Hartawan Ini Hibahkan Kekayaan Rp 426 T karena Surat Ad-Dhuha

Hartanya sebesar US$ 32 miliar akan dihibahkan seluruhnya.

Pangeran Arab Saudi Alwaleed bin Talal membuat keputusan mengejutkan. Orang terkaya Saudi ini berjanji akan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya yang mencapai US$ 32 miliar, atau lebih dari Rp 426 triliun, untuk berbagai kegiatan amal.

Mengutip Arabian Business.com, Alwaleed mengungkapkan mengapa dia menyedekahkan seluruh harta kekayaannya itu.

Orang terkaya ke-34 versi Majalah Forbes ini mengungkapkan komitmennya itu di bulan Ramadan tahun ini. Pangeran Alwaleed mengatakan sedekahnya ini akan disalurkan melalui lembaga amalnya, Alwaleed Philanthropies, selama beberapa tahun ke depan.

Alwaleed Philanthropies akan menggunakan hartanya untuk meningkatkan pemahaman antar kebudayaan dan membantu masyarakat miskin, melalui bantuan pendidikan, kesehatan, pencegahan penyakit, penyediaan listrik dan rumah, pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta pembangunan gedung untuk anak yatim dan sekolah.

Lembaga amal milik Alwaleed itu juga akan memberikan bantuan bencana alam dan menciptakan dunia yang lebih toleran dan penuh penerimaan.

“Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa saya melakukan ini? Tanggapan saya adalah bahwa semua orang pasti melalui situasi yang mengubah hidupnya di satu titik yang memiliki pengaruh besar di masa depannya,” katanya seperti dikutip Dream, Sabtu, 11 Juli 2015.

“Saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan, dengan mata kepala sendiri, kondisi yang menantang masyarakat di seluruh dunia. Saya telah berdiri di antara mereka yang menderita dan membutuhkan bantuan besar. Saya juga belajar dari hambatan luar biasa melalui pertemuan dengan para pemimpin negara dan masyarakat di seluruh dunia.”

Pangeran Alwaleed menambahkan, mengingat kondisi ekonomi dan sosial dunia saat ini, dan dampak menghancurkan dari perang dan bencana alam di seluruh dunia, maka dibutuhkan lebih banyak upaya kolaboratif dari semua pihak yang mampu untuk berdiri dalam upaya mengentaskan kemiskinan di masyarakat yang paling kekurangan, dan untuk memajukan serta membangun masyarakat dunia.

Pangeran Alwaleed mengatakan langkah yang ditempuhnya ini karena mengikuti perintah Allah dalam Alquran Surat Ad-Dhuha.

“Seperti yang sudah saya lihat, sudah tiba saatnya bagi saya untuk berbagi semua yang saya miliki untuk mendukung masyarakat melalui yayasan saya, Alwaleed Philanthropies,” katanya.

Pahala Puasa 6 Hari di Bulan Syawal Setara Setahun

Namun puasa enam hari di bulan Syawal ini tidak bleh dimulai pada tanggal 1 Syawal. Sebab, pada hari itu, umat Muslim diharamkan berpuasa.

Puasa enam hari di bulan Syawal sunah hukumnya. Namun, puasa ini memiliki sejumlah keutamaan. Dalam hadis, Nabi Muhammad bersabda puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan puasa satu tahun penuh.

“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh.” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Praktik berpuasa enam hari pada bulan Syawal sama dengan berpuasa di bulan Ramadhan, boleh bersahur dan berhenti sahur saat waktu imsak. Bedanya, saat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, boleh dilakukan secara berurutan atau berselang hari, yang penting masih di bulan Syawal.

Namun puasa enam hari di bulan Syawal ini tidak bleh dimulai pada tanggal 1 Syawal. Sebab, pada hari itu, umat Muslim diharamkan berpuasa. Sehingga boleh dimulai pada hari ke-2 Syawal.

Bagi kaum perempuan yang berutang puasa saat Ramadan, puasa enam hari di bulan Syawal bisa dikerjakan setelah membayar utang itu. Atau bisa juga berpuasa Syawal dulu baru membayar utang puasa Ramadan pada bulan-bulan berikutnya, sebelum Ramadan berikutnya.

sumber: Dream.co.id

Kapan Mulai Puasa Syawal?

Kapan mulai puasa Syawal? Apakah di awal Syawal ataukah boleh diakhirkan?

