Jelang Bulan Muharram, Ini Amalan  Sunnah 1 Muharram

Bulan Dzulhijjah adalah bulan terakhir dalam hitungan tahun Islam. Oleh karenanya usai kita melaksanakan ibadah qurban, maka tak lama lagi kita akan segera memasuki bulan Muharram. Nah berikut amalan sunnah 1 Muharram. 

Dalam Islam, Muharram bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan Muharram juga merupakan salah satu bulan mulia Asyhurul Hurum. Bulan Muharram disebut juga bulan Allah, Syahrullah karena terdapat amalan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. 

Tradisi Muslim Jelang Muharram

Nah biasanya jelang perayaan Tahun Baru Islam, umat muslim memiliki sejumlah tradisi yang dilakukan bersama keluarga. Selain pawai obor dan mengaji bersama, ternyata ada banyak sekali amalan yang bisa dilakukan untuk menyambut datangnya tahun baru Islam. 

Para ulama telah membagi jenis-jenis amalan yang harus diperbanyak di bulan Muharram menjadi kurang lebih 12 amalan seperti melakukan shalat sunnah, berpuasa, menyambung silaturahim, bersedekah. 

Pun juga dianjurkan mandi atau mensucikan diri, memakai celak mata, berziarah kepada ulama (baik yang hidup maupun yang meninggal), menjenguk orang sakit, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, mengusap kepala anak yatim, membaca Surat Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Sunnah Berpuasa

Amalan sunnah yang paling utama di bulan muharram ialah puasa. Kesunnahan puasa di bulan Muharram didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah:

 جاء رجل إلى النبي ضلى الله عليه وسلم فقال: أي الصيام أفضل بعد شهر رمضان؟ قال:  شهر الله الذي تدعونه المحرم  

Artinya : “Seseorang datang menemui Rasulullah SAW, ia bertanya, ‘Setelah Ramadhan, puasa di bulan apa yang lebih afdhal?’ Nabi menjawab, ‘Puasa di Bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut dengan Muharram,”

Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan sebagai berikut.

 أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم 

Artinya : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah, Muharram.”

Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi mengatakan, hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa Muharram. Al-Qurthubi, seperti yang dikutip As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim menjelaskan:

 إنما كان صوم المحرم أفضل الصيام من أجل أنه أول السنة المستأنفة فكان استفتاحها بالصوم الذي هو أفضل الأعمال 

Artinya : “Puasa Muharram lebih utama dikarenakan awal tahun. Alangkah baiknya mengawali tahun baru dengan berpuasa, sebab puasa termasuk amalan yang paling utama.”

Memperbanyak puasa di bulan Muharram disunnahkan karena ia merupakan pembuka tahun baru. Seyogianya tahun baru dihiasi dengan amal saleh dan puasa termasuk amalan yang paling utama.

Tentu harapannya, di bulan selanjutnya, menjalankan ibadah puasa sunnah ini tetap dilakukan dan tidak berhenti sampai akhir bulan Muharram. Selain awal tahun, dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanggal 10 Muharram dianjurkan untuk berpuasa. 

Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun

Selain melakukan amalan-amalan yang telah disebutkan, ada amalan yang penting juga untuk dilakukan, yaitu membaca doa akhir dan awal tahun.

Membaca doa akhir tahun dibaca tiga kali ba’da Maghrib di hari terakhir bulan Dzulhijjah. Pembacaan ini diawali dengan membaca surat Yasin sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan doa dibawah ini:

اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَحَلُمْتَ فِيْها عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِيْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ فَاغْفِرْلِيْ وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَّنِي عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ

Allahumma ma amiltu min ‘amalin fi hadzihis sanati ma nahatani anhu walam atub minhu wa halamtu fiha alayya fiha bifadhlika ba’da qudratika ala ‘uqubati wa da’autani ilat taubati min ba’di jara’ati ala ma’shiyatika fa innis taghfartuka faghfirli wa ma amiltu fiha mimma tardho wa wa’adtani alahits tsawaba fas aluka an tataqabbala minni wala taqhta’ rajai minka ya karim.”

Artinya: “Wahai Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini yang termasuk Kau larang-sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Kau maklumi karena kemurahan-Mu-sementara Kau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Kau perintahkan untuk tobat-sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakai-Mu. 

Wahai Tuhanku, aku berharap Kau menerima perbuatanku yang Kau ridhoi di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahala-Mu. Janganlah kau membuatku putus asa. Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.” (Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus, Kanzun Najah Was Surur Fi Ad’iyyah Al-Ma’tsur Al-Lati Tasyrah As-Shudur, hal: 298-299).

Menurut Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kudus dalam kitabnya yaitu Kanzun Najah Was Surur pada hari Asyura’ kita dianjurkan untuk membaca dzikir;

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْر 

hasbunallahu wa ni’ma al wakil, ni’ma al maula wa ni’ma an nashir

Sebanyak 70 kali pada waktu ba’da Maghrib. Setelah itu dilanjutkan membaca doa di bawah ini sebanyak tujuh kali,

بسم الله الرحمن الرحيم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ, لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّاَ إِلَيْهِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَآمَّاتِ كُلِّهَا, نَسْأَلُكَ السَّلَا مَةَ كُلَّهَا بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّاَ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Demikian penjelasan terkait jelang bulan Muharram, ini amalan sunnah 1 Muharram.Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Haji Indonesia Gelombang Dua Mulai Masuki Terminal Hijrah

Terminal hijrah jadi titik awal pemantauan jamaah haji memasuki Madinah.

Di tengah teriknya matahari siang, dengan cuaca 42 derajat celsius mulai berdatangan jamaah haji Indonesia gelombang kedua ke terminal hijrah yang merupakan fase yang harus dilalui untuk check point kelengkapan dokumen jamaah haji seperti pasport, Senin (10/07/2023).

Terminal Hijrah berjarak 20 kilometer dari Kota Madinah. Terminal hijrah ini akan menjadi titik awal pemantauan jamaah haji Indonesia gelombang dua sebelum masuk ke Madinah.

“Hari ini merupakan hari pertama kita jaga di terminal hijrah, ya jelas pengalaman baru sehingga kami juga harus menyesuaikan dengan ritme pekerjaan yang harus kita lakukan di terminal hijrah biar efektif dan profesional,” ujar dr H Tejo Katon, petugas PPIH Arab saudi Daker Madinah sektor Bir Ali dan terminal hijrah.

Tejo Katon menyampaikan bahwa setelah bus tiba di Terminal Hijrah, maka sopir bus akan menyerahkan paspor jamaah haji yang telah dikumpulkan ke maktab di loket-loket. Selanjutnya maktab akan memvalidasi dan mengeluarkan tasreh surat jalan.

