Makna Sakinah Mawaddah dan Rahmah Menurut Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi

Setiap individu yang akan menaiki jenjang pernikahan pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin ia capai. Tujuan ini begitu penting agar ikatan yang akan dilalui penuh dengan makna dan tidak hampa. Tujuan ini harus terpelihara dan tidak boleh pupus serta memudar. Sebab kondisi tersebut riskan membuat biduk rumah tangga menjadi berantakan dan landas di tengah jalan. Kehidupan rumah tangga yang ideal hanya akan menjadi fatamorgana di tengah padang sahara, malah hanya menjadi tempat kekerasan, depresi, serta stress. Oleh karena itu, tujuan yang jelas akan menjadi kompas arah dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar tercipta keluarga sakinah mawaddah dan rahmah. Apa makna sakinah mawaddah dan rahmah?

Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang tujuan dari pernikahan adalah sebagai berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya lah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-Qur’an, ar-Rum (30): 21)

Merujuk pada ayat di atas, maka tujuan sebenarnya dalam membangun rumah tangga ialah ketenangan (sakinah), rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Barangkali berangkat dari ayat ini muncullah ungkapan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” yang acapkali didengungkan sebagai ucapan doa untuk kedua mempelai pengantin yang sedang berbahagia.

Syekh Mutawalli Al-Sya’rawi dalam buku tafsirnya (Tafsir Al-Sya’rawi, 18/11359) mengejawantahkan makna sakinah mawaddah dan rahmah. Sebelumnya beliau menegaskan bahwa ayat ini memiliki semangat keadilan gender, dalam arti baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan memiliki perbedaan. Dan dengan perbedaan tersebut masing-masing harus saling melengkapi satu sama lain, bukan saling mengunggulkan diri apalagi mendiskriminasi. Masing-masing pihak memiliki tugasnya masing-masing dan bila tugas tersebut dilakukan secara baik, maka suatu pasangan akan memiliki kehidupan pernikahan yang ideal paripurna.

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa pondasi pertama, yaitu sakinah (ketenangan), merupakan alasan pokok dalam pernikahan.Setiap individu dalam suatu ikatan, baik laki-laki maupun perempuan, harus menjadi tempat menemukan ketenangan bagi pasangannya. Suami yang lelah bekerja akan mendapatkan moodnya kembali saat pulang ke rumah, begitupun sebaliknya. Ketenangan ini bisa dicapai apabila setiap pasangan saling memahami dan saling melengkapi tugasnya masing-masing.

Tak cukup dengan ketenangan saja, diperlukan juga rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Syekh Asy-Sya’rawi mengartikan mawaddah sebagai rasa saling mencintai (al-hubb al-mutabādil) sepanjang menjalani hidup.Setiap pasangan menjalani tugasnya masing-masing dalam bingkai kesalingan dalam cinta dan kasih sayang.

Sebagai penutup, sifat kasih sayang (rahmah) menjadi benteng terakhir yang berdiri kokoh dalam menjaga pertahanan rumah tangga. Sebab, bagaimanapun sikap dan kondisi manusia adakalanya mengalami perubahan; yang asalnya kuat menjadi lemah, kaya menjadi miskin dan penampilan fisik pun tak luput dari perubahan. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyebut sifat rahmah di bagian paling akhir sebagai perekat terakhir bagi suatu ikatan saat kedua sifat sebelumnya (sakinah & mawaddah) menjadi retak diakibatkan oleh riuhnya warna-warni kehidupan.

Walhasil, sebagaimana yang dikatakan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya qirā’ah mubādalah, kedua pihak–baik suami maupun istri–dituntut aktif untuk saling membahagiakan pasangannya dengan dorongan rahmah, sekaligus memperoleh kebahagiaan dari pasangannya dengan modal mawaddah, sehingga sakinah sebagai salah satu tujuan pernikahan juga bisa dirasakan oleh kedua pihak.

Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hadirkan Mawaddah dan Rahmat dalam Rumah Tangga

Dengan mawaddah dan rahmat salah seorang pasangan, tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang menyakiti hati pasangannya, bahkan dia akan berkorban demi menyenangkan pasangannya. Dengan mawaddah seseorang tidak akan berpoligami karena cintanya hanya tertuju kepada seorang. Dengan rahmat seorang suami pula walau butuh dan terdorong untuk berpoligami, namun tidak akan melakukannya jika hal tersebut dinilainya menyakitkan istrinya.

Tetapi di sisi lain, seorang istri akan merelakan suaminya menikah lagi dan berkorban, jika dia merasa bahwa suaminya sangat membutuhkan hal tersebut. Demikian perkawinan dalam ajaran Islam. Pada prinsipnya ajaran Islam lebih mengutamakan monogami, sedang poligami hanyalah izin yang tidak dibenarkan kecuali jika keadilan terjamin.

Dikutip dari buku yang berjudul “Membumikan Alquran” karya M Quraish Shihab bahwa kesendirian dapat mengakibatkan keterasingan dan ini melahirkan kegelisahan. Cara yang paling ampuh mengenyahkan keterasingan dan kegelisahan itu adalah kehadiran pasangan yang sesuai melalui ikatan luhur dan batin. Inilah yang dimaksud oleh kitab suci Alquran ketika menegaskan bahwa Allah menciptakan dari jenis manusia pasangannya agar mereka memperoleh sakinah yakni ketenangan setelah sebelumnya ada gejolak.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi  kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Untuk meraih sakinah tersebut, Allah menganugerahi manusia potensi mawaddah dan rahmah yang harus mereka perjuangkan wujudnya secara faktual. Sulit menemukan padanan kata mawaddah dalam bahasa Indonesia, karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Mawaddah pada mulanya, menurut tafsir al-Biqa’i berarti kelapangan dan kekosongan.

Ia kemudian menukil pendapat al-Imam Abi al-Hasan al-Haraly yang menyatakan bahwa Al-Wud (mawaddah) adalah kosongnya jiwa dari kehendak buruk. Siapa yang tidak menginginkan selainnya (objek yang dicintainya), maka dia telah menyandang mawaddah.

Jika seseorang menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka ia telah mencintainya. Namun jika seseorang itu menghendaki kebaikan untuk orang lain, serta tidak menghendaki selain itu, apapun yang terjadi maka mawaddah telah menghiasi hatinya.

Mawaddah adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu. Maka siapa yang memilikinya, ia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apa pun yang terjadi.

Kata mawaddah mirip dengan kata rahmat, hanya saja rahmat tertuju kepada yang dirahmati sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengan demikian rahmat tertuju kepada yang lemah, sedang mawaddah tidak demikian. Rahmat adalah keprihatinan melihat ketidakberdayaan satu pihak yang mendorong siapa yang merahmati berusaha menanggulangi ketidakberdayaan itu.

Sebab Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagian yang antara lain dilahirkan oleh mawaddah dan rahmat yang tertuang kepada pasangan. Ada ungkapan dalam literatur agama yang menyatakan, “Tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan.” Wallahualam