Fenomena “FOMO” di Kalangan Kaum Muslimin

Salah satu yang menjadi perbincangan anak-anak muda zaman sekarang adalah fenomena FOMO atau Fear of Missing Out. Yaitu kekhawatiran atau kecemasan yang dialami seseorang jika ia kehilangan momen atau informasi tertentu. Ia selalu merasa tertinggal bahwa kehidupan orang lain (terutama di media sosial) akan lebih berwarna dibanding kehidupannya sendiri. Sehingga ia khawatir, jika tidak mengetahuinya lebih cepat, akan membuatnya tidak terlihat keren atau bahagia.

Yang menjadi pertanyaan, apakah fenomena seperti ini dibenarkan dalam Islam? Tentu saja terminologi FOMO baru dikenal di zaman ini dan bukan termasuk terminologi syar’i. Sehingga, menghukuminya dengan hukum syar’i itu membutuhkan pengamatan yang mendalam. Terlebih ketika FOMO hanya menjadi gejala dan bukan aksi yang nyata dari pelakunya.

Hanya saja, penulis akan berusaha menghadirkan beberapa nasihat terkait FOMO berdasarkan aksi yang dilakukan oleh seseorang atau yang berdekatan dengannya:

FOMO dalam hal ibadah

FOMO dalam hal ibadah bisa saja terjadi di kalangan kaum muslimin. Mengingat ketika seseorang membangun dasar ibadahnya pada sekedar ikut-ikutan semata dan tidak dilandasi oleh dalil, maka ke-fomo-annya akan mencelakai dirinya. Sebagaimana ketika Allah ‘Azza Wajalla menggambarkan orang-orang musyrik yang enggan mengikuti perintah Allah hanya gegara ia khawatir keluar dari kebiasaan nenek moyangnya,

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ

Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami.’ Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?!” (QS. Al-Baqarah: 170)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan,

فاكتفوا بتقليد الآباء، وزهدوا في الإيمان بالأنبياء

Mereka memilih untuk ikut dengan nenek moyang mereka dan enggan untuk beriman kepada para nabi.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 81)

FOMO yang demikian sangat tegas dilarang di dalam Islam. Perasaan tidak enakan pada orang sekitar meskipun terhormat kemudian mengabaikan tuntunanlah yang menjadikan sebagian kaum muslimin terjerumus ke dalam keburukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari beribadah tanpa tuntunan dari beliau,

مَن عَمِلَ عَمَلًا ليسَ عليه أمْرُنا فَهو رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintah dari kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

FOMO dalam hal muamalah

Ketika membelanjakan harta

Hal ini bisa saja terjadi, seperti ketika seorang muslim harus mengeluarkan banyak uang untuk berbelanja hal-hal yang sebenarnya tidak ia butuhkan hanya gara-gara ia takut melewatkan momen diskon dari market place. Padahal, Islam secara tegas melarang orang Islam untuk berlaku boros. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza Wajalla,

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra’: 26)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

لأن الشيطان لا يدعو إلا إلى كل خصلة ذميمة فيدعو الإنسان إلى البخل والإمساك فإذا عصاه، دعاه إلى الإسراف والتبذير. والله تعالى إنما يأمر بأعدل الأمور وأقسطها ويمدح عليه

Karena setan tidaklah mengajak manusia kecuali ke arah tindakan yang tercela. Maka, setan mengajak untuk bakhil dan kikir. Jika gagal, mereka akan mengajak manusia untuk bersikap berlebih-lebihan dan boros. Dan Allah taala senantiasa memerintahkan kepada sikap pertengahan dan memuji pelakunya.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 456)

Kita bisa melihat bagaimana kaum muslimin di zaman sekarang dengan derasnya arus informasi, seringkali menjadi kalap untuk check out (membeli) segala macam barang yang sebenarnya tidak ia butuhkan dalam kehidupannya.

Ketika berurusan dengan aib sesama muslim

Ada hal yang jauh lebih buruk dari sikap FOMO seorang muslim, yakni ketika ia merasa perlu atau harus untuk nimbrung dalam obrolan yang menyangkut aib seorang muslim. Saat media sosial membahas si A, ia khawatir ketinggalan sehingga menghabiskan waktunya di media sosial demi mengorek aib-aib si A, bahkan menambahkannya.

Padahal kewajiban seorang muslim adalah menghindari majelis-majelis yang di dalamnya terdapat kemaksiatan atau pengulitan terhadap aib muslim yang lain. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan,

لا يجوز للإنسان أن يجلس في مجلس يكون فيه غيبة ونميمة، إلا إذا كان يريد أن يمنعهم من ذلك ويتمكن منه، فحينئذ يحضر وينهاهم عن هذا المنكر؛ لعل الله يهديهم على يده، إما إذا كان لا يستطيع تغيير المنكر فإنه لا يحل له أن يجلس إلى أهله

Seseorang tidak diperkenankan untuk hadir (ikut-ikutan nimbrung) di majelis yang di dalamnya terdapat gibah dan namimah. Kecuali jika ia bermaksud mencegah mereka melakukan hal tersebut dan ia dimungkinkan mampu melakukannya, maka ia menghadirinya dan melarang mereka dari perbuatan munkar. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka atas perantara dia. Adapun jika tidak sanggup mengubah kemungkaran, maka tidak boleh nimbrung di majelis tersebut.” (https://binothaimeen.net/content/10998)

FOMO seorang pelajar ilmu syar’i

Di antara fenomena yang penulis tangkap tentang FOMO yang dialami oleh sebagian penuntut ilmu adalah mereka terburu-buru dan rakus dengan materi yang dipelajari sehingga menjadikan mereka tidak fokus. Bentuk FOMO ini pun beragam. Ada yang terburu-buru menghafal karena merasa tertinggal sangat jauh dengan kawannya. Ada pula yang terburu-buru mempelajari sebuah kitab padahal belum waktunya, dan lain-lain.

Az-Zuhri rahimahullahu mengatakan,

لا تأخذ العلم جملة، فإن من رام أخذه جملة ذهب عنه جملة ولكن الشيء بعد الشيء مع الليالي والأيام

Jangan engkau ambil ilmu (langsung banyak) sekaligus! Karena orang yang mengambil ilmu (langsung banyak) sekaligus, maka akan berpotensi kehilangan semuanya sekaligus. Namun, sedikit demi sedikit beriringan dengan perjalanan waktu.” (Jami Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 431)

Dan kekhawatiran lain yang juga dialami oleh para penuntut ilmu adalah ia merasa harus mengikuti update media sosial setiap saat. Sehingga gawai yang semestinya ia hanya gunakan ketika ada perlunya saja, menjadi terus menerus berada di tangannya. Padahal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama pernah bersabda,

مِن حُسنِ إسلامِ المرءِ تَرْكُه ما لا يعنيه

Di antara indikator kebaikan seorang muslim adalah saat ia mampu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 3024 dan diperselisihkan keabsahannya)

Fenomena-fenomena FOMO tersebut hanya sebagai pendekatan gambaran saja bahwa kekhawatiran seorang muslim terhadap hal-hal yang berada di media sosial menjadi sesuatu yang perlu untuk disadari segera sebelum terlalu jauh terjebak dan menjadikannya sebagai hamba yang waktunya sia-sia.