“Petugas PPIH sektor Terminal Hijrah bertugas memantau pergerakan dan kedatangan bus, serta melakukan cek list. Petugas juga harus melaporkan ke Madinah mengenai bus yang sudah tiba di Terminal Hijrah agar sektor yang menjadi hotel pemondokkan jamaah haji siap-siap, dan hari ini Senin (10/07/2023) ada 20 kloter dengan 210 bus yang masuk terminal hijrah,” lanjut dr H Tejo Katon.

Sementara itu, Kepala Sektor Bir Ali dan Terminal Hijrah Aruji Mawastu mengatakan sebanyak 15 petugas akan ditempatkan di Terminal Hijrah setiap harinya. Mereka akan bertugas mulai pukul 11.00 hingga 01.00 waktu Arab Saudi (WAS). Hal ini dilakukan mengingat pemberangkatan bus jamaah biasanya dimulai pada pukul 06.00 WAS pagi.

“Kami akan membagi dua shift. Untuk shift pertama bertugas mulai pukul 11 siang sampai pukul 01.00 WAS dini hari. Tergantung kedatangan bus juga. Tugas kami memastikan seluruh bus dan jamaah tiba di Terminal Hijrah. Sedangkan shift kedua bertugas keesokan harinya dengan waktu yang sama,” kata dia.

Aruji menyebut pada hari pertama yakni 10 Juli nanti sebanyak 18 kloter jamaah haji akan diberangkatkan dari Makkah ke Terminal Hijrah. “Biasanya bus diberangkatkan dari Makkah mulai pukul 06.00 pagi. Perjalanan dari Makkah yang memakan waktu 6 sampai 7 jam diperkirakan pukul 11.00 hingga 13.00 WAS bus tiba di Terminal Hijrah. Sedangkan pada sore hari keberangkatan terakhir pukul 18.00 dan tiba di Terminal Hijrah bisa pukul 23.00 hingga 02.00 dini hari,” kata dia.

IHRAM

Mari Memperbanyak Tobat

Bismillah.

Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله تعالى يَبْسُطُ يدَه بالليلِ ليتوبَ مسيءُ النَّهارِ، ويَبْسُطُ يدَه بالنَّهارِ ليتوبَ مسيءُ الليلِ، حتى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam, agar orang yang berbuat dosa di siang hari segera bertobat. Dan Allah bentangkan tangan-Nya di waktu siang, agar orang yang berbuat dosa di waktu malam hari segera bertobat. Sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

للَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ، سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلاَةٍ

Sungguh, Allah sangat-sangat bergembira terhadap tobat salah seorang di antara kalian jauh melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian di saat ia berhasil menemukan kembali ontanya yang telah menghilang.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (lihat Az-Zuhd Li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

Pada suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berwasiat kepada putranya, Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat Az-Zuhd Li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Sebagian tabi’in mengatakan, “Barangsiapa yang banyak dosanya, hendaklah dia suka memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang memberikan minum kepada seekor anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut kalian mengenai orang yang memberikan minum kepada seorang beriman lagi bertauhid sehingga hal itu membuatnya tetap bertahan hidup!” (lihat Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1: 500)

Waki’ rahimahullah berpesan, “Mintalah pertolongan (kepada Allah) untuk menguatkan hafalan dengan mempersedikit dosa.” (lihat Muqaddimah Az-Zuhd, hal. 91)

Masruq rahimahullah berkata, “Semestinya seorang memiliki kesempatan-kesempatan khusus untuk menyendiri, lalu mengingat-ingat dosanya dan memohon ampunan kepada Allah atasnya.” (lihat Min A’lam As-Salaf, 1: 23)

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa itu memiliki bau (tidak sedap), maka niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (lihat Muhasabat An-Nafs Wa Al-Izra’ ‘Alaiha, hal. 82)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada di antara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istigfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah serta senantiasa membutuhkan tobat dan istigfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)

Seorang lelaki berkata kepada Hatim Al-Asham rahimahullah, “Berikanlah nasihat kepadaku.” Maka, beliau berkata, “Jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Tuhanmu, maka lakukanlah hal itu di tempat yang tidak dilihat-Nya.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Janganlah kamu melihat kecilnya kesalahan! Akan tetapi, lihatlah kepada siapa kamu berbuat durhaka!” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Bakr bin Abdullah Al-Muzani rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang melakukan dosa sambil tertawa-tawa, maka dia akan masuk neraka sambil menangis.” (lihat At-Tahdzib Al-Maudhu’i Li Hilyat Al-Auliya’, hal. 362)

Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istigfar.” (lihat Tazkiyat An-Nufus, hal. 52)

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang terjerumus dalam kemaksiatan, baik berupa melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban, maka itu terjadi dikarenakan rendahnya kecintaan kepada Allah sehingga membuatnya lebih mendahulukan hawa nafsunya.” (lihat Fath Al-Bari, 1: 78)

‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu berkata di dalam khotbahnya di hadapan penduduk Mesir, “Sungguh betapa jauhnya jalan dan gaya hidup kalian dengan jalan dan gaya hidup Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun beliau, maka beliau adalah orang yang paling zuhud dalam urusan dunia, sedangkan kalian adalah orang-orang yang paling gandrung kepadanya.” (lihat Fawa’id Abi Muhammad Al-Fakihi, hal. 127)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85791-mari-memperbanyak-taubat.html

Hubungan Yahudi-Islam dan Penghianatanya di Masa Rasulullah ﷺ

Kehangatan Kota Madinah berubah menjadi ketagangan. Kedua kelompok Anshar nyaris baku hantam, bahkan hampir pertumpahan darah, inilah hubungan Yahudi dan Islam, serta penghianatan Yahudi di masa Rasulullah

Hidayatullah.com | BANYA ayat Al-Quran yang menyinggung Bani Isra’il dan agama Yahudi. Kedudukan mereka sebagai Ahl al-Kitab menjadi sorotan tersendiri, karena sepatutnya merekalah orang yang lebih cepat menerima ajaran Al-Quran yang merupakan penerus dan membenarkan ajaran asli Taurat.

Persinggungan wacana yang dikembangkan dalam Al-Quran mendahului kontak fisik antara Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin dengan masyarakat Yahudi. Meskipun sulit dipungkiri adanya sejumlah saudagar Yahudi yang berdagang ke Makkah dan tinggal disana untuk urusan berbisnis, namun tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.

Kabar tentang masayarakat Yahudi tentu diketahui, bahkan dikuasai dengan baik oleh Rasulullah ﷺ Selain cepat atau lambat, pasti akan berhubungan dengan penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah ﷺ untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain Makkah, mendesak beliau untuk mengetahui lebih detail kondisi masyarakat-masyarakat di sekitarnya, termasuk Madinah.

