Kriteria Imam Shalat Jamaah

SEPERTI layaknya suatu negara, dalam shalat pun kita membutuhkan sosok imam. Di mana ialah orang yang menjadi panutan bagi kita dalam shalat. Kita harus mengikuti apa yang dilakukan oleh imam tanpa membantahnya. Nah, ada beberapa kriteria imam shalat jamaah. Apa saja?

Dalam memilih seorang presiden untuk memimpin suatu negeri, tentu harus lebih selektif bukan? Sebab, ia memiliki tanggung jawab besar memimpin negeri ini dan mengarahkan masyarakatnya untuk tetap berada di jalan yang benar.

Begitu pula seorang imam dalam shalat. Kita tak bisa sembarang menunjuk seseorang menjadi imam. Sebab, imam pun memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan kita pada kebenaran dalam shalat. Lalu, siapakah yang berhak menjadi imam?

Kriteria Imam Shalat Jamaah: Ahli tentang Al-Quran

Keutamaan Surat Al-Fatihah dalam Shalat, Imam Lupa Duduk Tasyahud Awal, Hal yang Harus Diperhatikan di dalam Shalat, agama islam, Manfaat Shalat, Jumlah Minimal Orang Shalat Berjamaah, Hukum Shalat Memakai Kaos, Level Shalat, Hukum Menahan Kentut ketika Shalat, Janji Allah SWT bagi Orang Beriman, Doa Qunut, Shalat yang Tidak Diterima Allah, Cara Shalat Khusyu, Cara Rasul Memakai Siwak, Shalat Berjamaah, sholat ghaib, Keutamaan Doa Iftitah, Cara Mencegah Orang yang Berjalan di Depan ketika Shalat, Keutamaan Shalat Subuh, Imam Shalat di Akhir Zaman,, Ukuran 1 Rakaat dalam Shalat, Waktu Makmum Baca Al Fatihah saat Shalat Jahr, Shalat Sempurna, Syarat Takbiratul Ihram, Hukum Mengulang Surat yang Sama ketika Shalat, Hukum Muslim Meninggalkan Shalat Fardhu, Kriteria Masjid untuk Itikaf, Hukum Menahan Kentut ketika Shalat,
Foto: International Mission Board

Orang yang paling berhak menjadi imam ialah orang yang ahli tentang Al-Quran, kemudian paling tahu tentang agama Allah, kemudian orang yang paling besar ketakwaannya, kemudian orang yang paling tua usianya.

https://youtube.com/watch?v=f2zaZTNlPxw%3Ffeature%3Doembed

Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling berhak mengimami manusia ialah orang yang paling tahu (qari’) tentang Kitabullah. Jika bacaan mereka sama, maka siapa yang paling tahu tentang sunnah. Jika pengetahuan mereka terhadap sunnah sama saja, maka siapa di antara mereka yang paling dulu hijrah. Jika hijrah mereka sama, maka siapa di antara mereka yang paling tua usianya,” (Diriwayatkan Muslim).

Kriteria Imam Shalat Jamaah: Jika Tak Ada Tuan Rumah

Hadist Shahih Bulan Ramadhan, Tata Cara Shalat Idul Adha,, Keutamaan Shalat Subuh, Posisi Anak dalam Al-Quran, Kriteria Imam Shalat Jamaah
Foto: Islam For Kids

Selama tidak ada penguasa di antara jama’ah, dan tidak ada tuan rumah, maka orang yang memiliki kriteria di atas berhak menjadi imam daripada orang lain. Sebab, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain di rumahnya dan mengimami penguasa kecuali dengan izinnya.”

Hadis tersebut dengan susunan hadis sebelumnya diriwayatkan Sa’id bin Manshur Rahimahullah. []

Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah

ISLAMPOS

Apakah Mengafani Jenazah Harus dengan Kain Putih?

Sudah maklum bersama bahwa pada umumnya jenazah dibungkus menggunakan kain kafan yang berwarna putih. Hampir tidak pernah dijumpai seseorang mengafani jenazah dengan kain selain warna putih. Apakah membungkus jenazah harus dengan kain kafan berwarna putih? Bagaimana jika jenazah dibungkus dengan kain kafan yang berwarna selain putih, apakah boleh?

Membungkus jenazah dengan kain kafan berwarna putih hukumnya adalah sunah, tidak wajib. Nabi Saw. menganjurkan kepada umatnya agar selalu membiasakan diri menggunakan pakaian berwarna putih. Juga menganjurkan agar jenazah dibungkus dengan kain kafan berwarna putih.

Anjuran ini sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;

البسوا من ثيابكم البياض، فإنهم من خير ثيابكم، وكفنوا فيها موتاكم

“Hendaklah kalian berpakaian putih, sebab kain putih itu sebaik-baik pakaian bagi kalian. Dan bungkuslah di dalam pakain putih itu orang-orang meninggal di antara kalian.”

Juga dalam hadis lain Nabi Saw. menganjurkan mengafani jenazah dengan kain putih, sebab kain putih lebih suci dan bagus dibanding warna lain. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Samurah bin Jundub, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;

البسوا البياض؛ فإنها أطهر وأطيب، وكفنوا فيها موتاكم

“Pakailah pakaian putih, karena ia lebih suci dan lebih bagus. Juga kafankanlah ia pada orang yang meninggal diantara kalian.”

Meski demikian, membungkus jenazah dengan kain kafan dengan warna lain dibolehkan, hanya saja tidak dianjurkan. Bahkan boleh juga membungkus jenazah dengan pakain biasa yang gunakan sehari-hari dengan syarat menutupi aurat jenazah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Almajmu berikut;

قال أصحابنا رحمهم الله: ويجوز تكفين كل إنسان فيما يجوز له لبسه في الحياة فيجوز من القطن والصوف والكتاب والشعر والوبر وغيرها

“Ulama kami (ulama Syafiiyah-semoga Allah merahmati mereka) berkata; ‘Boleh membungkus setiap orang (jenazah) dengan pakaian yang boleh dipakai sewaktu masih hidup, mulai dari kain katun, wol, kain dari bulu onta dan lain sebagainya.

