Menuntun Langkah Jemaah Haji pada Lintasan Sai

Makkah (Kemenag) — Ratusan orang masih tampak memutari lintasan thawaf di Baitullah, ketika petugas Pertolongan Pertama pada Jemaah Haji (P3JH) Ferry menemukan sosok perempuan paruh baya berjalan terseok. Perempuan tersebut tampak kelelahan usai menyelesaikan thawafnya. 

Siti (bukan nama sebenarnya), adalah jemaah haji Indonesia yang tergabung dalam kelompok terbang 02 embarkasi Batam (BTH-02). Ia terpisah dari rombongannya yang sedang melaksanakan rangkaian umrah wajib usai mereka tiba di Kota Makkah, Minggu (14/07) malam. 

“Beliau ada di sekitar mathaf dalam kondisi kelelahan. Tapi, semangatnya menggebu untuk meneruskan prosesi umrahnya,” ujar Ferry, Senin (15/07). 

Bersama Taufik, rekannya sesama perawat di RS Haji Jakarta  yang juga anggota P3JH, Ferry pun menawarkan bantuan  untuk membantu Siti menyelesaikan umrahnya. “Alhamdulillah beliau bersedia untuk dibantu untuk melintasi lantai sai ini,” tutur Ferry. 

Air mata pun tak terbendung dari dua kelopak mata Siti kala dirinya mampu menyelesaikan sai berkat bantuan dua pemuda tersebut. 

Sementara, tak lama berselang,  di sekitar bukit Marwah, paramedis P3JH Agus tengah memberikan penanganan awal kepada jemaah yang keram kaki. Eni (bukan nama sebenarnya), merasakan keram pada kakinya usai menahan dinginnya lantai sai. 

“Lantai sai ini cukup dingin sehingga seringkali jemaah mengalami keram saat melintasinya. Kami sarankan jemaah beristirahat terlebih dahulu bila merasakan kakinya mulai lelah. Jangan paksakan diri,”pesan Agus. 

P3JH merupakan salah satu bagian Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang bertugas untuk memberikan pelayanan, perlindungan, dan pembinaan bagi jemaah saat mereka mengerjakan ibadah umrah setibanya di tanah suci Makkah. Bersama dengan tim perlindungan jemaah (linjam) dan tim gerak cepat (TGC), P3JH berjaga di enam titik yang telah ditetapkan di bawah koordinasi Sektor Khusus Haram.

“Setiap hari, secara bergiliran kami akan berjaga di enam titik yang telah ditentukan,” ungkap Taufik. 

Taufik menyatakan bahwa P3JH juga hadir untuk membantu jamaah yang kesulitan dalam menyelesaikan ibadah wajibnya. Pembentukan tim ini diinisiasi oleh Kementerian Agama pada pelaksanaan haji 2018 lalu.

P3JH kembali diturunkan dalam musim haji kali ini dengan beranggotakan 26 orang yang memiliki latar belakang kedokteran, tenaga kesehatan, serta para medis. Tim ini gabungan dari dokter yang berasal dari Perguruan Tinggi Islam Negeri dan TNI. 

Untuk menunjang tugas mereka, tim ini juga dilengkapi perlengkapan penunjang seperti tandu dan kursi roda. P3JH tidak hanya membantu jemaah bila mengalami gangguan kesehatan saja, tapi juga mendampingi jemaah yang kesulitan dalam penyelesaian rukun ibadah.

KEMENAG RI

Amalan Istimewa di Hari Jumat

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Dalam tulisan kali kami akan memberikan pembahasan mengenai amalan-amalan istimewa di hari Jum’at yang penuh berkah yang bisa dimanfaatkan oleh setiap muslim sebagai tabungan pahala baginya di hari kiamat yang hanya bermanfaat amalan.

Pertama: Terlarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan siang harinya dengan berpuasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat tertentu dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali jika berpapasan dengan puasa yang mesti dikerjakan ketika itu.”[1]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dalil yang tegas dari pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah dan yang sependapat dengan mereka mengenai dimakruhkannya mengerjakan puasa secara bersendirian pada hari Jum’at. Hal ini dikecualikan jika puasa tersebut adalah puasa yang berpapasan dengan kebiasaannya (seperti berpapasan dengan puasa Daud, puasa Arofah atau puasa sunnah lainnya, pen), ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya, berpapasan dengan puasa nadzarnya seperti ia bernadzar meminta kesembuhan dari penyakitnya. Maka pengecualian puasa ini tidak mengapa jika bertepatan dengan hari Jum’at dengan alasan hadits ini.”[2]

Kedua: Ketika shalat Shubuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As Sajdah dan Surat Al Insan

Sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Hurairah, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِ (الم تَنْزِيلُ) فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى وَفِى الثَّانِيَةِ ( هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alam Tanzil …” (surat As Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkuro” (surat Al Insan) pada raka’at kedua.”[3]

Catatan: Maksud membaca surat As Sajdah adalah membaca suratnya bukan memaksudkan untuk mengkhususkan ketika itu dengan surat yang ada ayat sajdahnya sebagaimana hal ini disalahpahami oleh sebagian orang. Sehingga tidak perlu mencari surat-surat lain yang terdapat ayat sajdah dan dibaca ketika Shalat Shubuh pada hari Jum’at. Ini sungguh salah dalam memahami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cukup perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut sebagai nasehat,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”[4]

Ketiga: Memperbanyak shalawat Nabi di hari Jum’at

Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً

Perbanyaklah shalawat kepadaku  pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.”[5]

Keempat: Dianjurkan membaca Surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين

Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan disinari oleh cahaya di antara dua jum’at”[6]. Dalam lafazh lainnya dikatakan,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ.

Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Mekkah).”[7]

Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من قرأ سورة الكهف كما أنزلت ، كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة ، ومن قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه ، ومن توضأ ثم قال : سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك كتب في رق ، ثم طبع بطابع فلم يكسر إلى يوم القيامة

“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi sebagaimana diturunkan, maka ia akan mendapatkan cahaya dari tempat ia berdiri hingga Mekkah. Barangsiapa membaca 10 akhir ayatnya, kemudian keluar Dajjal, maka ia tidak akan dikuasai. Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia ucapkan: Subhanakallahumma wa bi hamdika laa ilaha illa anta, astagh-firuka wa atuubu ilaik (Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu), maka akan dicatat baginya dikertas dan dicetak sehingga tidak akan luntur hingga hari kiamat.”[8]

Dari hadits-hadits di atas menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al Kahfi, bisa dilakukan pada malam Jum’at atau siang hari di hari Jum’at.

Kelima: Memperbanyak do’a di hari Jum’at

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan mengenai hari Jum’at lalu ia bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut.[9]

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة

Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai”[10]. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.

Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر

Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar”[11]. Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.

Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”.

Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.[12]

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/917-amalan-istimewa-di-hari-jumat.html

Batas Makanan untuk Jamaah Haji Dua Jam Setelah Diberikan

Jamaah haji Indonesia diminta untuk memperhatikan petunjuk penggunaan makanan paket yang diberikan oleh PPIH Daker Makkah. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya makanan kedaluwarsa atau basi.

“Di dalam boks sudah tertera maksimal jamaah haji diharapkan makanan maksimal dua jam setelah menerima makanan,” kata Kepala Seksi Konsumsi PPIH Daker Makkah, Beny Darmawan di tempat salah satu produksi katering di Kota Makkah, Ahad (14/7).

Misalnya, Beny mencontohkan, jamaah haji menerima makanan siang yang didistribusikan mulai pukul 08.00 WAS hingga 11.00 WAS maka maksimal mengkonsumsinya hingga pukul 13.00 WAS. Sementara untuk makan siang, distribusi dilakukan mulai pukul 19.00 WAS hingga 22.00 WAS, maka batas akhir konsumsi terakhir pukul 00.00 WAS. 

Beny juga menjelaskan, pada distribusi makanan malam, jamaah akan diberikan paket roti croissant atau dua cupcake untuk dimakan pada pagi hari. “Mudah-mudahan dimakannya pagi hari, ya. Kadang-kadang, jamaah malam diberikan malam itu juga sudah dimakan. Padahal sudah dikasih tahu, itu untuk pagi,” kata Beny.

Terkait kebiasaan orang Indonesia yang makan pagi, Beny menjelaskan, jika makanan belum datang, jamaah diimbau untuk membeli makanan. “Jamaah kan sudah dapat uang saku juga, tetapi mudah-mudahan belinya tidak sembarangan. Artinya, harus diperhatikan juga dari segi higienitasnya pada saat itu,” kata Beny.

Jamaah tiba di Makkah

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Daerah Kerja Makkah (PPIH Daker Makkah) memastikan semua jamaah haji yang baru tiba di Kota Makkah akan mendapatkan menu makanan selamat datang. Makanan itu akan diberikan ketika jamaah sudah sampai di hotel.

“Iya, semua yang pertama kali tiba di Makkah akan mendapat menu selamat datang dengan catatan tiba di bawah pukul 22.00 malam waktu Saudi,” kata Kepala Seksi Konsumsi PPIH Daker Makkah Beny Darmawan saat ditemui di rumah produksi katering di Kota Makkah, Ahad (14/7).

Menunya, yaitu, nasi, satu buah apel, ayam, dan kripik kentang. Khusus untuk kloter pertama yang akan tiba yaitu Kloter I Surabaya yang diperkirakan tiba pada Ahad (14/7) pukul 20.00 WAS, akan diberikan satu botol air mineral.

Kemudian, selanjutnya jamaah yang sudah tiba akan diberikan menu makanan sesuai zonasinya. Mereka akan mendapatkan pada siang dan malam hari hingga mendapat makanan 40 kali selama berada di Kota Makkah. 

“Ada 36 perusahaan katering yang siap melayani makan jamaah,” kata Beny.

