Hadirkan Mawaddah dan Rahmat dalam Rumah Tangga

Dengan mawaddah dan rahmat salah seorang pasangan, tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang menyakiti hati pasangannya, bahkan dia akan berkorban demi menyenangkan pasangannya. Dengan mawaddah seseorang tidak akan berpoligami karena cintanya hanya tertuju kepada seorang. Dengan rahmat seorang suami pula walau butuh dan terdorong untuk berpoligami, namun tidak akan melakukannya jika hal tersebut dinilainya menyakitkan istrinya.

Tetapi di sisi lain, seorang istri akan merelakan suaminya menikah lagi dan berkorban, jika dia merasa bahwa suaminya sangat membutuhkan hal tersebut. Demikian perkawinan dalam ajaran Islam. Pada prinsipnya ajaran Islam lebih mengutamakan monogami, sedang poligami hanyalah izin yang tidak dibenarkan kecuali jika keadilan terjamin.

Dikutip dari buku yang berjudul “Membumikan Alquran” karya M Quraish Shihab bahwa kesendirian dapat mengakibatkan keterasingan dan ini melahirkan kegelisahan. Cara yang paling ampuh mengenyahkan keterasingan dan kegelisahan itu adalah kehadiran pasangan yang sesuai melalui ikatan luhur dan batin. Inilah yang dimaksud oleh kitab suci Alquran ketika menegaskan bahwa Allah menciptakan dari jenis manusia pasangannya agar mereka memperoleh sakinah yakni ketenangan setelah sebelumnya ada gejolak.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi  kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Untuk meraih sakinah tersebut, Allah menganugerahi manusia potensi mawaddah dan rahmah yang harus mereka perjuangkan wujudnya secara faktual. Sulit menemukan padanan kata mawaddah dalam bahasa Indonesia, karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Mawaddah pada mulanya, menurut tafsir al-Biqa’i berarti kelapangan dan kekosongan.

Ia kemudian menukil pendapat al-Imam Abi al-Hasan al-Haraly yang menyatakan bahwa Al-Wud (mawaddah) adalah kosongnya jiwa dari kehendak buruk. Siapa yang tidak menginginkan selainnya (objek yang dicintainya), maka dia telah menyandang mawaddah.

Jika seseorang menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka ia telah mencintainya. Namun jika seseorang itu menghendaki kebaikan untuk orang lain, serta tidak menghendaki selain itu, apapun yang terjadi maka mawaddah telah menghiasi hatinya.

Mawaddah adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu. Maka siapa yang memilikinya, ia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apa pun yang terjadi.

Kata mawaddah mirip dengan kata rahmat, hanya saja rahmat tertuju kepada yang dirahmati sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengan demikian rahmat tertuju kepada yang lemah, sedang mawaddah tidak demikian. Rahmat adalah keprihatinan melihat ketidakberdayaan satu pihak yang mendorong siapa yang merahmati berusaha menanggulangi ketidakberdayaan itu.

Sebab Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagian yang antara lain dilahirkan oleh mawaddah dan rahmat yang tertuang kepada pasangan. Ada ungkapan dalam literatur agama yang menyatakan, “Tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan.” Wallahualam