Wallahu a’lam

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86989-fenomena-fomo-di-kalangan-kaum-muslimin.html

5 Alasan Babi Haram Dikonsumsi Ini Bantah Wanita Berjilbab Pembuat Totorial yang Viral

Babi merupakan salah satu hewan yang haram dimakan Muslim

Dalam video yang diunggah di akun TikTok @gondrong040681 dan diunggah ulang di berbagai platform media sosial menunjukkan, seorang wanita diduga berusia 40-an tahun memakai kerudung bunga-bunga dan kacamata hitam membuat tutorial memakan babi.  

Tidak diketahui ingin membuat konten lucu atau sengaja menghina Islam, wanita tersebut membeberkan cara makan babi dengan halal menurut Islam.

Wanita itu mengaku dirinya adalah seorang muslimah yang bernama Dewi Bulan. “Kita mulai bagaimana praktek makan babi tetap halal dan ada etikannya. Baca Bismillahirohmanirohim terlebih dahulu,” kata wanita tersebut dengan percaya dirinya dalam video yang diunggah di akun TikTok  @gondrong040681, dikutip Republika di Jakarta pada Selasa (22/8/2023).

Unggahan tersebut tentu mencederai ajaran Islam. Islam melarang konsumsi babi dan segala turunannya. Mengapa babi haram dimakan?

Mengenai alasan di balik larangan babi, Presiden Islamic Research Foundation Mumbai, Zakir Naik, menjelaskan beberapa alasan ilmiah dan nash syari sebagai berikut:

Pertama, konsumsi daging babi menyebabkan berbagai penyakit. Non-Muslim dan ateis lainnya akan setuju hanya jika diyakinkan melalui akal, logika, dan sains. Makan daging babi dapat menyebabkan tidak kurang dari tujuh puluh jenis penyakit yang berbeda. 

Seseorang bisa terkena berbagai macam cacing, seperti cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan lain sebagainya. Salah satu yang paling berbahaya adalah Taenia Solium, yang dalam istilah awam disebut cacing pita.   

Mereka akan bertahan di usus dan sangat panjang. Ovumnya, yaitu telur, memasuki aliran darah dan dapat mencapai hampir semua organ tubuh.

Jika masuk ke otak, cacing ini bisa menyebabkan kehilangan memori. Jika masuk ke jantung, bisa menyebabkan serangan jantung. 

Dan jika masuk ke mata, bisa menyebabkan kebutaan. Jika memasuki hati, dapat menyebabkan kerusakan hati. Dapat merusak hampir semua organ tubuh. 

Cacing lain yang berbahaya adalah Taenia Trichuriasis. Kesalahpahaman umum tentang daging babi adalah jika dimasak dengan baik, telur ini akan mati. 

Dalam sebuah proyek penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukan bahwa dari 24 orang yang menderita Taenia tichurasis, 22 orang telah memasak daging babi dengan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa sel telur yang ada dalam daging babi tidak mati di bawah suhu memasak normal. 

Kedua,  kandungan lemak yang lebih banyak. Daging babi memiliki kandungan untuk massa otot sangat sedikit dibandingkan kandungan lemak yang berlebih. Lemak ini akan disimpan di pembuluh dan dapat menyebabkan hipertensi dan serangan jantung. 

Ketiga, babi adalah salah satu hewan paling kotor di bumi. Dia hidup dan berkembang biak di atas kotoran. Di desa-desa mereka tidak memiliki toilet modern dan penduduk desa buang air besar di udara terbuka. Sangat sering kotoran dibersihkan oleh babi. 

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa di negara maju seperti Australia, babi dibiakkan dalam kondisi yang sangat bersih dan higienis. Bahkan dalam kondisi higienis seperti ini, babi-babi itu dipelihara bersama dalam kandang.  

Tidak peduli seberapa keras Anda mencoba untuk menjaga mereka tetap bersih, mereka pada dasarnya kotor. Mereka makan dan menikmati kotoran mereka sendiri dan juga kotoran kawanan mereka.

Keempat, yang tentu mendasar adalah keharaman babi diabadikan secara jelas dalam Alquran. 

Allah ﷻ mengharamkan Babi untuk dikonsumsi. Poin-poin berikut menjelaskan berbagai aspek larangan babi. 

Alquran melarang konsumsi daging babi di tidak kurang dari empat ayat  yang berbeda. Larangan babi disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3, Al Anam ayat  145, dan An Nahl ayat 115. Sebagai contoh dalam surat Al Maidah ayat 3 disebutkan:  

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ  اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik.

Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. 

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. 

Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”

ISLAMDIGEST REPUBLIKA

Sangat Beruntung, Ada Lima Anugerah dari Allah Disiapkan Untuk Manusia  

Allah telah mempersiapkan tambahan kenikmatan bagi seseorang.

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni di dalam kitab Nashaihul Ibad menyampaikan sebuah riwayat dari Nabi Muhammad SAW mengenai lima anugerah atau pemberian dari Allah SWT untuk umat manusia. Betapa beruntungnya manusia jika mengetahui lima anugerah dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang ini.  

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah tidak memberikan lima kepada seseorang kecuali telah mempersiapkan lima perkara lainnya. Allah tidak memberikan syukur kepadanya, kecuali telah menyiapkan tambahan baginya. Allah tidak memberikan doa kepadanya, kecuali telah menyiapkan untuknya ijabah (pengabulan). Allah tidak memberikan kepadanya istighfar, kecuali telah menyiapkan baginya ampunan. Allah tidak memberikan untuknya tobat, kecuali telah menyiapkan penerimaan taubat baginya. Allah tidak memberikan kepadanya sedekah, kecuali Dia telah menyiapkan penerimaan sedekah itu.” (Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi al-Banteni)

Mengenai penjelasan dalam sabda Rasulullah SAW tersebut. Pertama, Allah telah mempersiapkan tambahan kenikmatan bagi seseorang, sebelum seorang itu bersyukur kepada-Nya. Sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Firman-Nya.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Surat Ibrahim Ayat 7)

Kedua, berkaitan dengan dikabulkannya sebuah doa, Allah SWT telah berfirman.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Surat Al-Mu’min Ayat 60)

Dalam sebuah riwayat Imam Thabrani juga diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu jiwa yang tenang serta mengimani terjadinya perjumpaan dengan-Mu, rela menerima keputusan-Mu dan qana’ah kepada pemberian-Mu.”

