Ciri Alumni Universitas Ramadhan

Oleh: Imam Nur Suharno

Ramadhan yang merupakan bulan pendidikan akan segera berakhir. Gelar muttaqin atau orang bertakwa pun akan didapat jika kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah SWT.

Dengan gelar takwa setelah menunaikan puasa, selain meraih ampunan dan jaminan surga, seorang Muslim memperoleh kemuliaan di sisi-Nya (QS al-Hujurat [49]: 13). Ramadhan bagaikan sebuah universitas bagi Muslim untuk menjalani pendidikan.

Keberhasilan seorang mahasiswa yang menjalani proses pendidikan di Universitas Ramadhan, tidak dilihat dari aktivitasnya selama di kampus, tetapi sejauh mana ia dapat merealisasikan nilai-nilai pendidikan Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya.

Karena itu, Ramadhan menjadi permulaan atau pijakan menuju perubahan kehidupan yang lebih baik, dalam skala individu, keluarga, masyarakat, bahkan secara lebih luas, bangsa dan negara.

Perubahan tersebut mencakup perubahan secara vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Perubahan menuju perbaikan dalam berbagai dimensi kehidupan merupakan keniscayaan bagi seorang Muslim.

Selama Ramadhan, Muslim tak diperkenankan melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal jika dilakukan pada siang hari selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Maka seusai Ramadhan, Muslim harus memiliki komitmen kuat soal makanan ini.

Ini berarti, Muslim mestinya hanya mengonsumi makanan dan minuman yang jelas asal-usulnya atau berstatus halal. Saat Ramadhan, Muslim juga didorong untuk menghindari setiap perkataan kotor.

Maka, tatkala telah lulus dari Universitas Ramadhan, seorang alumnus harus berkomitmen selalu mengeluarkan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti hati orang lain.

Ramadhan juga melatih Muslim untuk banyak mengeluarkan infak. Setelah melewati Ramadhan maka kita dituntut memiliki komitmen untuk selalu peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Muslim yang selalu dilatih disiplin waktu melalui sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan diharapkan senantiasa setelah mengikuti penempaan di Universitas Ramadhan, berdisiplin dalam menjalani kehidupannya.

Karena itu, bila diikuti secara serius, proses pendidikan selama bulan Ramadhan berpotensi memicu perubahan kehidupan setiap Muslim ke arah yang lebih baik. Ada perbaikan yang tercapai pascapuasa Ramadhan.

Dengan demikian, idealnya, dari rahim Universitas Ramadhan tersebut lahir sumber daya manusia unggul, seperti bayi yang baru lahir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi yang baru lahir.”

Semoga kita menjadi alumni yang dapat menjaga kebiasan baik dan amal saleh yang telah diajarkan selama proses pendidikan di Universitas Ramadhan. Amin.

 

sumber: Repoblika Online

Merasa Diawasi Allah

Salah satu nilai takwa yang dihasilkan dari ibadah puasa adalah muraqabatullah, yakni merasa diawasi oleh Allah SWT. Betapa tidak, pada siang hari ketika kita sedang melaksanakan puasa, kita bisa saja makan dan minum di tempat yang tersembunyi.

Namun, hal itu tidak dilakukan karena kita meyakini, walaupun dapat bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan manusia, kita tidak akan mampu bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan Allah.

Kita bisa saja berpura-pura menjalankan ibadah puasa di hadapan manusia, tetapi kita tidak dapat menyembunyikan hal itu dari pengawasan Allah. Inilah bentuk dari muraqabatullah.

Tegasnya, muraqabarullah itu adalah mengondisikan diri merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupan. Allah melihat, mengetahui rahasia-rahasia, memperhatikan semua amal perbuatan, dan juga mengamati apa saja yang dikerjakan semua jiwa.

Allah berfirman, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata.” (QS Yunus (10): 61)

Dalam ajaran Islam, muraqabatullah merupakan suatu kedudukan yang tinggi. Hadis menyebutkan bahwa muraqabatullah sejajar dengan tingkatan ihsan, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya dan jika kita tak mampu melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihat kita. (Muttafaq alaih)

Sebagai seorang mukmin hendaknya kita berusaha menggapai kedudukan muraqabatullah ini. Ketika kita sudah mencapai kedudukan muraqabatullah, serangkaian kebaikan dan keutamaan akan kita dapatkan.