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menurut ulama Syafi’iyah, puasa enam hari di bulan Syawal disunnahkan berdasarkan hadits di atas. Disunnahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan di awal Syawal, maka itu boleh. Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadits. Sunnah ini tidak diperselisihkan di antara ulama Syafi’iyah, begitu pula hal ini menjadi pendapat Imam Ahmad dan Daud.” (Al Majmu’, 6: 276)

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa puasa Syawal boleh dilakukan sejak awal Syawal. Boleh juga diakhirkan. Baca pula artikel Rumaysho.Com: Mulai Puasa Syawal Sejak Tanggal 2 Syawal.

Semoga bermanfaat.

Disusun di Panggang, Gunungkidul, 2 Syawal 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal? Keutamaan Puasa Syawal Kita tahu bersama bahwa

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawirahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebihshahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.

Disusun di pagi hari penuh berkah, 2 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [3]

Sambungan artikel KEDUA

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

Kesembilan, orang yang menangisi kesalahan yang dilakukannya

Siapakah manusia yang bebas dari kesalahan? Tidak satu orang pun yang lepas dari jerat-jerat kesalahan dan kekhilafan. Disengaja atau tidak, manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Manusia tempatnya salah dan lupa. Dua sifat ini selalu berada pada diri manusia. Tinggal bagaimana seseorang berhati-hati agar tidak jatuh dalam kesalahan dan segera bertaubat sembari menangisi kesalahan yang sudah ia lakukan.

Seorang ulama, Syaqiq Al-Balakhi pernah berkata, “Tanda taubat adalah menangisi perbuatan dosa di masa lalu, takut terjatuh ke dalam perbuatan dosa, meninggalkan teman-teman yang buruk, dan selalu membersamai orang-orang shalih.”

Menangisi kesalahan termasuk tanda kebahagiaan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang menangisi kesalahannya.” (HR. Thabrani).

Kesepuluh, orang yang sibuk dengan sib sendiri

‘Aib adalah bentuk masdar dari kata kerja `Aaba, Ya`iibu, `Aib artinya cacat, cela, rusak, buruk, salah, dan lemah. Sayidina Umar bin Khattab RA pernah berdoa, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aibku kepadaku.” Ketika Salman mengunjunginya, beliau berkata, “Coba sebutkan perilakuku yang tidak kausukai.” Salman menolak dengan halus, namun beliau terus mendesak. Akhirnya Salman berkata, “Kudengar kaumakan dengan dua lauk, dan memiliki dua pakaian, satu kaukenakan di siang hari dan satu lagi kaukenakan di malam hari.”

“Selain itu, adakah hal lain yang tidak kausukai?,” Tanya sahabat Umar lebih lanjut. “Tidak.”

“Sesunguhnya dua perbuatan yang kausebutkan tadi telah kutinggalkan, ucap beliau.”

Di waktu lain, beliau juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, Engkau adalah Shahibus Sirri (orang yang mengetahui berbagai rahasia) Rasulullah saw yang dapat mengenali orang munafik. Apakah kaumelihat tanda-tanda kemunafikan pada diriku?

Kisah Sayidina Umar menjadi pelajaran berharga tentang sikap seorang arif dan bijaksana dalam mengenali serta menyadari kekurangan pada diri sendiri. Sebuah sikap yang menggambarkan betapa beliau sibuk dengan kecacatan dan kelemahan diri, tanpa melihat kecacatan dan cela pada diri orang lain.

Sikap ini harus menjadi alur kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi seperti bunyi peribahasa, Kuman di seberang lautan, tampak. Sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Contoh nyata dari sikap sibuk dengan aib sendiri, antara lain, meninggalkan tayangan infotaiment yang mengumbar aib orang lain, terkait perselingkuhan, perceraian, pengkhianatan dan sebagainya.

Siapa yang sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak melihat aib pada diri orang lain adalah sikap orang yang bahagia. “Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib sendiri daripada menyibukkan diri dengan aib orang lain,” sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Dailami.

Kesebelas, orang yang rendah hati

Sikap rendah hati adalah lawan sikap takabbur (sombong). Sombong merupakan sikap tercela, sementara rendah hati adalah sikap terpuji. Rendah hati yang dalam bahasa arab disebut tawadhu` menjadi hiasan para salafus shalih. Mereka bersikap baik kepada siapa saja, baik kepada orang kaya atau miskin.

Sikap tawadhu` itu tercermin, salah satunya pada diri Sayidina Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Suatu saat beliau menaiki kuda lalu melewati sekelompok orang miskin yang akan makan. Beliau diundang tiba-tiba. Diajak untuk makan bersama yang tentunya dengan sangat sederhana. Tanpa banyak pikir lagi, Sayidina Hasan langsung memenuhi undangan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Usai makan, beliau mengundang orang-orang miskin datang ke rumahnya pada keesokan hari.

