Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Fikih Nikah (Bag. 1).
Siapakah yang berhak menjadi wali nikah seorang wanita?
Keberadaan wali merupakan satu dari lima rukun nikah. Wali adalah sebutan pihak laki-laki dalam keluarga atau lainnya, yang bertugas untuk mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan, khususnya berkenaan dengan menikah. Hal ini secara jelas ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha sebagai berikut,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita yang menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal. Pernikahannya batal. Pernikahannya batal” (HR. Imam yang lima, kecuali Nasa’i).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda di dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
“Hendaklah perempuan tidak menikahkan perempuan, dan hendaklah perempuan tidak menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni).
Wali/wilayah secara bahasa Arab artinya, “menolong” dan “berkuasa” atau pun “mencintai”. Sedangkan di dalam istilah syar’i atau fikih, wali/wilayah artinya, “kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang terhadap manusia ataupun benda, untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri, tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.”
Mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali, Abu Syuja’ dalam rahimahullah Matan al-Ghâyah wa Taqrîb menjelaskannya sebagai berikut,
أولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kemudian kakek (ayahnya ayah), kemudian saudara laki-laki seayah seibu (kandung), kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (kandung), kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka hakim.”
Dari penjelasan di atas, bisa kita pahami bahwa yang berhak menjadi wali nasab adalah para pewaris ‘ashabah dari calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Syuja’ rahimahullah itu merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:
1. Ayah;
2. Kakek yang dimaksud dalam hal ini adalah kakek dari pihak ayah;
3. Saudara laki-laki kandung. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita se-bapak dan se-ibu, baik kakak maupun adik;
4. Saudara laki-laki seayah. Maksudnya adalah saudara laki-laki mempelai wanita dari ayah yang sama, namun beda ibu;
5. Anak saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan);
6. Anak saudara laki-laki seayah;
7. Paman yang dimaksud di sini adalah saudara laki-laki ayah. Baik yang lebih tua dari ayah (Bahasa Jawa: pakde), ataupun lebih muda (Bahasa Jawa: paklik), dengan memprioritaskan yang paling tertua di antara mereka;
8. Anak laki-laki paman dari pihak ayah (sepupu);
9. Jika ternyata semua pihak keluarga (wali nasab) di atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali adalah wali hakim.
Apa itu wali hakim dan kapan perwalian itu berpindah dari wali nasab ke wali hakim?
Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri agama, atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له .
“Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul (hubungan seksual, yaitu dengan (maaf) masuknya kemaluan pria ke kemaluan wanita), maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan faraj-nya (kemaluannya). Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tidak mempunyai wali” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadis ini juga disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih Tirmidzi).
Lalu kapan boleh berpindah pada wali hakim?
Syekh Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, dan beliau menjawab,
فإذا لم يوجد لها عصبة أو كان عصبتها في مكان بعيد لا يمكن الاتصال بهم، أو كان عصبتها قد امتنعوا من تزويجها بمن هو كفء، زوجها قاضي المحكمة.
“Maka apabila tidak ada ashabah untuk seorang wanita, atau ashabah-nya berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak dapat dihubungi, atau ashabah-nya melarang wanita tersebut menikah dengan seseorang yang cocok dan layak untuk wanita tersebut, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim pengadilan.”
Dari jawaban syekh mengenai permasalahan ini, dapat kita simpulkan bahwa wali nasab boleh berpindah pada wali hakim apabila:
1. Sudah tidak ada garis wali nasab;
2. Walinya mafqud (hilang);
3. Walinya baid (tinggal di tempat yang jauh dan tidak bisa datang ataupun tidak bisa dihubungi);
4. Walinya sedang sakit yang tidak memungkinkan dirinya untuk menjadi wali;
5. Walinya sedang ihram (haji/umroh), karena salah satu syarat wali adalah sedang tidak dalam kondisi ihram;
6. Walinya adhol (mogok), maksudnya tidak merestui dan tidak mengizinkan wanita untuk menikahi laki-laki yang layak dan pantas untuknya (berdasarkan keputusan Pengadilan Agama).
Lalu bagaimana dengan wanita yang terlahir dari hasil zina, siapakah walinya?
