Salah Kaprah Waktu Doa Buka Puasa

Kebanyakan iklan di TV menayangkan doa buka puasa tepat setelah siaran adzan maghrib. Hal ini tentu menyebabkan anggapan bahwa doa buka puasa dibaca setelah adzan maghrib dan sebelum berbuka. Apakah itu benar? Mari kita bahas.

Do’a berbuka puasa telah ma’tsur dari nabi, artinya nabi pernah membacanya ketika berbuka puasa, hal ini terdapat dalam hadis riwayat Abu Dawud [Sunan Abi Dawud; 2/306] yang berbunyi

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: «اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ»

Hadits ini diriwayatkan secara mursal dalam artian terdapat salah seorang rawi (sahabat) yang tidak disebutkan, hal ini ada pada muadz bin zuhroh seorang tabiin. Akan tetapi sebagian ulama hadis berpandangan bahwa muadz termasuk orang yang tsiqah (bisa dipercaya).

Bisa dilihat pada hadits menggunakan redaksi (افطر) yakni fi’il madli yang menunjukkan makna lampau, sehingga Ibnu Malik memberi penjelasan bahwa nabi membaca doa tersebut setelah berbuka.

Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa kesunahan membaca do’a adalah setelah melakukan buka puasa bukan sebelumnya sebab seperti itulah yang dilakukan oleh rasulullah.

Dalam literatur fikih kita juga para ulama’ mengatakan bahwa do’a puasa dibaca setelah berbuka. Salah satunya adalah al-Khatib as-Syirbini yang mengatakan dalam kitabnya al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’ yang berbunyi 

وَأَن يَقُول عقب فطره اللَّهُمَّ لَك صمت وعَلى رزقك أفطرت لِأَنَّهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يَقُول ذَلِك رَوَاهُ الشَّيْخَانِ

Dalam redaksi yang digunakan menggunakan kata (عقب) yang berarti setelah. Redaksi dalam kitab lain menggunakan kata (عند) yang juga bermakna sebelum. Akan tetapi penggunaan redaksi (عند) ditafsiri dengan kata (عقب) sehingga bermakna sama dengan yang awal (setelah). 

Bahkan dikatakan dalam kitab Hasyiyatul Jamal Syarh Manhajut Thullab penggunaan kata عقب dianggap lebih utama dari pada kata عند yang mencakup terhadap masa sebelumnya.

Jika doa ini dibaca di awal saat sebelum berbuka puasa, maka juga akan terjadi pertentangan antara perbuatan dengan redaksi do’anya yang berbunyi وعَلى رزقك أفطرت yang bermakna “dan atas rezekimu kami (telah) berbuka” padahal ia belum berbuka.

Kesimpulannya, kesunahan membaca do’a berbuka puasa adalah dilakukan setelah seseorang telah berbuka (makan atau minum). Untuk sebelum berbuka atau hendak menyantap hidangan tetap membaca do’a sebelum makan. Sekian semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Fatwa Ulama: Apakah Zakat dan Sedekah hanya Khusus di bulan Ramadan?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah zakat dan sedekah hanya khusus di bulan Ramadan?

Jawaban:

Sedekah tidak hanya khusus di bulan Ramadan, bahkan sedekah itu dianjurkan dan disyariatkan di semua waktu. Adapun zakat itu wajib atas manusia (kaum muslimin) untuk mengeluarkannya ketika haulnya sudah sempurna dan tidak menunggu bulan Ramadan, kecuali jika bulan Ramadan itu sudah dekat. Misalnya ketika haulnya itu jatuh di bulan Sya’ban, kemudian menunggu sampai sampai bulan Ramadan, maka hal ini tidaklah mengapa. Adapun jika haul zakatnya itu di bulan Muharam, maka tidak boleh menunda sampai bulan Ramadan. Akan tetapi, boleh mempercepat penunaiannya di bulan Ramadan yang datang sebelum bulan Muharam, ini tidak masalah. Adapun menunda (sampai terlambat) dari waktu yang wajib, maka hal ini tidak diperbolehkan.