IHRAM


Nasihat untuk Saudaraku yang Sedang Sakit

Kepada saudaraku yang sedang sakit, hendaklah kita tetap bersabar dengan takdir Allah Ta’ala dan terus berdoa memohon kesembuhan hanya kepada-Nya. Sebagimana kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salaam yang Allah Ta’ala ceritakan dalam firman-Nya,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآَتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ

“Dan ingatlah kisah Ayyub, ketika dia menyeru Rabb-nya, ’Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’.  Maka Kami pun memperkenankan doanya itu, lalu kami lenyapkan penyakit yang ada padanya. Dan kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 83).

Allah Ta’ala pun memuji kesabaran Nabi Ayyub ‘alaihis salaam ini dalam firman-Nya,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Rabb-nya” (QS. Shaad [38]: 44).

Di antara bentuk kesabaran tersebut adalah dengan menahan diri untuk tidak menempuh metode pengobatan yang haram atau bahkan termasuk dalam kesyirikan, semisal berobat ke dukun atau paranormal. Orang-orang yang berobat ke dukun, adalah cerminan orang-orang yang tidak bisa bersabar. Karena sabar tidak hanya mencakup bersabar dalam menghadapi musibah, namun juga mencakup kesabaran dalam melaksanakan ketaatan dan juga bersabar untuk tidak bermaksiat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS. Thaha [20]: 132).

Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’” (QS. Yusuf [12]: 33).

Selain bersabar, kita juga harus senantiasa bertawakal kepada-Nya dengan terus berusaha mencari kesembuhan melalui cara atau metode yang tidak bertentangan dengan syariat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله خلق الداء و الدواء، فتداووا، و لا تتداووا بحرام

”Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram (HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian dalam sesuatu yang diharamkan-Nya” (HR. Bukhari no. 15).

***

Selesai disempurnakan di sore hari, Rotterdam NL 1 Muharram 1438 H/21 September 2017

Yang senantiasa membutuhkan ampunan Rabb-nya,

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33261-nasihat-untuk-saudaraku-yang-sedang-sakit.html

Dehidrasi Bisa Picu Disorientasi, Jemaah Diimbau Banyak Minum

Makkah (Kemenag) — Kehilangan cairan tubuh atau dehidrasi seringkali menyebabkan seseorang mengalami disorientasi. Kasus semacam ini juga kerap ditemui pada jemaah  haji Indonesia saat berada di tanah suci, di mana kondisi iklim dan cuacanya berbeda jauh dengan Indonesia.

Keterangan ini disampaikan oleh dokter spesialis kejiwaan pada Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja Makkah Herlina Pohan. “Berdasarkan data kasus yang dialami jemaah haji tahun lalu, banyak ditemui jemaah haji yang dirawat di KKHI karena mengalami disorientasi, semula disebabkan kurangnya cairan di dalam tubuhnya,” jelas Herlina, Senin (15/07). 

Herlina menambahkan, jemaah haji Indonesia  memiliki kebiasaan minum yang cenderung rendah. Biasanya jemaah baru minum kalau merasa haus. “Padahal di tanah suci, kita akan alami suhu tinggi dan kelembaban rendah, ini membuat kita jarang haus. Maka sebaiknya kita tetap minum sebelum haus,” pesan Herlina. 

Hal ini juga bertujuan untuk memastikan tubuh tidak mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan disorientasi.

Kebiasaan minum jemaah haji Indonesia yang baru minum saat haus, menurut Herlina perlu segera diubah setibanya di tanah suci. “Bila di tanah air, haus dapat jadi ciri bila tubuh kita kekurangan cairan. Karena kelembaban  udara di sana tinggi. Tapi setibanya di tanah suci, sebaliknya. Kita jarang merasa haus karena kelembaban  udaranya rendah,” papar Herlina. 

“Maka di KKHI, biasanya kita akan memberikan terapi cairan terlebih dahulu bila menemukan kondisi seperti itu. Kita berharap  bila cairan tubuhnya cukup, maka kesadarannya pun akan pulih kembali,” kata Herlina. 

Ini yang membedakan ruang layanan rawat inap gangguan kejiwaan yang terdapat di KKHI Makkah dengan klinik pada umumnya di tanah air. “Berbeda dengan di tanah air di mana klinik kejiwaan tidak menyertakan fasilitas infus pada bed nya, kalau di sini kita sediakan. Karena terapi yang pertama digunakan  dengan memberikan cairan itu,” kata Herlina. 

KEMENAG RI

Mencela Penyakit Demam

Di antara kewajiban kaum muslimin ketika tertimpa penyakit adalah bersabar dan menahan diri berkeluh kesah, atau berkata-kata yang menunjukkan protes terhadap takdir Allah Ta’ala atas dirinya. 

Begitu pula sikap yang seharusnya ditunjukkan jika kita terkena penyakit demam, penyakit yang sering kita jumpai di sekitar kita. Hendaknya kita bersabar, sebagaimana kita berusaha bersabar ketika menghadapi ujian dan musibah yang lainnya. 