Dengan demikian, membungkus jenazah tidak harus dengan kain kafan berwarna putih, namun boleh dengan kain lain dan warna lainnya. Hanya saja yang dianjurkan oleh Nabi Saw. adalah membungkus jenazah dengan kain berwarna putih.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Puasa Sunnah Sebelum Qadha Puasa Ramadhan?

Akibat suatu kendala tertentu membuat sebagian orang tidak melaksanakan puasa Ramadhan secara penuh. Tetapi, kebanyakan orang tidak lantas mengqadha puasanya, bahkan ada yang memilih untuk melaksanakan puasa sunnah terlebih dahulu. Lantas, bolehkah melaksanakan puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai kewajiban untuk menyegerakan qadha puasa Ramadhan yang tertinggal. Kewajiban ini harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan.

Sebagaimana dalam kitab I’anah at-Thalibin, juz 4, halaman 294 berikut,

وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا  قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه

Artinya : “Redaksi dalam kitab az-Zawaajir, mengenai urutan yang ke sebelas dari syarat-syaratnya taubat adalah mengqadha ibadah, yakni apabila maksiat yang dilakukan akibat meninggalkan ibadah di masa silam, maka dalam meninggalkan shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya, dia harus mengqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.

Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat misalnya, maka menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya.”

Akan tetapi, bagi seseorang yang ingin melaksanakan puasa sunnah diperbolehkan untuk menggabung niat qadha puasa dan puasa sunnah, sehingga dapat memperoleh kedua pahalanya secara bersamaan.

Sebagaimana dalam kitab al Asbahu wa al Nazhair berikut,

ولو صام في يوم عرفة مثلًا قضاء أو نذرًا أو كفارة ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية

Artinya : “ Seandainya seorang puasa pada hari Arafah misalnya,  ia melaksanakan puasa qadha, nazar, atau kafarat, kemudian ia berniat beserta puasa Arafah, maka menurut Imam Al Barizi puasanya sah dan memperoleh pahala dari kedua puasa tersebut.

Beliau berkata ‘ Demikian pula jika secara mutlak’. Imam Al Barizi menyamakan kasus ini dengan kebolehan menggabung shalat tahiyat masjid.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kewajiban qadha puasa yang tertinggal harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan. Tetapi,  seseorang yang ingin melaksanakan puasa sunnah diperbolehkan untuk menggabung niat qadha puasa dan puasa sunnah, sehingga dapat memperoleh kedua pahalanya secara bersamaan.

Demikian penjelasan mengenai bolehkah melaksanakan puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Tegar di Atas Jalan Kebahagiaan (Bag. 4)

Tiga tujuan penciptaan menjadi satu

Jika Anda pikirkan lagi lebih dalam, ternyata tiga tujuan penciptaan ini pada dasarnya adalah satu paket atau satu kesatuan. Bagaimana mungkin? Iya, tentunya karena ia berasal dari sumber yang sama, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.

Seperti yang sudah Anda baca sebelumnya, bahwa pengetahuan hamba terhadap Rabb-Nya berbanding lurus dengan mahabbah, raja’, khauf, tawakal, dan berbagai amalan hati seorang hamba. Semakin buta seorang hamba kepada Penciptanya, maka semakin lalai dan durhaka ia kepada-Nya. Sebaliknya, semakin besar pengetahuan seorang hamba kepada Rabb-Nya, maka semakin ia taat dan tunduk kepada-Nya. Pengetahuan dan ilmu tentang Rabb-Nya ini pun akan membuahkan amal, yakni ia akan beribadah kepada Rabb-Nya dengan sebaik-baiknya ibadah, melalui amalan lisan, dan anggota badan. Dan jika ia mencapai tingkatan ilmu dan amal tertinggi, maka ia akan beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya. [1]

Maka, perhatikanlah hubungan keduanya, makrifatullah dan ibadah, dengan ujian! Bahwasanya ujian itu turun dari atas langit, dari Allah ‘Azza wa Jalla, kepada hamba yang ada di bawah, untuk membedakan dan memisahkan antara hamba yang beriman dan hamba yang kufur. Ujian yang empat macam tersebut kemudian menghampiri hamba. Barangsiapa yang menyambut ujian tersebut dan menegakkannya, atas dasar ilmu dan imannya kepada Rabb-nya, maka ia menjadi ibadah di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, ibadah ini berasal dari hamba Allah yang ada di bawah dan ditujukan kepada Rabb-Nya semata yang ada di atas. Adapun mereka yang mengabaikan keempat ujian tersebut, maka baginya dosa dan penderitaan. Karena ia sejatinya ia telah lalai memelihara benih kehidupannya, yang mana buahnya adalah kebahagiaan sejati.

Buah menunaikan tujuan hidup

Setelah Anda memahami tujuan penciptaan, kehidupan, dan kematian, tiba saatnya Anda mengenal buah yang Anda akan petik tatkala Anda mewujudkan tujuan hidup yang Allah tetapkan bagi seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami limpahkan kepadanya kehidupan yang baik.” [2]

Demikianlah, imbalan dan buah yang hanya bisa dinikmati oleh manusia-manusia pilihan, yaitu  manusia yang menegakkan amal saleh yang dilandasi keimanan kepada Allah Ta’ala. Adalah Allah yang akan memberikan jaminan kepada mereka berupa kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan, sebaliknya kebahagiaan hakiki ini tidak mungkin diberikan kepada mereka yang kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Alangkah indahnya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menerangkan keadaan orang-orang mukmin yang menjadikan setiap ujian baik perintah dan larangan, maupun nikmat dan musibah sebagai ladang amal saleh, di mana buahnya adalah kebaikan dan kebahagiaan hidup baginya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu mengandung kebaikan. Dan hal ini tidaklah ditemukan, kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Sehingga hal itu baik baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan keburukan, maka ia bersabar. Dan hal itu pun baik baginya.” [3]

Demikianlah, kesudahan bagi mereka yang menegakkan tujuan penciptaan mereka. Namun, yang menjadi masalah, seringkali kita salah memahami makna kebahagiaan hidup itu sendiri. Sebagian manusia memahami bahwa kebahagiaan hidup di dunia itu haruslah berupa kehidupan yang terus-menerus tenang, lancar, tanpa hambatan, dan tanpa bala musibah yang menghimpit dada dan mendatangkan kesedihan. Maka, mari kita renungkan lagi hal ini pada bab penutup berikut.

