Sah, Arab Saudi Izinkan Haji Luar Negeri Tahun Ini Termasuk Jamaah Indonesia

Pemerintah Arab Saudi membuka pelayanan ibadah haji bagi satu juta orang pada musim haji tahun 1443 Hijriyah/2022 Masehi setelah selama dua tahun menerapkan pembatasan ketat untuk mencegah penularan Covid-19, demikian menurut siaran informasi dari kantor berita resmi Arab Saudi.

Kantor berita Reuters pada Sabtu (9/4/2022) mengutip pernyataan Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi yang disiarkan oleh kantor berita resmi Arab Saudi, Saudi Press Agency, yang menyebutkan bahwa jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah tahun ini harus berusia di bawah 65 tahun dan sudah mendapat vaksinasi Covid-19 secara penuh.

Jamaah dari luar negeri tahun ini diperbolehkan menunaikan ibadah haji dengan syarat telah mendapat vaksinasi penuh, menunjukkan hasil negatif tes RT-PCR, dan menerapkan protokol pencegahan penularan Covid-19.

Tahun lalu Arab Saudi membatasi jamaah haji sebanyak 60 ribu orang dari dalam negeri, jauh lebih sedikit dibandingkan rata-rata jamaah haji sebelum masa pandemi Covid-19 yang mencapai 2,5 juta orang.

Pemerintah Arab Saudi sampai sekarang belum menyampaikan informasi mengenai kuota jamaah haji untuk setiap negara, termasuk Indonesia. 

Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al-Rabiah, mengatakan bahwa pengambilan keputusan mengenai kuota jamaah haji bagi setiap negara bukan hanya kewenangan Kementerian Haji dan Umrah, tetapi melibatkan instansi terkait lain di Kerajaan Arab Saudi.”Jumlah kuota tidak akan sama seperti sebelum pandemi. 

Namun, Arab Saudi tahun ini siap menerima jamaah haji luar negeri dan persiapan terus dilakukan,” kata dia. 

Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas sebelumnya mengatakan bahwa dia sudah menerima informasi mengenai rencana Pemerintah Arab Saudi membuka kembali pelayanan ibadah haji bagi jamaah dari luar negeri pada  2022.

“Mungkin kuota haji tahun ini belum normal karena pandemi, namun saya berharap Indonesia dapat alokasi ideal,” katanya, menambahkan, Indonesia sudah siap memberangkatkan jamaah haji.   

IHRAM

Fikih Nikah (Bag. 10)

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Nikah (Bag. 9)

Hukum-hukum terkait iddah

Pendahuluan

Setiap hubungan suami istri pasti berakhir, baik itu karena talak (cerai) ataupun karena meninggalnya salah satu dari mereka. Dalam kondisi seperti ini, syariat Islam mengharuskan seorang wanita untuk menunggu beberapa waktu terlebih dahulu (iddah). Jangka waktunya berbeda-beda tergantung sebab perpisahannya.

Al-‘Iddah berasal dari bahasa Arab yang artinya sama dengan Al-Hisab dan Al-Ihsha, yaitu bilangan dan hitungan. Dinamakan iddah karena dia mencakup bilangan hari yang pada umumnya dihitung oleh istri dengan quru’ (masa suci dari haid atau masa haid) atau dengan bilangan beberapa bulan.

Adapun secara istilah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Wajiiz, “Iddah ialah masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak, setelah cerai atau kematian suami, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’, atau dengan hitungan bilangan beberapa bulan.”

Dalil pensyariatan dan hukum iddah

Pertama, firman Allah Ta’ala,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru’” (QS. Al-Baqarah: 228).

Kedua, firman Allah Ta’ala,

وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 4).

Ketiga, firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).

Keempat, hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا تحد امرأة على ميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشرا

“Seorang wanita tidak boleh berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yaitu (ia boleh berkabung) selama empat bulan sepuluh hari” (HR. Muslim no. 938).

Kelima, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أمرت بريرة أن تعتد بثلاث حيض

“Barirah diperintahkan untuk menjalani masa iddah sebanyak tiga kali haid.” (HR. Ibnu Majah no. 2077).

Adapun hukumnya, setelah pemaparan ayat-ayat dan hadis di atas dapat diketahui bahwa iddah ini wajib dijalankan bagi setiap wanita yang dicerai ataupun ditinggal mati suaminya dengan ketentuan-ketentuan yang akan kita bahas setelah ini. Kewajiban iddah ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan ulama) dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya.

