang zaman. Islam sesuai dengan tabiat manusia yang memerlukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup.

Islam bersifat universal, tidak jumud (monoton) dan menolak keras praktek kerahiban. Seorang Muslim ketika dia berdiri sebagai imam shalat, dia juga adalah seorang pemimpin, pengatur, pejuang, dan pekerja yang berdedikasi. Seorang orientalis terkenal, HAR Gibb, tanpa malu-malu memuji ajaran Islam. Dia berkata: ”Islam bukanlah semata-mata ajaran ibadah dan upacara, bahkan Islam meliputi politik dan kenegaraan, sosial dan ekonomi, undang-undang dan kekuasaan, serta perang dan perdamaian. Islam adalah satu sistem yang hidup.”

Inilah di antara daya tarik Islam bagi orang Barat yang berpikiran maju. Mereka menemukan keserasian di antara Islam dan gaya hidup modern yang produktif. Ciri-ciri produktivitas dalam Islam antara lain adalah, meletakkan ibadah dan bekerja sebagai satu visi dan misi kehidupan. Islam menuntut setiap umatnya agar menjadi Muslim yang produktif. Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Jika kiamat hampir datang sedangkan di tangan salah seorang dari kamu ada biji benih yang hendak ditanamnya, maka jika dia mampu hendaklah dia menanamnya!” (HR al-Bukhari dan Imam Ahmad). 

KHAZANAH REPUBLIKA

Para Nabi Dan Salafush Shalih Juga Bekerja

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia ke dunia ini, Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang dibolehkan syari’at.

Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia, melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi sahabat maupun setelahnya.

Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini. Semoga bermanfaat.

Pekerjaan Pertukangan, Industri dan Kerajinan Tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami ..” [Hud/11:37].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud Alaihissallam :

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.

Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”. [Al Anbiya’/21: 80].

وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. [Saba’/34:10-11].

Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau Alaihissallam makan dari hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja[1]. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri[2].

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ .

Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri[3].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.

Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :

كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .

Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu[4].

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya”[5]. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam.

Ibnu Hajar rahimahullah menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya, dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan seorang tukang”. [Lihat Fathul Bari (6/466)].

Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً. قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ

Jabir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu? Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau buatkan mimbar saja.” [HR Al Bukhari no. 438].

 بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .eعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ

Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini dan itu?” Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia (Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”.[6]

Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy (salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) –ketika wafatnya :

وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26) وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.

Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[7]

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu (menetapkan) jaminan (atas) tukang.

Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab (menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat sesuatu untuk mereka dari barang tersebut.[8]

Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu ‘anhum, seperti disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang perawi tabi’in dalam sanad berikut.

Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit, memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga hangus menjadi arang…al hadits.[9]

Menggembalakan Hewan Ternak
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:

قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.

Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” [Thaaha/20:18].

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja menggembalakan kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya[10]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dalam sabdanya:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.

Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath[11]

Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini :
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak. Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu menggembalakan kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari. Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil)” [12]

Berdagang atau Berniaga
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan/25:20].

Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً

Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan/25:7].

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu masuk pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.”[13]

Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul) adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”.[14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah, membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu ‘anha sebelum menikahinya. [Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6)].

Pekerjaan inilah yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta mereka …” [HR Bukhari no. 118].

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan pengkhususannya terhadap Abu Bakar –dan sungguh bersahabat dengannya amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.”[15]

Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi Radhiyallahu anhu menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.

Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta[16]

Al-Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan (masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[17][18]

Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu . Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu ‘anhu : “Saya berserikat denganmu (partner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara partnernya adalah Az Zubair.”[19]

Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka takarlah’.”[20]

Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok tanam dan sebagainya.

Kesimpulan dan Pelajaran.

  1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa.[21]
  2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
  3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.
  4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.
  5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan lain.
  6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.
  7. Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata : Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh (gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan, ”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan) keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ

Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu..” [Al Anbiya’/21:80].

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan/25:20].

Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari rampasan perang).’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً

Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …” [Al Anfal/8:69].

Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan (berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang, bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah– mereka itu orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan pelajaran”[22].

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin

Read more https://almanhaj.or.id/13694-para-nabi-dan-salafush-shalih-juga-bekerja-2.html

Hukum Ereksi Ketika Sedang Sholat

DALAM sebuah halaqah, ada yang bertanya bagaimana hukumnya bila seorang Muslim mengalami ereksi manakala sholat? Bagaimana pula hukumnya bila kebetulan orang itu mendapat amanah untuk mengimami jemaah yang lain.

Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, pertanyaan semacam itu pernah disampaikan pada lembaga fatwa Syabakah Islamiyah. Misalnya, ada pertanyaan:

Jika penis ereksi ketika salat atau muncul luapan syahwat, apakah bisa membatalkan salat? Apa yang harus saya lakukan?

Jawabannya, Tidak membatalkan salat hanya karena kemaluan mengalami ereksi atau karena muncul syahwat ketika salat. Karena munculnya syahwat dan ereksi bukan pembatal salat. Ini jika tidak sampai keluar madzi. Jika keluar madzi maka wudhunya batal, dan wajib membatalkan salat. Kemudian mencuci kemaluan dan bagian pakaian atau badan yang terkena madzi, lalu mengulangi salat.

Yang harus anda lakukan adalah membuang was-was dan pikiran jorok yang menjadi pemicu hal itu, dan konsentrasi terhadap salat yang dikerjakan dengan khusyu serta merenungi makna bacaannya. Jika muncul syahwat, segera memohon perlindungan dari setan dan meludah ke kiri tiga kali. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Utsman bin Abil Ash Radhiyallahu anhu, beliau mengadu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

Ya Rasulullah, setan telah mengganggu konsentrasiku ketika salat, serta merusak bacaanku.

Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Itu setan, namanya khinzib. Jika kamu merasa terganggu mintalah perlindungan kepada Allah darinya dan meludahlah tiga kali ke kiri.”

Kata Utsman, Akupun melakukan hal itu, dan Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim). Hal itu bersumber dari Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 50096. Sementara yang dimaksud meludah ke kiri adalah meludah ringan, angin campur sedikit air ludah.

Kemudian, dalam fatwanya yang lain, juga ditegaskan,

Semata muncul syahwat, tidak membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan salat. Kecuali jika keluar sesuatu, seperti madzi atau semacamnya, maka wudhunya batal da salatnya juga batal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. []

INILAH MOZAIK