Ketiga, mengenai ampunan yang telah disediakan oleh Allah SWT sebelum hamba itu memohon ampun kepada-Nya. Allah telah berfirman.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (Surat An-Nasr Ayat 3)

Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah juga diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seandainya kamu berbuat kesalahan hingga kesalahan-kesalahanmu itu setinggi langit, kemudian kamu bertobat, niscaya Allah akan menerima taubatmu.”

Keempat, mengenai diterimanya taubat maka Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut.

“Sebelum dunia diciptakan 4.000 tahun lagi, telah tertulis di sekeliling Arsy, sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, kemudian ia mendapatkan petunjuk.” (HR Ad Dailami)

Kelima, mengenai diterimanya sedekah, Imam Ahmad telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut.

“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya hingga hisab antara sesama manusia selesai.”

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Laal juga telah diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut.

“Tidaklah seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah semata-mata mengharapkan ridha Allah melainkan Allah berfirman pada hari kiamat nanti, ‘Hai hamba-Ku, kamu mengharapkan pahala-Ku maka Aku tidak akan merendahkanmu, Aku mengharamkan neraka atas tubuhmu dan masuklah kamu ke surga dari pintu mana saja yang kamu sukai’.”

Penjelasan ini dilansir dari kitab Nashaihul Ibad yang diterjemahkan Abu Mujaddidul Islam Mafa dan diterbitkan Gitamedia Press, 2008.

IQRA REPUBLIKA

Keistimewaan Zikir Kalimat Hauqolah yang Luar Biasa

Zikir Kalimat Hauqolah menenangkan hati yang mengamalkannya.

Di antara kalimat istimewa yang diajarkan dalam Islam, yakni kalimat hauqolah, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah”. Banyak nas yang menjelaskan keistimewaan kalimat mulia yang satu ini. 

“Ada hadits-hadits yang menyebutkan keistimewaan kalimat ini berbarengan dengan empat kalimat mulia lainnya, yakni tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Ada pula hadits-hadits yang menyebutkan keistimewaan kalimat hauqolah secara khusus,” kata Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustaz Abdullah Zaen Lc.,MA melalui pesan Telegram.

Berikut beberapa hadits yang menyebutkan keistimewaan kalimat hauqolah berbarengan dengan empat kalimat mulia lainnya:

1. Menghapuskan dosa-dosa

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“مَا عَلَى الْأَرْضِ رَجُلٌ يَقُولُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، إِلَّا كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوبُهُ، وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ”

“Tidaklah seorang di muka bumi mengucapkan la ilaha illallah, Allahu akbar, subhanallah, alhamdulillah dan la haula wa la quwwata illah billah; melainkan dosa-dosanya akan diampuni, walaupun lebih banyak dibanding buih di lautan”. HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahaby.

2. Memenuhi tangan hamba dengan kebaikan

Ibnu Abi Aufa radhiyallahu’anhu bertutur,

أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي لَا أَقْرَأُ الْقُرْآنَ، فَمُرْنِي بِمَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ!”، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “قُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَسُبْحَانَ اللهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ”. قَالَ: فَقَالَهَا الرَّجُلُ: وَقَبَضَ كَفَّهُ، وَعَدَّ خَمْسًا مَعَ إِبْهَامِهِ، فَقَالَ: “يَا رَسُولَ اللهِ، هَذَا لِلَّهِ تَعَالَى فَمَا لِنَفْسِي؟” قَالَ: “قُلْ: “اللهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَعَافِنِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي” . قَالَ: فَقَالَهَا وَقَبَضَ عَلَى كَفِّهِ الْأُخْرَى، وَعَدَّ خَمْسًا مَعَ إِبْهَامِهِ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ وَقَدْ قَبَضَ كَفَّيْهِ جَمِيعًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَقَدْ مَلَأَ كَفَّيْهِ مِنَ الْخَيْرِ”.

“Suatu hari ada seseorang datang kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak bisa membaca al-Qur’an. Ajarkan padaku bacaan yang bisa menggantikan al-Qur’an (saat aku shalat)”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Bacalah alhamdulillah, subhanallah, la ilaha illallah, Allahu akbar, la haula wa la quwwata illa billah”. Maka lelaki mengucapkan kalimat tersebut sambil menggenggam telapak tangannya dan menghitung lima dengan jari-jarinya. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini yang untuk Allah. Yang untuk diriku mana?”. Nabi menjawab, “Ucapkanlah: Allôhummaghfirlî, warhamnî, wa ‘âfinî, wahdinî, warzuqnî (Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, sehatkanlah aku, berilah aku petunjuk dan karuniakanlah padaku rizki)”. Maka lelaki tersebut menggenggam telapak tangannya yang satunya sembari menghitung lima dengan jari-jarinya. Kemudian ia pergi sambil menggenggam kedua telapak tangannya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun berkomentar, “Sungguh ia telah memenuhi kedua tangannya dengan kebaikan”. HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Arna’uth.

Terdapat nas yang menjelaskan keistimewaan dari kalimat hauqolah, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah”. Salah satunya di antaranya menjadi amal yang berpahala abadi.

“Terutama nas-nas yang menyebutkan keistimewaan kalimat ini berbarengan dengan empat kalimat mulia lainnya, yakni tasbih, tahmid, tahlil dan takbir,” kata Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustaz Abdullah Zaen Lc.,MA melalui pesan Telegram.

Berikut di antara Keutamaan kalimat Hauqolah:

3. Kalimat hauqolah merupakan salah satu amal salih yang berpahala abadi

Allah ta’ala berfirman,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi al-bâqiyat ash-shâlihat (amal salih yang berpahala abadi) lebih baik di sisi Allah pahalanya dan harapannya”. QS. Al-Kahfi ayat 46.

Ayat di atas menjelaskan bahwa harta dan anak tidaklah kekal. Yang akan bermanfaat dan kekal untuk manusia adalah al-bâqiyât ash-shâlihât.