Hal ini karena kewajiban yang dikaitkan dengan sebab tertentu, maka wajib ditunaikan ketika sebab itu ada dan tidak boleh ditunda darinya. (Alasan lain), seseorang tidak bisa menjamin -ketika dia menunda-nunda penunaian zakat dari waktunya- apakah dia masih hidup sampai bulan tertunda yang dia inginkan. Bisa jadi dia meninggal dunia, sehingga kewajiban zakat itu masih menjadi tanggungannya. Ahli warisnya bisa jadi tidak mengeluarkan zakatnya atau ahli warisnya tidak mengetahui kalau dia memiliki tanggungan zakat. Atau alasan-alasan lain yang dikhawatirkan menimpa seseorang ketika dia meremehkan penunaian zakat sehingga dia pun menjadi terhalang dari mengeluarkan zakat.

Adapun sedekah, sedekah itu tidak memiliki waktu yang khusus (tertentu). Maka, sepanjang tahun boleh bersedekah. Akan tetapi, manusia mencari agar sedekah dan zakat mereka bertepatan dengan bulan Ramadan, karena ketika itu adalah waktu yang mulia, waktu untuk berbuat kedermawanan dan kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, terutama di bulan Ramadan ketika bertemu Jibril ‘alaihis salaam dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa keutamaan zakat atau sedekah di bulan Ramadan adalah keutamaan yang berkaitan dengan waktu. Jika tidak ada keutamaan lain yang melebihi keutamaan waktu tersebut, maka waktu tersebut lebih utama dibandingkan waktu yang lainnya. Adapun jika terdapat kutamaan lain yang melebihi keutamaan dari sisi waktu, misalnya ketika orang-orang miskin lebih butuh di waktu lain di luar bulan Ramadan, maka tidak selayaknya seseorang menunda sedekah sampai menunggu bulan Ramadan. Akan tetapi, hendaknya dia melihat waktu atau masa ketika orang-orang miskin itu lebih mendapatkan manfaat dari sedekah kita sehingga kita pun bersedekah di waktu tersebut.

Biasanya, orang-orang miskin itu lebih butuh ketika di luar bulan Ramadan dibandingkan ketika di bulan Ramadan. Hal ini karena selama bulan Ramadan, banyak yang mengeluarkan zakat dan bersedekah sehingga kebutuhan mereka pun tercukupi dan terpenuhi dari zakat atau sedekah yang diberikan. Akan tetapi, mereka sangat butuh di bulan-bulan lainnya. Masalah ini hendaknya diperhatikan oleh seseorang dengan tidak menjadikan keutamaan waktu itu selalu lebih dari keutamaan yang lain.

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 16 Sya’ban 1443/ 19 Maret 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 535-536, pertanyaan no. 388.

Sumber: https://muslim.or.id/73557-fatwa-ulama-apakah-zakat-dan-sedekah-hanya-khusus-di-bulan-ramadan.html

Menunaikan Zakat, Menjauhkan Diri dari Sifat Kikir

Zakat adalah ibadah sosial, menunaikan zakat hakekatnya akan membersihkan jiwa dan membersihkan diri dari sifat kiri

KEWAJIBAN pokok seorang Muslim, setelah syahadat dan shalat, adalah membayar zakat (menunaikan zakat). Hal ini dikemukakan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika beliau berdialog dengan Malaikat Jibril.

وَقاَلَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ، وَتَحُجَّ البَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً .

Selanjutnya ia berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (HR: Muslim).

Hal yang sama dikemukakan oleh Rasulullah ﷺ  kepada Muadz bin Jabal yang hendak diutus ke Yaman untuk berdakwah.

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ– وَفِيْ رِوَايَةٍ – : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ – فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa anna Muhammadar Rasulullah -dalam riwayat lain disebutkan, ‘Sampai mereka mentauhidkan Allâh.’- Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaati hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka menunaikan zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Dan jika mereka telah mentaati hal itu, maka jauhkanlah dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka, dan lindungilah dirimu dari do’a orang yang teraniaya karena sesungguhnya tidak satu penghalang pun antara do’anya dan Allâh.” (HR: Buhari & Muslim).

Zakat adalah ibadah sosial. Sebab, ia ditujukan bukan sekadar untuk kepentingan diri sendiri, namun sangat kental dengan kepentingan orang lain.