Karena itu, saat menemui sekelompok pemuda Khazraj di Mina, pertanyaan pertama yang beliau sampaikan adalah; “Apakah kalian orang-orang yang beraliansi dengan Yahudi?”. (Ibn Hisyam: 428).

Tampaknya beliau sudah sangat menguasai seluk beluk karakter sosial Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klan-klan Yahudi yang tinggal berdampingan dengan mereka itu.

Dakwah Rasulullah ﷺ pada Masyarakat Yahudi

Hubungan dakwah Rasulullah ﷺ dengan Yahudi Madinah terjalin sejak dini. Riwayat Bukhari dan Ibn Ishaq mengisyaratkan kedatangan Abdullah bin Salam, seorang ulama Yahudi Bani Qainuqa`, dan keputusannya memeluk Islam terjadi hanya beberapa saat setelah beliau menetap di Madinah.

Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah ﷺ kepada masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (al-Mubarakfuri: 140).

Ibn Ishaq menyebut beberapa nama Yahudi lain yang masuk Islam dan disertakan dengan Abdullah bin Salam, yaitu Tsa`labah bin Sa`yah, Usaid bin Sa`yah dan Asad bin `Ubaid (Ibn Hisyam: 557). Tidak menutup kemungkinan mereka juga berasal dari Bani Qainuqa`.

Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural

Kedatangan Rasulullah ﷺ ke Madinah secara langsung menjadi penguasa baru di kota tersebut, karena Aus dan Khazraj, dua klan Arab yang mendominasi Madinah, adalah pihak yang mengundang sekaligus mengangkat beliau sebagai pemimpin.

Latar belakang masyarakat Madinah yang sangat majemuk, karena terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi, mendesak adanya peraturan umum yang mengatur kehidupan bersama dengan baik.

Di sinilah letak pentingnya Piagam Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga membuktikan, ajaran Islam dapat mengatur kepentingan bersama masyarakat muslim dan non-muslim, tanpa harus menghilangkan karakter khas masing-masing, terutama agama.

Al-Mubarakfuri merangkum beberapa bagian pasal Piagam Madinah yang mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut;

1. Yahudi Bani `Auf merupakan satu komunitas bersama masyarakat Mu’min. Orang-orang Yahudi berhak menjalankan agama mereka dan orang-orang muslim berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klan-klan Yahudi lainnya di luar Bani `Auf.

2. Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya hidupnya sendiri dan orang-orang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.

3. Masyarakat Yahudi dan Muslim harus saling bahu membahu melawan musuh yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam Madinah ini.

4. Mereka juga harus saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan, tapi tidak demikian dalam kejahatan.

5. Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.

6. Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.

7. Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihak-pihak yang menyepakati Piagam ini, sehingga khawatir akan merusak hubungan, maka keputusannya harus dikembalikan kepada hukum Allah `azza wa jalla dan Muhammad, utusan Allah ﷺ

8. Siapa pun tidak boleh memberi suaka (perlindungan) kepada Quraisy dan pendukungnya (al-Mubarakfuri: 182).

Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi

Dipandang dari sudut mana pun, bagi masyarakat Yahudi, kedatangan Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin ke Madinah tidak menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah ancaman terbesar sejak lama, apalagi ditambah pihak ketiga yang menjadi kekuatan baru yang semakin merekatkan hubungan mereka.

Masyarakat Yahudi tidak pernah dapat menghapus trauma kehadiran pihak asing yang bertentangan dengan kepentingan mereka.

Terlebih lagi, masyarakat Muhajirin Makkah adalah pedagang-pedagang handal. Sejak hari-hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam meraih keuntungan di pasar Bani Qainuqa` (Bukhari: no. 1908).

Seiring dengan perjalanan waktu, Usman bin `Affan, Zubair bin `Awwam dan nama-nama populer lainnya dalam kancah perdagangan Arab masa itu menjadi pesaing-pesaing berat bagi pedagang Yahudi.

Persaingan di pasar diperparah dengan keputusan Rasulullah ﷺ membangun pasar baru bagi kaum muslimin (al-Karami: 169) dan kehadiran aturan-aturan baru dalam segala transaksi ekonomi.

Larangan menipu, menimbun, menjual khamr  dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem ‘pasar bebas’ yang berkembang sebelumnya. Khamr  (arak) merupakan komoditi yang sangat potensial bagi masyarakat Yahudi. Selain menjajakan arak lokal, mereka biasa mengimpornya dari Syam.

Semua faktor di atas, selain tentu saja keyakinan dan agama, meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun kolektif kelompok Yahudi untuk memicu perselisihan hingga perang besar-besaran.

Benih-benih Pengkhianatan

Ibn Ishaq meriwayatkan, Syas bin Qais, seorang sesepuh Yahudi melewati sekelompok pemuda Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul. Mereka terlibat perbincangan yang hangat dan harmonis.

Pemandangan ini membakar hati Syas, maka segera ia suruh seorang pemuda Yahudi untuk ikut dalam pembicaraan tersebut dengan mengingatkan mereka kepada peristiwa kelam di masa lalu, perang Bu`ats yang telah menelan korban tokoh-tokoh besar Aus dan Khazraj.

Kehangatan segera berubah menjadi ketagangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja baku hantam, bahkan terlibat pertumpahan darah, jika saja Rasulullah ﷺ tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553-554).

Kasus Ka`b bin Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir, merupakan model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda paling efektif masa itu, menempatkan Ka`b dalam posisi yang sangat membahayakan.

Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Ka`b menunjukkan permusuhannya secara terbuka. Ia segera pergi ke Makkah untuk mengucapkan simpati dan bela sungkawa atas terbunuhnya pembesar-pembesar Quraisy di Badar dalam rangakaian puisi yang menyayat hati. Tidak cukup disitu, ia juga mengobarkan semangat Quraisy untuk segera melupakan kekalahan dan menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al-Shallabi: 2/56-58).

Konspirasi Yahudi

Bani Qainuqa` adalah klan Yahudi yang lebih dulu menunjukkan aksi pengkhianatan kolektif terhadap kesepakatan Piagam Madinah. Kemenangan kaum muslimin di Badar membuka mata mereka, bahwa kekuatan dan dominasi kaum muslimin di Madinah menjadi kenyataan.

Bagi Bani Qainuqa`, ketergantungan ekonomi kepada mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.

Tampaknya benih pengkhiantan kolektif Bani Qainuqa` telah tercium oleh Rasulullah ﷺ Menurut Abu Dawud, beberapa saat setelah kembali dari Badar, Rasulullah ﷺ mengumpulkan Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk memberi peringatan. Namun juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab: “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya karena berhasil membunuh segelintir orang-orang Quraisy yang tidak pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami.” (al-Mubarakfuri: 226).