Al-bâqiyât ash-shâlihât adalah seluruh amal ketaatan, baik yang hukumnya wajib maupun yang sunnah. Entah itu yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak para hamba-Nya. (Tafsîr as-Sa’diy)

Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan hauqolah. Demikian penafsiran yang disampaikan beberapa sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Seperti Utsman bin Affan dan Ibnu Umar radhiyallahu’anhum.

Di atas adalah sebagian nas yang menyebutkan keistimewaan kalimat ini berbarengan dengan empat kalimat mulia lainnya, yakni tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan keistimewaan kalimat hauqolah secara khusus, antara lain: 

4. Kalimat hauqolah merupakan salah satu harta karun surga

Abu Musa al-Asy’ary radhiyallahu’anhu bertutur,

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا”. ثُمَّ أَتَى عَلَيَّ وَأَنَا أَقُولُ فِي نَفْسِي لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ فَقَالَ: “يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ”

“Pada suatu hari kami bepergian bersama dengan nabi shallallahu’alaihiwasallam. Setiap kali melewati jalan menanjak kami bertakbir (dengan suara keras). Maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun bersabda, “Wahai para manusia, kasihanilah diri kalian. Sungguh kalian tidaklah sedang memanggil dzat yang tuli atau sesuatu yang tidak ada. Namun kalian sedang memanggil Dzat Yang Maha mendengar dan Maha melihat!”. Kemudian beliau mendatangiku, dan saat itu aku sedang membaca dengan lirih, “La haula wa la quwwata illa billah”. Maka beliaupun berkata, “Wahai Abdullah bin Qais, ucapkanlah La haula wa la quwwata illa billah. Sungguh ia merupakan salah satu harta karun surga”. HR. Bukhari dan Muslim. 

Dalam hadits di atas Nabi shallallahu’alaihiwasallam ingin menjelaskan berbagai amal salih kepada para sahabatnya. Saat beliau melihat mereka mengerjakan amal salih, yakni takbir, beliau menginginkan mereka agar menambahkan amal salih lainnya. Yaitu mengucapkan kalimat hauqolah.

IQRA REPUBLIKA

Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 3)

Renungan ketika sujud (lanjutan)

Oleh karena itu, termasuk di antara kesempurnaan sujud yang wajib adalah bersujud dengan meletakkan tujuh anggota badan: 1) wajah, 2) dua telapak tangan, 3) dua lutut, 4) dan ujung jari dua kaki. Inilah kewajiban yang Allah Ta’ala perintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sedangkan di antara kesempurnaan sujud yang sunah adalah menempelkan langsung bagian wajah ke tempat sujud, sehingga bagian kepala menekan ke tempat sujud. Bagian yang paling rendah (yaitu, pantat) menjadi bagian yang paling tinggi.

Kesempurnaan sujud yang sunah lainnya adalah meletakkan anggota badan dalam posisi yang penuh dengan ketundukan. Yaitu, dia dekatkan perut dengan paha, paha dengan betis, dijauhkan tangan dari lambung, dan tidak meletakkannya di lantai (yaitu dengan diangkat). Sehingga setiap anggota badan tersebut dapat merealisasikan ‘ubudiyyah sesuai dengan porsinya masing-masing.

Oleh karena itu, ketika setan melihat manusia bersujud kepada Allah Ta’ala, dia pun menyingkir dan menangis, sambil berkata,

يَا وَيْلَهُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ يَا وَيْلِي أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِي النَّارُ

Celakalah aku, manusia disuruh bersujud, maka mereka pun bersujud sehingga mendapatkan surga. Sedangkan aku disuruh bersujud, lalu aku enggan, sehingga aku pun mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tersungkur bersujud kepada-Nya ketika mendengar kalam-Nya. Dan Allah mencela orang yang tidak bersujud ketika mendengar kalam-Nya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan wajibnya sujud ketika itu lebih kuat dari sisi pendalilan. Demikian pula, ketika tukang sihir Fir’aun mengetahui benarnya Musa ‘alaihis salam dan kedustaan Fir’aun, mereka pun tersungkur bersujud kepada Allah Ta’ala. Sehingga sujud mereka menjadi pembuka keselamatan dan kebahagiaan, dan menjadi sebab ampunan perbuatan sihir yang mereka lakukan sebelumnya.

Allah Ta’ala pun mengabarkan sujudnya seluruh makhluk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِن دَآبَّةٍ وَالْمَلآئِكَةُ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl: 49-50)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengabarkan tentang keimanan mereka bahwa Allah adalah Zat yang Mahatinggi, juga Allah kabarkan ketundukan mereka dengan bersujud kepada-Nya dengan penuh pengagungan dan pemuliaan.

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Tidakkah engkau mengetahui bahwa bersujud kepada Allah siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi, juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, hewan melata, dan kebanyakan manusia? Akan tetapi, banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Siapa yang dihinakan Allah tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sesungguhnya Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18)

Orang-orang yang berhak mendapatkan azab adalah mereka yang tidak mau bersujud kepada-Nya. Mereka itulah yang Allah Ta’ala hinakan karena tidak mau bersujud kepada-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memuliakan mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُم بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ

Hanya kepada Allahlah siapa saja yang ada di langit dan di bumi bersujud, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa. (Bersujud pula kepada-Nya) bayang-bayang mereka pada waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar-Ra’d: 15)

Merealisasikan ‘ubudiyyah merupakan puncak kesempurnaan seorang hamba. Kedekatan seorang hamba kepada Allah itu sebanding dengan seberapa besar hamba tersebut merealisasikan ‘ubudiyyah kepada-Nya. Salat merupakan amal yang menyatukan seluruh perkara ‘ubudiyyah, sehingga merupakan salah satu amal ibadah yang paling utama. Kedudukan salat di dalam Islam itu bagaikan tiang dalam sebuah bangunan. Adapun sujud, dia merupakan rukun salat yang paling afdal. Sujud merupakan rukun yang paling banyak diulang ketika seseorang mendirikan salat. Sujud juga merupakan penutup setiap rakaat salat. Sujud disyariatkan setelah rukuk, sehingga rukuk bagaikan pendahuluan sebelum sujud.

Ketika sujud, Allah Ta’ala syariatkan untuk membaca zikir yang sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu ucapan zikir,

سبحان ربي الأعلى

Mahasuci Allah, Zat Yang Mahatinggi.