Keesokan harinya, beliau menjamu orang-orang miskin ini dengan jamuan yang sangat lezat sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.

Setali tiga uang, Umar bin Abdul Aziz yang kala itu telah menjadi Amirul Mukminin pernah suatu malam didatangi seorang tamu. Saat itu beliau sedang menulis sesuatu. Lampu minyak yang beliau gunakan sebagai penerang nyaris meredup. Si tamu berkata, “Izinkan saya untuk memperbaikinya.”
Umar berkata, “Tidaklah termasuk dari kemuliaan seseorang jika ia membiarkan tamunya bekerja membantu.” “Kalau begitu, saya panggilkan pembantu saja.” Jawab Umar, “Jangan engkau bangunkan. Ia sedang tidur setelah lama tidak beristirahat.”

Kata tamu, “Berarti, engkau sendiri yang akan mengerjakannya, wahai Amirul Mukminin?” Umar mengatakan, “Ketika aku keluar rumah, aku adalah Umar. Ketika aku kembali ke rumah, aku juga tetap Umar seperti ini. Tidak ada sesuatu pun yang berkurang dari diriku. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersikap rendah diri di hadapan Allah.”

Berbahagialah orang yang bersikap rendah hati. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,“Berbahagialah orang yang rendah hati bukan karena kekurangan..” (HR. Bukhari).

Itulah golongan orang-orang yang beruntung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan sesuai amal perbuatannya. Bahagia atau tidak, beruntung atau tidak, tidak diukur dari harta, tahta, dan jabatan serta seabrek aksesoris materi yang nisbi. Orang-orang yang bahagia, pada intinya, orang-orang yang dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.*

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [2]

Setiap hari, Rasul beristighfar kepada Allah tidak kurang 100 kali. Padahal, beliau sudah diampuni oleh Allah

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

Keenam, orang yang banyak beristighfar

Beristighfar berasal dari bahasa arab: istaghfara, yastaghfiru, istighfaaran. Artinya memohon ampunan atas segala perbutan dosa kepada Allah Subhanahu Wata’al. Beristighfar adalah bentuk pertaubatan seseorang atas segala noda dosa dan kesalahan yang ia lakukan.

Setiap hari, Rasul beristighfar kepada Allah tidak kurang 100 kali. Padahal, beliau sudah diampuni oleh Allah. Namun, beliau tahu diri dan tetap mengharap ampunan Allah yang tidak terbatas. Selama hayat masih dikandung badan, selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan, permohonan ampun seorang hamba tidak akan diabaikan oleh Allah Subhanahu Wata;ala. Allah Maha Pengampun atas segala dosa, dosa besar atau kecil.

Semakin banyak memohon ampun semakin besar kesempatan menjadi orang yang bahagia, secara lahir maupun batin. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang dalam catatan amalnya terdapat banyak istighfar.” (HR. Ibnu Majah).

Ketujuh, orang yang hidup Sederhana

Hidup sederhana tidak berarti membeci harta dan lari dari kekayaan. Dalam Islam, harta bukan menjadi tujuan tapi perantara untuk memuluskan langkah kehidupan dalam mengabdi kepada Allah. Titik tekannya adalah bagaimana menjalani kehidupan di dunia yang sementara dengan tidak sombong, boros dan berlebih-lebihan.

Hidup sederhana adalah hidup yang bersahaja. Memuji Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Tidak mengeluh dan putus asa atas apa yang belum didapatkan dari keinginan. Bersyukur kepada Allah merupakan kunci orang yang ingin hidup sederhana. Menurut Nabi Subhanahu Wata’ala, Orang kaya bukanlah orang banyak harta. Demikian orang miskin bukanlah orang yang tidak berharta. Orang kaya adalah orang yang hatinya diisi dengan rasa syukur. Orang miskin adalah orang yang sempit jiwanya karena tidak memiliki rasa syukur.

Berbahagialah orang yang hidup sederhana, bersahaja, pandai mensyukuri nikmat Allah, sedikit atau banyak. “Berbahagialah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, hidupnya sederhana, dan ia rela atasnya.” (HR. Turmudzi).

Kedelapan, orang yang panjang umur dan beramal baik

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata dalam Kitabul Hikam, “Sesungguhnya modalmu hanyalah umur. Maka isilah ia dengan perbuatan terpuji dan kemuliaan amal shalih.”