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjenguk Ummu As-Saaib atau Ummul Musayyib [1]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

مَا لَكِ؟ يَا أُمَّ السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيِّبِ تُزَفْزِفِينَ؟

“Ada apa denganmu, Ummu As-Saib atau Ummul Musayyib, badanmu bergetar (karena demam, pent.).” 

Ummu As-Saib berkata,

الْحُمَّى، لَا بَارَكَ اللهُ فِيهَا

“(Ini karena) demam, semoga Allah tidak memberikan keberkahan kepadanya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Janganlah Engkau mencela demam. Karena demam itu bisa menghilangkan kesalahan-kesalahan (dosa) manusia, sebagaimana kiir (alat yang dipakai pandai besi) bisa menghilangkan karat besi.” (HR. Muslim no. 2575)

Demam itu terjadi karena takdir Allah Ta’ala, Allah-lah yang telah menetapkannya. Dan Allah Ta’ala pula yang mengangkat atau menyembuhkannya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seseorang mencela demam, karena hal ini sama saja dengan mencela pencipta demam, yaitu Allah Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وعلى المرء إذا أصيب أن يصبر ويحتسب الأجر على الله عز وجل وأخبر أنها تذهب بالخطايا كما يذهب الكير بخبث الحديد فإن الحديد إذا صهر على النار ذهب خبثه وبقي صافيا كذلك الحمى تفعل في الإنسان كذلك

“Menjadi kewajiban atas seseorang jika tertimpa (demam) untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala dan mengabarkan bahwa demam itu bisa menghapus kesalahan (dosa) sebagaimana kiir bisa membersihkan karat (kotoran) besi. Hal ini karena jika besi dipanaskan di atas api, hilanglah karat yang menempel, dan besi itu pun menjadi bersih (mengkilap) kembali. Demikian pula demam, akan berdampak seperti itu juga bagi diri manusia (yaitu membersihkan dosa dan kesalahan, pent.).” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 2049)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47616-mencela-penyakit-demam.html

Mencintai Kebaikan Untuk Sesama

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

1. Perasaan Senasib Sepenanggungan

Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, “Orang-orang yang beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 119)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara.” (QS. al-Hujurat: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. at-Taubah: 31)

2. Mencintai Kebaikan Untuk Semua

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian.” Artinya tidak sempurna keimanannya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 103)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan di dalam hadits ini dengan persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia mencakup saudara yang kafir maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi saudaranya yang kafir apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu supaya dia masuk ke dalam Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi saudaranya yang muslim untuk tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab itu mendoakan hidayah bagi orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan. Penafian iman di dalam hadits ini maksudnya adalah penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 118)

3. Dakwah Sebagai Bukti Kecintaan

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Ini artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu -apabila dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan lenyap begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang menerima dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun yang kalian kerjakan berupa kebaikan maka Allah mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 197). Sebagian para nabi ‘alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya diterima oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima dakwahnya kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada seorang pun yang menerima dakwahnya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 105)

4. Rendah Hati dan Tidak Hasad

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang mukmin akan merasa susah dengan apa yang membuat susah saudara mukmin yang lain dan dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya yang beriman itu sebagaimana apa yang dia inginkan bagi dirinya. Ini semua hanya bisa terlahir dari hati yang bersih dari sifat curang, perasaan dengki, dan hasad. Karena sifat hasad itu akan membuat orang yang hasad tidak senang apabila ada orang lain yang melampaui dirinya dalam kebaikan atau menyamai dirinya dalam hal itu. Karena dia lebih suka menonjolkan dirinya sendiri di tengah-tengah manusia dengan keutamaan-keutamaannya dan memiliki itu semuanya seorang diri. Padahal, keimanan menuntut sesuatu yang bertentangan dengan sikap semacam itu. Orang yang imannya benar pasti akan menyukai apabila semua orang beriman juga ikut serta merasakan kebaikan yang dianugerahkan Allah kepada dirinya tanpa sedikit pun mengurangi apa yang ada padanya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Itulah negeri akherat yang Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi (kesombongan) dan tidak pula menghendaki kerusakan (kemaksiatan).” (QS. al-Qashash: 83)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sebagian ulama salaf berkata: Tawadhu’/sifat rendah hati itu adalah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang datang membawanya, meskipun dia adalah anak kecil. Barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya entah itu anak kecil atau orang tua, entah itu orang yang dia cintai atau tidak dia cintai, maka dia adalah orang yang tawadhu’. Dan barangsiapa yang enggan menerima kebenaran karena merasa dirinya lebih besar/lebih hebat daripada pembawanya maka dia adalah orang yang menyombongkan diri.” (lihatJami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 164)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pandangan mengenai definisi hasad. Sebagian mengatakan bahwa hasad adalah berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang lain menjadi hilang. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hasad adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau mengatakan: Apabila seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan kepada orang lain maka dia telah hasad kepadanya, meskipun dia tidak mengangankan nikmat itu lenyap.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 164)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka menyimpan perasaan dengki terhadap orang-orang atas apa yang Allah berikan kepada mereka dari keutamaan-Nya?” (QS. an-Nisaa’: 54). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami lah yang membagi-bagi diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf: 32). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Allah lah yang mengutamakan sebagian kalian di atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. an-Nahl: 71)