Tegar di atas jalan kebahagiaan

Sebelumnya, telah sampai kepada kita janji Allah bahwa buah amal saleh bagi seorang hamba adalah kebahagiaan hidup. Namun, perlu Anda pahami bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki adalah ketika seseorang telah mencapai tempat yang penuh dengan kenikmatan abadi, yang tidak diselingi kesedihan sama sekali, yakni surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selama Anda hidup di dunia, selama Anda masih bernyawa, maka Anda dan seluruh manusia pasti akan menemui ujian-ujian dalam setiap etape kehidupan Anda. Bahkan, di alam kubur dan padang masyhar sekali pun manusia itu masih akan merasakan penat dan kelelahan-kelelahan.

Akan tetapi, yang membedakan orang orang mukmin dan orang kafir adalah, ketika menghadapi ujian-ujian tersebut, Allah akan membersamai orang-orang mukmin, sehingga ujian itu menjadi ringan baginya. Zat Yang Mahabesar dan Mahakuasa atas segala sesuatu berada di sisinya, sehingga ujian sebesar apapun akan terasa kecil bagi seorang mukmin. Sebaliknya, Allah akan membiarkan dan meninggalkan orang-orang kafir bersendirian ketika mereka menghadapi ujian-ujian yang ada. Sehingga ujian kecil pun akan menjadi besar dan berat bagi mereka.

Tentu Anda sudah mendengar bahwa di surga, selain kenikmatan-kenikmatan yang ada, juga ada tambahan padanya [4], yakni para penduduk surga akan melihat wajah Allah Ta’ala di hari kiamat kelak [5]. Dan ini adalah puncak kenikmatan dan kebahagiaan bagi seorang hamba, yang tidak ada taranya dan tidak ada bandingannya. Maka, seorang hamba yang beriman akan menjadikan pertemuan dengan Rabbnya sebagai momen yang paling ia nantikan. Sebagaimana seorang pencinta merindukan pertemuan dengan orang yang ia kasihi. Maka, seorang hamba yang beriman memiliki kesadaran penuh akan nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan padanya. Dia adalah Zat yang paling menginginkan kebaikan dan kebahagiaan baginya. Zat yang berlari padanya, ketika ia datang dengan ketaatan, tobat, dan tangis penyesalan atas dosa-dosa yang telah menghitamkan hati. Zat yang telah menunjukinya jalan kebenaran serta memberinya taufik dan hidayah agar bisa tegar di atas jalan itu hingga datangnya haqqul yaqin. Demikianlah, dua buah kenikmatan yang tidak pernah terbetik di hati, tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak mampu diimajinasikan oleh akal manusia, yakni surga dan wajah Allah ‘Azza wa Jalla.

Maka, mari kita sederhanakan kisah ini. Bermula dengan pengenalan seorang hamba terhadap Allah. Disusul dengan sambutan sang hamba terhadap ujian-ujian kehidupan sembari merealisasikannya menjadi ibadah. Dan kisahnya berujung bahagia dengan perjumpaan sang hamba dengan Rabb-Nya. Lillahi – billahi – ilallahi. Karena Allah (ikhlas) – bersama Allah (ittiba’), dan menuju (bertemu) Allah. Maka, benarlah kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Semakin Anda mengenal Allah, maka semakin Anda ingin dekat dengan-Nya, dan semakin Anda ingin bertemu dengan-Nya. Demikianlah permisalannya. Hanya hamba yang benar-benar mengenal Rabbnyalah yang kemudian bisa mengenali-Nya. Dan hanya hamba yang benar-benar mengenali Rabbnyalah yang dapat menemui-Nya, tanpa hijab dan tanpa perantara, di surga yang penuh dengan kenikmatan nan abadi.

Maka, jika surga dan wajah Allah adalah ganjarannya, maka tentu ujiannya tidak semudah yang dibayangkan. Dalam hukum kebiasaan manusia berbunyi, ‘Semakin besar keuntungan yang akan diraih, maka semakin besar usaha yang harus dikeluarkan.’ Oleh karena itu, ketika Allah Ta’ala menciptakan surga, Dia liputi surga itu dengan hal-hal yang dibenci oleh jiwa manusia. Sebaliknya, ketika Allah Ta’ala menciptakan neraka, Dia liputi neraka itu dengan hal-hal yang disenangi oleh jiwa manusia [6]. Maka, bersama dengan ujian yang Allah turunkan kepada hamba tersebut, Allah bekali manusia dengan hati yang di dalamnya terjadi pertempuran antara keimanan dan hawa nafsu, antara bisikan malaikat dan rayuan setan, serta antara ajakan kepada kebaikan dan keburukan.

Demikianlah, ujian dan kesulitan yang harus saya dan Anda hadapi untuk meraih surga Allah ‘Azza wa Jalla. Maka, ingatlah selalu dalam setiap titik perjalanan hidup Anda, bahwa di balik beratnya ketaatan dan ibadah yang Anda lakukan, ada surga Allah yang sedang menunggu. Sebaliknya, di balik kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu, ada neraka Allah yang sedang menanti, waliyyadzu billah. Maka, nasihat untuk saya dan Anda, “Tegarlah di atas jalan kebahagiaan dan hadapilah segala ujian dengan hati yang lapang, hingga datangnya hari yang ditentukan.”

***

Disarikan pada malam 20 Ramadan 1444 H

Di bawah langit kota Yogyakarta,

Oleh Al-Faqir yang membutuhkan rahmat dan ampunan dari Rabb-Nya,

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84468-tegar-di-atas-jalan-kebahagiaan-bag-4.html

Khutbah Jumat: 3 Cara Menjaga Spirit Ibadah Pasca-Ramadhan

Khutbah I

الحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلٰهَ إِلاَّاللهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ جَعَلَ الجَّنَّةَ لِلْمُتَّقِيْنَ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِيْ إِلىَ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ .فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . قَالَ اللهُ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam yang terus mengalirkan nikmat yang tak bisa dihitung satu persatu kepada kita, di antaranya adalah nikmat iman dan takwa sehingga kita masih bisa menikmati manisnya Islam yang akan membawa kita selamat dunia akhirat. Tiada kata lain yang patut diucapkan kecuali kalimat Alhamdulillahirabbil Alamin. Dengan terus bersyukur, insyaAllah karunia nikmat yang diberikan akan terus ditambah oleh Allah swt.