Di antaranya, kita akan merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tenteram ketika ingat nama-Nya, merasakan ketenteraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.

Akhirnya, mari kita merenungi sebuah kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Dinar sebagai motivasi bagi kita untuk menjadi orang yang merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.

Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Khaththab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat, tiba-tiba salah seorang penggembala turun kepada kami dari gunung. Umar bin Khaththab bertanya kepada penggembala tersebut, ‘Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami’.”

Penggembala tersebut berkata, “Kambing-kambing ini bukan milikku, tapi milik majikanku.’’ Umar bin Khaththab berkata, “Katakan saja kepada majikanmu bahwa kambingnya dimakan serigala.’’

Namun, penggembala yang budak tersebut berkata, “Kalau begitu, di mana Allah?” Umar bin Khaththab menangis, kemudian ia pergi kemajikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya.” Wallahu’alam.

 

sumber: Republika Online

Persis: Penetapan 1 Syawal Menunggu Sidang Isbat

Terkait penetapan satu Syawal 1436 H, Ketua Umum Persatuan Islam, KH Maman Abdurrahman, menyatakan Persis akan menunggu hasil sidang isbat yang dilakukan pemerintah.

“Kita akan menunggu hasil sidang isbat nanti. Selain memiliki perhitungan-perhitungan sendiri, Persis akan bersama-sama negara melihat hilal untuk menentukan Idul Fitri,” kata Maman kepada Republika, Kamis (9/7).

Maman menambahkan, Persis sudah memiliki kesepahaman untuk ikut serta dalam sidang isbat. Dewan Hisab dan Rukyat Persis akan mewakili hadir dalam sidang isbat tersebut. Persis juga akan bersama-sama untuk melihat dari aspek astronomi di lapangan.

Ia menegaskan, kemungkinan Idul Fitri tahun ini akan jatuh pada tanggal yang sama, tidak ada perbedaan dengan ormas lain. Walaupun secara angka-angka memang ada perbedaan, itu bukan harga mati. Menurut Maman, nanti dilihat saja apakah sudah ada dua saksi yang menyaksikan hilal.

“Kita kurang juga sebenarnya tidak sampai empat derajat. Empat derajat itu angka yang sangat ideal. Kalaupun kurang dari empat, tapi bulan sudah tampak, kita bisa mengikuti kenyataan di lapangan,” kata Maman.

Sebelumnya, Dirjen Bimas Islam Kemenag, Machasin, menyatakan Kementerian Agama akan melaksanakan sidang isbat penetapan satu Syawal 1436 H pada 16 Juli mendatang. Sama seperti penentuan awal Ramadhan kemarin, sidang isbat akan berlangsung secara tertutup.

sumber: Republika Online

Mengapa Allah merahasiakan waktu Lailatul Qadr kepada umat muslim?

Umat muslim dianjurkan untuk beribadah bersungguh-sungguh di 10 malam terakhir bulan Ramadan. Imbauan ini dimaksudkan agar dia mendapatkan malam Lailatul Qadr atau malam yang di dalamnya terkandung banyak keistimewaan dan ampunan.

Malam Lailatul Qadr sejatinya hanya Allah yang tahu, bahkan Rasulullah pun tidak mengetahuinya. Diriwayatkan Bukhari,ica sebenarnya Rasulullah diberi ilham untuk mengetahuinya namun satu dan lain sebab ilham itu dicabut kembali.

“Sesungguhnya aku mendatangi kalian untuk menyampaikan informasi tentang Lailatul Qadr. Tiba-tiba ada dua muslim cekcok sehingga aku tidak tahu (hilang informasi),”.

Namun tampaknya pencabutan ilham ini baik bagi umat muslim dengan maksud agar umat muslim bersungguh-sungguh beribadah. Jika umat muslim tahu hari Lailatul Qadr lebih dulu dikhawatirkan dia akan bermalas-malasan di malam yang lainnya.

sumber: Merdeka.com

 

Baca juga:

Pakar NASA Sembnyikan Fakta Lailatul Qodar

Tanggal 22 Ramadan, Allah mengangkat Nabi Isa ke langit

Sejarawan Islam dan ulama banyak mempercayai Nabi Isa as diangkat Allah ke langit pada tanggal 22 Ramadan Nabi Isa as diangkat ke langit setelah perbuatan zalim yang dilakukan kaum Yahudi kepadanya.