Inilah zikir yang paling afdal diucapkan ketika sujud. Tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan secara langsung untuk membaca lafaz zikir yang lain selain lafaz tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ

Jadikanlah ia sebagai bacaan sujud kalian.” (HR. Ahmad no. 17414, Abu Dawud no. 869, dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Dawud no. 152)

Kita memuji Allah dengan menyebut salah satu sifat Allah yang mulia, yaitu “Al-‘Uluw” (Zat yang Mahatinggi), dalam kondisi bersujud tersebut. Penyebutan sifat itu sangat sesuai dengan kondisi orang yang bersujud, ketika mereka menjatuhkan diri ke posisi paling rendah dengan bertumpukan wajahnya. Mereka menyebut sifat Al-‘Uluw ketika berada dalam posisi yang paling rendah. Sebagaimana mereka menyebutkan keagungan Allah Ta’ala ketika dalam posisi rukuk. Mereka pun menyucikan Allah dari segala sifat yang bertentangan dengan keagungan dan ketinggian-Nya.

Renungan ketika duduk di antara dua sujud

Ketika sujud disyariatkan untuk diulang sebanyak dua kali pada setiap rakaat, maka tentu harus ada jeda (pemisah) antara sujud pertama dan sujud kedua. Dalam duduk di antara dua sujud tersebut, disyariatkanlah doa yang sesuai, yaitu doa permintaan ampunan, rahmat, hidayah, ‘afiyah (keselamatan atau kesehatan), dan rezeki. Sehingga dalam doa ini terkandung permintaan untuk meraih semua kebaikan di dunia dan di akhirat, serta menghindarkan diri dari keburukan dunia dan akhirat.

Dengan rahmat Allah, seseorang akan mendapatkan semua bentuk kebaikan. Dengan ampunan Allah, seseorang akan terjaga dari semua bentuk keburukan. Dengan hidayah, seseorang akan mendapatkan kedua hal tersebut. Sedangkan rezeki merupakan sesuatu yang dapat menegakkan badan, baik berupa makanan dan minuman, dan juga sesuatu yang dapat menghidupkan hati dan ruh seseorang, baik berupa ilmu dan iman. Oleh karena itu, duduk di antara dua sujud merupakan tempat untuk memanjatkan doa ini, yang sebelumnya sudah didahului dengan sanjungan dan pujian untuk Allah Ta’ala, serta ketundukan kepada-Nya. Sehingga semua itu merupakan sarana dan muqaddimah (pendahuluan) untuk menyampaikan doa permintaan tersebut.

Kembali ke bagian 2: Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 2)

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 13 Muharram 1445/ 31 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhim Ash-Shalat hal. 98-100, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86834-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-3.html

Jangan Membuat Orang Alergi Terhadap Agama

Artikel ini akan membahas tentang jangan membuat orang alergi terhadap agama. Diriwayatkan oleh sahabat Abi Mas’ud. Pada suatu hari ada seorang laki-laki datang kepada Kanjeng Nabi mengajukan komplain (keberatan). Laki-laki itu berkata kepada Kanjeng Nabi: “Saya sekarang tidak mau lagi ikut shalat subuh karena imamnya lama sekali ketika shalat.” Begitu mendengar komplain laki-laki itu, seketika Kanjeng Nabi langsung marah.

Saking marahnya, hingga kemudian Abi Mas’ud mengatakan: “Aku tidak pernah melihat Kanjeng Nabi marah seperti marahnya beliau pada saat itu.” Namun, setelah Kanjeng Nabi marah, beliau kemudian beliau memberikan nasihat sambil berdiri, beliau bersabda:

“Wahai manusia sesungguhnya di antara kalian ini ada orang yang membuat orang lain lari dari agama. Karena itu, jika kalian menjadi imam salat maka percepatlah. Karena dibelakang imam (makmum) barangkali ada orang yang mempunyai hajat, ada orang tua, anak kecil yang tidak bisa mengikuti atau berlama-lama dengan kepanjangan shalat.”

Salah satu ajaran dari Kanjeng Nabi adalah tidak membuat orang lain lari dari agama. Sekali lagi, jangan membuat orang lain lari dari agama (munaffirin) karena dengan panjangnya salat ketika kamu menjadi imam.

Diriwayatkan dari Sahabat Anas ra. ia berkata: “Aku tidak pernah salat dibelakang seseorang yang shalatnya lebih ringkas dari salatnya Kanjeng Nabi, tetapi sangat sempurna. Salat Kanjeng Nabi itu hampir sama saja panjangnya satu sama lain. Begitupun shalatnya Abu Bakar. Tetapi Umar Ibn Khattab lebih panjang shalatnya ketika shalat Subuh.” (HR. Muslim).

Shalatlah sebagaimana Kanjeng Nabi shalat yang tidak memberatkan terhadap orang lain. Terhadap diri sendiri (pada saat shalat sendirian seperti salat malam) kita boleh berlama-lama, akan tetapi jangan berlama-lama dalam shalat ketika menjadi imam. Khawatir ada makmum yang sudah lanjut usia dan lainnya.

Akan tetapi, jika engkau berlama-lama dalam salat ketika menjadi imam, maka seseorang akan lari dari kamu meninggalkanmu dan membenci agama. Karena itu, “siapa saja di antara kamu yang menjadi imam ketika salat, maka hendaklah memendekkan bacaan salatnya, karena siapa tau di belakangmu ada orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai hajat.”

Gus Ulil mengatakan, contohlah shalat Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Alwi Al-Maliki saat menjadi imam salat. Suatu waktu pada saat beliau mengimami shalat Maghrib, di rakaat pertama beliau membaca surah Al-Ikhlas, rakaat kedua membaca surah Al-Kausar. Tentu saja, beliau Sayyid Ahmad paham dan mengerti bahwa tidak semuanya jama’ah (makmum) mampu melakukan shalat dengan surah-surah yang panjang.

Penting dicatat, kata Gus Ulil, bahwa kecenderungan menjadi munaffirin itu selalu ada dalam sejarah Islam, dan hal ini sangat berlawanan dengan ajaran Kanjeng Nabi. Tak hanya itu, kecenderungan orang menjadi munaffirin juga membuat orang lain tidak suka akan agama. Kenapa sebab? Karena agama dibuat sulit dan susah. Dan hal-hal yang seperti ini selalu saja muncul dalam sepanjang sejarah Islam.

Kita tahu, di era modern seperti sekarang ini gejala-gejala serupa (munaffirin) kian marak terjadi. Salah satunya adalah gampang menganggap orang lain salah, sesat, murtad, hingga kafir mengkafirkan. Mereka beranggapan bahwa, seolah-olah yang berhak masuk surga hanya dia sendiri, sementara orang lain tidak berhak masuk surga.

Salah satu tokoh yang terkena gejala munaffirin ini adalah Al-Ghazali. Sekalipun dikafirkan, namun Al-Ghazali tidak tinggal diam. Justru Al-Ghazali menulis kitab Faishal Al-Tafriqah baina Al-Islami wa Al-Zandaqah. Adalah sebuah kitab toleransi yang mengajarkan agar umat Islam tidak mudah saling menyesatkan dan mengkafirkan antar sesama orang muslim.