Ada tiga golongan manusia dalam mengisi umurnya. Pertama, orang yang diberi umur (modal) yang ia manfaatkan dengan berhati-hati. Ia sadar benar bahwa modal ini hanya sementara maka ia gunakan sebagai sarana melakukan amal shalih. Inilah orang yang akan memeroleh keuntungan.

Kedua, orang yang malas dalam menjalankan dan memanfaatkan modalnya. Ia mendiamkan modalnya begitu saja. Tidak memanfaatkannya sebagaimana mestinya sehingga ia menjadi orang yang rugi, tanpa memeroleh manfaat.

Ketiga, golongan yang gemar menghambur-hamburkan modalnya. Baginya, modal hanya diperuntukkan untuk kepuasaan dan kesenangan. Dalam pandangannya, modal umur hanya bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal yang mengasyikkan hingga menyeretnya kepada kerugian yang besar.

Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyampaikan, “Berbahagialah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Thabrani).*/(bersambung)

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [1]

Rasul membahasakan bahagia dengan kata ‘thuba’ yang berarti beruntung, bahagia, dan sukses

Oleh: Ali Akbar bin Aqil

SETIAP orang pasti ingin bahagia. Sayangnya, sebagian orang menilai kebahagiaan terletak pada harta dan materi. Artinya seseorang memandang dirinya dan dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bahagia kalau memiliki harta melimpah, deretan mobil, hamparan tanah yang luas dan seabrek fasilitas dunia lainnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memiliki kriteria tersendiri untuk menilai apakah seseorang masuk sebagai golongan yang bahagia atau tidak. Beliau berpandangan bahwa bahagia itu bukan sebuah kondisi tapi pilihan. Kita bisa memilih untuk menjadi orang yang bahagia meski pun kita bukan termasuk orang yang kaya.

Rasul membahasakan bahagia dengan kata ‘thuba’ yang berarti beruntung, bahagia, dan sukses. Dari kata thuba inilah kita bisa menemukan jejak-jejak orang yang bahagia untuk kita jadikan sebagai evaluasi diri apakah diri kita sudah termasuk di dalamnya atau belum.

Pertama, orang yang bahagia adalah orang yang asing dalam kesalehan

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Beruntunglah orang yang asing.” Sahabat bertanya, “Siapakah orang-orang asing itu?” Nabi menjawab, “Orang asing (yang beruntung itu) adalah orang-orang shalih yang berada di tengah masyarakat yang banyak melakukan keburukan, yang melakukan kemaksiatan lebih banyak daripada yang melakukan ketaatan.”

Inilah kriteria orang bahagia menurut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Yakni orang yang tetap istiqamah mengerjakan kebajikan, meski di sekelilingnya lebih pro kepada keburukan. Orang asing seperti ini tidak ambil pusing dan peduli, apakah ia dinilai negatif atau positif oleh orang-orang yang hanyut dalam sungai kemaksiatan. Yang ia pedulikan adalah meraih ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Ia tidak ikut hanyut ke dalam arus keburukan yang sedang mengaliri kehidupan di suatu zaman.

Orang yang asing dalam kesalehan selalu berupya memiliki pendirian yang kuat, tidak berubah-ubah layaknya bunglon yang berubah kulit pada masa tertentu. Pagi dan sore, siang dan malam, ia tetap konsisten dalam mengabdi kepada Allah sembari terus berusaha memperbaiki diri dan orang lain untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Kedua, orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam meski tidak menjumpainya.
Jumlah manusia yang beriman kepada Rasul dan semasa dengan beliau tidak sebanding dengan jumlah umat Islam yang hidup sepeninggalnya. Jarak waktu yang begitu panjang telah memisahkan antara kehidupan kita dengan masa Rasul. Di sinilah letak keistimewaannya. Meski tidak berjumpa secara langsung namun tetap beriman terhadap risalah yang disampaikan oleh Nabi. Orang-orang ini masuk dalam golongan kaum yang beruntung. Seperti sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam,

“Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku dan berbahagialah dan (beruntunglah) orang yang tidak melihatku dan beriman kepadaku (7x menyebut).” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, kita harus mati-matian mempertahankan iman dalam hati kita sampai akhir hayat. Godaan dan tantangan di depan semakin kuat dan keras. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan umur kita berakhir dalam keadaan iman, dalam keadaan husnul khatimah.

Ketiga, orang yang beramal berdasar ilmu

Kita pernah bahkan sering mendengar ungkapan yang artinya, Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Ilmu , sedikit atau banyak, yang sudah kita raih harus kita amalkan. Mengamalkan suatu perbuatan harus didasari ilmu agar tahu mana yang benar dan yang salah. Imam Bukhari pernah berkata, Ilmu sebelum beramal dan berucap. Ucapan ini menunjukkan pentingnya ilmu sebagai dasar dalam melakukan suatu tindakan.