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10279-mencintai-kebaikan-untuk-sesama.html

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)

3. Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar

Ketauhilah, bahwa prinsip hamdalah dan istighfar adalah prinsip harian seorang muslim, bukan hanya prinsip tahunan usai kita melakukan ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah aktivitas dzikir pagi dan sore. Seorang muslim disyariatkan mengucapkan sayyidul istighfar setiap pagi dan sore, yang di antara kalimatnya adalah

أبوء لك بنعمتك علي وأبوء بذنبي

“…aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepada-ku dan aku mengakui dosaku…” (HR. Al-Bukhari: 6306 dan yang lainnya).

Kedua prinsip hidup yang agung ini membuat sirnanya penyakit-penyakit amal, seperti `ujub, sombong, riya’, dan sum`ah. Selain itu juga berdampak mendorong seorang hamba untuk banyak intropeksi diri (muhasabah), mudah menerima masukan, mudah kerjasama dengan orang lain karena mudah mengakui kenikmatan Allah yang didapatkan melalui orang lain. Ia mudah berterimakasih kepada orang lain, mengapa? Karena ia mudah bersyukur kepada Allah dengan cara berterimakasih kepada orang lain, yang menyampaikan nikmat-Nya kepadanya dengan cara berbuat baik kepadanya.

Dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia’ (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).

Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat dari kedua prinsip ini, hamdalah dan istighfar, dengan mengatakan

و العبودية مَدَارها على قاعدتين هما أصلها: حبّ كامل و ذلّ تام

“Ibadah itu berkisar di atas dua pondasi,keduanya adalah cinta yang sempurna kepada Allah serta  kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah” (Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 17).

Apa hubungan keduanya dengan hamdalah dan istighfar?  Berikut penjelasannya

  1. Cinta yang sempurna kepada Allah, ini didapat dengan banyak mengingat kenikmatan Allah, lalu mengakui kelebihan orang lain dan berterima kasih atas jasanya -karena itu hakikatnya adalah nikmat Allah, sehingga tumbuh cinta, syukur kepada Allah dan memuji-Nya (hamdalah).
  2. Kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah, didapatkan dengan banyak muhasabah menghitung-hitung  kesalahan, kekurangan dan aib diri, sehingga terhindar dari `ujub  dan sombong, berapapun besarnya prestasi ibadah, ilmu, dan amal. Hal ini mendorong seseorang untuk banyak-banyak beristighfar.

Kita memohon kepada Allah Ta`ala agar setelah kita merasakan lezatnya beribadah pada bulan Ramadhan dan kebahagiaan pada Hari Raya `Iedul Fithri, Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang bahagia karena bertambah ketakwaan kita sebagai buah puasa dan menjadi orang yang berbahagia dengan memiliki ciri khas bahagia yang disebutkan Ulama, yaitu

إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر 

“Jika mendapatkan kenikmatan bersyukur, jika mendapatkan cobaan bersabar, jika berdosa istighfar.”

4. Tidak tertipu dengan amal keta’atan yang telah dilakukan.

Ilustrasi

Untuk bisa menjadi orang yang beribadah dengan baik tidaklah mudah jika tidak dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Barangkali setiap kita pernah memiliki tekad kuat untuk melakukan suatu bentuk ibadah, misalnya shalat sunnah rawatib ba’diyyah, namun tiba saat melakukannya, muncullah halangan yang tidak terduga atau tidak ada halangan namun sulit untuk khusyu’, padahal shalat wajib yang kita lakukan sebelumnya bisa khusyu’ kita lakukan.

Atau shalat rawatibnya juga bisa khusyu’, namun bisa jadi tidak bisa langgeng melakukannya. Seandainya bisa langgeng melakukan shalat rawatib tersebut, yakinkah kita bahwa shalat-shalat sunnah tersebut pasti diterima oleh Allah Ta’ala? Dari ilustrasi di atas nampak bahwa kelemahan kita sebagai makhluk Allah dan ketergantungan kita kepada-Nya tidak akan pernah berhenti walau sekejap mata pun. Kita selalu butuh pertolongan-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan,

apalagi jika kita berusaha mengingat-ingat dosa yang sudah kita perbuat, dosanya sudah jelas, namun diampuninya belum tentu.

Pertanyaan besar

Sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan, “Jika demikian keadaan kita, pantaskah kita membanggakan ibadah-ibadah yang telah berhasil kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan yang telah berlalu tersebut?”

Taruhlah seorang hamba mampu beribadah non stop!

Sebagus apapun amal seseorang, bahkan seandainya seluruh hidup-nya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidaklah layak hal itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan dan dipamerkan, sehingga menyebabkan munculnya sikap hati yang salah, karena ia silau melihat amalnya.