Sebatas perlawanan verbal, Rasulullah ﷺ hanya melihatnya sebagai indikator pengkhianatan. Tapi setelah terjadi kasus pelecehan wanita muslim di pasar Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah ﷺ mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah.

Pembunuhan Ka`b bin Asyraf dan pengusiran Bani Qainuqa` dari Madihan cukup meredam gejolak pengkhianatan klan Yahudi lainnya. Tapi kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud dan tragedi Bi’r Ma`unah menumbuhkan kepercayaan diri Yahudi.

Bani Nadhir, klan yang paling kuat saat itu, berkhianat. Diawali dengan memberi perlindungan kepada Abu Sufyan saat melakukan oprasi militer (Perang Sawiq) ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).

Pelanggaran terhadap salah satu pasal Piagam Madinah tersebut disusul dengan pelanggaran lain. Bani Nadhir tidak bersedia menanggung biaya diyat (denda pembunuhan) yang seharusnya dipikul bersama. Bahkan lebih jauh lagi, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi ﷺ (al-`Umari: 146).

Rencana busuk itupun terbongkar, sehingga Rasulullah ﷺ segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani Nadhir dari Madinah.

Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik menjanjikan bantuan (al-Mubarakfuri: 280), tapi kemudian menyerah dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir ke Syam, tapi sejumlah tokoh penting Bani Nadhir seperti Huyay bin Akhthab, Salam bin Abi al-Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al-Umari: 149).

Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab

Ahzab adalah aliansi sejumlah klan Arab besar yang meliputi Quraisy, Ahbasy, Ghathafan bersama sekutunya. Mereka melakukan kesepakatan dengan Yahudi untuk menyerang Madinah.

Perang Ahzab yang mencatat rekor fantastik dalam sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi.

Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di Khaibar dan dipimpin oleh kelompok elit Bani Nadhir, yaitu Salam bin Abi al-Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al-Shallabi: 2/256).

Pembentukan tim ini tentu disetujui oleh tokoh-tokoh Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.

Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan kabilah besar dan memiliki sekutu yang loyal, keduanya memiliki kepentingan langsung dengan Madinah. Menggalang dukungan Quraisy tentu lebih mudah, karena permusuhan mereka dengan Madinah sudah cukup menjadi pemicu utama.

Tapi para provokator ini menambahkan dukungan moral yang tidak kecil, yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy lebih baik daripada agama Muhammad ﷺ Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al-Nisa’: 51-52:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.

Sedangkan untuk meraih dukungan Ghathafan, tim Yahudi melakukan kontrak kesepakatan dengan kabilah besar Najed tersebut dalam dua pasal yang saling menguntungkan;

1). Ghathafan harus menghimpun pasukan sebanyak 6000 orang; 2). Yahudi akan membayar klan-klan Ghathafan yang bergabung dalam pasukan tersebut seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al-Shallabi: 2/257).

Lobi Yahudi ini berhasil dengan gemilang. Kabilah-kabilah Arab yang telah melakukan kesepakatan itu berdatangan ke Madinah dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai 10.000 pasukan.

Jumlah yang disebut al-Mubarakfuri sebagai catatan rekor fantastis dalam sejarah kemiliteran Arab pada masa itu.

Merasa tidak cukup dengan menggalang kekuatan Arab. Huyay bin Akhthab berusaha keras membujuk klan Yahudi terakhir yang masih berada di Madinah dan mentaati kesepakatan Piagam Madinah, Bani Quraizhah, untuk mendukung logistik Ahzab dan menggerogoti kekuatan Madinah dari dalam.

Lobi inipun akhirnya berhasil. Quraizhah berkhianat, sehingga Madinah semakin terjepit (al-Mubarakfuri: 293). Namun dengan strategi yang jitu dan pertolongan Allah swt., akhirnya kaum muslimin berhasil keluar dari medan perang sebagai pemenang.

Dengan pengkhianatan Bani Quraizhah, habislah kekuatan Yahudi di Madinah. Rasulullah ﷺ menghukum meraka sebagai pengkhianat perang, semua laki-laki Bani Quraizhah yang terlibat perang dipancung, anak-anak dan wanita ditawan, dan harta benda mereka dirampas. (al-Mubarakfuri: 301).

Setelah itu, kekuatan Yahudi yang signifikan hanya tersisa di Khaibar. Di tempat inilah tersimpan potensi ancaman yang tidak dapat diremehkan. Selain menjadi rahim yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng-benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jaziarah Arab.

Rasulullah ﷺ harus konsentrasi penuh guna melumpuhkan kekuatan Khaibar. Gencatan senjata yang disepakati dengan Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H menjadi momentum yang sangat tepat.

Beberapa saat setelah itu Rasulullah ﷺ langsung melancarkan serangan besar-besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan tinggal untuk mengelola kebun-kebun Khaibar dan berbagi hasil dengan para pemilik barunya, kaum muslimin.

Penutup

Demikianlah sekelumit gambaran kehidupan masyarakat Yahudi, terutama di Madinah, dan persentuhan mereka dengan kaum muslimin pada permulaan sejarah Islam. Penyimpangan dari ajaran taurat yang mengkristal dalam nilai dan sistem yang mendasari kehidupan sosial, ekonomi dan politik, berakibat pada penolakan mereka terhadap ajaran Islam.

Namun demikian bukan berarti seluruh masyarakat Yahudi menolak Islam. Sejarah mencatat bebarapa individu Yahudi memeluk Islam saat itu. Di antaranya adalah Abdullah bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516)[1]; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d bin Wahb dari Bani Nadhir (al-`Umari: 149); dan `Athiyyah al-Qurazhi, Abdurrahman bin Zubair bin Batha, Rifa`ah bin Samuel dan beberapa orang lagi dari Bani Quraizhah (al-Mubarakfuri: 302).*

RUJUKAN

1. Al-Quran al-Karim

2. Shahih al-Bukhari [MS]

3. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah [MS]

4. Al-`Umari, Akram Dhiya’, al-Mujtama` al-Madani fi `Ahd al-Nubuwwah [MS]

5. Al-Mubarakfuri, Shafiy al-Rahman, al-Rahiq al-Makhtum, Dar al-Salam-Riyadh, 1418H

6. Al-Shallabi, Ali Muhammad, al-Sirah al-Nabawiyyah; `Ardh Waqa’i` wa Tahlil Ahdats, Dar Ibn Katsir-Beirut, 1425H/2004

Al-Karami, Hafizh Ahmad `Ajjaj, al-Idarah fi `Ashr al-Rasul, Dar al-Salam-Cairo.