Oleh karenanya, menjadi sangat penting untuk mengamalkan ilmu dan mengamalkan sesuatu berdasarkan ilmu. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang beramal dengan ilmunya.” (HR. Bukhari)

Keempat, orang yang ikhlas

Ikhlas artinya bersih, suci, murni. Orang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang melakukan amal kebaikan karena Allah (Lillaahi ta`ala), tanpa embel-embel, tanpa mengharap imbalan, pujian, dan penghargaan dari selain-Nya. Beramal dengan ikhlas tidak akan membuat seseorang mabuk kepayang oleh pujian pun juga tidak melemah karena hardikan dan cacian dari manusia.

Orang yang ikhlas dikategorikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai orang yang beruntung, orang yang sukses, orang yang berhasil. Sabda beliau, “Berbahagialah orang-orang yang ikhlas, mereka adalah pelita-pelita hidayah yang dari mereka setiap fitnah yang gelap menjadi terang.” (HR. Abu Nu`aim).

Kelima, orang yang mampu menahan lidahnya

Ada bunyi pepatah, Lidahmu Harimaumu yang pas menggambarkan betapa besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh lisan. Ucapan yang terlontar dari lisan tidak lagi bisa ditarik. Ucapan itu menjadi catatan dalam kehidupan seseorang.

Lidah memang bentuknya kecil namun akibat yang ditimbulkan begitu besar, lebih besar dari bentuk lidah itu sendiri. Karenanya, Rasul memerintahkan kepada kita untuk berkata baik. Kalau kita tidak mampu, maka diam adalah pilihan terbaik. Di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, sangat penting untuk mengendalikan ucapan. Tidak melapas dan melempar ucapan dengan begitu mudah.

Perhatikan dan lihat baik-baik apakah pada ucapan yang akan kita sampaikan, mengandung manfaat atau sebaliknya. Jika bermanfaat, sampaikanlah. Jika tidak, tahan dan ini jauh lebih selamat.

Siapa yang mampu mengendalikan lidahnya ia akan tergolong sebagai orang yang beruntug. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya…” (HR. Baihaqi).* (bersambung)

Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

Sungguh! Masa Tidur Telah Habis

Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan malam-malamnya, kecuali membaca buku.

Oleh: Mahmud Budi Setiawan

SAAT Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam berselimut, turunlah wahyu(Qs. Al-Muddatsir: 1-7). Beliau pun bergegas bangun dari ranjang. Khadijah sebagai istri yang melihat suami tercinta terlihat letih, segera menganjurkannya tidur kembali supaya hatinya tenang. Jawaban sang suami sungguh dahsyat dan tak pernah diprediksi:

“Wahai Khadijah! Masa tidur dan istirahat telah habis. Jibril telah memerintahkanku memperingatkan dan berdakwah pada manusia.”(Muhammad Husain Haikal, Hayāt Muhammad, 1/192).

Sejak saat itu, memang terbukti. Hari-hari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam –selama dua puluh tiga tahun lamanya- padat dengan kegiatan dakwah.

Pernyataan itu bukan menunjukkan beliau tidak tidur sama sekali, tapi waktu tidur untuk hal-hal yang mubah, dikurangi.

Waktunya lebih banyak digunakan untuk hal bermanfaat. Bukan 24 jam tidak pernah tidur. Beliau sendiri menganjurkan melakukan sesuatu secara seimbang serta memberikan hak-haknya.

Suatu saat beliau pernah menegur orang yang bertekad tidak tidur dan ingin shalat tahajud selamanya. Di akhir hadits beli berkata: “Barangsiapa benci sunnahku maka bukan dari (golongan) ku.”(HR. Bukhari Muslim).

Beliau diutus sampai dua puluh tiga tahun. Tugasnya sangat berat. Di samping sebagai nabi dan rasul, beliau juga seorang ayah, suami dari sembilan istri, imam masjid, sewaktu di Madinah hampir tiga bulan sekali memimpin ekspedisi militer. Jadi sangat wajar jika beliau sangat sedikit tidurnya. Di samping itu, bukankah dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa ciri-ciri orang muhsin(baik) di antaranya: Pertama, sedikit tidur di malam hari. Kedua, istighfar di waktu sahur(Ad-Dzariyat: 17-18).

Beliau benar-benar mempraktikkan ayat tersebut, karena menurut Ibunda Aisyah, ‘Akhlaknya adalah Al-Qur`an’(HR. Ahmad).