Jika seorang hamba merenungkan keagungan Allah dan besar hak-Nya atas diri hamba tersebut, betapapun kuatnya seseorang melakukan ibadah, betapapun banyaknya seseorang beramal salih, pastilah ia akan memandang kecil ibadah itu pada hari Akhir kelak karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لو أن رجلا يُجَرّ على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هَرٍمًا في مرضاة الله عز وجل لحَقّرَه يوم القيامة

Seandainya seorang hamba disungkurkan wajahnya sejak dia lahir sampai mati, hingga tua renta dalam (peribadatan) menggapai keridhoan Allah `Azza Wa Jalla, niscaya dia akan memandang kecil ibadahnya tersebut pada hari Kiamat” (HR. Imam Ahmad , lihat As-Silsilah Ashahihah 1/730).

5. Mengiringi keta’atan pada bulan Ramadhan dengan keta’atan sesudahnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

من عمل طاعة من الطاعات وفرغ منها فعلامة قبولها أن يصلها بطاعة أخرى،  وعلامة ردها أن يعقب تلك الطاعة بمعصية، ما أحسن الحسنة بعد السيئة تمحها وأحسن الحسنة بعد الحسنة تتلوها، وما أقبح السيئة بعد الحسنة تمحقها…..سلوا الله الثبات على الطاعات إلى الممات، وتعوذوا به من تقلب القلوب

“Barangsiapa yang melakukan suatu keta’atan dan telah selesai darinya, maka tanda diterimanya amal tersebut adalah ia menyambungnya dengan keta’atan yang lainnya. Sedangkan tanda tertolaknya keta’atan tersebut adalah ia irirngi keta’atan itu dengan maksiat. Duhai,betapa indahnya kebaikan sesudah keburukan, (sehingga) kebaikan itu menghapus keburukan tersebut. Betapa baiknya suatu kebaikan yang dilakukan mengiiringi kebaikan sebelumnya. Betapa buruknya keburukan yang dilakukan sesudah kebaikan, (sehingga) keburukan itu menghancurkan kebaikan tersebut……Mohonlah keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah sampai meninggal dunia dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati” (Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 393).

Penutup

Renungankanlah!

ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد

و ليس العيد لمن تجمل باللباس و المركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب 

Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya adalah untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya adalah untuk orang yang diampuni dosa-dosanya

Suatu saat, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fithri, lalu berkatalah beliau,

إنْ كان هؤلاء تُقبل منهم صيامهم، فما هذا فِعلُ الشاكرين، وإنْ كانوا لم يُتقبَّلْ منهم صيامهم فما هذا فعلُ الخائفين.

“Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya,maka bukanlah demikian sikap hamba Allah yang bersyukur, namun jika mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula sikap hamba Allah yang takut kepada-Nya”.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26182-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-2.html

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Bismillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Sobat! Rabbuna, Rabbul `Alamin telah menganugerahkan kepada kita kenikmatan berupa perjumpaan dengan bulan Ramadhan yang penuh barakah dan kebaikan, maka:

  1. Barangsiapa yang banyak menelantarkan bulan Ramadhan dan banyak melakukan kesalahan di dalamnya, bertaubatlah dan sibukkan diri dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai ganti keburukan yang terlanjur dia lakukan, mulailah lembaran hidup baru. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani:وأتبع السيئةَ الحسنةَ تمحها“Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya.”
  2. Adapun barangsiapa yang telah Allah mudahkan beramal salih di saat bulan Ramadhan, maka pujilah Allah dan mohonlah kepada-Nya agar amal shalih Anda diterima oleh-Nya, serta mohonlah kelanggengan dalam amal salih sehingga bisa terus melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99).

Itulah tips secara umum bagi seorang hamba dalam meninggalkan bulan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal. Adapun lebih lanjut, berikut ini beberapa tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa, semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan, semoga bermanfaat!

1. Bersyukur

Seorang hamba Allah yang baik, tentulah berusaha senantiasa mengingat nikmat-nikmat-Nya agar ia senantiasa bersyukur kepada-Nya sehingga meningkatlah kecintaan kita kepada-Nya. Saudaraku yang seiman! Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat Allah bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan. Bukankah banyak dari saudara-saudara kita tidak bisa lagi mendapatkan nikmat ini?

Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat taufik dari Allah sehingga kita bisa melakukan berbagai macam keta’atan kepada-Nya di bulan Ramadhan yang telah berlalu.

Bahkan saudaraku, kita wajib bersyukur -sebelum itu semua- bahwa kita dianugerahi kenikmatan bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan dan keluar darinya dalam keadaan beriman.

Saudaraku seiman! Kita semua butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah yang telah memberi taufik-Nya kepada kita, sehingga kita bisa menyelesaikan berbagai macam ibadah pada bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Hati seorang hamba yang muwaffaq (yang mendapatkan taufik) benar-benar menghayati bahwa karunia kemudahan beramal shalih selama Ramadhan itu berasal dari Allah, maka layaklah kita berucap sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam,

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Iapun (Nabi Sulaiman) berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (An-Naml:40).