Macam-macam iddah

Iddah dari segi orang yang ditinggalkan maka terbagi menjadi beberapa macam, yakni:

Pertama, iddah bagi yang sedang hamil

Hukumnya wajib ber-iddah (menunggu) baik karena kematian suaminya ataupun karena diceraikan. Masa tunggunya selesai ketika dia melahirkan (menurut kesepakatan para ulama), berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَ

“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah (menunggu) mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya(QS. At-Talaq: 4).

Bersihnya rahim dari perempuan yang hamil tidak dapat diketahui kecuali setelah melahirkan. Oleh karena itu, jika ada seorang wanita yang hamil kemudian dia diceraikan atau ditinggal mati suaminya, maka iddah (masa tunggu) nya sampai melahirkan, walaupun jangka waktu di antara keduanya hanya beberapa saat saja.

Imam Bukhari Rahimahullah meriwayatkan,

“Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas sementara Abu Hurairah sedang duduk. Laki-laki itu berkata, ‘Berilah fatwa kepadaku, terhadap seorang wanita yang melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam.’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Masa iddahnya adalah batasan yang paling terakhir (maksudnya empat bulan sepuluh hari, meskipun ia melahirkan sebelum itu).’ Abu Hurairah berkata, ‘Kalau aku, maka aku sependapat dengan anak saudaraku, yakni Abu Salamah.’

Lalu Ibnu Abbas mengutus pembantunya, Kuraib, kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya. Ummu Salamah menjawab, ‘Ketika suami Subai’ah Al-Aslamiyyah meninggal sementara ia dalam keadaan hamil, lalu melahirkan setelah kematian suaminya selang empat puluh malam. Ia kemudian dikhithbah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya. Abu As-Sanabil adalah termasuk salah seorang yang mengkhithbahnya’” (HR. Bukhari no. 4529).

Kedua, iddah bagi yang ditinggal mati suaminya namun sedang tidak hamil

Iddah bagi wanita dalam keadaan seperti ini adalah empat bulan dan sepuluh hari beserta malamnya, dihitung dari tanggal meninggal suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234).

Hukumnya sama, baik suaminya sudah menggaulinya atau pun belum. Hukumnya juga sama, baik ia masih kecil dan belum balig maupun sudah dewasa. Hal ini karena ayat di atas bersifat umum.

Ketiga, iddah seorang istri yang diceraikan suaminya

Pertama, dalam kondisi hamil, maka iddah-nya sampai ia melahirkan, sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya.

Kedua, tidak dalam kondisi hamil tetapi masih mengalami menstruasi, maka iddahnya tiga quru’. Menurut pendapat yang rajih (pendapat mazhab Hambali dan Hanafi) quru’ bermakna haid (menstruasi). Dengan haid seorang wanita bisa diketahui bahwa ia tidak hamil dan rahimnya tidak mengandung janin. Dalil lainnya,kata quru’ di dalam syariat digunakan untuk makna haid (menstruasi).

Diriwayatkan dari sahabat Urwah bin Zubair, bahwasannya Fatimah bin Abi Khubaisy bercerita kepadanya,

أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ الله ﷺ فَشَكَتْ إِلَيْهِ الدَّمَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ الله ﷺ: إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، فَانْظُرِي إِذَا أَتَى قَرْؤُكِ فَلَا تُصَلِّي، فَإِذَا مَرَّ قَرْؤُكِ فَتَطَهَّرِي ثُمَّ صَلِّي مَا بَيْنَ الْقَرْءِ إِلَى الْقَرْءِ

“Bahwasanya ia pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan tentang darah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, ‘Itu hanyalah penyakit, maka tunggulah. Jika tiba waktu qar` (haid)mu, maka janganlah Engkau salat. Jika haid itu telah usai maka bersucilah, kemudian salatlah antara haid hingga berikutnya’ (Shahih Abu Dawud, no. 280).

Ketiga, perempuan yang sudah tidak haid (menopause) atau mereka yang belum mengalaminya (belum dewasa), maka iddah-nya 3 bulan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah-nya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid(QS. At-Talaq: 4).

Keempat, iddah bagi istri yang suaminya mafquud

Mafquud adalah kondisi dimana seorang laki-laki tidak diketahui apakah dia masih hidup atau tidak, namun masih ada harapan ia muncul dan kembali. Contohnya adalah orang yang hilang karena sebab peperangan atau karena insiden tenggelam dan lain sebagainya.