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras”.(QS. Surat Ibrahim: 7)

Syukur yang kita ungkapkan ini juga harus senantiasa direalisasikan dalam wujud nyata melalui penguatan ketakwaan kepada Allah swt yakni dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan syukur dan takwa ini, maka kita akan senantiasa menjadi pribadi yang senantiasa diberi perlindungan dan petunjuk dalam mengarungi samudera kehidupan di dunia dan bisa terus menjalankan misi utama hidup di dunia yakni beribadah kepada Allah swt. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dalam putaran waktu dan keseharian umat Islam, bulan Ramadhan menjadi momentum intensifnya kegiatan ibadah yang dilakukan baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Frekuensi ibadah seperti puasa, shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah, dan ibadah-ibadah lainnya menjadi warna dominan di bulan mulia tersebut. Semangat ini seiring dengan kemuliaan Ramadhan yang di dalamnya banyak memiliki keutamaan dan keberkahan. Ramadhan menjadi bulan ‘penggemblengan’ jasmani dan rohani umat Islam untuk menjadikannya pribadi yang senantiasa dekat dengan sang khalik, Allah swt.

Namun pertanyaannya, bagaimana pasca-Ramadhan? Apakah kita mampu mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadah kita? Apakah pasca-Ramadhan, kita kembali seperti sedia kala dengan semangat ibadah seadanya? Apakah takwa, sebagai buah dari perintah puasa Ramadhan, sudah kita rasakan dalam diri kita? Tentu pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri sebagai bahan muhasabah atau introspeksi diri agar spirit ibadah kita tidak mengendur pasca-Ramadhan.

Sehingga pada kesempatan khutbah ini, khatib ingin mengajak kita semua untuk melihat kembali lintasan perjalanan ibadah kita selama Ramadhan untuk menjadi spirit dan motivasi agar pasca Ramadhan, ibadah kita bisa ditingkatkan, atau minimal sama dengan ramadhan. Melihat masa lalu itu penting sebagai modal untuk menghadapi masa depan sebagaimana Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ḥasyr :18)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Semangat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah sebenarnya sudah tergambar dari makna kata Syawal yang merupakan bulan setelah Ramadhan sekaligus waktu perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Dari segi bahasa, kata “Syawal” (شَوَّالُ) berasal dari kata “Syala” (شَالَ) yang memiliki arti “irtafaá” (اِرْتَفَعَ) yakni meningkatkan. Makna ini seharusnya menjadi inspirasi kita untuk tetap mempertahankan grafik kualitas dan kuantitas ibadah pasca-Ramadhan. Dalam mempertahankannya, perlu upaya serius di antaranya adalah dengan melakukan 3 M yakni Muhasabah, Mujahadah, dan Muraqabah.

Muhasabah adalah melakukan introspeksi diri terhadap proses perjalanan ibadah di bulan Ramadhan. Muhasabah ini bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri tentang: Apa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan? Apakah kita sudah memiliki niat yang benar dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan? Apa yang menjadikan kita semangat beribadah di bulan Ramadhan? Pernahkan kita melanggar kewajiban-kewajiban di bulan Ramadhan?. Dan tentunya pertanyaan-pertanyaan introspektif lainnya untuk mengevaluasi ibadah kita selama ini.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan memotivasi kita untuk semangat dan memperbaiki diri sehingga akan berdampak kepada kualitas dan kuantitas ibadah pasca-Ramadhan. Terkait pentingnya Muhasabah ini Rasulullah bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

Artinya: “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.’ (HR Tirmidzi).

Selanjutnya adalah mujahadah yakni bersungguh-sungguh dalam berjuang untuk mempertahankan tren positif ibadah bulan Ramadhan. Di bulan Syawal ini, kita harus tancapkan tekad untuk terus melestarikan kebiasaan-kebiasaan positif selama Ramadhan. Perjuangan ini tentu akan banyak menghadapi tantangan, baik dari lingkungan sekitar kita maupun dari diri kita sendiri. Oleh karenanya, kita harus memiliki tekad kuat dan benar agar hambatan dan tantangan yang bisa mengendurkan semangat ibadah kita ini bisa kita kalahkan.

Allah telah memberikan motivasi pada orang yang bersungguh-sungguh dalam berjuang sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 69:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang orang yang berbuat baik.”

Cara selanjutnya adalah muraqabah yakni mendekatkan diri kepada Allah. Dengan muraqabah ini, akan muncul kesadaran diri selalu diawasi oleh Allah swt sekaligus memunculkan kewaspadaan untuk tidak melanggar perintah Allah sekaligus bersemangat untuk menjalankan segala perintah-Nya. Sikap-sikap ini merupakan nilai-nilai yang ada dalam diri orang-orang yang bertakwa. Mereka adalah orang yakin dan percaya kepada yang ghaib dan tak tampak oleh mata. Rasulullah saw bersabda:

أَنْ تَعْبـــُدَ اللَّهَ كَأَنَّــكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya: “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sebab meski engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu…” (HR Bukhari).

Nilai-nilai ketakwaan dengan senantiasa melakukan muraqabah ini seharusnya memang sudah tertancap dalam hati kita karena muara dari ibadah puasa di bulan Ramadhan sendiri adalah ketakwaan. Hal ini sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۝١٨٣

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah Jumat kali ini, semoga kita bisa senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah kita pasca-Ramadhan dengan Muhasabah, Mujahadah, dan Muraqabah. Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah swt dalam mengemban misi ibadah ini. Amin.

بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ. فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فْي الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ. وَعَنْ اَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِبْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَ تَابِعِهِمْ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَ اللهِ اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ

Penulis: H Muhammad Faizin, Sekretaris MUI Provinsi Lampung

KEMENAG RI

Zionis Hentikan Adzan dan Berencana Ubah Musholla Bab Ar-Rahma menjadi Sinagog

Pasukan penjajah Zionis hari Senin (24/4/2023) malam, memutus adzan shalat Isya di Masjid Al-Aqsha. Sementara para pemuda dapat melakukan shalat Maghrib di mushalla Bab Al-Rahma.

Tentara pendudukan memotong kabel pengeras suara Masjid Al-Aqsha, yang menyebabkan adzan untuk shalat Isya hanya di dalam Masjid Al-Qibli. Ini adalah bentuk serangan baru terhadap Al-Aqsha.

Setelah adzan di Masjid Al-Aqsha terputus, penjajah Zionis mengklaim bahwa ada upacara perayaan di Lapangan Al-Buraq yang berdekatan dengan masjid, demikian dikutip Palestine Information Centre (PIC).

Proyek Yahudisasi

Kepala Akademi Wakaf dan Warisan Al-Aqsha, Sheikh Najeh Bakirat, memperingatkan akan upaya dari pihak penjajah Israel yang tanpa henti untuk mengubah realitas sejarah dan agama mushalla Bab Al-Rahma di Masjid Al-Aqsha.

Dia menyatakan bahwa Zionis Israel berniat mengosongkan mushalla Bab al-Rahma dari jamaah riba (yang bersiaga) dan beri’tikaf di dalamnya, sehingga dapat memulai proyek yahudisasi. Dia menekankan pentingnya meningkatkan pengetahuan tentang masalah Al-Quds dan Al-Aqsha.

Bakirat meminta para ulama memobilisasi negara-negara Arab dan Islam terhadap isu Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha yang diberkahi. Sementara itu, para pemuda Palestina pada Senin malam melaksanakan shalat Maghrib di mushalla Bab Al-Rahma di Masjid Al-Aqsha, sebagai respon atas seruan untuk melindunginya setelah pendudukan Zionis Israel menyerangnya.

Para tokoh dan pihak-pihak di Al-Quds meminta warga Palestina untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di mushalla Bab Al-Rahma di Masjid Al-Aqsha. Mereka menekankan bahwa seruan ini disampaikan untuk mempertahankan dan melindungi masjid dari rencana penjajah Zionis dan para pemukim pendatang Yahudi.

Mereka menyerukan warga dan setiap orang yang dapat mencapai Masjid Al-Aqsha, untuk berkumpul dan berpartisipasi dalam ibadah, untuk melindungi mushalla dan masjid dari ambisi penjajah Israel dan penyerbuan pemukim pendatang Yahudi.

Untuk ketiga kalinya dalam dua hari, polisi Zionis menyerbu mushalla Bab al-Rahma Senin malam, dan menghancurkan semua isi mushalla dan instalasi listrik baru, bertepatan dengan larangan bagi jamaah memasukinya atau mendekati sekitarnya.

Menurut sumber di al-Quds, pasukan pendudukan Zionis Israel merekam para jamaah di dalam mushalla Bab al-Rahma.*

HIDAYATULLAH

Agar Shalat Tak Jadi Beban

BAGAIMANA caranya agar shalat tak jadi beban?

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Semua ulama sepakat bahwa shalat adalah yang pertama kali ditanyakan di akhirat kelak, karena shalat adalah ibadah yang paling utama. Jika baik shalatnya maka baik seluruh amalnya, namun jika buruk shalatnya maka buruk pula seluruh amalnya.

Agar Shalat Tak Jadi Beban: Jangan Sampai Sepelekan Shalat

Waktu Pelaksanaan Shalat Witir, Shalat Tahajud, Qunut, Keutamaan Shalat Subuh, Keistimewaan Sholat Subuh, Imam Shalat di Akhir Zaman, Ustadz Adi Hidayat, , Keistimewaan Shalat Shubuh, Pahala Shalat di Masjid, Keutamaan Shalat Tahajjud, Rahasia Shalat Shubuh, Keutamaan Tahajjud, Shalat Malam, Hukum Mengulang Surat yang Sama ketika Shalat, Bahaya Mengabaikan Waktu Shubuh, Shalat Malam, Keistimewaan 10 Hari Kedua Bulan Ramadhan, Jumlah Rakaat Shalat Tarawih, Petunjuk Itikaf dari Nabi,, Jumlah Rakaat Shalat Tarawih,, Agar Shalat Tak Jadi Beban
Foto: Saad | Islampos

Namun, yang terjadi saat ini adalah urusan shalat banyak disepelekan orang-orang Islam sendiri. Mereka berdalih, “Islam itu bukan hanya shalat, yang penting Islam itu di hati.

Kalau di hati seseorang masih ada Islam, tidak mengapa ia meninggalkan shalat.” Padahal yang benar Islam itu di hati, di lisan, dan dalam amalan juga. Tampak syiar-syiar Islam pada diri seorang Muslim dalam tiga hal tersebut.

Orang-orang yang mengatakan keislaman dan keimanan itu di hati, lalu meninggalkan shalat, hakikatnya tidak ada keimanan dan keislaman sedikit pun di hati mereka.

https://youtube.com/watch?v=oIuZQuVwcds%3Fstart%3D192%26feature%3Doembed

Karena kalau benar di hati mereka terdapat keislaman dan keimanan, mereka tidak akan mungkin meninggalkan shalat. Jangankan sebagai kebutuhan, sebagai kewajiban pun orang-orang seperti ini masih meninggalkan shalat.

Dengan menjadikan shalat sebagai kebutuhan, maka kita tidak akan merasa terbebani dan merasa berat saat akan melaksanakan shalat dan ibadah wajib lainnya.

Agar Shalat Tak Jadi Beban: Menurut Para Ulama Jika Meninggalkan Shalat dengan Sengaja

Tanda Hidup Berkah, Menasihati Anak, solusi untuk ikhlas, Keutamaan Istighfar setelah Shalat, Tips Mendidik Anak Sesuai Sunnah Rasulullah, Agar Shalat Tak Jadi Beban
Foto: Freepik

Bahkan para ulama sepakat, barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka dia keluar dari Islam. Orang yang meninggalkannya itu harus dipinta untuk bertaubat, kemudian menjaga shalatnya.