Pendapat yang kuat dan rajih, anak yang terlahir dari perbuatan zina, maka ia tidak dinisbatkan kecuali kepada ibunya saja, dan ia bukanlah anak untuk bapaknya. Sehingga nasabnya pun terputus dengan bapaknya. Hal tersebut sejalan dengan keumuman hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy (suami yang menikah dengan sah). Sedangkan untuk pezina, baginya adalah batu (dirajam)” (HR. Bukhari dan Muslim).
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ketika seorang wanita menikah dengan laki-laki, atau seorang budak wanita menikah dengan seorang laki-laki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si laki-laki. Selanjutnya laki-laki ini disebut “pemilik firasy”. Selama sang wanita menjadi firasy laki-laki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil selingkuh yang dilakukan istri dengan laki-laki lain. Sedangkan, laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian. Artinya, tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain” (Syarh Shahih Muslim, 10: 37).
Dari hadis ini bisa kita ketahui bahwa anak hasil zina tidak dinisbatkan kepada bapak (pezina laki-lakinya). Sehingga tentu saja anak perempuan ini tidak memiliki ashabah yang bisa menjadi walinya, karena nasabnya terputus dari bapaknya. Oleh karena itu, ia termasuk kategori wanita yang sudah tidak memiliki ashabah dari garis nasab, sehingga yang menjadi walinya saat ia menikah adalah wali hakim.
Hikmah adanya wali dalam akad nikah
Syariat adanya wali sebagai salah satu rukun pernikahan ini tentu saja memiliki hikmah yang patut kita ketahui. Seorang wanita Allah Ta’ala ciptakan pada dasarnya memiliki sifat lemah dibandingkan pria. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan dengan naqishat ‘aql wa din (kurangnya akal dan agama). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم – فِى أَضْحًى – أَوْ فِطْرٍ – إِلَى الْمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ . فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ . قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ . قُلْنَ: بَلَى . قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا ، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ بَلَى . قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا . متفق عليه
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju masjid pada Idul Adha atau Idul Fitri (nampaknya Abu Sa’id al-Khudri tidak yakin). Beliau melewati kaum wanita, dan bersabda, ‘Wahai kaum wanita, hendaknya kalian bersedekah. Sungguh aku melihat kalian akan menjadi mayoritas penduduk neraka.’ Mereka bertanya, ‘Mengapa demikian, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Kalian banyak mencaci dan kurang bersyukur kepada suami. Aku perhatikan kalian memang kurang akal dan kurang agama.’ Mereka bertanya, ‘Apa bukti bahwa kami kurang akal, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Bukankah kesaksian wanita adalah separuh dari kesaksiah pria?’ Mereka bertanya, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang akal. Bukankah wanita biasa itu haid, lalu tidak salat, dan tidak puasa?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Beliau bersabda, ‘Itulah bukti wanita itu kurang agamanya.’” (Muttafaq ‘alaih).
Namun demikian, bukan berarti Islam telah mendiskreditkan kaum wanita. Hadis ini hanya menunjukkan apa yang sudah menjadi fitrah penciptaan dan kodrat seorang wanita. Seperti yang kita ketahui, seorang wanita dalam syariat Islam tidak memikul tanggung jawab yang sama berat dengan pria, karena sifat wainta yang lemah. Seluruh kebutuhan hidupnya pun menjadi tanggung jawab wali. Sampai ketika seorang wanita menikah, tanggung jawab kepada dirinya berpindah kepada sang suami. Akad nikah ini layaknya pelimpahan tanggung jawab pada diri wanita itu, yang semula ada pada pundak walinya, kemudian pindah kepada suaminya.
Sejatinya seorang wali memiliki kedudukan yang tetap sebagai pelindung wanita itu. Maka apabila dalam pernikahan ada masalah dengan suaminya, seorang wali berfungsi sebagai penengah dan pelindung wanita. Walinya berhak menanyakan dan menuntut hak-hak wanita tersebut dari suaminya. Ini juga merupakan salah satu hikmah adanya seorang wali. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Kitab Matan al-Ghâyah wa Taqrîb karya Imam Abi Syuja’ Rahimahullah dengan beberapa penyesuaian.