[1] Ibn Ishaq menyebut beberapa nama Yahudi lain yang masuk Islam dan disertakan dengan Abdullah bin Salam, yaitu Tsa`labah bin Sa`yah, Usaid bin Sa`yah dan Asad bin `Ubaid (Ibn Hisyam: 557). Tidak menutup kemungkinan mereka juga berasal dari Bani Qainuqa`.*

HIDAYATULLAH

Ibadah Haji Modal Sosial Lakukan Perubahan untuk Indonesia Harmoni

Jamaah Haji dari seluruh dunia, mulai kembali ke negaranya masing-masing usai melakukan Rukun Islam yang ke-5 di Arab Saudi. Diharapkan sepulang dari Ibadah Haji, para jamaah haji dari Indonesia mampu meningkatkan keimanan dan memberikan perubahan sosial di masyarakat setelah digembleng’ secara spiritual di Tanah Suci, untuk menciptakan Indonesia yang harmoni.

Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2020-2022, Dr. Arief Subhan, M.Ag, mengungkapkan adanya budaya menarik terkait haji di Indonesia. Yakni, adanya identitas sosial yang melekat pada individu yang telah melaksanakan Ibadah Haji.

Bagi Arief, hal ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh para haji untuk melakukan gerakan-gerakan baik sosial keagamaan, perubahan sosial dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang baik.

“Panggilan sebagai Pak Haji, itu merupakan suatu kehormatan. Kalau dihormati, kan otomatis dia punya otoritas. Dia mestinya punya ruang, punya peluang untuk mengajak masyarakat berbuat lebih baik,” ujar Arief Subhan di Jakarta, Jumat (7/7/2023).

Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk memberikan kontribusi positif terhadap negeri, mengingat banyak para pendahulu bangsa, banyak melakukan perubahan sosial setelah menunaikan Ibadah Haji, maupun belajar agama di Mekkah, Arab Saudi.

Misalnya KH. Ahmad Dahlan, setelah pulang dari Mekkah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Hal serupa juga dilakukan KH. Hasyim Asyari sepulang belajar dari Tanah Suci mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Selain itu, Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan ada tiga ajaran Islam yang penting yang terwujud dalam Ibadah Haji, yakni tauhid, egalitarianisme dan keadilan sosial.

Arief Subhan mengatakan inti dari Ibadah Haji merupakan tauhid. Di mana para jamaah mengucap takbir dan melaksanakan doa-doa haji untuk mengagungkan Allah SWT.  Tauhid memiliki makna bahwa kita betul-betul mengesakan Tuhan. Hanya percaya, hanya mengerti dan hanya menyembah kepada Allah.

“Kita hanya mengakui adanya kekuatan itu ya, hanya Tuhan Allah itu tiada lainnya. Tauhid itu ajaran yang pertama dan itulah yang pertama kali diajarkan oleh Nabi,” ucap Arief.

Ia mengungkapkan egalitarianism dalam Islamsemua berada di strata yang sama. Allah tidak memandang manusia dari sudut pandang sosial maupun materi, kecuali tingkat iman ketakwaannya. Sehingga, Islam tidak membedakan antara satu suku dengan suku yang lain.

Salah satu implikasi atau salah satu model ajaran yang egaliter dari Islam itu terwujud dalam Ibadah Haji. Dalam menunaikan Ibadah Haji, setiap individu dituntut untuk melepaskan semua atribut yang dimiliki, apakah dia orang Indonesia, apakah dia orang Arab Saudi, atau dia orang Afghanistan. Semua dianggap sama.

“Jadi dia melepaskan itu dengan hanya semata-mata menggunakan identitas yang sama (pakaian ihram),” kata Arief

Yang ketiga, lanjut Arief  adalah keadilan sosial. Islam sangat mementingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat anjuran wajib dan sunnah (volunteer) dalam bersedekah. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemerataan atau sama rasa sebagai kesatuan umat Islam.

“Kalau yang berbagi sifatnya wajib, itu zakat. Kalau yang volunteer kan infaq. Makanya itu dilakukan karena keadilan sosial itu penting dalam Islam. Dalam bagian dari perayaan haji, contoh yang sederhana, yaitu berbagi hewan daging kurban,” jelas Arief.

Menurut Arief, kesempatan haji, khususnya dalam kewajiban wukuf di Arafah, merupakan momen penting untuk para jamaah haji melakukan tafakur atau intropeksi diri. Oleh karena itu, setelah Ibadah Haji, para jamaah diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang berarti lebih baik dari sebelumnya.

“Wukuf itu kan artinya berhenti ya. Berhenti, bertafakur, merenung tentang hidup, tentang diri, tentang apa yang bisa dilakukan dan seterusnya,” pungkas Arief.

ISLAMKAFFAH

Memujinya Laksana Nabi, Membencinya Laksana Fir’aun

Sungguh mengerikan menyaksikan akrobat para politisi di berbagai media massa dan media sosial. Segala cara dilakukan untuk memikat pemilihnya. Saling mencari kesalahan, saling mengunggulkan dan tidak jarang pula saling membully.

Perilaku elit politik ini menular kepada para pendukungnya. Di tingkat elite perang kata terjadi, di tingkat aras bawah penuh bombardir kata-kata sampah. Fanatisme para pendukung sudah melebihi keimanan dan keyakinan dalam beragama.

Mereka yang mengidolakan dan mencintai tokohnya akan dipuji layaknya Nabi, sementara kepada yang dibenci diberikan julukan laksana fir’aun. Dilekatkan segala sifat kenabian kepada yang dicintai. Seolah dialah yang terbaik yang berperangai laksana Nabi.

Namun, kepada lawan politiknya, ia tanamkan dan hujamkan makian yang sungguh mengerikan. Seolah lawan politik begitu dzalim layaknya seorang fir’aun. Seolah masyarakat digiring dalam sebuah perang besar antara pasukan Tuhan dan pasukan setan. Sungguh mengerikan.

Allah telah memperingatkan : “… Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” [Al-Maidah 8].

Kecintaan dan kebencian sebaiknya tidak perlu berlebihan dalam mendukung calonnya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : “Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi).

Hadist ini sangat relevan diterapkan dalam konteks politik. Bisa jadi yang kita cintai dan idolakan akan mengecewakan kita. Atau sebaliknya yang kita benci justru suatu saat ini menjadi kawan kita. Tidak ada yang abadi dalam politik. Begitulah kira-kira adigium politisi.

Akrobatik para politisi itu memang sangat mengecewakan di tengah kita membangun tatanan demorkasi yang lebih dewasa. Demokratisasi bukan sekedar terpenuhi unsur sistem,  institusi, struktur politik demokrasi yang baik, tetapi yang juga sangat penting adanya ruang kondusif bagi tumbuhnya kultur demokrasi yang sehat. Apa kata kuncinya adalah keteladanan elit dan kedewasaan masyarakat.

Jangan-jangan kita sebenarnya sedang menjalankan dan berada dalam politik yang kekanak-kanakan. Umar bin Al-Khaththab ra pernah berpesan, “Wahai Aslam, janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan sampai kebencianmu membinasakan.”