Dalam keadaan ini, maka iddah-nya tergantung keadaannya. Para fuqaha’ (ahli fikih) berbeda pendapat dalam permasalahan ini, di antaranya:

Pertama, dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i (baru) laki-laki tersebut dianggap masih hidup. Oleh karena itu, hartanya tidak bisa dibagi sebagai waris. Istrinya tidak dihukumi cerai atau pisah. Istrinya tidak melakukan iddah kecuali telah jelas suaminya meninggal. Dalilnya adalah mengambil hukum asal sebelumnya (istishab), yaitu hidupnya suami. Sehingga ketika ia mendapatkan informasi dari orang yang dipercaya bahwa suaminya ternyata telah meninggal, atau ternyata dirinya telah dicerai sebanyak tiga kali, atau datang kepadanya surat dari tangan orang yang dia percaya, yang berisi keterangan bahwa ia telah ditalak, maka barulah ia dibolehkan untuk menjalani masa iddah. Dan ketika selesai masa iddah, maka ia boleh menikah kembali.

Kedua, adapun dalam mazahb Maliki dan Hambali  mereka berpendapat bahwa seorang istri dalam kondisi seperti ini menunggu terlebih dahulu selama empat tahun, baru kemudian ia diperbolehkan untuk menjalani masa iddah (iddah-nya wanita yang ditinggal suaminya, yaitu 4 bulan dan 10 hari). Kemudian setelah itu barulah ia diperbolehkan untuk menikah kembali.

Hikmah pensyariatan iddah (masa tunggu)

Pertama, untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin dan memastikan adanya kehamilan atau tidaknya pada istri yang diceraikan atau ditinggal meninggal suaminya. Agar nantinya ketika jelas adanya kehamilan, maka dapat diketahui siapa ayah dari bayi tersebut.

Kedua, menunjukkan agungnya sebuah ikatan pernikahan. Hal ini karena selepas suaminya meninggal, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi kecuali setelah melewati masa waktu tertentu (iddah).

Ketiga, dalam kasus cerai hidup, maka masa iddah memberikan kesempatan kepada suami istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangganya apabila masih melihat adanya maslahat dan kebaikan di dalam perkara tersebut.

Keempat, dalam kasus cerai mati, iddah merupakan bentuk penghormatan dan rasa bakti istri terhadap suami yang telah meninggal. Dengan demikian, istri yang ditinggalkan ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suami dan anak-anaknya.

Kelima, selain hikmah-hikmah yang telah kita sebutkan, pelaksanaan iddah juga merupakan bentuk realisasi ketaatan seorang manusia kepada aturan Allah Ta’ala. Hal ini termasuk kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang wanita muslimah. Masa iddah bernilai ketaatan di sisi Allah Ta’ala. Sehingga ketika seorang wanita menaatinya dan mengamalkannya, tentu saja pasti akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Sedangkan apabila seorang wanita melanggarnya dan meninggalkannya, maka akan mendapatkan dosa yang setimpal.

Wallahu a’lam bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/73781-fikih-nikah-bag-10.html

Paket Rukhsah Ramadan (2) : Puasa bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Megandung dan menyusui adalah sebuah fitrah bagi kaum wanita, fase tersebut merupakan hal yang normal dan wajar terjadi bagi seorang wanita yang telah menikah, fase ini juga menjadi poin penting mengapa seorang wanita harus diperlakukan dengan baik kelak oleh anak-anaknya. Dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 di jelaskan :

وَوَصَّيْنَا الاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا حَمَلَتْهُ اُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا

Artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)”.

Selain itu, hal lain yang bisa didapat seorang wanita hamil adalah limpahan pahal yang besar saat beribadah di fase kehamilannya. Semua resiko kehamilan hingga melahirkan juga dijamin mendapat ganjaran setimpal, bahkan jika meninggal saat prosesi melahirkan, Agama menetapkannya sebagai seseorang yang Syahid.

Namun bagaimana jika fase melahirkan dan menyusui itu terjadi ketika bulan Ramadan, dimana bulan ini merupakan bulan di wajibkannya berpuasa bagi seorang Muslim yang mukallaf, apakah bagi wanita hamil tetap harus berpuasa sebagaimana Muslim lainnya, mengingat kondisi fisiknya tidak setangguh manusia pada umumnya atau.

Syeh Nawawi Al-Bantani berpendapat dalam salah satu kitabnya, seorang wanita hamil atau menyusui tetap wajib berpuasa selama tidak dihawatirkan adanya dampak negatif  baik pada janin atau pada ibunya, jika dihawatirkan akan adanya dampak negatif maka makruh baginya berpuasa dan apabila iya meyakini akan adanya dampak negatif bagi janin atau dirinya maka baginya haram untuk melakukan ibadah puasa. Pendapat tersebut di dasarkan pada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ اَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

“sesungguhnya Allah menghapus kewajiban puasa dan sebagian shalat bagi musafir, dan kewajiban berpuasa bagi orang hamil dan menyusui.”