Jika dia menolak untuk bertaubat dan tetap dalam keadaannya setelah dimintai untuk taubat, maka menurut para ulama, ia dihukum mati dengan status keluar dari agama Islam.

Adapun orang-orang yang meninggalkannya karena malas, namun masih meyakini bahwa shalat itu wajib, maka ia dibimbing dan diberikan sanksi sampai ia tidak lagi meninggalkan shalat.

Semoga kita termasuk dalam golongan orang yang selalu menjaga shalatnya. Wallahu alam. []

ISLAMPOS

Hukum Ambulans Membawa Jenazah dengan Cepat

Bagaimana hukum ambulans membawa jenazah dengan cepat? Dewasa ini menjadi marak, membawa jenazah dengan mobil Ambulance atau mobil lainnya. 

Fenomena seperti ini merupakan kasus baru, namun dalam pembahasan ulama klasik ada padanannya, yakni membawa jenazah dengan kereta yang didorong. berdasarkan qiyas yang demikian, dapat disimpulkan bahwa membawa jenazah dengan cara diantar ambulans  tetap boleh.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Syamsuddin Al-Ramli menyatakan;

(وَيَحْرُمُ حَمْلُهَا عَلَى هَيْئَةٍ مُزْرِيَةٍ) كَحَمْلِهَا فِي غِرَازَةٍ أَوْ قُفَّةٍ، وَكَحَمْلِ الْكَبِيرِ عَلَى الْيَدِ أَوْ الْكَتِفِ لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِزْرَاءِ بِهِ مِنْ غَيْرِ نَعْشٍ بِخِلَافِ الصَّغِيرِ (وَهَيْئَةٍ يُخَافُ مِنْهَا سُقُوطُهَا) بَلْ يُحْمَلُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ عَلَى سَرِيرٍ أَوْ لَوْحٍ أَوْ مَحْمَلٍ وَأَيُّ شَيْءٍ حُمِلَ عَلَيْهِ أَجْزَأَ

“Diharamkan membawa mayat dengan cara-cara yang merendahkan kehormatannya seperti halnya membawanya di keranjang atau karung, dan juga haram membawa jenazah orang dewasa dengan tangan atau diikat, karena ini dianggap sebagai melecehkannya lain halnya dengan anak kecil. 

Haram juga membawa jenazah dengan cara atau model yang sekiranya berpotensi untuk menjatuhkan mayit, akan tetapi diperbolehkan untuk membawanya dengan ranjang, papan, atau alat pengangkat dan cara apapun, seperti halnya yang diterangkan dalam kitab Al-majmu.” (Nihayat al-Muhtaj, Juz 3 Halaman 22) 

Demikian adalah karena tidak ada tata cara yang diwajibkan dalam membawa jenazah, sehingga parameternya adalah asas kepatutan. Syekh Ali Syibromalisi menyatakan;

(قَوْلُهُ وَأَيُّ شَيْءٍ حُمِلَ عَلَيْهِ أَجْزَأَ) أَيْ كَفَى فِي سُقُوطِ الطَّلَبِ، وَشَرْطُ جَوَازِهِ أَنْ لَا يَكُونَ الْحَمْلُ عَلَى هَيْئَةٍ مُزْرِيَةٍ، وَمِنْهُ حَمْلُهُ عَلَى مَا لَا يَلِيقُ بِهِ.

“Adapun yang dimaksud dengan cara apapun dalam membawa jenazah tadi yang diperbolehkan adalah mencukupi untuk menggugurkan kewajiban, hanya saja disyaratkan dalam membawanya itu tidak ada unsur merendahkan kehormatan mayit atau tidak patut baginya”. (Hasyiyah Ali Syibromalisi, Juz 3 Halaman 22) 

Hukum Ambulans Membawa Jenazah dengan Cepat

Lalu bagaimana hukumnya mobil yang membawa Jenazah dipacu dengan Cepat? Pasalnya, jamak dijumpai di Indonesia, mobil yang membawa jenazah, dikendarai dengan sangat cepat, dan terkadang menimbulkan pro dan kontra.  

Menurut ulama disunnahkan untuk mempercepat dalam membawa jenazah, sekiranya tidak melebihi batas normal yang mana berpotensi menimbulkan mafsadat.  Namun jika sangat cepat dan berpotensi kecelakaan, maka haram. Dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi;

وَلَا يَحْمِلُ الْجِنَازَةَ إلَّا الرِّجَالُ وَإِنْ كَانَ أُنْثَى، وَيَحْرُمُ حَمْلُهَا عَلَى هَيْئَةٍ مُزْرِيَةٍ وَهَيْئَةٍ يُخَافُ مِنْهَا سُقُوطُهَا.

“Yang diperbolehkan dalam membawa jenazah adalah orang laki-laki saja, meskipun jenazahnya adalah perempuan. Diharamkan membawa jenazah itu dengan cara yang merendahkan dia dan cara-cara yang sekiranya berpotensi untuk menjatuhkannya.” (Minhaj Al-Thalibin, halaman 62).

Maka, membawa jenazah dengan cara yang bisa membahayakan jenazahnya ini diharamkan. Meskipun demikian, disunnahkan untuk membawanya dengan cepat. Rasulullah saw bersabda;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

“Dari sahabat Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda, ‘Segeralah terhadap jenazah. Jika ia orang saleh, maka itu kebaikan yang kalian lakukan terhadapnya. Tetapi jika selain itu (bukan orang baik), maka itu keburukan yang kalian letakkan dari bahu kalian,’” (HR Bukhari).