Demikian penjelasan terkait jangan membuat orang alergi terhadap agama. Semoga cara kita beragama tidak membuat orang lain alergi terhadap agama. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Hoaks dalam Literatur Sejarah Islam: Mengungkap Realitas Zaman Modern

Dalam era informasi saat ini, kita tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa berita palsu atau hoaks telah menjadi ancaman nyata dalam literatur sejarah Islam. Melalui berbagai bentuk berita yang mengandung kebohongan, kedustaan, dan bahkan fitnah terhadap individu atau kelompok, hoaks telah mengacaukan pemahaman dan perspektif sejarah.

Zaman sekarang telah menyaksikan lonjakan drastis dalam penyebaran berita dan informasi melalui media sosial. Namun, kerentanannya terhadap manipulasi telah membuatnya menjadi sasaran empuk bagi para produsen hoaks. Lebih menyedihkannya lagi, masyarakat terkadang tanpa sadar ikut menyebarkan berita palsu ini, memicu penyebarannya secara masif tanpa memeriksa kebenarannya.

Akibat dari berita hoaks dapat sangat merugikan. Pertama, individu atau penyebar hoaks akan kehilangan kredibilitas dan kepercayaan. Dalam beberapa kasus, pelaku penyebar hoaks dapat terkena hukuman berat sesuai UU ITE, membawa konsekuensi penjara hingga 6 tahun dan denda miliaran rupiah.

Dampak kedua terasa bagi masyarakat secara keseluruhan. Hoaks dapat memicu perselisihan, ketidakharmonisan, bahkan dapat memecah belah persatuan dalam masyarakat, terutama jika berita tersebut berhubungan dengan isu politik atau SARA.

Meskipun kemajuan teknologi seperti smartphone telah memberikan kemudahan dalam akses informasi, namun jika tidak disertai kedewasaan dalam mengelolanya, dampak negatif justru dapat meluas. Fenomena ini menggambarkan bahwa memiliki akses ke peralatan teknologi canggih belum tentu diiringi oleh kemampuan penggunaannya dengan bijak.

Namun, bagaimana sebenarnya hoaks berperan dalam literatur sejarah Islam? Pada suatu kesempatan di Indonesia Lawers Club [ILC], Rocky Gerung mengungkapkan asal mula istilah hoaks dalam konteks ilmu pengetahuan. Alan Sokal, seorang profesor Fisika di Universitas New York, menulis artikel dalam Majalah Sosial Teks dengan nama samaran. Artikel tersebut, tanpa disadari, diulas dengan penuh pujian oleh redaktur tanpa memahami bahwa itu adalah kebohongan.

Lebih lanjut, Rocky Gerung menyoroti fungsi hoaks dalam kasus Alan Sokal, yang ternyata adalah untuk menguji pengetahuan redaktur majalah terkemuka tersebut. Ini memberikan pandangan bahwa istilah hoaks sebenarnya telah muncul lama sebelumnya, ketika Alan Sokal menguji tingkat pemahaman redaktur.

Tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan modern, hoaks juga telah disebutkan dalam al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Swt. mengungkapkan bahwa hoaks adalah alat bagi orang-orang munafik untuk mengganggu, menyesatkan, dan merusak. Namun, saat ini, berita palsu telah mencapai dimensi baru dengan aplikasi media sosial, yang kecepatannya melebihi jet tempur.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana umat Islam dapat menjadi pemenang dalam kancah dunia jika mereka terlibat dalam perang informasi dan fitnah? Jawabannya jelas: tidak mungkin. Oleh karena itu, era hoaks harus diakhiri. Kita harus menjadi individu bijak yang saling menguatkan dalam kebenaran.

Sebagai langkah konkret, penyebaran hoaks dapat diminimalisir dengan berpikir kritis, mengendalikan emosi, melakukan klarifikasi, dan memperluas wawasan. Al-Qur’an juga mengajarkan etika komunikasi yang baik, dengan menekankan pentingnya perkataan yang benar, baik, lemah lembut, mulia, dan baik. Kritis dalam menanggapi berita-berita yang tersebar, khususnya di media sosial, adalah langkah penting dalam menghadapi tantangan hoaks.

Dengan demikian, pemahaman mengenai hoaks dalam literatur sejarah Islam mengungkapkan kerentanannya di era modern ini. Dengan harapan bahwa penjelasan ini bermanfaat, mari kita berupaya bersama mengatasi tantangan hoaks demi kebenaran dan persatuan. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Kisah Kerendahan Hati dan Hikmah Bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq yang Tidak Pernah Menonjolkan Nasabnya

Dalam artikel ini, akan diulas kisah mengenai kerendahan hati dan pesan bijak yang diwariskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh yang selalu menunjukkan rendah hati dan tidak pernah membanggakan latar belakang keturunannya. Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Kelahirannya terjadi di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriah, dan beliau wafat pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriah.

Kisah kerendahan hati Imam Ja’far Ash-Shadiq yang telah diabadikan oleh Syekh Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya’ Juz 1, halaman 36, mengisahkan tentang momen berharga yang melibatkan beliau sebagai berikut:

Pada suatu hari, Syekh Daud At-Tha’i mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra keturunan Rasulullah, saya datang untuk meminta nasihat dari Anda”. Tanggapan Imam Ja’far Ash-Shadiq sungguh mengesankan, “Wahai Daud At-Tha’i, Anda sebenarnya tidak memerlukan nasihat dari saya, karena Anda adalah sosok yang terkenal karena kesederhanaannya di masa ini”.

Syekh Daud At-Tha’i melanjutkan, “Wahai putra keturunan Rasulullah, Anda memiliki derajat yang tinggi di mata banyak orang, doa Anda diijabah dengan cepat, dan Anda tetap kokoh dalam perbuatan baik”. Imam Ja’far Ash-Shadiq merespons dengan penuh kerendahan hati, “Wahai Daud At-Tha’i, saya khawatir bahwa saya tidak akan mampu meniru akhlak kakek saya”. Syekh Daud At-Tha’i menjawab, “Lalu siapa yang sebaiknya kita teladani dan jadikan teladan?”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

هذا ما يتم بالنسب الصحيح بل انما يتم بحسن المعاملة

Artinya: Urusan ini bukan disempurnakan dengan nasab yang shohih, akan tetapi urusan ini hanya bisa menjadi sempurna dengan muamalah yang baik.