Bagi wanita hamil atau menyusui, jika tidak berpuasa maka tetap wajib mengganti puasanya di kemudian hari. Mengenai kewajiban membayar  fidyah, ulama berselisih pendapat. Mazhab hanafiyah menyatakan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Sementara mazhab Syafi’i merinci, jika alasan ia tidak berpuasa dikarnakan hawatir akan kesehatan janin atau anaknya saja, maka wajib membayar fidyah. Sedangkan jika ia hawatir akan kondisi dirinya saja atau dengan kondisi anaknya juga, maka ia tidak wajib membayar fidyah.

Walhasil, perempuan yang sedang hamil dan menyusui tidak lantas diperlakukan sama dengan orang muslim pada umumnya perihal ibadah puasa di bulan Ramadan, bagi wanita hamil atau menyusui terdapat opsi pilihan untuk berpuasa atau tidak sesuai dengan keadaan yang sedang ia alami.

ISLAM KAFFAH

Paket Rukhsah Ramadan (1) : Puasa bagi Pekerja Berat

Kita telah ketahui bersama bahwa setiap kewajiban yang diberikan oleh Allah harus ditunaikan dan  berdosa bagi yang meninggalkannya. Kewajiban Shalat lima waktu, berpuasa, zakat, naik haji bagi orang yang memiliki kemampuan merupakan hal yang tidak dapat di tawar. Namun betapapun kewajiban itu harus dilakukan bagi setiap muslim, Allah tetaplah Dzat yang maha pengasih dan penyayang yang tidak akan mebebani hambanya dengan sesuatu yang di luar kemampuanya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat alquran:

لايكلف الله نفسا الا وسعها

“Allah tidak membani seseorang kecuali dengan kemampuanya”

Puasa merupakan rukun Islam yang keempat, Semua pihak senantiasa bergembira atas datangnya bulan Puasa atau Ramadan, pasalnya dalam momen puasa Ramadan tidak hanya puasa wajib saja yang menjanjikan pahala selangit namun juga banyak sekali paket ibadah sunnah yang menjanjikan pahala melimpah. Namun dibalik semua itu ada ancaman besar bagi orang yang meninggalkan kewajiban puasa, dalam sebuah hadis di jelaskan:

Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ketika Aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang kedua lenganku, membawaku ke satu gunung yang besar, keduanya berkata, ‘Naik’. Aku katakan, ‘Aku tidak mampu’. Keduanya berkata, ‘ kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘suara apakah itu?’ mereka berkata, ‘ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang yang digantung dengan kaki di atas dan mulut mereka rusak/ robek serta mengeluarkan darah. Aku bertanya, ‘siapa mereka?” keduanya menjawab ’mereka adalah orang yang berbuka sebelum waktu berbuka”.(H.R Imam An-Nasa’i).

Dari hadis di atas sangatlah jelas betapa besar ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadan. Lantas bagai mana dengan para pekerja berat yang memeras keringat untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apakah tetap harus berpuasa atau ada solusi lain dari agama?

Menurut Abu Bakar al-Ajiry, pekerja berat boleh membatalkan puasa dengan beberapa syarat: pertama, kondisi kesehatannya bisa terganggu jika berpuasa; Kedua, mendapat kesulitan apabila meninggalkan pekerjaanya. Jika masih mampu berpuasa maka wajib berpuasa dan berdosa jika tidak berpuasa. Yang  juga perlu diperhatikan, pekerja berat tetap harus berniat puasa. Apabila di pertengahan hari ia sangat lapar dan tertimpa dahaga luar biasa , maka ia boleh membatalkan puasanya dan tetap wajib meng-qadlo’ puasanya di kemudian hari. Hal serupa juga berada dalam ketarangan kitab Buhyah Al-Mustarsyidin, bahkan disana ada tambahan berupa pekerjaannya tidak dapat di pending hingga usainya bulan Ramadan. Jika sarat yang disebutkan tidak dipenuhi maka tidak berhak mendapat keringanan atau dalam bahasa Fikih Rukhsah.

Walhasil, Islam tetap menginginkan semua muslim menunaikan ibadah puasa dengan sempurna dan baik, namun agama juga tidak menampik adanya golongan yang menjadi terbebani dengan kewajiban tersebut sehingga agama memberikan kriteria khusus yang membolehkan seorang muslim membatalkan puasa.