Para ulama pun ternyata memiliki kebiasaan yang sama. Muhammad bin Al-Hasan sangat sedikit tidurnya di malam hari karena sibuk dengan kegiatan keilmuan (31). Abu Bakar Al-Baqalani, tidak akan tidur malam sebelum menulis tiga puluh lembar(87). Qadhi Iyadh juga memperingatkan agar penuntut ilmu sedikit makan dan tidur (109-110).(Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā).

Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidāyatu al-Mujtahid –dalam sejarah- tidak pernah meninggalkan malam-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja:

Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam kemantin. (baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni). Imam Syafi`i membagi waktu malamnya menjadi tiga: untuk ilmu, tidur dan beribadah. Jadi porsi untuk tidur hanya spertiga malam. (Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, 1/24).

Karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan: “orang-orang besar di dunia, waktu tidurnya rata-rata sedikit.” Waktu mereka tidak pernah disia-siakan untuk tidur kalau tidak mengantuk benar.

Imam Ghazali pernah mengalkulasikan, jika umur rata-rata manusia ialah enam puluh tahun, seandainya setiap hari tidur selama delapan jam, maka selama hidup ia akan tidur selama dua puluh tahun. (Ihyā `Ulūmi al-Dīn, 1/339).

Bayangkan! Sepertiga hidup hanya untuk tidur. Lalu bagaimana dengan yang tidur lebih dari delapan jam perharinya. Betapa banyak waktu terbuang sia-sia hanya untuk tidur?

Kalau kita hendak mengukur diri, ada baiknya mengalkulasi sudah berapa tidur kita selama. Kalau ternyata, waktu tidur lebih bayak dari pada waktu-waktu yang bermanfaat, maka percayalah bahwa kita masih jauh dari kesuksesan. Beranikah kita berkomitmen seperti Nabi: “Waktu tidur telah habis!”. Wallahu a`lam.*

sumber: Hidayatullah.com

Bahagia Tanpa Batas Bagi Lulusan Madrasah Ramadhan

KITA tidak tahu apakah tahun depan masih bertemu lagi atau tahun ini Ramadhan terakhir yang kita jalani. Tapi, prinsip kita sebagai orang yang beriman, kita ketemu Ramadhan lagi atau tidak, No Problem!.

Yang jadi masalah adalah ketika tidak memahami substansi Ramadhan dan enggan menghidupkannya di luar Ramadhan. Yakni, semangat bagaimana hidup selalu bahagia (unlimited happiness), atau dengan kata lain bagaimana kebahagiaan itu selalu meliputi kehidupan kita.

Puncak Sukses
Kebahagiaan adalah puncak perjuangan yang dicari setiap orang di dunia ini. Ramadhan benar-benar mengajarkan kita hidup bahagia.

Mari kita renungkan, sejak sebelum Ramadhan dan saat kita menjalani ibadah Ramadhan hingga pada saat hari raya Iedul Fitri suasana kebahagiaan sangat terasa. Suasana ini tidak saja dirasakan oleh ummat Islam, non-muslim pun turut “kecipratan” bahagia.

Bagamanapun sikap kita saat menjalani ibadah Ramadhan -dengan sempurna atau setengah-setengah- tetap kita mendapat percikan kebahagiaan itu.

Tetapi, tentu saja, siapa yang menjalani ibadah Ramadhan dengan sempurna kebahagiannya juga sempurna. Siapa yang menjalaninya setengah hati atau banyak cacat ibadahnya ia mendapat kebahagiaan sesuai usahanya.

Bagi orang beriman perginya Ramadhan sungguh sangat memilukan hati. Kerinduan yang membuncah di bulan Syawal dan bulan selanjutnya hanya bisa diobati dengan datangnya Ramadhan lagi. Meskipun seluruh potensi yang ia miliki telah ia kerahkan untuk menjalani ibadah Ramadhan dengan maksimal, tetaplah masih merasa kurang. Apalagi menjalani ibadah Ramadhan setengah hati.

Hal itu timbul berangkat dari keyakinan yang mendalam terhadap janji dan jaminan Allah bagi orang yang berhasil memproses dirinya hidup dengan ketaqwaan. Sungguh Allah tiada mengingkari janji-Nya.

Kiat Menghadirkan Kebahagiaan
Pertama, untuk hidup bahagia tanpa batas adalah mampu membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan. Hidup bahagia adalah dambaan setiap orang.

Berbagai macam cara orang mencari kebahagiaan. Ada yang dengan menumpuk-numpuk harta. Ada yang mencari kebahagiaan dengan kawin melulu dan selingkuh. Ada yang mencari kebahagiaan dengan shopping, berwisata, mengikuti gaya hidup selebritis.