Hasan Al Bashri dalam riwayatnya berkata,”Usia Nabi Isa ketika diangkat ke langit 34 tahun. Ada yang berpendapat 33 tahun,” Rabu (8/7).

Ahli sejarah Islam dan para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda mengenai peristiwa pengangkatan itu. Dikutip dalam buku Peristiwa Penting di Bulan Ramadan, Wahb bin Munabbih menceritakan saat Nabi Isa as bersama para pengikutnya masuk ke sebuah rumah lalu didatangi segerombolan kaum Yahudi.

Kemudian Allah menampakkan mereka ke dalam wujud Nabi Isa as. Lalu kaum Yahudi menangkap orang yang mengaku sebagai Nabi Isa as, “Yahudi terperdaya dan mereka menduga telah membunuh Isa,”.

Ibnu Katsir meriwayatkan saat itu ibunda Maryam masih hidup. Bahkan Maryam menemui anaknya sebelum Nabi Isa as benar-benar diangkat. Nabi Isa as sengaja diutus Allah menemui ibundanya untuk mengucapkan kata perpisahan dan penjelasan dirinya diangkat ke langit.

Sibel Eraslan menjelaskan, bahwa yang disalib adalah Yahuda yang berkhianat karena menjual berita. Isa yang akan naik ke langit dengan baju pintalan Maryam tersenyum kepada Maryam. Kemudian ia mengangkat jari telunjuknya dan mengucapkan salam dengan menganggukan kepala.

“Wahai ibu jangan menangis, sungguh telah datang waktu yang ditentukan bagi Kalamullah. Mohon relakan diriku jangan engkau mencegahku” kutip Sibel dalam buku Maryam.

Maryam pun ikhlas seikhlas dirinya mendapatkan Nabi Isa as tanpa ayah. Sambil mendekap sahabatnya, Maryam merelakan anak semata wayangnya pergi menghilang ke angkasa

 

sumber: Merdeka.com

Kisah Nabi pergi dari rumah saat para istri merengek karena miskin

Sepanjang hidupnya Rasulullah tak pernah meminta kepada Allah SWT kekayaan di dunia. Padahal jika dia mau, jangankan harta seluruh kekayaan di bumi bisa Nabi Muhammad SAW dapatkan dalam sekejap mata.

Allah pun menawarkan kekayaan itu, tapi Nabi justru selalu berdoa,”Jadikan lah rezeki keluarga Muhammad sekadar memenuhi kebutuhan. Ketika suatu hari aku lapar, aku berdoa pada-Mu dan ketika ku kenyang, ku bersyukur pada-Mu,”

Rasulullah lebih sering berpuasa jika tidak ada makanan di rumahnya. Beliau juga kerap mengganjal perutnya dengan mengikatkan batu jika rasa lapar itu tidak tertahankan.

Jika ada makanan, Rasulullah selalu memberinya kepada yang dia anggap lebih berhak.
Harta rampasan perang pun banyak yang dibagikan, sampai suatu kali istri-istri Rasulullah meminta agar diberikan harta yang banyak mengingat mereka adalah istri seorang Rasul.

Nabi tidak menghardik istri-istri beliau, namun saat istri-istrinya mulai mengeluh, Nabi Muhammad SAW langsung pergi dari rumah dan beritikaf.

Umar bin khattab pernah menuturkan peristiwa ini, “Seorang sahabat menemuiku dan berkata ada peristiwa besar. Katanya Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya,” dikutip dari buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad, Jumat (10/7).

Lalu Umar mendatangi Nabi dan bertanya apa benar kabar tersebut dan Rasulullah langsung menjawab,”Tidak!”.

Fitnah ini tersebar setelah Rasulullah tidak menemui istrinya selama sebulan. Tak ayal, Allah menegurnya dengan berfirman dalam surat Al-Azhab ayat 28-34.

“Hai Nabi, katakan pada istrimu jika kalian menginginkan dunia dan perhiasannya maka marilah akan ku berikan mut’ah dan kuceraikan dengan cara yang baik. Dan jika kamu menghendaki akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian dengan pahala besar,”

Nabi langsung menemui istri-istrinya dan membacakan ayat ini. Semua istri beliau sepakat tetap berada di sisi beliau hingga akhir hayat karena menghendaki pahala yang besar.