Menunaikan zakat pada hakekatnya memberi, bukan menerima, kepada orang-orang pilihan yang memang berhak menerimanya.  Sedang bagi yang memberi, menunaikan zakat akan membersihkan jiwanya, terutama dari sifat kikir, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an Surat At-Taubah [9] ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan menunaikan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS: At-Taubah [9]: 103).

Menunaikan zakat juga akan mendatangkan keberkahan dan tambahan rezeki kepada mereka yang menunaikannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an Surat Saba [34] ayat 39:

ؕ وَمَاۤ اَنۡفَقۡتُمۡ مِّنۡ شَىۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهٗ ۚ وَهُوَ خَيۡرُ الرّٰزِقِيۡنَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS: Saba [34]: 39).

Senada dengan hal itu, Rasulullah ﷺ  bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

قَالَ اللهُ : أَنْفِقْ يَا اْبْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ

“Allah Ta’ala berfirman: Bersedekahlah–wahai anak Adam–, Aku akan membalas sedekah kalian.” (HR. Bukhari, no. 5352 dan Muslim, no. 993).

Sebaliknya, bagi mereka yang enggan menunaikan kewajiban bermenunaikan zakat maka Allah Ta’ala mengancamnya dengan keras. Dalam al-Qur’an surat At-Taubah [9] ayat 34 dan 35, Allah Ta’ala berfirman;

وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣٤ يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ ٣٥

“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (QS: At-Taubah [9]: 34-35)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahanam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”

Pada Hadits yang lain, Rasulullah ﷺ  bersabda,

مَن آتاه اللهُ مالًا، فلم يؤَدِّ زكاتَه، مُثِّلَ له ماله شُجاعًا أقرَعَ ، له زبيبتانِ ، يُطوِّقه يومَ القيامة، يأخُذُ بلِهْزِمَتَيهِ- يعني شِدْقَيه، ثم يقول: أنا مالُكَ، أنا كَنْزُك. ثم تلا: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Barangsiapa yang diberikan harta oleh Allah, namun tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat harta itu akan berubah wujud menjadi seekor ular jantan yang bertanduk dan memiliki dua taring lalu melilit orang itu pada hari kiamat. Lalu ular itu memakannya dengan kedua rahangnya, yaitu dengan mulutnya seraya berkata, ‘Aku inilah hartamu, akulah harta simpananmu”. Kemudian Beliau membaca firman Allah Ta’ala di surat Ali ‘Imran ayat 180 yang artinya,  ” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (HR: al-Bukhari).

Setelah berkata demikian, Rasulullah ﷺ  membaca Surat Ali Imran [3] ayat 180:

وَلَا يَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا۟ بِهِۦ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta-harta yang Allah berikan kepada mereka sebagai karunia-Nya itu menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sesungguhnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala urusan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Ali Imran [3]: 180).

Masihkah kita tak tergerak untuk menunaikan kewajiban pokok ini? Masihkah kita berani melalaikannya? Wallahu a’lam.*/Mahladi

HIDAYATULLAH

Jamaah Umroh dari Seluruh Dunia Menangis Bahagia di Masjidil Haram

Kerinduan akan tanah suci dan ibadah umroh telah menyelimuti umat Islam di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19. Ketika saatnya tiba pelonggaran itu terjadi, umat Islam berbondong-bondong melakukan umroh di bulan Ramadhan.

Ratusan ribu peziarah melakukan umrah, tarawih dan bersukacita saat mereka duduk bersama untuk berbuka puasa di dua Masjidil Haram di Makkah dan Madinah setelah dua tahun ditangguhkan. Jamaah umroh dari seluruh dunia kini dapat menunaikan ibadah umrah di Masjidil Haram di Makkah, untuk pertama kalinya sejak merebaknya pandemi.

Jamaah umroh dari luar negeri yang tidak divaksinasi kini dapat memasuki Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dengan catatan mereka tidak sedang terinfeksi virus corona. Peziarah juga harus mendaftar terlebih dahulu untuk izin Umrah melalui aplikasi Eatmarna. 