Hadis ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam redaksi berikut;

قَوْله اسرعوا نقل بن قُدَامَةَ أَنَّ الْأَمْرَ فِيهِ لِلِاسْتِحْبَابِ بِلَا خِلَافٍ بَين الْعلمَاء وشذ بن حَزْمٍ فَقَالَ بِوُجُوبِهِ وَالْمُرَادُ بِالْإِسْرَاعِ شِدَّةُ الْمَشْيِ وَعَلَى ذَلِكَ حَمَلَهُ بَعْضُ السَّلَفِ…وَالْجُمْهُورِ الْمُرَادُ بِالْإِسْرَاعِ مَا فَوْقَ سَجِيَّةِ الْمَشْيِ الْمُعْتَادِ وَيُكْرَهُ الْإِسْرَاعُ الشَّدِيدُ وَمَالَ عِيَاضٌ إِلَى نَفْيِ الْخِلَافِ فَقَالَ مَنِ اسْتَحَبَّهُ أَرَادَ الزِّيَادَةَ عَلَى الْمَشْيِ الْمُعْتَادِ وَمَنْ كَرِهَهُ أَرَادَ الْإِفْرَاطَ فِيهِ كَالرَّمَلِ وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يسْتَحبّ الْإِسْرَاع لَكِن بِحَيْثُ لاينتهى إِلَى شِدَّةٍ يُخَافُ مَعَهَا حُدُوثُ مَفْسَدَةٍ بِالْمَيِّتِ أَوْ مَشَقَّةٍ عَلَى الْحَامِلِ أَوِ الْمُشَيِّعِ لِئَلَّا يُنَافِيَ الْمَقْصُودَ مِنَ النَّظَافَةِ وَإِدْخَالِ الْمَشَقَّةِ عَلَى الْمُسْلِمِ

“Menurut Ibnu qudamah yang dimaksud dengan dipercepat dalam membawa jenazah itu adalah sunnah dan ini tidak diperselisihkan oleh para ulama kecuali oleh Ibnu hazm saja yang mewajibkannya.

Adapun yang dimaksud dengan mempercepat membawa jenazah itu adalah membawa jenazah di atas jalan biasanya, demikian adalah yang dipraktekkan oleh ulama Salaf dan mayoritas ulama. 

Hanya saja dimakruhkan untuk membawa jenazah itu dengan sangat cepat, Syekh Iyadh mengkompromikan pendapat yang beredar dan terkesan berselisih. 

Beliau menyatakan bahwa ulama yang menghukumi sunah untuk mempercepat itu adalah dalam taraf melebihi jalan yang biasa dilakukan oleh orang, sedangkan ulama yang memakruhkan untuk membawa jenazah dengan cepat itu adalah taraf yang sangat cepat (berlebihan, melebihi batas normal). 

Dengan demikian disunnahkan untuk mempercepat dalam membawa jenazah, sekiranya tidak melebihi batas normal yang mana berpotensi menimbulkan mafsadat bagi mayit atau memberatkan bagi yang membawa dan pengantar jenazah.

Hal ini dimaksudkan agar tidak menafikan tujuan kebersihan (yang boleh jadi dialami oleh jenazah atau pembawanya) dan mendatangkan kesulitan bagi umat Islam.” (Fath al-Bari, Juz 3 Halaman 184) 

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Akademisi Syafi’i kontemporer, Syekh Wahbah Al-Zuhaili menyatakan;

واستحباب الإسراع باتفاق العلماء إلا أن يخاف من الإسراع انفجار الميت أو تغيره ونحوه، فيتأنى

“Kesunnahan mempercepat membawa jenazah ini sudah disepakati oleh para ulama, kecuali jika dalam kecepatan ini berdampak pada keutuhan mayit, sehingga jika demikian disunahkan untuk berjalan dengan normal saja”. (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Juz 2 Halaman 1540).

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya hukum ambulans membawa jenazah dengan cepat adalah diperbolehkan ketika tidak membahayakan jenazahnya, apabila demikian maka pacu saja mobilnya dengan kecepatan normal. Wallahu A’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

10 Amalan Ibadah yang Mudah Dilanjutkan Usai Ramadhan

Setiap tahun, saat Ramadhan tiba, banyak dari umat Islam yang merasa bertekad berubah menjadi lebih baik dan menjadi Muslim yang lebih baik. Maka, ada amalan ibadah yang mudah dilanjutkan usai Ramadhan berlalu.

Dilansir di About Islam, Kamis (27/4/2023), namun ketika bulan penuh berkah meninggalkan setiap umat Muslim, dapat dimungkinkan kebiasaan dan praktik baik yang dibangun selama Ramadhan bisa juga tertinggal. Untuk itu, kunci untuk membuat perubahan yang konsisten adalah memiliki tujuan yang kecil dan berkelanjutan, bukan tujuan yang besar dan tidak dapat dicapai.

Bahkan, ini adalah konsep dalam agama Islam bahwa Allah menyukai amalan yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun kecil. Berikut adalah 10 amalan ibadah sederhana yang bisa dengan mudah dilanjutkan setelah Ramadhan berlalu.

1. Sholat lima waktu sehari

Meski terdengar sangat mendasar, tetapi bagi banyak orang, sholat tepat waktu lima waktu sehari adalah sebuah perjuangan. Namun, ini adalah rukun Islam dan sesuatu yang harus dilakukan semua umat Islam.

Jadi meskipun itu tantangan, kaum Muslimin harus melakukannya di bulan Ramadhan dan juga sepanjang tahun sepanjang hidup. Beberapa orang mendapat manfaat dari memiliki sistem teman di mana mereka bertanggung jawab kepada teman dekat atau anggota keluarga. Ini mungkin membantu jika sholat lima waktu adalah sesuatu yang diperjuangkan.

2. Mengendalikan lidah

Poin ini perlu menjadi perhatian, sebab surga dijamin bagi mereka yang menahan lidah dan kemaluannya. Artinya tidak ada gosip atau menggunjing, membantah orang tua, berbohong, menggunakan kata-kata umpatan, dan sebagainya.

3. Memiliki hubungan dengan Alquran

Beberapa orang mampu membaca seluruh Alquran di bulan Ramadhan, atau bahkan lebih dari itu. Ini luar biasa karena sangat bermanfaat dan Ramadhan adalah bulan membangun hubungan diri dengan Alquran.

Tapi menjaga hubungan itu bahkan setelah Ramadan berakhir juga sangat penting. Ini bisa berbeda untuk setiap orang. Bagi sebagian orang, itu berarti terus melafalkan ayat-ayat besar setiap hari. Bagi yang lain, itu mungkin berarti membaca hanya lima ayat dan merenungkan maknanya.