Aslam berkata, “Bagaimana itu?” Umar Ra berkata, “Jika engkau mencintai seseorang, janganlah berlebihan seperti halnya anak kecil yang menyenangi sesuatu dengan berlebihan. Jika engkau membenci seseorang, jangan sampai kebencian menimbulkan keinginan orang yang kamu benci celaka atau binasanya.”

Mari membangun demokrasi yang sehat dengan tampil sebagai pemilih yang dewasa. Jangan seperti anak kecil yang menyenangi idolanya berlebihan atau membenci lawannya secara berlebihan.

ISLAMKAFFAH

Kisah Cinta Ali dan Fatimah Az-Zahra

Artikel ini akan mengulas tentang kisah cinta Ali dan Fatimah Az-Zahra. Siapa sih yang tidak mengenal Fatimah Az-Zahra? Ia adalah putri bungsu Nabi Muhammad Saw. dari Istrinya Khadijah binti Khuwailid.

Kelahiran Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah 

Fatimah dilahirkan pada masa ketika perempuan tidak memiliki kedudukan dalam masyarakat, dan suatu kehinaan besar ketika melahirkan anak perempuan, bahkan menguburkan hidup-hidup anak perempuan mereka yang baru lahir, maka sebagai jalan penyucian, beliau dilahirkan di zaman Jahiliah.

Disebutkan, dalam berbagai riwayat banyak keajaiban-keajaiban tentang Fatimah, mulai dari kehamilan, hingga kelahirannya. Saat mendekati kelahiran Fatimah, tidak ada seorang perempuan pun dari bangsa Quraisy yang bersedia membantunya untuk melahirkan.

Hal ini disebabkan karena Khadijah menikahi Nabi Muhammad Saw., yang menurut mereka tidak layak untuk menjadi suaminya, karena Khadijah seorang perempuan kaya raya dan sangat terhormat di kalangannya. Sedangkan menurutnya, Nabi Muhammad hanyalah seorang pemuda miskin dan tidak memiliki harta melimpah.

Beberapa sejarawan berselisih paham mengenai hari kelahiran Fatimah, sebagian sejarawan menuturkan bahwa Fatimah dilahirkan pada hari jumat di Mekkah, pada 20 Jumadil akhir lima tahun sebelum diutusnya sang Ayah tercinta Nabi Muhammad Saw menjadi seorang rasul. Dan ini merupakan pendapat yang populer di kalangan Ahlusunnah.

Sementara, pada kalangan Syiah mengatakan bahwa, Fatimah lahir pada 20 Jumadil Akhir lima tahun setelah ayahnya diangkat menjadi utusan Allah Swt. Akan tetapi, yang jelas, kelahiran Fatimah bertepatan dengan peristiwa besar di Mekkah, yaitu ketika Rasulullah menjadi penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy tentang orang yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad, setelah ka’bah di perbahrui.

Tentu saja, kelahiran Fatimah disambut gembira oleh kedua orang tuanya dan keluarganya. Bahkan menurut Aisyah binti al-Syathi, kedua orang tua Fatimah menyambutnya dengan sebuah pesta yang belum pernah disaksikan oleh penduduk Mekkah sebelumnya.

Hingga akhirnya, Fatimah tumbuh di dalam rumah yang mulia, penuh dengan lantunan ayat suci al-Qur’an, sholawat, dan kalimat-kalimat Tasbih. Fathimah di besarkan dibawah asuhan sang Ayah, Muhammad Saw. Ajaran dan didikan dari ayahnya membawanya menjadi perempuan simpatik, ramah, luhur, dan berbudi pekerti.

Lalu bagaimana dengan kisah cinta Ali dan Fatimah Az-Zahra?

Sudah sejak lama Ali menyukai Fathimah. Kecantikan putri Rasulullah ini tak hanya jasmaninya saja, melainkan juga kecantikan ruhaninya melintasi batas hingga langit ketujuh. Namun demikian, kendalanya adalah perasaan rendah dirinya, apakah mampu ia membahagiakan putri Rasulullah dengan keadaannya yang serba terbatas. Demikian kira-kira perasaan yang ada pada Ali saat itu.

Suatu waktu, Fatimah dilamar oleh Abu Bakar, adalah orang yang jiwanya hanya untuk Islam, dan menemani perjuangan Rasulullah Saw. sejak awal-awal risalah ini (Konon dari golongan tua yang masuk Islam adalah Abu Bakar). Mendengar berita ini, Ali kemudian terkejut dan tersentak jiwanya.

Bahkan, Ali merasa hidupnya diuji karena dirinya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Abu Bakar kedudukannya di sisi nabi (Abu Bakar sahabat paling terdekat nabi). Selain seorang sahabat terdekat, Abu Bakar juga seorang saudagar, sementara Ali hanyalah pemuda miskin.

Takdir berkata lain. Siapa sangka, ternyata lamaran sahabat dekat nabi itu ditolak oleh Fathimah. Sehingga hal ini menumbuhkan kembali harapannya. Ali pun kembali mempersiapkan dan mempertaruhkan diri, berharap masih memiliki kesempatan untuk meminangnya.

Alih-alih Abu Bakar ditolak, rupanya sekarang giliran Umar bin Khattab yang melakukan lamaran kepada Fatimah. Namun akhirnya, Umar juga ditolaknya. Sekarang giliran Abdurahman bin Auf melamar Fatimah dengan membawa 100 unta bermata biru dari mesir dan 10.000 Dinar.

Namun apalah daya, lamaran itu ternyata ditolak oleh Kanjeng Nabi. Begitupun juga dengan Utsman bin Affan yang memberanikan dirinya melamar Fatimah dengan mahar seperti yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf. Namun, Utsman mendapatkan jawaban yang sama.

Dan, kali ini, Ali tampak kebingungan. Bagaimana tidak! Mulai dari Abu Bakar, Umar, hingga Abdurrahman bin Auf yang semuanya adalah seorang saudagar ditolaknya, apalagi saya (kata Ali) hanya seorang miskin. Meskipun berasal dari keluarga kelas ekonomi bawah, Ali tetap saja bersemangat bisa meminang pujaan hatinya.

Hingga akhirnya, Ali memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya, meminang putri nabi untuk jadi istrinya. Rasulullah bertanya “wahai putra Abu Thalib, apa yang engkau inginkan?” Ali menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah”.

Mendengar jawaban Ali nabi tidak terkejut. “Bagus, wahai Ibnu Abu Thalib, beberapa waktu terakhir ini banyak yang melamar putriku, tetapi ia selalu menolaknya, oleh karena itu, tunggulah jawaban putriku.” Jelas nabi kepada Ali.