Sesungguhnya, itu bukanlah kebahagiaan, melainkan kesenangan dunia. Kesenangan sesaat yang hanya membuat pelakunya tersiksa secara batiniyah dan pemborosan secara finansial. Kebahagiaan adalah nikmat yang berlipat-lipat. Hal ini terkait secara fisik dan non-fisik. Sedangkan kesenangan hanya bersifat fisik semata.

Kedua, kenali Allah Ta’aala sebagai penguasa segalanya. Kebahagiaan hakiki hanyalah terletak dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah subhaanahu wata’ala. Karena ujung perjalanan kita adalah innaa lillaahi wa innaa ilahi raajiuun (kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali), maka kita harus memahami dengan baik siapakah Allah Ta’ala yang harus kita taati itu.

Maka membaca, memahami, dan men-tadabburi Al Qur’an adalah cara untuk mengenal-Nya. Ketika sudah kenal dengan baik, maka akan mudah ingat Allah (dzikrullah). Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang. (QS.Ar Ra’du [13] : 28)

Ketiga, pahami akhir perjalanan hidup. Memahami akhir perjalanan sangat mempengaruhi seseorang menjalani hidup dengan penuh bahagia. Akhir perjalanan adalah cita-cita, harapan atau tujuan.

Tidak akan bahagia kecuali orang yang semangat menjalani hidup menempuh harapan masa depan. Harapan masa depan yang sesungguhnya adalah syurga Allah subhanahu wata’ala.Kehidupan di surga adalah kehidupan yang sangat membahagiakan.

Inilah sebabnya mengapa seorang muslim seharusnya ia adalah orang yang paling bahagia, karena ia sudah tahu betul akhir perjalanannya dan memahami dengan baik eksistensi Tuhannya.

Keempat, pahami bahwa kebahagiaan itu berangkat dari cinta. Kehidupan surgawi adalah kehidupan penuh cinta. Tiada perkataan sia-sia dan dusta (QS.An Naba’ [78]: 35). Seperti yang telah kita jalani selama bulan Ramadhan, semua orang dengan cintanya semangat beribadah. Dimana secara vertikal begitu dekat dengan Allah. Membuat hidup semakin tenang dan bahagia.

Secara horisontal kita jalani hidup dengan mencintai sesama hamba Allah. Mencintai berarti peduli dan memberi. Orang yang mencintai pasti bahagia, tapi orang yang hanya dicintai belum tentu bahagia. Inilah sumber terbangunnya akhlaq mulia.

“ Kecuali orang yang beriman dan berbuat kebajikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS.Ath-Thiin [95] :6)

Pahala itu kompensasi atau ganjaran yang merupakan timbal balik seseorang setelah berbuat baik. Bukankah telah sering kita buktikan, bahwa setelah kita berbuat baik, misalnya menolong orang, hati senang dan bahagia rasanya bisa membantu orang lain.

Semangat berbuat baik itu telah terlatih selama bulan Ramadhan. Siang maupun malam, dalam keadaan sempit ataupun lapang, kaya atau miskin, semuanya senang berbuat baik. Termasuk anda, pembaca tercinta. Dengan membaca tulisan ini, sudah menjadi bukti anda senang berbuat kebaikan.

Menanamkan kebaikan berarti menanamkan kebahagiaan. Maka siapa yang hidupnya ingin bahagia tanpa batas, berbuat baiklah selalu meski Ramadhan telah berlalu. Ayo, kita menjadi bintang film atau foto model kebaikan.

“Sungguh rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Al A’raf [7]: 56). “Dan Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imron [3]: 148). Wallahu’a’alam.

______
Ustadz MD Karyadi, Lc, penulis adalah pengasuh Yayasan Dakwah Hidayatullah Cikarang Bekasi dan pembina di www.dakwahcenter.com

Rep: Admin Hidcom

Editor: Huda Ridwan

sumber: Hidayatullah

Kasus Tolikara dan Peran Syariah

Syariah Islam memerlukan sebuah negara yang menerapkan syariah tersebut

Oleh: Kholila Ulin Ni’ma  

HARI ini kita patut bersyukur kepada Allah Yang telah memberi kita kesempatan untuk menikmati Idul Fitri yang penuh bahagia setelah sebulan berpuasa, agar kita menjadi insan-insan yang bertaqwa. Namun, di tengah rasa bahagia itu, kita tidak boleh melupakan kondisi umat Islam terkini, baik di dalam maupun luar negeri. Pasalnya, masih banyak persoalan silih berganti seolah tak mau berhenti.