Mendengar kata-kata bijak dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, Syekh Daud At-Tha’i meneteskan air mata sambil berkata, “Wahai Tuhan, ini adalah suatu keajaiban. Meskipun beliau memiliki hubungan dengan Nabi, beliau adalah seorang ahli argumen, cucu Rasulullah, dan keturunan dari Fatimah Az-Zahra. Siapakah saya? Saya tidak pantas untuk membanggakan amal saya”.

Syekh Fariduddin Attar menambahkan bahwa suatu kali Imam Ja’far Ash-Shadiq berkumpul bersama teman-teman dan budak-budaknya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Wahai keturunan Rasulullah, kami akan membutuhkan syafaatmu di hari kemudian, karena saudaramu akan memberikan syafaat di hari Kiamat”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

إني لأستحي من جدي أن أنظر اليه يوم القيامة مع هذه الأعمال

Artinya: Sesungguhnya aku sangat malu pada kakekku (Rosulullah) jika aku melihat beliau nanti dihari kiamat, sedangkan amalku masih seperti ini.

Hikmah yang dapat kita petik dari ucapan bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah bahwa kita tidak seharusnya membanggakan latar belakang keturunan kita. Kedepannya, yang mampu menyelamatkan kita adalah amal perbuatan kita, bukan asal-usul keturunan kita. Mereka yang terlalu memperhatikan keturunan cenderung lamban dalam beramal dan berbuat kebaikan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesan moral dari Imam Ja’far Ash-Shadiq mengajarkan bahwa kemuliaan tidaklah terletak pada asal-usul keturunan. Wallahu A’lam Bissawab.”

BINCANG SYARIAH

Ada Kemudahan

Bismillah.

Segala puji dan syukur sudah sepantasnya kita tujukan kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita. Betapa besar kebutuhan kita sebagai manusia kepada Allah dan ibadah kepada-Nya. Tidak ada satu pun kebaikan melainkan Allah yang menguasainya, dan tidak pula tertolak marabahaya kecuali dengan pertolongan dan bantuan-Nya.

Musibah pandemi yang kini melanda manusia beberapa bulan lamanya benar-benar mengingatkan kita tentang kecil dan lemahnya kekuatan manusia di hadapan kebesaran dan kekuasaan Allah Rabb penguasa alam semesta. Meskipun demikian, bagi seorang mukmin maka musibah itu adalah ladang pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Apabila menimpa padanya kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Musibah bukan saja menjadi ladang pahala bagi mereka yang bersabar menghadapinya. Akan tetapi, musibah juga mengingatkan manusia akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Karena tidaklah turun bala dan malapetaka kecuali disebabkan dosa-dosa umat manusia. Sebagaimana hal itu pernah dinasihatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Ini menuntut kita sebagai hamba untuk selalu menyadari dosa dan kekurangan kita dalam menghamba kepada Allah. 

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; menelaah aib pada diri dan amal perbuatan. Seperti terukir dalam untaian doa sayyidul istighfar yang diajarkan kepada kita. Penggalan doa itu berbunyi ‘wa abuu’u bi dzanbii, faghfirlii’ artinya, “Dan aku pun mengakui atas dosa-dosaku. Maka ampunilah diriku..”

Seorang hamba betapa pun tinggi kedudukan dan prestasi yang dapat dia gapai, sesungguhnya ia adalah lemah dan fakir senantiasa butuh kepada bantuan dan bimbingan Allah; Dzat yang menciptakan dirinya dan segenap alam ini. Lihatlah keadaan manusia yang telah menggantungkan hatinya kepada selain Allah. Mereka justru terjebak dalam kebingungan dan kesengsaraan. Karena selain Allah tidak menguasai manfaat maupun mudharat. Padahal, bagi kaum beriman tiada tempat bergantung bagi mereka kecuali kepada Rabbnya. Sebagaimana karakter orang-orang yang masuk surga tanpa hisab adalah, 

وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” (HR. Bukhari)

Dalam kondisi musibah dan kesulitan semacam ini, seorang muslim ditempa kesabaran dan tawakalnya kepada Allah. Dengan kesabaran dia akan mendapatkan pertolongan. Dengan tawakal kepada Allah maka dia akan mendapatkan kecukupan. Tawakal mengandung sikap berserah diri kepada Allah dan tidak bergantung hati kepada sebab yang ditempuh. 

Ketika menerangkan hadits tentang orang yang masuk surga tanpa hisab, Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan maksud dari tawakal :

يفوضون أمورهم جميعها، دقيقها وجليلها إلى الله -جل وعلا-، وليس معنى هذا أنهم يعطلون الأسباب؛ لأن الأسباب لا تنافي التوكل، لكن لا يلتفتون إلى هذه الأسباب بما يخدش التوكل.

“Artinya, mereka menyerahkan urusan mereka semua; yang kecil maupun yang besar kepada Allah. Dan ini bukan berarti mereka meninggalkan sebab (usaha). Karena sebab tidak bertentangan dengan tawakal. Akan tetapi maksudnya adalah mereka tidak menoleh (menyandarkan hati) kepada sebab ini yang akan bisa merusak tawakkal.” (Simak Syarh Kitab at-Tauhid oleh beliau)

Inilah kiranya yang perlu untuk kita asah dan kita murnikan kembali. Sejauh mana hati kita bergantung kepada Allah dan tidak bersandar kepada selain-Nya. Disinilah keimanan kita diuji. Disinilah penghambaan seorang dinilai dan diukur. Jangan-jangan selama ini kita telah mengangkat makhluk yang lemah sebagai tempat bergantungnya hati dan sesembahan tandingan tanpa kita sadari. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita selama ini

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Referensi :

Website Syaikh Abdul Karim al-Khudhair 

https://shkhudheir.com/scientific-lesson/1369830554

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/57904-ada-kemudahan.html

Mengenal Tuma’ninah dalam Salat Agar Ibadahmu Makin Khusyuk!

Tuma’ninah atau ketenangan dalam salat menjadi hal yang sangat penting ketika kita sedang beribadah kepada Allah. Tidak hanya terkait keabsahan ibadah kita secara fikih, namun tuma’ninah juga menjadi salah satu hal yang penting apabila kita ingin meraih kekhusyukan dalam salat. 

Apakah pengertian tuma’ninah menurut para ulama, dan bagaimana caranya agar kita dapat melaksanakan tuma’ninah dalam salat? Baca lebih lanjut artikel ini yuk biar kamu tahu ilmunya!