ISLAM KAFFAH

Masya Allah, Remaja Berhijab Kerja Jadi Kuli Angkat Semen, Alasannya Bikin Haru

Perjalanan hidup seseorang tidak pernah ada yang tahu, apapun kondisi dalam hidup sebagai seorang hamba haruslah terus bersyukur kepada Allah SWT. Rasa syukur inilah yang menjadi semangat untuk terus berbuat yang terbaik dalam hidup , seperti yang dilakukan oleh seorang siswi bernama Nurhalisa.

Nurhalisa merupakan siswi berhijab, namun melakukan pekerjaan sebagai kuli angkut semen, menjadi viral karena dibagikan di akun TikToknya @nurhalisa1. Selain fokus belajar demi menggapai cita-citanya, orangtualah yang menjadi alasan Nurhalisa bekerja sebagai kuli panggul semen.

Aksi remaja yang bekerja menjadi kuli angkat semen ini viral setelah diunggah oleh akun TikTok @nurhalisa1__. Dalam video terlihat remaja tersebut berada di sebuah toko bangunan dan ada satu truk tronton yang parkir di depan toko bangunan. Tronton tersebut mengangkut semen yang akan dibongkar muat ke toko bangunan. Seperti dilansir dari laman wolipop.detik.com Sabtu, (9/2/22)

Sang remaja berhijab kemudian membuka terpal yang menutupi semen. Ia lalu naik ke atas truk dan mengangkut semen dengan memakai sarung tangan.

Siswi berhijab itu mengangkut satu per satu semen untuk dimasukkan ke dalam toko bangunan. Ia mengatakan agar selalu bersyukur dan jangan pernah merasa gengsi.

“Belajarlah menikmati apa yang kamu miliki, itu akan membuat hidupmu lebih bernilai. Jangan lupa bersyukur bantu orang tua jangan pernah gensi 😇🙏@nrhlisa25_ @diyhmmm #doaibuselamanya #kerjakeras #foryoupage #casis #fypシ #viral #fyp #trending #tiktok #pejuangrupiah,” tulis akun TikTok @nurhalisa1__.

Dalam video selanjutnya, ia meletakkan alas di punggungnya untuk mengangkut semen. Video unggahan Nur Halisa itu sudah ditonton lebih dari 4,1 juta Views dan mendapatkan beragam reaksi dari warganet. Ada yang terharu atas kerja keras Nur Halisa dan mendoakannya agar kelak menjadi wanita yang sukses.

“Masyaa Allah selala jadi motivasi saya agar selalu bekerja dengan rasa syukur dan kesungguhan, semoga jadi amal baik mbak semuanya,” ucap akun @madmag7.

“Semoga menjadi wanita sukses suatu hari kelak dan mendapatkan jodoh paling terbaik menurut Allah SWT 🤲🏻🙏🏻😇,” doa akun @Tokopaedi.

“Masyaallah Tabarakallah ….Semangat terus kak @nurhalisa1__,” ujar akun @VJR.CO.

“Semangat, semoga sehat selalu dan di berikan rezeki yang lancar amin,” saut akun @peri.

“Keren sih mbaknya semangat terus kak,” kagum akun @Semut_gunung.

prosesnya memang berat, tapi hasilnya tak kalah hebat, insyaallah jgn lupa bersyukur bantu orang tua 😇🙏@nrhlisa25_ #kerjakeras #doaibuselamanya #fyp #viral #casis #pejuangrupiah #fypシ #tiktok #trending #foryoupage ♬ suara asli – Nur Halisa6775 – Nurhalisa1

Wolipop sudah menghubungi Nur Halisa sebagai pemilik akun TikTok @nurhalisa1__. Remaja berhijab yang bekerja menjadi kuli angkut semen itu mengungkapkan alasan bekerja menjadi kuli angkut semen.

“(Jadi kuli angkut semen) dari SD kasihan lihat orangtua kerja. Makanya saya mau bantu sama-sama susah senang. Selagi masih ada waktu berbaktilah pada orangtua. Jangan lupa bersyukur bantu orangtua,” ucap Nur Halisa kepada Wolipop.

Remaja berhijab itu ingin warganet yang melihat video TikToknya untuk selalu bersyukur dan jangan mengeluh. Ia menekankan sebagai anak sebaiknya terus membantu dan berbakti kepada kedua orangtua.

“Semua butuh proses jangan lupa bersyukur bantu orangtua. Prosesnya memang berat, tapi hasilnya tak kalah hebat, insya Allah jangan lupa bersyukur bantu orangtua,” tuturnya.