Bukankah prinsip hidup kita adalah لا حول ولا قوة إلا بالله , “Tidak ada daya dan upaya (makhluk) kecuali dengan pertolongan Allah?” La haula wala quwwata illa billah adalah sebuah kalimat yang menggambarkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala dan mengandung pengakuan bahwa tidak ada satupun pencipta dan pengatur alam semesta ini kecuali Allah, tidak ada satupun yang bisa menghalangi kehendak Allah jika Dia menghendaki sesuatu terjadi dan bahwa tidak mungkin seorang hamba menghendaki sesuatu kecuali hal itu dibawah kehendak Allah.

Maka nampaklah dalam kalimat yang agung ini, ketidakberdayaan makhluk di hadapan Rabbnya, bahwa keburukan apapun tidak akan mungkin dihindari melainkan jika Allah menjauhkannya darinya. Demikian pula, tidaklah mungkin seorang hamba bisa mendapatkan atau melakukan sebuah kebaikan, seperti keimanan, shalat, puasa, mencari rezeki yang halal dan yang lainnya kecuali dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla.

Di sinilah nampak dengan jelas letak kewajiban bersyukur kepada Allah dalam setiap kebaikan yang didapatkan oleh seorang hamba dan dalam setiap amal salih yang berhasil dilakukan oleh seorang hamba. Amalan salih sebesar apapun akan menjadi kecil di sisi kebesaran dan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla dan kekuatan hamba sebesar apapun akan menjadi lemah di sisi kekuatan Rabbus samawati wal ardh, Tuhan semesta alam.

2. Istighfar

Tips yang perlu kita lakukan agar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa dan semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan adalah beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba butuh memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam melakukan semua bentuk peribadatan karena bagaimanapun baiknya peribadatan yang kita lakukan pasti ada kekurangan. Demikianlah selayaknya kondisi seorang hamba setiap selesai melaksanakan ibadah, agar beristigfar kepada Allah atas segala kekurangan yang terjadi.

  • Tidakkah kita ingat bahwa setelah shalat disyari’atkan untuk istighfar 3 kali? Dalam sebuah hadits disebutkan,أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثاًRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah selesai shalat biasa beristighfar tiga kali” (Shahih Muslim: 591).
  • Tidakkah kita tahu bahwa setelah ibadah wuquf di Arafah dalam ibadah haji Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk Istighfar? Allah Ta’ala berfirman:ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:199).
  • Tahukah Anda hikmah disyari’atkan zakat fithri -di masyarakat kita dikenal dengan zakat fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam haditsعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ  مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ“Diriwatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu termasuk sedekah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
    Zakat fithri disyari’atkannya pada akhir Ramadhan setelah sekian banyak ketaatan sudah dilakukan oleh seorang hamba selama dua pertiga bulan Ramadhan. Ini isyarat bagi kita agar setelah kita melakukan berbagai macam ketaatan sesudah Ramadhan, tidak tertipu dengan ketaatan yang telah berhasil kita lakukan, bahkan justru mengingat kekurangan-kerungan kita dalam beribadah.
  • Tidakkah kita sadar setelah melaksanakan dua pertiga keta’atan pada bulan Ramadhan berupa shalat wajib,puasa, shalat Tarawih, baca Al-Qur’an dan lainnya, kemudian saat lailatulqadar, apakah yang kita ucapkan?اللهم إنك عفوٌّ  تُحبُّ العفوَ فاعفُ عني“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai maaf, maka maafkanlah kesalahanku” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, lihat: Shahih At-Tirmidzi).
  • Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan Rasul-Nya untuk beristigfar setelah menyelesaikan mayoritas tugas akbarnya menyampaikan risalah dakwah,sebagaimana dalam surat An-Nashr! Allah berfirman,إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ(1)Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا(2)dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا(3)maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

Ulama menjelaskan bahwa demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bagaimana selayaknya kondisi seorang hamba tiap selesai melaksanakan ibadah, tidak tertipu dengan ibadah yang dilakukan, bahkan disyari’atkan bagi kita untuk menutup amal salih dengan istighfar.

Setiap hari hendaknya kita beristighfar kepada Allah dari segala dosa yang kita lakukan. Syari’at istighfar ini tidak hanya dilakukan setelah ibadah yang terkait dengan penunaian hak Allah, namun juga termasuk keta’atan lain berupa ihsan kepada sesama manusia dan membantu manusia dalam kebaikan. Hikmahnya adalah agar tidak ada perasaan ujub atau merasa berbangga dengan jasa dan prestasi kebaikan, menganggap suci diri, sombong, dan silau dengan amal yang telah dilakukan, baik amal tersebut terkait dengan pemenuhan hak Allah maupun terkait dengan hak manusia.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26151-sikap-hamba-allah-seusai-ramadhan-1.html

Hadits Arbain #03: Rukun Islam dan Meninggalkan Shalat

Ini penjelasan rukun Islam, sekaligus ada pelajaran tentang hukum meninggalkan shalat. Kita bisa pahami dari hadits #03 dari Arbain An-Nawawiyah berikut ini.