Arti Tuma’ninah

Sebelum membahas lebih lanjut, kita pahami dulu yuk pengertian tuma’ninah! Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tuma’ninah didefinisikan sebagai: 

Tenang atau tidak bergerak setiap mengganti gerakan salat

Bagaimanakah pengertian dari tuma’ninah menurut para ulama? Tuma’ninah menurut syeikh Salim bin Samir Al-Hadrami dalam kitab beliau Safinatun Najah  dimaknai sebagai suatu keadaan di mana kita bersikap tenang setelah melakukan gerakan salat, dan semua anggota badan sudah diam pada tempatnya, lamanya kira-kira sepanjang durasi membaca Subhanallah. 

Hadis-hadis Rasulullah menyebutkan tentang urgensi menjaga tuma’ninah dalam salat. Salah satu hadis yang dimaksud adalah hadis dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu anhu di mana Rasulullah memberikan pengajaran kepada salah seorang sahabat terdapat kesalahan dalam salatnya:  

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk kemudian ia shalat. Kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menjawab salamnya dan bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat (dengan shalat yang sah)!”

Lalu orang itu kembali dan mengulangi shalat seperti semula. Kemudian ia datang menghadap kepada Nabi Saw. sambil memberi salam kepada beliau. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Wa’alaikas Salaam” Kemudian beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!”

Sehingga ia mengulang sampai tiga kali. Maka laki-laki itu berkata, “Demi Dzat yang mengutus Anda dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari shalat seperti ini, maka ajarilah aku.”

Rasulullah kemudian bersabda, “Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. 

Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tuma’ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak. 

Setelah itu, sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma’ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud. 

Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah Tuma’ninah suatu kewajiban dalam salat? 

Apakah melakukan gerakan salat dengan tuma’ninah termasuk sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, dan apabila tidak kita laksanakan maka salat kita tidak sah? 

Menurut jumhur atau mayoritas ulama, termasuk ulama dari mazhab Syafi’i, tuma’ninah adalah rukun salat yang harus dilakukan setiap kali kita melakukan salat. Hal ini terutama dalam empat rukun salat, yaitu rukuk, iktidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud. 

Dalil wajibnya melakukan salat dengan tuma’ninah adalah hadis di atas, di mana Rasulullah sampai memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi salat selama beberapa kali. 

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah memberikan peringatan keras kepada orang yang tidak melakukan gerakan-gerakan salat dengan sempurna sebagai seburuk-buruk pencuri. 

Dengan demikian, menjaga kesempurnaan gerakan salat, salah satunya dengan bersikap tenang dan menjaga tuma’ninah, adalah sesuatu yang harus selalu kita upayakan agar salat kita sah dan bernilai kebaikan. 

Tata Cara melakukan gerakan salat dengan tuma’ninah 

Untuk menjaga tumakinah, bagaimana seharusnya kita melakukan gerakan-gerakan salat? Berikut penjelasannya menurut beberapa sumber!

Cara rukuk dengan tenang

  1. Posisi minimal orang melakukan rukuk adalah membungkuk hingga setidaknya kedua telapak tangan sampai di atas kedua lutut, adapun posisi rukuk yang sempurna adalah dengan membungkuk sehingga posisi punggung dan leher sejajar, datar dan tidak melengkung. 
  2. Yang perlu kita perhatikan adalah ketika kita rukuk, kita harus membungkuk dengan niat melakukan rukuk, tidak untuk niat yang lain. Misalnya seseorang telah selesai membaca Al-Fatihah, lantas merasakan gatal di lututnya, dan dia merunduk untuk menggaruknya. Apabila dalam posisi ini dia berniat untuk sekalian melaksanakan rukuk, maka rukuknya tidak sah. 
  3. Tubuhnya yang merunduk itu harus tenang dan diam minimal sepanjang durasi kalimat tasbih. 

Cara iktidal dengan tenang

  1. Bangunnya seseorang dalam rukuk ketika melakukan iktidal tidak boleh diniatkan untuk tujuan lain selain iktidal, sebagaimana penjelasan dalam contoh kasus rukuk di atas. 
  2. Posisi tubuh tegak berdiri selama durasi mengucapkan tasbih. 
  3. Iktidal tidak dilakukan tidak boleh lebih lama dari lamanya berdiri ketika membaca surah Al-Fatihah.  

Cara sujud dengan tenang

  1. Sujud di atas tujuh anggota badan, yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki.
  2. Kening tidak boleh tertutup ketika sujud kecuali ada uzur, seperti dililit perban yang membahayakan jika dilepas. 
  3. Tidak boleh bersujud di atas sesuatu yang ikut bergerak seiring gerakan orang yang salat, contohnya bersujud di atas ujung serban yang menjuntai ke lantai. 
  4. Bertumpu di atas kepala ketika sujud. 
  5. Posisi bagian tubuh bagian bawah harus lebih tinggi, tidak boleh sejajar atau lebih rendah dari posisi bagian tubuh atas. 
  6. Gerakan sujud tersebut tidak boleh diniatkan untuk selain melakukan sujud. 
  7. Bersikap tenang, dan semua anggota tubuh diam sepanjang durasi orang membaca tasbih.    

Cara duduk di antara kedua sujud dengan tenang

  1. Gerakan duduk di antara dua sujud tidak boleh diniatkan untuk selain duduk di antara dua sujud. 
  2. Disunahkan untuk melakukan duduk iftirasy, yaitu duduk di atas mata kaki sebelah kiri hingga telapak kaki kiri menyentuh lantai serta telapak kaki sebelah kanan tegak dan jari-jari menghadap kiblat. 
  3. Disunnahkan untuk mengucapkan takbir ketika duduk di antara dua sujud. 
  4. Disunnahkan meletakkan tangan di atas kedua paha sejajar dengan lutut, dengan jari-jari menghadap kiblat. 
  5. Tuma’ninah, yaitu diam dengan seluruh anggota tubuh tenang ketika melaksanakan duduk di antara dua sujud setelah bangkit dari sujud pertama, dengan durasi sepanjang bacaan tasbih. 

Demikian penjelasan tentang tuma’ninah. Yuk kita biasakan melaksanakan salat dengan tuma’ninah agar dapat meraih kekhusyukan dan ketenangan yang akan menginspirasi hidup kita untuk senantiasa ingat kepadaNya. 

Untuk bantu kekhusyukan kamu dan mudahkan kamu untuk selalu mengingat pesan-pesan kebaikan, yuk download aplikasi Hijra Bank. Selain layanan perbankan sesuai syariah yang Insyaallah berkah, kamu juga bisa dapatkan inspirasi melalui fitur-fitur Islami seperti kajian dan kutipan-kutipan penuh makna untuk bantu perjalanan hijrahmu mendekat kepadaNya. 

HIJRA ID