ISLAM KAFFAH

Ketentuan Fidyah Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui

Bagaimana ketentuan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui? Dalam permasalahan ini, banyak sekali yang harus dirinci. Ibnu Ruslan mensyairkan:

مد طَعَام غَالب فِي الْقُوت # وَجوز الْفطر لخوف موت

وَمرض وسفر إِن يطلّ # وَخَوف مرضع وَذَات حمل

مِنْهُ على نَفسهَا ضرا بدا # وَيُوجب الْقَضَاء دون الافتدا

ومفطر لهرم لكل يَوْم # مد كَمَا مر بِلَا قَضَاء صَوْم

وَالْمدّ والقضا لذات الْحمل # أَو مرضع إِن خافتا للطفل

Ada 4 perincian yaitu sebagai berikut:

  1. Wajib bayar fidyah dan qada’, bagi wanita hamil dan menyusui, jika yang dikhawatirkan hanyalah anaknya. Adapun jika yang dikhawatirkan adalah dirinya dan anaknya atau yang disusuinya, maka hanya wajib qada’ saja, tanpa harus bayar fidyah. 
  2. Wajib qada’, tanpa harus bayar fidyah, seperti halnya tadi, yaitu orang yang epilepsi, lupa niat, dan orang yang membatalkan puasanya, selain dengan perantara hubungan seksual. 
  3. Wajib bayar fidyah, tanpa harus qada’ puasa. Yaitu lansia dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh baginya. 
  4. Tidak wajib qada puasa dan tidak wajib bayar fidyah. Yaitu orang gila. (Nadzam Zubad fi al-fikih al-syafii  h. 161) 

Syarih dari nadzam ini mengatakan bahwa, meskipun yang disusui itu bukanlah anaknya. Maka berlaku sebagaimana peraturan di atas. (Ghayat al-bayan syarh Zubad Ibnu Ruslan 161) .

Pembayaran fidyah ini dilakukan setiap hari puasanya, yakni ketika tidak puasa maka wajib juga fidyah. Fidyah merupakan ukuran 1 mud yang disesuaikan dengan makanan pokok negaranya, dan pembayaran ini menjadi dobel ketika tidak dibayar sampai tahun selanjutnya. (Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah I/456

Makanan pokok orang Indonesia adalah beras, maka bagi orang yang harus membayar fidyah, ia harus membayar dengan beras sekadar 1 mud, yakni sekadar 3/4 liter. 

Menurut Syekh Wahbah Zuhaili, Satu mud adalah takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa. Beliau mengatakan:

والمد حفنة ملء اليدين المتوسطتين

Satu mud adalah cakupan penuh dua telapak tangan pada umumnya”. (Fikih al-Islami wa Adillatuh,  II/910).

Demikianlah penjelasan mengenai ketentuan fidyah wanita hamil dan menyusui. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Siapa yang Disebut Sebagai Pekerja Berat yang Boleh tak Berpuasa itu?

Pakar fiqih yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Muhammad Nurul Irfan dalam kajian ba’da shalat tarawih yang berlangsung di Masjid Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran (PSQ) pada Kamis (7/8) menerangkan tentang siapa yang disebut sebagai pekerja berat.

Ia mengatakan dalam kitab Fiqih Sunah Jilid I, Sayyid Sabiq mengutip pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa maksud orang yang berat menjalankan puasa seperti  disebutkan pada penggalan ayat 184 surat Al-Baqarah yang berbunyi : Wa’alaladzina yuthiyqunahu fidyatum thoamun miskin (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) adalah orang-orang yang sangat berat untuk menjalankan puasa. Maka mereka cukup membayar fidyah. 

Yang termasuk yuthiqunahu atau orang-orang yang sangat berat untuk menjalankan puasa adalah orang tua lanjut usia yang lemah Selain itu yang termasuk yuthiqunahu adalah orang-orang yang menderita penyakit menahun. Artinya orang tersebut mengalami sakit yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

Dan yang tergolong yuthiqunahu juga adalah para pekerja berat yang Allah menjadikan penghidupan mereka selama-lamanya dengan bekerja berat. Artinya saban hari mereka terus menerus harus bekerja sangat berat sehingga menguras seluruh tenaganya. Kiai Nurul Irfan menjelaskan yang disebut pekerja berat itu adalah seperti orang yang bekerja sebagai penggali tambang batu bara dan sebagainya. Maka boleh bagi pekerja berat seperti penggali tambang tidak berpuasa Ramadhan dan menggantinya dengan fidiyah.  

“Orang-orang yang bekerja keras untuk keluarganya yang kerjanya itu sangat berat selama-lamanya berat sekali. Seperti penambang. Ketika bekerja mereka sangat berat berpuasa,” kata kiai Nurul Irfan.