 

sumber: Merdeka.com

 

Uwais al-Qarni, Sang Penghuni Langit

Dikisahkan dari hadis Riwayat Muslim dari Ishak bin Ibrahim, seorang pemuda bernama UwaisAl-Qarni. tinggal di negeri Yaman. Ia seorang fakir dan yatim dan hidup bersama ibunya yang lumpuh dan buta.

Uwais Al-Qarni bekerja sebagai penggembala domba. Hasil usahanya hanya cukup untuk makan ibunya sehari-hari. Bila kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin. Uwais Al-Qarni dikenal seorang yang taat beribadah dan sangat patuh pada ibunya. ia sering kali berpuasa.

Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya sering bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW. Namun, ketika mendengar gigi Nabi Muhammad patah karena dilempari batu oleh kaum thaif yang enggan diajak dalam dakwahnya, segera Uwais ikut mematahkan giginya dengan batu hingga patah.

Ia rindu ingin mendengar suara Nabi SAW, kerinduannya karena iman kepada Allah dan Muhammad sebagai rasulnya.

Ia tak dapat membendung lagi keinginannya itu. Pada suatu hari Uwais datang mendekati ibunya mengeluarkan isi hatinya dan mohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah.

Setelah ia menemukan rumah Rasulullah, hanya bertemu istri Aisyah r.a. Sementara, di waktu yang sama ia ingat pesan ibunya agar cepat pulang ke Yaman. Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya itu mengalahkan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah pun pulang dari medan pertempuran. Sesampainya di rumah beliau menanyakan kepada Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Aisyah ra menjelaskan bahwa memang benar ada yang mencarinya, tetapi karena tidak menunggu, ia segera kembali ke Yaman karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa orang itu penghuni langit. Nabi menceritakan kepada para sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Nabi pun menyarankan para sahabatnya ketika bertemu dengan Uwais Al-Qarni, “Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan bumi.”

Suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni si penghuni langit. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al-Qarni.

Sesampai di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam namun rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekat kepada kedua sahabat Rasulullah ini.

Uwais mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan telapak tangan Uwais. Tampaklah tanda putih di tengah telapak tangan Uwais Al-Qarni.

Khalifah berkata,”Kami datang ke sini untuk memohon doa dan istighfar darimu.” Uwais Al-Qarni akhirnya berdoa dan membacakan istighfar kepada Khalifah Umar dan Ali. Setelah itu,Khalifah Umar ra menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya.

Namun Uwais menampik dengan berkata,”Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni meninggal dunia. Banyak orang berebut untuk memandikan. Saat mau dikafani, ada orang-orang yang menunggu mengafaninya. Saat hendak dikuburkan, sudah banyak orang yang siap menggali kuburannya. Banyak orang ingin mengusung kerandanya pula.

 

sumber: Republika Online

Tradisi ‘Megang di Sore Hari’

Masyarakat Pekanbaru, Riau, memiliki tradisi ‘Petang Megang’ dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Dari akar katanya, ‘petang’ berarti sore dan ‘megang’ berarti memegang sesuatu.

Tradisi ‘Petang Megang’ memang digelar sore hari sehari sebelum bulan Ramadhan tiba. Tradisi ini dimulai dari melaksanakan shalat Ashar berjamaah di Masjid Raya Senapelan (Masjid Raya Pekanbaru). Acara dilanjutkan dengan ziarah ke makam pendiri kota pekanbaru, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782 M), yang terletak di sebelah kanan masjid.

Selesai melakukan ziarah, masyarakat berbondong-bondong menuju tepian Sungai Siak dengan berjalan kaki sekitar 1,6 kilometer. Iringan musik kompang (salah satu alat kesenian Melayu Riau) ikut memeriahkan suasana dengan sekelompok ibu-ibu menjunjung pulut (kepok) yang diletakkan di atas talam atau baki.

Pulut adalah sejenis penganan yang terbuat dari beras ketan yang terdiri dari warna putih, kuning, dan hitam. ”Dalam ritual ini, penganan tersebut dibuat empat tingkat dengan ketinggian mencapai tiga meter,” demikian situs wisatamelayu.