Petugas keamanan akan melakukan pemeriksaan di gerbang dan pintu masuk khusus bagi mereka yang melakukan umrah. Jika ditemukan seseorang mencoba melakukan umrah tanpa memiliki izin yang sah, maka mereka akan didenda 10 riyal atau 2.600 dolar setara dengan Rp 38 juta.

“Ribuan peziarah dari Indonesia, Pakistan dan India tiba setiap hari untuk melakukan umrah dan juga menghabiskan beberapa hari di Madinah di Masjid Nabawi selama Bulan Suci Ramadhan,” kata Aman Ul Haq, seorang tur operator di Jeddah.

“Masjidil Haram penuh dengan peziarah yang bahagia, menangis bahagia, bersyukur bisa kembali setelah Covid-19 mengganggu perjalanan dan membatasi jumlah orang ke kota-kota Suci. Ini seperti Covid-19 tidak pernah terjadi, masjid-masjid penuh dengan kelompok besar peziarah internasional dan jemaah lokal,” ujarnya lagi dilansir dari The National News, Senin (4/4).

Kepresidenan Dua Masjid Suci telah memberikan lebih dari 2.000 izin untuk menyediakan makanan buka puasa gratis setiap hari yang mengikuti pedoman Covid-19. Ini termasuk tidak ada gelas plastik untuk kopi panas yang biasanya disajikan dengan kurma untuk berbuka puasa, dan memastikan makanan disegel dengan benar dan disajikan dalam kotak, jauh dari area ramai seperti pintu masuk dan koridor.

“Kami dengan senang hati mengumumkan kembalinya Itikaf di Haramain. Itu akan diterapkan sesuai dengan kriteria khusus, dan izin akan segera tersedia melalui situs resmi kepresidenan,” kata kepala Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci Sheikh Abdulrahman Al Sudais, pekan lalu.

Jamaah umroh dari luar negeri sekarang dapat mendaftar secara online untuk mendapatkan visa umrah daripada mendaftar melalui agen layanan umrah asing seperti yang mereka lakukan di masa lalu.

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mengatakan, proses e-registrasi akan mencakup program umrah yang terdiri dari layanan perumahan dan transportasi dan visa elektronik dapat dicetak oleh jemaah sendiri.

IHRAM

Jangan lupa untuk download dan instal Aplikasi Cek Porsi Haji, klik di sini!

Pentingnya Memahami Skala Prioritas dalam Beramal

Dalam beramal dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala, setiap muslim dituntut untuk melaksanakannya secara proporsional dan adil sesuai dengan skala prioritas yang ada. Artinya, ketika Allah Ta’ala memerintahkan suatu amalan yang tingkat hukumnya berbeda, maka setiap muslim semestinya lebih mendahulukan amalan yang posisi hukumnya paling tinggi. Inilah gambaran praktis soal fikih prioritas. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Fiqh Al-Aulawiyyaat.

Banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang perbedaan hukum setiap amalan dan tingkatannya. Pada akhirnya, kita dituntut untuk mencari dan mengetahui mana yang paling utama dari amalan-amalan tersebut dan bisa menghindari keburukan yang paling buruk saat dihadapkan pada situasi yang sama-sama buruk.

Allah Ta’ala berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (QS. At-Taubah: 19).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الإيمان بضعٌ وسبعون – أو بضع وستون – شعبة، فأفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan laa ilaaha illallah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman” (HR. Muslim no. 35).

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, Islam mengajarkan bahwa amalan-amalan itu tidaklah dalam satu tingkatan yang sama, namun ia memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Sehingga seorang muslim dituntut untuk lebih bijak dan cerdas dalam memilih amalan mana yang harus ia utamakan.

Tidak cukup sampai disitu, pada keadaan sebaliknya Islam juga telah meletakkan takaran-takaran di dalam perbuatan buruk. Sebagaimana Allah Ta’ala telah jelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa dosa itu berbeda antara yang besar dan kecil. Suatu perbuatan berbeda pula antara yang diharamkan dan dimakruhkan, dan bahkan terkadang dijelaskan juga kedudukan antara suatu amalan buruk dengan amalan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

شرار أمتي الثرثارون، المتشدقون، المتفيهقون، وخيار أمتي أحاسنهم أخلاقًا

“Sejelek-jelek umatku adalah yang banyak bicaranya dan pandai bersilat lidah. Sedangkan sebaik-baik umatku adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1308, Ahmad no. 8822 dan Tirmidzi no. 2018).