Selain pekerja berat, yang boleh tidak berpuasa adalah orang yang sangat lapar dan khawatir meninggal. Kiai Nurul Irfan mengutip keterangan Imam Nawawi dalam al Majmu yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang terserang lapar yang sangat parah, kemudian orang tersebut khawatir akan meninggal karena sangat lapar maka wajib berbuka. Sebab setiap Muslim tidak boleh membunuh dirinya, ini bersandarkan firman Allah SWT dalam surat an Nisa:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (An Nisa ayat 29)

Selain itu larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan sebagaimana dalam surat Al Baqarah: 

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Baqarah 195)

IHRAM

Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 2)

Seruan Ketiga: Memenuhi Hak Manusia dan Memperhatikan Hak Pasangan (Suami atau Istri)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa, dan dari padanya Dia menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah kembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)

Allah Ta’ala membuka surat ini dengan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada-Nya, memotivasi untuk beribadah kepada-Nya, memerintahkan menjaga silaturahim dan memotivasinya. Karena Allah Ta’ala yang telah menciptakan kita, memberi rezeki pada kita dan merawat kita dengan nikmat-nikmat-Nya yang agung. Dia telah menciptakan kita dari satu jiwa yaitu Adam ‘alaihissalam. Dia juga menciptakan dari jiwa tersebut pasangannya, yaitu Hawa. Kemudian, dari mereka berdua Allah sebarkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak ke seluruh ke seluruh penjuru dunia sehingga sempurnalah kenikmatan dan tercapailah kebahagiaan.

Di antara yang juga membuat kita mesti bertakwa pada Allah Ta’ala adalah karena kita senantiasa meminta dan mengagungkan-Nya. Bahkan, ketika kita inginkan sesuatu yang benar-benar kita butuhkan, kita menggunakan nama-Nya untuk meminta. Allah mengiringi perintah untuk bertakwa pada-Nya dengan perintah untuk menyambung silaturahim dan larangan memutus silaturrahim. Ini menegaskan pentingnya silaturrahim. Sebagaimana seseorang mesti menunaikan hak Allah, dia juga mesti menunaikan hak sesama makhluk khususnya para kerabat mereka.

Pada firman Allah “dan dari padanya Dia menciptakan isterinya” ada peringatan untuk memperhatikan dan menunaikan hak pasangan. Istri adalah makhluk yang tercipta dari suami, maka di antara mereka ada kedekatan dan hubungan yang sangat erat dan kuat.

Allahlah yang Mahamelihat hamba-hamba-Nya ketika mereka bergerak atau diam, ketika sepi atau beramai-ramai, dan dalam kondisi apapun. Dia mengawasi mereka. Karenanya seorang hamba mestilah merasa diawasi, merasa malu, dan bertakwa padaNya.

Baca Juga: Pengaruh Nama dan Sifat Allah bagi Insan Beriman (Bag. 1)

Seruan Keempat: Semua yang Dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Benar-Benar dari Sisi Allah

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِن رَّبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَّكُمْ وَإِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 170)

Allah Ta’ala memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang datang membawa kebenaran. Kedatangan beliau sebagai rasul adalah benar dan apa yang dibawa oleh beliau juga benar. Dengan hanya melihat pada risalahnya saja, sudah menjadi bukti nyata akan kebenaran nubuwah beliau.

Begitu pula dengan melihat syariat yang agung dan jalan yang lurus yang dibawa oleh beliau akan tampak kebenarannya. Di dalamnya ada berita gaib baik yang terjadi di masa lalu maupun yang akan datang. Ada juga berita tentang Allah Ta’ala dan hari kiamat. Semua ini tidak akan mungkin diketahui, kecuali dengan wahyu dan risalah. Ada juga perintah untuk mengerjakan segala macam kebaikan, bersikap adil dan ihsan, bersikap jujur, berbuat baik, menyambung silaturahim, dan berakhlak mulia. Ada pula larangan dari berbagai bentuk keburukan, kerusakan, penganiyaan, kezaliman, akhlak buruk, bohong, dan durhaka pada orang tua. Semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa semua itu adalah dari sisi Allah Ta’ala.

Adapun bahaya ketika seseorang tak beriman pada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dapat diketahui dari kebalikan manfaat ketika seseorang beriman pada beliau. Bahaya tersebut hanya akan kembali pada orang yang tidak beriman. Allah tidak terpengaruh dengan kekufuran mereka. Kemaksiatan hamba tidak akan membahayakan Allah Ta’ala karena milik-Nya segala apa yang ada di langit dan bumi. Semua adalah makhluk Allah dan kerajaan-Nya, di bawah pengaturan-Nya. Dia Mahamengetahui dan Mahabijaksana atas segala sesuatu. Dia Mahamengetahui siapa yang berhak mendapatkan hidayah atau kesesatan dan Mahabijaksana dalam menempatkan hidayah atau kesesatan sesuai tempatnya.