Sesampainya di tepian Sungai Siak, masyarakat menggelar berbagai kegiatan dan lomba. Acara berikutnya adalah mendengarkan kata sambutan pemimpin daerah.

Setelah itu, Gubernur Riau mengambil ramuan (air limau) yang terdiri dari tujuh jenis tumbuh-tumbuhan, yakni serai wangi (cymbopogon nardus), daun pandan (pandanaceae), daun limau timun/limau pagar (fortunella polyandra), akar siak-siak (daniella ensifolia), daun nilam (pogostemon cablin benth), daun seman, dan mayang pinang.

Ramuan tersebut kemudian disiramkan kepada beberapa orang sebagai perwakilan warga. Mandi bersama di tepian Sungai Siak merupakan acara puncak dan sekaligus akhir dari rangkaian prosesi ritual Petang Megang. Tradisi ini memiliki makna membersihkan diri dalam menyambut bulan suci Ramadhan.

Muslim Batak Punya Tradisi Marpangir

Sebagian besar masyarakat di Indonesia memilih membersihkan diri di sungai-sungai dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tidak terkecuali dengan masyarakat muslim Batak yang mempunyai tradisi Marpangir.

Sehari sebelum Ramadhan, mereka membasuh seluruh tubuh dengan air rebusan rempah-rempah. Warga memilih melakukannya di lokasi-lokasi pemandian alam.

Seperti dikutip dari Melayuonline, Marpangir berasal dari kata pangir yaitu ramuan dari bahan-bahan alami yang digunakan untuk membersihkan rambut (keramas). Ramuannya terdiri dari limau atau jeruk nipis, daun pandan, dan ampas kelapa yang dilengkapi dengan bunga mawar, bunga kenanga, dan akar wangi.

”Bahan-bahan ini direndam di dalam air (ada juga yang direbus) untuk memperoleh wangi-wangian yang khas yang akan digunakan dalam ritual mandi pangir,” tulisMelayuonline.

Sejarawan Melayu, Tengku Luckman Sinar, mengatakan tradisi mandi menggunakan bahan-bahan rempah ini sudah ada sejak jaman pra-Islam. Hingga kini sebagian besar masyarakat masih mempraktekkan ritual mandi tersebut dengan tujuan menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Tujuan utama Marpangir adalah membersihkan diri sebelum melaksanakan ibadah puasa, sehingga ketika mengerjakan ibadah suci tersebut badan, hati, dan pikiran telah bersih.

 

sumber: Republika Online

Bolehkah Konsumsi Gorengan Saat Berbuka Puasa?

Mayoritas warga Indonesia khususnya di kota-kota besar sering kali berbuka puasa dengan mengonsumsi gorengan seperti risoles, tahu goreng atau bakwan.

Apakah pola makan seperti itu benar bagi orang yang sedang berpuasa? Berikut penjelasan dokter.

“Gorengan memang dasarnya tidak baik, jadi minimal harus bisa dikurangi,” kata dr. Inge Permadi SpGK kepada Republika beberapa waktu lalu.

Menurutnya, konsumsi gorengan ketika puasa atau tidak puasa tergolong kurang baik. Sehingga ia menyarankan konsumsinya kalau bisa dikurangi. Salah satu yang berbahaya dari gorengan adalah minyaknya. Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan tentunya mengandung kolesterol. Pastinya hal itu tidak baik bagi kesehatan tubuh, khusunya jantung. Pasalnya minyak mampu mempercepat penyakit jantung karena kandungan minyak mampu menghambat proses peredaran darah.

Selanjutnya, ia yakin gorengan berminyak bisa memicu sariawan ketika tubuh dalam kondisi puasa. Pasalnya tubuh mengalami kekurangan cairan atau dehidrasi sehingga minyak bisa mempercepat penyakit sariawan pada mulut. Selain itu gorengan seringkali dimakan dengan sambal pedas yang tentunya berbahaya bagi perut yang kosong.

Sedangkan Dr. Saptawati Bardosano SpGk menyarankan agar gorengan tidak dikonsumi saat awal berbuka puasa. “Pada saat berbuka puasa diutamakan untuk mengganti cairan dan energi selama berpuasa. Untuk gorengan bisa dikonsumsi setelahnya,” ujar dosen Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia tersebut.

sumber: Republika Online