Di dalam negeri kebijakan-kebijakan neoliberalisme terus menggila. Harga-harga barang dan jasa terus naik. Harga BBM naik akibat subsidi dicabut. Harga gas elpiji naik. Tarif listrik naik. Bahkan tahun 2016 subsidi listrik untuk pelanggan Rumah Tangga 450 watt dan 900 watt akan dicabut pula. Artinya pelanggan nantinya harus membayar hampir dua kali lipat dari tarif listrik saat ini. Kita juga melihat nilai tukar dolar AS semakin kuat, sementara nilai rupiah makin melema. PHK mulai merajalela akibat lesunya perekonomian di negeri ini.

Anehnya, dalam situasi seperti ini, sikap penguasa terhadap perusahaan asing justru sebaliknya. Contohnya terhadap PT Freeport yang menguasai tambang emas, perak, dan tembaga di Papua. Tambang yang dalam syariah Islam seharusnya menjadi milik bersama itu justru dieksploitasi secara rakus oleh PT Freeport yang banyak melanggar aturan yang ada. Namun pemerintah membiarkannya. Pemerintah malah memperpanjang izin operasi PT Freeport selama 20 tahun tali di Papua.

Kekerasan Tolikara

Saat ini umat Islam di Indonesia semakin terdiskriminasi. Tepat di hari pertama Idul Fitri umat Islam di Kabupaten Tolikara Papua diserang oleh oknum umat Kristen, disusul dengan pembakaran masjid ketika mereka sedang khusyu’ melaksanakan sholat Ied.

Aksi brutal ini menunjukkan kegagalan negara sekuler melindungi umat Islam. Di saat pelaku kriminalnya nonMuslim, pemerintah terkesan kurang tanggap. Giliran “diduga” pelakunya Muslim dan korbannya non Muslim semua angkat bicara. Dan sanksipun segera dijatuhkan. Bahkan “terduga” pelaku tersebut seringkali dieksekusi tanpa ada proses persidangan.

Kondisi umat Islam di luar negeri juga sangat memprihatinkan. Kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita para pejuang syariah khilafah yang ditindas diktator brutal Uzbekistan. Jangan lupakan juga saudara-saudara kita Muslim Rohingya yang sengsara terombang-ambing di tengah lautan!

Juga saudara-saudara kita diMesir yang ditindas oleh Presiden Jenderal As-Sisi yang telah menjadi tiran! Jangan lupakan pula saudara kita di Suriah yang dibunuh dan diperangi oleh pemimpinnya sendiri, Bashar Assad. Semuanya mendapat dukungan penuh dari gembong kekufuran, yakni AS dan komplotannya.

Sungguh kita tidak boleh mengabaikan kondisi umat yang demikian. Kita adalah umat yang satu. Penderitaan saudara-saudara di muka bumi manapun hakikatnya adalah penderitaan kita juga.

“Kaum Muslim itu laksana seorang laki-laki. Jika sakit matanya, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit. Jika sakit kepalanya, maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit pula.” (HR Muslim)

Kondisi umat saat ini ibarat orang sakit. Obat yang pas dan mujarab adalah syariah Islam saja. Syariah Islam telah mengharamkan kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang menimbulkan derita. Kebijakan ini lahir dari negara-negar kafir penjajah, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga mereka seperti IMF, WTO, ADB, dan bank Dunia. Adanya dominasi asing atas kita ini sebenarnya diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, sesuai firman-Nya:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa’: 141)

Syariah Islam juga telah mewajibkan kita mengelola tambang-tambang besar, seperti di Papua, sebagai milik kita bersama (milkiyah ‘ammah), bukan sebagai milik pribadi yang dapat dieksploitasi oleh korporasi swasta. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Aalaihi Wassalalam. Beliau pernah membatalkan pemberian tambang kepada pribadi yang depositnya sangat besar.

Islam juga telah mewajibkan kita untuk memberikan pertolongan kepada saudara sesama Muslim yang menderita, seperti Muslim Rohingya yang sampai saat ini masih berada dalam derita. Allah berfirman:

وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

“jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (QS al-Anfal: 72)

Lalu bagaimana agar syariah Islam dapat efektif mengatasi masalah-masalah umat yang ada? Di sinilah diperlukan adanya Negara. Syariah Islam memerlukan sebuah negara yang menerapkan syariah tersebut. Wallahu a’lam bish-shawaab.*

Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung, pendidik di Sekolah Alam Mutiara Umat Tulungagung

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com