Realita masa kini

Sayangnya pengetahuan tentang kedudukan suatu perbuatan seringkali terlewat dan tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat kita. Oleh sebab itu, ketika kita melihat kembali kasus-kasus yang terjadi, akan kita dapati banyak sekali masyarakat muslim kita memiliki pengetahuan tentang Islam, terutama fikih prioritas ini yang sangat rendah. Hal ini juga dapat menimpa sebagian orang saleh.

Kita lihat sebagian dari kaum muslimin lebih perhatian untuk membangun masjid di suatu daerah walaupun di tempat tersebut sudah banyak masjid. Di sisi lain, mereka kurang perhatian dalam mengembangkan yayasan pendidikan Islam yang akan mengajarkan kebaikan dan menunjukkan kepada jalan kebenaran. Sungguh ini cara berpikir yang salah di dalam memahami skala prioritas saat beramal.

Kita lihat bagaimana perlakuan seseorang kepada orang tuanya. Seringkali mereka berperilaku kasar terhadap bapak dan ibunya, padahal dengan saudara kandungnya mereka berperilaku lemah lembut. Mereka beralasan bahwa kedua orang tuanya itu ahli maksiat dan orang yang melenceng dari agama. Mereka lupa bahwa Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya masih dalam keadaan musyrik dan selalu mengajak anaknya kepada kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Luqman: 14-15).

Belum lagi sebagian dari mereka yang sangat perhatian terhadap amal ibadah yang sifatnya pribadi, namun di waktu yang sama ia luput dan lalai dari ibadah yang sifatnya sosial yang manfaatnya itu lebih luas. Misalnya, seperti tolong menolong dalam kebaikan, mengingatkan orang lain dalam kesabaran dan kasih sayang, menegakkan keadilan, berdiskusi dengan orang lain serta memperhatikan hak-hak manusia lainnya terutama mereka yang lemah dan tidak mampu.

Oleh karena itu, setelah mengetahui pentingnya skala prioritas dalam beramal, seorang muslim yang cerdas tentu harus belajar kembali perihal kedudukan dan derajat suatu amalan. Perlu memahami amalan apa yang harus didahulukan dari amalan lainnya sehingga seluruh kehidupannya sejalan dengan apa yang telah ditunjukkan oleh syariat Islam.

Beberapa contoh kaidah terkait fikih prioritas

Pertama, Islam lebih memprioritaskan kualitas dibandingkan kuantitas

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional” (HR. Thabrani no. 891 dan Baihaqi no. 334).

Hal ini juga terbukti di peperangan Badar. Walaupun jumlah kaum muslimin sedikit, namun Allah Ta’ala memenangkan mereka karena kuatnya mereka dalam kebenaran. Pada peperangan Hunain hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan, karena mereka mengira bahwa kemenangan bisa mereka raih karena jumlah mereka yang banyak.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang muslim itu lebih perhatian terhadap kualitas ketimbang banyaknya jumlah. Misalnya, dua rakaat yang ia kerjakan dengan khusyuk dan serius itu tentu lebih utama daripada salat dua puluh rakaat dengan cepat dan tanpa rasa khusyuk.

Kedua, ilmu lebih utama dan diprioritaskan dibandingkan amal

Sahabat Umar bin al-Khottob Radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Janganlah berjualan di pasar kami orang yang belum paham tentang ilmu agama” (HR. At-Tirmidzi no. 487).

Umar bin Abdil Aziz Rahimahullah juga berkata,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِح

“Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki” (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah, 2: 383).

Ketiga, amalan sedikit namun konsisten lebih utama dari amalan yang banyak tapi jarang dilakukan

Rasulullah Shallallahu alaihi ‘wasallam bersabda,

أحب الأعمال إلى الله: أدومها وإن قل

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit” (HR. Bukhari no. 6464 dan Muslim no. 783).