Kemudian nabi bertanya kepada putrinya, ketika ditanya Fathimah hanya terdiam dan Rasulullah menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah pertanda kesetujuannya. Nabi pun kemudian mendekati Ali dan bertanya “apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau jadikan mahar wahai Ali?”

Ali menjawab, “orang tuaku yang menjadi penebusnya untukmu ya Rasulullah, tak ada yang kusembunyikan darimu, aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang dan sebuah baju zirah dari besi.”

Tak menunggu waktu lama, Ali kemudian menjual baju besinya dengan harga 400 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah Saw., dan nabi membagi uang tersebut ke dalam 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian dan satu bagian lagi di kembalikan kepada Ali sebagai biaya untuk jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta.

Syahdan, setelah semuanya siap, Ali dengan perasaan puas disertai hati yang sangat gembira dan disaksikan oleh para sahabat-sahabat Rasulullah mengucapkan kata ijab kabul, menerima Fathimah. 

Setelah akad, Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya.”

Dengan rasa yang sangat penasaran, Ali bertanya mengapa lelaki itu tidak mau menikah dengan kamu, dan apakah kamu menyesal menikah dengannya. Sambil tersenyum Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”

Pernikahan Ali dan Fatimah dikaruniai dua orang putra yakni Hasan dan Husain, serta dua orang putri bernama Zainab dan Ummu Kultsum. Dan, sebenarnya masih ada satu calon putra ketiga. Namun, janin yang kerap disebut bernama Muhsin itu meninggal dalam kandungan karena Fatimah keguguran. 

Demikian cerita yang penuh makna kisah cinta Ali dan Fatimah Az-Zahra. Semoga memberikan inspirasi bagi kita semua. Wallahu a’lam bisshawaab.

*Editor; Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Hikmah Menjaga Aurat Bagi Perempuan

Bagian-bagian tubuh yang tidak boleh terlihat bisa dinamai aurat.

Bagian-bagian tubuh yang tidak boleh terlihat bisa dinamai aurat. Dan aurat harus dijaga sebagai bentuk keimanan kepada Allah dan juga untuk menghindari diri dari hal-hal yang membahayakan.

Prof Quraish Shihab dalam buku Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah menjelaskan, kata aurat terambil dari bahasa Arab yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil dari kata awara yang berarti hilang perasaan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan mata, maka ia berarti hilang potensi pandangannya (buta) tetapi biasanya ia hanya digunakan bagi yang buta sebelah.

Sedangkan bila kata itu digandengkan dengan kalimat maka ia berarti ucapan yang kosong dari kebenaran atau tidak berdasar, atau ucapan yang buruk dan mengundang amarah pendengarnya. Dari makna-makna di atas kata aurat dipahami dalam arti sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang hendaknya diawasi karena ia kosong, atau rawan dan dapat menimbulkan bahaya dan rasa malu.

Alquran, kata Prof Quraish, menggunakan maknya yang terakhir ini ketika merekam ucapan kaum munafik yang enggan meninggalkan kampung halaman mereka menuju medan juang. Mereka berdalih sebagaimana terbaca dalam Alquran Surah Al-Ahzab ayat 13, Allah berfirman, “Inna buyutana aurat.” Yang artinya, “Sesungguhnya rumah-rumah kami sungguh sangat rawan (sehingga dapat terancam, dan karena ini kami tidak dapat meninggalkannya).”

Di dalam Alquran Surah Nuh ayat 58, Allah berfirman, “Ulaika lladzina an’amallahu alaihim minannabiyyina min dzurriyyati Aadama wa mimman hamalna ma’a Nuhin wa min dzurriyati Ibrahima wa Israila wa mimman hadaina wajtabayna idza tutla alaihim aayaturrahmaani kharruu sujjadan wa bukiyyan.”

Yang artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”

Kata aurah dalam ayat tersebut menurut Prof Quraish, sering kali disamakan dengan sau’ah yang secara harfiah dapat diartikan sesuatu yang buruk. Akan tetapi dari sekian contoh penggunaannya di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua aurat pasti buruk.

Tubuh wanita cantik—yang harus ditutup—bukanlah sesuatu yang buruk. Ia hanya buruk dan dapat berdampak buruk jika dipandang oleh yang bukan mahramnya. Itu adalah aurat dalam arti rawan, yakni dapat menimbulkan rangsangan berahi yang pada gilirannya jika dilihat oleh mereka yang tidak berhak melihatnya dapat menimbulkan kecelakaan, aib, dan malu.

Dengan demikian, bahasan tentang aurat dalam ajaran Islam adalah bahasan tentang bagian-bagian tubuh atau sikap dan kelakuan yang rawan, mengundang kedurhakaan serta bahaya. Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh kelihatan, kecuali dalam keadaan darurat atau kebutaan yang mendesak.

Sedangkan pria dan wanita merupakan dua jenis manusia yang berbeda. Perbedaan mereka bukan saja pada alat reproduksinya, tetapi juga struktur fisik dan cara berpikirnya. Pria dan wanita memiliki hormon-hormon yang kadarnya berbeda satu dengan yang lain.

Darahnya pun memiliki perbedaan-perbedaan. Jumlah butir darah merah pada wanita lebih sedikit ketimbang pria, kemampuan bernapasnya pun lebih rendah dari pria, dan otot-ototnya tidak sekeras otot pria. Masa pubertas wanita berlangsung pada usia 9-13 tahun, sedangkan pada lelaki antara usia 10-14 tahun.

Namun demikian, pria menghasilkan sperma dan tetap subur sejak masa pubertas hingga akhir hayatnya. Berbeda dengan wanita. Sel telur wanita akan habis sekitar usia 51 tahun. Siklus menstruasinya ketika itu berhenti dan ia tidak dapat lagi melahirkan.

Para psikolog menyatakan bahwa ada dalil umum yang berkenaan dengan psikoseksual pria, yang berlainan dengan wanita. Hasrat seksual pria lebih aktif, mudah terangsang (bahkan kadang-kadang tanpa rangsangan sama sekali). Sedikit senyuman atau betis terungkap saja bisa jadi menimbulkan perasaan bermacam-macam.

Dari sinilah Islam memberikan batasan-batasan. Agama ini tidak memerintahkan membunuh nafsu, tetapi memerintahkan manusia untuk mengendalikannya. Karena itu ditemukan beragam tuntunan kepada pria maupun wanita dalam konteks hubungan mereka.