[Bersambung]

Penerjemah: Amrullah Akadhinta

Sumber: https://muslim.or.id/73784-seruan-tuhannya-manusia-untuk-seluruh-manusia-bag-3.html

Hukum Tidur Setelah Sahur Saat Puasa Ramadhan

Di antara hal yang sering kita lakukan setelah melakukan makan sahur, terutama di bulan Ramadhan, adalah kita tidur lagi karena tidak kuat menahan kantuk. Sebenarnya, bagaimana hukum tidur setelah sahur ini, apakah boleh? (Baca: Imsak Sudah Terdengar, Masih Bolehkah Lanjut Sahur?)

Pada dasarnya, hukum tidur setelah kita makan sahur boleh tapi makruh. Ketika kita makan sahur untuk berpuasa, baik di bulan Ramadhan dan lainnya, maka tidak masalah kita tidur lagi asalkan tidak sampai meninggalkan shalat Subuh. Puasa tetap dinilai sah dan tidak jadi batal hanya karena kita tidur lagi setelah makan sahur.

Meski boleh, namun menurut para ulama, tidur setelah sahur hukumnya adalah makruh. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai kemakruhan tidur setelah makan sahur ini. (Baca: Sirene Imsak Berbunyi, Apakah Masih Boleh Melanjutkan Sahur?)

Pertama, waktu sahur merupakan waktu terbaik untuk berdoa dan membaca istighfar. Selain sebagai waktu untuk makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, waktu sahur juga merupakan waktu mustajab untuk berdoa dan membaca istighfar. Sehingga tidur di waktu sahur ini, apalagi setelah bangun makan sahur, hukumnya adalah makruh.

Dalam surah Ali Imran, Allah berfirman bahwa di antara sifat orang-orang ahli surga adalah;

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِين وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

Merekalah orang-orang yang penyabar, jujur, tunduk, rajin berinfak, dan rajin istighfar di waktu sahur.

Dalam surah Al-Dzariyat, Allah juga berfirman;

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di waktu sahur, mereka senantiasa memohon ampunan (beristighfar).

Kedua, Nabi Saw dan para sahabatnya menggunakan waktu setelah makan sahur untuk menunggu datangnya waktu shalat Shubuh, bukan untuk tidur. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata;

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

Kami bersahur bersama Rasulullah Saw, kemudian beliau pergi untuk shalat. Lantas saya bertanya kepada Nabi Saw; Berapa lama antara adzan dan sahur? Nabi Saw mejawab; Sekitar 50 ayat.

Dengan demikian, meski boleh tidur setelah makan sahur, namun hal itu hukumnya makruh dan tidak dianjurkan. Yang dianjurkan setelah makan sahur adalah menunggu datangnya waktu shalat Shubuh sambil membaca istighfar, membaca Al-Quran dan zikir-zikir lainnya.

BINCANG SYARIAH

Menunda Berbuka Puasa Karena Sedang Mengoperasi, Bolehkah?

Ada satu kasus dimana seorang dokter terpaksa menunda berbuka karena tengah mengoperasi pasien padahal Muslim disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa setelah menahan haus dan lapar dari terbit fajar. Bolehkah itu dilakukan?

Melansir laman aboutislam.net, Jumat (8/4/2022), cendekiawan muslim asal Kanada Syekh Ahmad Kutty menjelaskan jika seorang dokter bedah sedang melakukan operasi dan tidak bisa membatalkan puasa dengan makan atau minum karena dapat membahayakan nyawa pasien maka dia tidak boleh membatalkan puasa.

“Namun, alangkah baiknya jika dokter tersebut tetap berbuka dengan berniat untuj buka puasa meski belum memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Setelah operasi usai, dia dapat makan dan minum sesegera mungkin,”ujar dia. Namun, jika dokter bedah itu dapat menyesap air tanpa mengganggu prosedur, maka dia harus melakukannya.

Karena menyelamatkan nyawa adalah salah satu perbuatan paling mulia dalam Islam dengan demikian, pekerjaan ini pantas mendapatkan banyak penghargaan.  Jadi, jika perlu menunda berbuka puasa untuk melakukannya, itu sama sekali tidak mengurangi pahala puasa karena menyelamatkan nyawa lebih diutamakan karena itu adalah salah satu tujuan mendasar dari Syariah.n  

IHRAM