‘Amr bin Mas’adah Rahimahullah berkata,

قليل دائم خير من كثير منقطع

“Sedikit yang terus menerus lebih baik daripada banyak yang terputus”. (Wafatatul A’yan di biografi ‘Amr bin Mas’adah).

Oleh karena itu, salat malam setiap hari walau hanya dua rakaat lebih baik dari salat semalam suntuk namun pada akhirnya ia tidak salat lagi.

Keempat, hak-hak jamaah (kelompok) lebih didahulukan daripada hak-hak perseorangan

Maslahat yang bersifat umum lebih didahulukan dari maslahat yang sifatnya khusus. Kepentingan untuk masyarakat luas lebih didahulukan dari kepentingan pribadi ketika keduanya bertabrakan, dengan syarat tidak sampai menyi-nyiakan kepentingan pribadi.

Itulah beberapa contoh kaidah fikih prioritas yang paling penting untuk kita amalkan. Kita aplikasikan saat berkumpulnya kebaikan-kebaikan dan kita harus memilih. Bagi seorang dai tentu dia adalah orang yang dituntut pertama kali mengamalkannya karena hal tersebut merupakan makna dari berdakwah dengan hikmah. Tujuannya agar tercipta kebaikan dan perbaikan di masyarakatnya dan sebagai sebab ia lebih mudah diterima oleh masyarakatnya.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris

Referensi:

Artikel Fikhul Aulawiyyat Fii Hayati Al-Fardi Wa Al-Mujtama’ karya Dr. Muhammad Nur Hamdan.

Fikhul Aulawiyyat: Ta’riifuhu Wa Adillatuhu karya Dr. Asyraf Abdurrahman

Sumber: https://muslim.or.id/73424-pentingnya-memahami-skala-prioritas-dalam-beramal.html

Hukum Tadarus Al-Qur’an Menggunakan Pengeras Suara hingga Tengah Malam

Terkadang ada masjid atau musalla yang menggunakan pengeras suara untuk melaksanakan tadarus Al-Qur’an, bahkan hingga tengah malam. Lantas, bagaimana hukum tadarus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara hingga tengah malam? Inilah yang akan dibahas dalam artikel ini. 

Diantara ibadah yang sering dilakukan ketika masuk bulan Ramadhan adalah tadarus Al-Qur’an. Pada prakteknya, Al-Qur’an dibaca bersama-sama di masjid atau di mushalla dengan menggunakan pengeras suara. 

Mengingat pahala membaca Al-Qur’an di bulan ramadhan berlipat-lipat membuat kaum muslim Indonesia menjadi antusias mengikuti kegiatan ini. Sehingga, tidak sedikit masjid atau mushalla yang melakukan tadarus Al-Qur’an hingga melewati pertengahan malam. 

Namun, bagaimana jika tadarus ini malah membuat warga menjadi terganggu? Bolehkah tadarus Al-Qur’an  menggunakan pengeras suara hingga tengah malam?

Menurut imam al-Ghazali, menggunakan pengeras suara pada saat membaca Al-quran atau tadarus hukumnya boleh selama tidak menimbulkan riya. Bahkan adakalanya menggunakan pengeras suara lebih utama karena dengan demikian bacaan Al-Qur’an tersebut dapat didengar orang lain.

فأن لم يخف الرياء فالجهر ورفع الصوت افضل لان العمل فيه اكثر ولان فائدته تتعدى الى غيره والمتعدي افضل من الازم

Artinya : “Apabila tidak khawatir riya, maka membaca dengan suara keras lebih utama karena amal yang dilakukan dengan membaca dengan suara keras lebih banyak, dan faedahnya mengalir kepada orang lain. Amal ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain lebih utama daripada ibadah yang tidak dirasakan orang lain.”

Sebenarnya tadarus dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk keperluan tersebut boleh saja bahkan disunnahkan. Tetapi, apabila penggunaan toa tersebut, dilakukan dengan durasi panjang misalnya sampai tengah malam, juga tidak baik karena dapat mengganggu orang yang memerlukan kondisi tenang. 

Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, halaman 108 menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat orang terganggu dapat dihukumi makruh. Bahkan, kegiatan tersebut harus dihentikan apabila dapat menyakiti hati sebagian orang yang mendengar. 