4. Memberi sedekah

Banyak orang bersedekah paling banyak selama bulan Ramadhan karena pahalanya berlipat ganda. Namun, amal adalah sesuatu yang dianjurkan untuk diberikan sepanjang waktu, meskipun umat Islam tidak memiliki banyak untuk diberikan.

Bagi mereka yang mampu, sumbangan uang selalu dibutuhkan. Bagi yang lain, pelayanan sukarela atau tindakan baik sangat bermanfaat.

5. Dzikir

Ibadah yang satu ini mudah dimasukkan ke dalam jadwal tersibuk sekalipun. Sebab dzikir hanya kata-kata dan frase sederhana memuji dan mengingat Allah.

Setiap pribadi bisa berzikir (mengingat Allah) bahkan saat mengemudi atau mencuci piring. Ada video YouTube yang tersedia untuk mempelajari lebih lanjut jika itu adalah sesuatu yang tidak biasa dilakukan.

6. Mohon ampun kepada Allah

Sebagaimana diketahui, tidak ada orang yang sempurna, tidak peduli seberapa besar usaha dan ikhtiar manusia. Semua manusia membuat kesalahan, entah itu besar atau kecil. Maka meskipun mencari pengampunan dari Allah selama Ramadhan, penting juga untuk menjaga ini setelah Ramadhan. Itu juga tidak perlu waktu lama, tetapi membutuhkan penyesalan, ketulusan, dan kerendahan hati.

7. Bersyukurlah

Seringkali, umat Islam mengingat berkah yang diterima begitu saja dan bertanya-tanya mengapa tidak menunjukkan lebih banyak rasa terima kasih untuk itu? Nah, momentum berlalunya Ramadhan adalah kesempatan untuk awal yang baru dan sikap yang lebih bersyukur. Allah memberi setiap hamba-Nya lebih dari yang kita sadari, bahkan ketika hidup tampaknya tidak berjalan dengan baik.

Maka umat Islam harus berusaha lebih banyak mengungkapkan rasa terima kasih. Plus, rasa syukur memiliki manfaat kesehatan mental dan bahkan fisik.

8. Berdoa untuk orang lain

Hal yang indah tentang tarawih adalah sering diakhiri dengan imam berdoa untuk ummat, sementara jamaah secara emosional mengatakan “amin” di belakangnya. Kita juga dapat melanjutkan amalan besar ini setelah Ramadhan, secara pribadi. Plus, jika kita berdoa untuk orang lain, para malaikat akan berdoa untuk kita.

9. Tersenyumlah!

Tersenyum lebih alami tidak hanya membuat kita merasa lebih baik, ada banyak keutamaan tersenyum yang ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW.

10. Puasa

Puasa tidak harus menjadi sesuatu yang hanya dilakukan di bulan Ramadhan. Bagi yang mampu, puasa sunnah sangat bermanfaat. Kita dapat menjalankan puasa ini sepanjang berbagai waktu dalam setahun dan bahkan dalam setiap bulan.

ISLAMDIGEST

Garuda Siap Terbangkan 104.172 Jamaah Haji Reguler

Mereka adalah jamaah yang berasal dari sembilan embarkasi.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) menandatangani kontrak kerja sama dengan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk terkait Angkutan Udara Jamaah Haji Reguler Indonesia Tahun 1444 H/ 2023 M. Kedua belah pihak bersepakat bersinergi dalam penerbangan jamaah haji tahun ini.

Penandatanganan perjanjian dilakukan Dirjen PHU Hilman Latief dengan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di kantor pusat Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (27/4/2023). Hadir menyaksikan, Irjen Kemenag Faisal Ali Hasyim beserta Inspektur Wilayah I dan II Itjen Kemenag, Sekretaris dan seluruh Direktur pada Ditjen PHU, serta jajaran Direksi dari PT. Garuda Indonesia.

PT Garuda Indonesia Tbk selama ini menjadi mitra Kementerian Agama dalam memberangkatkan jamaah haji Indonesia ke Arab Saudi dan mengantar pulang mereka kembali ke Tanah Air. Sebelum penandatanganan kerja sama ini, kedua pihak telah melakukan serangkaian pembahasan intensif, termasuk negosiasi harga dan pembahasan draft perjanjian kerja sama.

“Terima kasih atas kepercayaan kepada kami. Tahun ini kami menyiapkan 14 armada yang terdiri dari Boeing 777 dan Airbus 300 untuk mengangkut jamaah haji reguler Indonesia dari Tanah Air ke Arab Saudi dan kembali lagi ke Tanah Air,” kata Irfan melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Kamis (27/4/2023).

Di tempat yang sama, Hilman menyampaikan terima kasih atas kerja sama yang selama ini terjalin dengan baik dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia. Garuda Indonesia tahun ini kembali mendapatkan kepercayaan mengangkut jamaah haji reguler ke Arab Saudi hingga kembali lagi ke Tanah Air. Totalnya ada 104.172 orang yang tergabung dalam 287 kelompok terbang.

“Mereka adalah jamaah yang berasal dari sembilan embarkasi, yaitu Aceh, Medan, Padang, Jakarta-Pondok Gede, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, dan Lombok,” ujar Hilman.

Kepada Garuda Indonesia, Hilman mengingatkan tahun ini ada sekitar 30 persen jamaah yang sudah berusia 65 tahun ke atas. Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini memiliki tagline Haji Ramah Lanjut Usia.

Karenanya, Hilman berharap Garuda Indonesia melakukan penyesuaian layanan demi kenyamanan jamaah haji, termasuk lansia. Hilman juga minta ada layanan prioritas kepada jamaah lansia dan disabilitas, baik saat naik pesawat, selama berada di dalam pesawat, saat turun dari pesawat, hingga keluar dari bandara.

“Kami meminta petugas darat dan udara PT. Garuda Indonesia Tbk tahun ini dapat lebih ramah dan responsif dalam memberikan pelayanan kepada jamaah haji Indonesia. Layani mereka bagaikan melayani orang tua kita sendiri,” ujar Hilman.

IHRAM