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ “

Dari Abu  ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16]

Faedah:

  1. Islam diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang memiliki tiang pokok yang lima.
  2. Bersyahadat “laa ilaha illallah” berarti bersaksi dan mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.
  3. Menegakkan shalat yang dimaksud adalah mengerjakan shalat dengan memenuhi rukun dan syaratnya.
  4. Menunaikan zakat artinya mengeluarkan dan memberikannya pada yang berhak menerima.
  5. Seseorang tidak disebut berislam hingga ia mengimani lima rukun Islam yang ada. Siapa yang mengingkari salah satunya, ia kafir. Siapa yang meninggalkannya dalam rangka meremehkan, ia termasuk orang fajir.
  6. Shalat adalah amalan badaniyah (anggota badan), zakat adalah amalan maliyah (terkait harta).
  7. Shalat adalah amalan anggota badan dengan bentuknya mengerjakan, sedangkan puasa adalah amalan anggota badan yang sifatnya menahan diri dan meninggalkan sesuatu.
  8. Haji adalah amalan badaniyah dan maliyah bagi orang yang butuh melakukan perjalanan.
  9. Semua bentuk rukun Islam tidak lepas dari tiga hal: (1) badzlul mahbub (mengeluarkan sesuatu yang dicintai) seperti pada zakat; (2) al-kaffu ‘anil mahbub (menahan sesuatu yang dicintai) seperti pada puasa; (3) ijhadul badan (berjuang dengan badan) seperti pada puasa dan haji.
  10. Kenapa rukun Islam hanya disebut lima saja tidak ada lainnya? Jawabnya, karena hukum syari’at ini ada yang wajib dan ada yang sunnah. Perkara yang sunnah tentu tidak jadi bagian dari rukun. Sedangkan perkara yang wajib itu ada dua macam yaitu wajib kifayah dan wajib ‘ain. Contoh wajib kifayah adalah amar makruf nahi mungkar dan berdakwah. Sedangkan yang disebut dalam rukun Islam, ada kewajiban yang terkait harta seperti pada zakat, ada kewajiban yang terkait badan seperti mengerjakan shalat; ada kewajiban yang terkait badan dan harta seperti haji; dan ada kewajiban yang terkait lisan seperti syahadat.

Meninggalkan Syahadat dan Iman

Dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, yang dimaksud dengan hadits di atas, Islam itu dibangun di atas lima perkara seperti tiang untuk suatu bangunan.

Juga yang dimaksud dengan tiang tersebut adalah tiang pokok artinya kalau tidak ada tiang tersebut, tidak mungkin berdiri suatu bangunan. Adapun selain rukun Islam tadi adalah bagian penyempurna. Artinya, jika penyempurna tersebut tidak ada berarti ada kekurangan pada bangunan tersebut. Namun itu berbeda kalau tiang pokoknya tadi tidak ada.

Jelas, Islam seseorang jadi batal jika semua rukun Islam tadi tidak ada. Ini tak ada lagi keraguan. Begitu pula ketika dua kalimat syahadatnya tidak ada, Islam juga jadi hilang. Yang dimaksud dua kalimat syahadat ini adalah keimanan pada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam riwayat lain disebutkan,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ إِيمَانٍ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَالصَّلاَةِ الْخَمْسِ ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ ، وَأَدَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ الْبَيْتِ

Islam itu dibangun di atas lima perkara: beriman pada Allah dan Rasul-Nya; mendirikan shalat lima waktu; berpuasa Ramadhan; menunaikan zakat; dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Bukhari, no. 4514)

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan mentauhidkan Allah,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ

Islam dibangun di atas lima perkara: mentauhidkan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; berpuasa Ramadhan; dan haji.” (HR. Muslim, no. 16)

Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ …

Islam dibangun di atas lima perkata: hanya Allah yang disembah dan sesembahan selain Allah diingkari ….” (HR. Muslim, no. 16) (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:145)

Meninggalkan Shalat Dihukumi Kafir

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, no. 2621 dan An-Nasa’i, no. 464. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Orang yang Lupa Saja Tetap Harus Shalat

Sebagai tanda mulianya shalat, saat lupa atau ketiduran (asalkan bukan kebiasaan) tetap dikerjakan saat ingat atau tersadar.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” (HR. Bukhari, no. 597; Muslim, no. 684)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.”    (HR. Muslim, no. 684)

Moga Allah beri taufik dan hidayah.

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:247-249.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Nuzhah Al-Muttaqin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Dr. Musthafa Al-Bugha, dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. hlm. 418.
  4. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. hlm. 95-98.
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya. hlm. 42.

Referensi Terjemahan:

Meninggalkan Shalat, Lebih Parah daripada Selingkuh dan Mabuk. Cetakan Pertama, Tahun 1438 H. Muhammad Abduh Tuasikal. Penerbit Rumaysho.

Disusun di Perpus Rumaysho, 16 Jumadal Ula, Jumat sore

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/17123-hadits-arbain-03-rukun-islam-dan-meninggalkan-shalat.html