Hal ini sebagaimana dalam keterangan beliau berikut,

لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ  

Artinya, “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika mengganggu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur.

Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan lantang itu lebih banyak mengganggu orang lain, maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dihentikan.” 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya menggunakan pengeras suara pada saat membaca Al-Qur’an atau tadarus hukumnya boleh bahkan disunnahkan. 

Tetapi, apabila kegiatan tersebut membuat orang terganggu maka dapat dihukumi makruh. Bahkan, pengeras tersebut harus dimatikan apabila dapat menyakiti hati sebagian orang yang mendengar. 

Demikian penjelasan menganai hukum tadarus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara hingga tengah malam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Memberi Makan Orang yang Tidak Puasa

Tak terasa sekarang sudah di bulan Ramadhan. Kendati bulan puasa, namun masih banyak orang yang tidak berpuasa. Lantas, bagaimana hukum memberi makan atau menjualnya kepada orang yang tidak puasa, baik ia muslim maupun non muslim? .

Ini perlu dirinci, jika ia menjual kepada orang muslim yang tanpa adanya udzur maka hukumnya haram. Namun jika ia menjual kepada orang Islam yang mendapati udzur untuk berpuasa, semisal karena sudah tua, haid, wanita menyusui, musafir, sabi, atau orang yang tidak wajib puasa lainnya, maka yang demikian adalah boleh. 

Adapun menjual makanan di siang hari kepada non muslim, juga diharamkan, sebab mereka juga dituntut untuk melakukan puasa (menurut qaul rajih). Berikut penjelasan dari ulama’:

وحرم أيضا: …. بيع نحو المسك لكافر يشتري لتطييب الصنم والحيوان لكافر علم أنه يأكله بلا ذبح لان الأصح أن الكفار مخاطبون بفروع الشريعة كالمسلمين عندنا خلافا لأبي حنيفة رضي الله تعالى عنه فلا يجوز الإعانة عليهما ونحو ذلك من كل تصرف يفضي إلى معصية يقينا أو ظنا ومع ذلك يصح البيع.

“Haram menjual minyak wangi kepada orang kafir, yang mana akan digunakan untuk meminyaki berhalanya, dan haram juga menjual hewan kepada orang kafir yang jelas-jelas diketahui bahwasanya ia akan memakan hewan tersebut tanpa disembelih.

Sebab menurut qaul ashah dalam madzhab Syafii, orang kafir itu juga terkenan tuntutan hukum, seperti orang muslim lainnya, lain halnya dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah.

Maka tidak boleh menolong mereka dalam transaksi tersebut, sebegitu juga haram melakukan transaksi dengan orang yang berpotensi melakukan maksiat atasnya, baik diketahui secara pasti maupun masih taraf praduga. 

Meskipun demikian, hukum jual belinya sah (yakni tidak ada tuntutan atau perselisihan yang bisa dibawa ke hakim), meski haram”. (Fath Al-Mu’in, h. 326)

Syarih (komentator) kitab ini memberikan contoh sebagaimana redaksi berikut:

(وقوله: من كل تصرف يفضي إلى معصية) بيان لنحو…إلى أن قال… وكإطعام مسلم مكلف كافرا مكلفا في نهار رمضان، وكذا بيعه طعاما علم أو ظن أنه يأكله نهارا.

Di antara contoh dari transaksi yang berimbas pada kemaksiatan adalah (orang muslim mukallaf) memberi makan kepada orang kafir yang mukallaf (berakal dan sudah baligh), atau jual beli makanan kepada orang yang diketahui secara pasti atau diduga kuat bahwa ia akan memakannya di siang hari bulan Ramadhan. (I’anah Al-Thalibin, III/30)

Dalam kitab lain juga dijelaskan dengan serupa keterangan di atas, misalnya Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Bujairimi Ala Al-Khatib (II/224), Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam Futuhat Al-Wahhab (X/310), dan dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebut bahwasanya mayoritas ulama itu berpendapat demikian. Dijelaskan: 

كَمَا نَصَّ الشِّرْوَانِيُّ وَابْنُ قَاسِمٍ الْعَبَّادِيُّ عَلَى مَنْعِ بَيْعِ مُسْلِمٍ كَافِرًا طَعَامًا، عَلِمَ أَوْ ظَنَّ أَنَّهُ يَأْكُلُهُ نَهَارًا فِي رَمَضَانَ، كَمَا أَفْتَى بِهِ الرَّمْلِيُّ، قَال: لأَِنَّ ذَلِكَ إِعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ، بِنَاءً عَلَى أَنَّ الرَّاجِحَ أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ.