ISLAMDIGEST

Bea Cukai Imbau Jamaah Haji Patuhi Aturan Barang yang Boleh dan tak Boleh Dibawa Pulang

Barang-barang yang diperbolehkan dibawa yakni barang-barang keperluan diri.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengimbau jamaah haji untuk mematuhi aturan pembawaan barang penumpang yang tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017. Adapun ketentuan ini harus dipatuhi para jemaah haji agar tidak ada kendala, baik saat kedatangan di Arab Saudi maupun saat kembali ke Indonesia.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Kementerian Keuangan Encep Dudi Ginanjar mengatakan sebagai instansi yang bertugas dalam melakukan pelayanan dan pengawasan terhadap barang bawaan penumpang, berkomitmen untuk memberikan pelayanan dan pengawasan yang optimal kepada para jamaah haji yang berangkat dan tiba kembali di Indonesia.

“Dalam aturan tersebut dijelaskan apa saja barang yang tidak boleh dibawa keluar negeri, bagaimana aturan membawa uang ke luar negeri, apa saja barang yang boleh dibawa masuk ke Indonesia, dan fasilitas pembebasan bea masuk sampai dengan batas tertentu,” ujarnya dalam keterangan resmi, Ahad (9/7/2023).

Encep menjelaskan pemeriksaan pabean oleh Bea Cukai dilakukan secara selektif, termasuk kepada para jamaah haji. Pada saat keberangkatan, terhadap barang bawaan jemaah haji tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh petugas Bea Cukai.

Pemeriksaan hanya dilakukan dalam hal terdapat kecurigaan dan atas dasar informasi intelijen terkait barang-barang larangan dan pembatasan, yaitu barang yang tidak diizinkan dibawa atau boleh dibawa tetapi dengan persyaratan dan perizinan dari instansi terkait. Adapun pada saat kedatangan, terhadap jemaah haji diberlakukan ketentuan sebagaimana lazimnya penumpang udara internasional.

Pada saat kedatangan setelah selesai menjalankan ibadah haji, lanjut dia, barang-barang yang diperbolehkan dibawa yakni barang-barang keperluan diri atau bekal jamaah haji serta buah tangan selama menjalankan ibadah haji, yang bukan termasuk barang larangan atau pembatasan dengan nilai maksimal 500 dolar AS.

Atas kelebihan dari nilai tersebut, maka akan dikenakan pungutan negara berupa bea masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan tentang barang bawaan penumpang dalam PMK 203/PMK.04/2017.

“Bea Cukai berkomitmen memberikan pelayanan yang optimal, baik pada saat keberangkatan maupun kepulangan para jamaah haji. Kami juga terus berupaya bersinergi dengan berbagai pihak untuk memastikan kelancaran pelayanan dan pengawasan di lapangan,” jelasnya.

IHRAM

Nikmat akan Datang Jika Kita Bersyukur

Bersyukurlah atas apa yang kita miliki, tak perlu khawatir apa yang belum kita miliki, karena nikmat akan datang ketika kita bersyukur

Hidayatullah.com | KATA yang paling sulit diucapkan banyak orang barangkali adalah kata “cukup”. Merasa cukup akan melahirkan ketenangan dan nikmat akan datang ketika kita selalu bersyukur.

Kapankah kita bisa berkata cukup?  Hampir semua pegawai (jika ditanyakan masalah ini) parsti akan merasa gajinya belum sepadan dengan kerja kerasnya.

Para pengusaha hampir selalu merasa pendapatan perusahaannya masih di bawah target dan merasa belum cukup. Anak-anak menganggap orang tuanya kurang murah hati, kurang perhatian, ujungnya belum “cukup”.

Semua merasa kurang dan kurang. Kapankah kita bisa berkata cukup? “Cukup” bukanlah soal berapa jumlahnya.

“Cukup” adalah persoalan kepuasan hati. “Cukup” hanya bisa diucapkan oleh orang yang mampu bersyukur.

Tak perlu takut berkata “cukup”. Mengucapkan kata “cukup” bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya.

“Cukup” jangan diartikan sebagai kondisi stagnasi, atau merasa pesimis, atau kecewa atau mandeg dan berpuas diri. Mengucapkan kata “cukup“ membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang belum kita dapatkan.

Jangan biarkan kerakusan, ketamakan manusia membuat kita sulit berkata “cukup”. Belajarlah mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini dan seterusnya, dengan begitu kita menjadi orang yang pandai bersyukur.

Seringkali kita berkeluh kesah atas segala ketetapan dan pemberian Allah Azza wa Jalla, sedikit sekali yang bersyukur. Allah Azza wa Jalla berfirman,

ثُمَّ سَوّٰىهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُّوحِهِۦ  ۖ  وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصٰرَ وَالْأَفْئِدَةَ  ۚ  قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuhnya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS: As-Sajdah: 9)

Demikianlah tabiat manusia, memang sedikit sekali yang bersyukur, Allah Azza wa Jalla mengingatkan kepada kita bahwa kelengkapan seluruh anggota tubuh kita yang Allah Azza wa Jalla ciptakan hendaknya kita bersyukur.

Menghindari Kufur Nikmat

Nikmat sehat sehingga mampu beribadah dan aktifitas, belum lagi curahan rejeki yang begitu banyak, tapi ternyata memang sedikit sekali yang bersyukur.

Allah Azza wa Jalla yang Maha Rahman, mengulang ulang kalimat mulia ini hampir 31 kali dalam Al-Qur’an Surat Ar Rahman. Tidakkah kita merasa diingatkan dengan itu, artinya dengan segala apapun yang terjadi wajibnya untuk menghindari kufur nikmat?

Allah Azza Wa Jalla berfirman,

فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS: Ar-Rahman: 77).

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ  ۖ  ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُونَ

“Dan segala nikmat yang ada padamu datangnya dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53).

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ  ۗ  إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18).

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang  mengingatkan kita betapa penting dan wajibnya mensyukuri nikmat itu.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR Bukhari, No. 5933).

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:  “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk orang lain.”  (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits No. 5933).

Ibnu Baththaal rahimahullah mengatakan:

“Makna hadits ini, bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar punya waktu luang sehingga dia tercukupi kebutuhannya dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah Azza wa Jalla terhadap nikmat yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah Azza wa Jalla adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu.”

Hidup nikmat itu bukan soal angka melainkan soal rasa. Nikmat itu akan datang bila kita mengikatnya dengan rasa syukur.

Bersyukur dalam segala hal, kita akan bahagia dalam setiap keadaan. Syukur adalah cara yang paling bijak untuk merasa lebih meski dalam serba kekurangan dan serba keterbatasan.

Bersyukurlah atas apa yang kita miliki, kita tak akan pernah khawatir dengan apa yang belum kita miliki. Dalam kondisi apapun, Allah Azza wa Jalla akan menghadirkan kenikmatan dan kebahagiaan.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa bersyukur atas setiap ketetapan dan pemberian Allah Azza wa Jalla untuk meraih ridha-Nya. Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawa.*/Bagya Agung Prabowo, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)

HIDAYATULLAH