 Imam Syarwani dan Ibnu Qasim Al-Ubbadi melarang untuk menjual makanan di siang hari bulan puasa kepada non muslim yang mukallaf atau ia yang diduga kuat atau dketahui secara pasti akan memakannya. 

Imam Al-Ramli juga berfatwa demikian, sebab ini adalah menolong perkara maksiat, terlebih menurut pendapat yang unggul bahwasanya non muslim itu dituntut juga melakukan syariat seperti orang Islam pada umumnya. (Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid IX/ 212)

Dari keterangan di atas bisa kita ketahui bahwa yang haram adalah segala transaksi yang berimbas pada kemaksiatan, semisal menjual makanan kepada orang muslim yang tidak berpuasa tanpa adanya udzur syar’i atau non muslim yang mukallaf. 

Maka dari itu dikecualikan darinya yaitu orang-orang yang tidak berpuasa karena adanya udzur syar’i semisal sedang dalam perjalanan dan haid. Mengapa demikian? Sebab poros hukum keharamannya adalah adanya i’anah ala al-ma’asi (menolong seseorang untuk berbuat maksiat), sedang kriteria yang demikian tidak termasuk, maka boleh menjual makanan kepadanya. 

Hanya saja warung memang tidak perlu tutup secara full, sebab pasti ada orang yang mempunyai udzur syar’i. Namun ia tidak boleh vulgar dalam membuka warungnya, hormatilah orang yang berpuasa.

Adapun ketika menjual makanan pada sore hari, agaknya sudah bisa dipastikan bahwa ia memang beli untuk berbuka. Maka yang demikian diperbolehkan menjual makanan kepadanya.

Demikian penjelasan terkait hukum memberi makan orang yang tidak puasa. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH

Imsak Sudah Terdengar, Masih Bolehkah Lanjut Sahur?

Pada dasarnya waktu dimulainya puasa adalah sedari subuh (tulu’ al-fajr al-tsani) jadi makan pra subuh itu boleh, sampai ketika waktu imsak. Imsak yang dipahami orang Indonesia adalah, bersiap-siap menuju puasa.

 Namun makna asalnya adalah menahan diri dari puasa mulai dari waktu subuh hingga terbenamnya matahari. Imsak merupakan konsep yang sangat bagus, sebab dengan demikian, kita terhindar dari potensi-potensi batalnya puasa. Karena tidak mendengar adzan, diteruskan sahurnya, padahal ternyata mic-nya mati. 

Untuk menanggulangi hal demikian, maka para kyai menganjurkan waktu imsak. Hanya saja, masih boleh untuk makan. Waktu tersebut sebagai bentuk tindakan preventif, atau bersiap-siap menuju waktu puasa. Ibnu Rusyd mengatakan:

 وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْإِمْسَاكُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَجَرْيًا عَلَى الِاحْتِيَاطِ وَسَدًّا لِلذَّرِيعَةِ، وَهُوَ أَوْرَعُ الْقَوْلَيْنِ، وَالْأَوَّلُ أَقْيَسُ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ulama yang berpendapat bahwasanya wajib imsak sebelum fajar itu adalah dalam rangka ihtiyat (berhati-hati agar tidak meneruskan makan, ditakutkan sudah masuk waktu subuh) dan sadd al-dzariah, yakni mencegah kemungkinan bahwasanya sudah masuk waktu subuh. 

Dan ini adalah pendapat yang paling wira’i dari kedua pendapat. (Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid II/52

Jadi, makan ketika waktu imsak itu boleh, hanya saja sunnah untuk tidak meneruskannya. Sebab kita sudah harus bersiap-siap untuk puasa, maka kita melakukan menahan diri. Namun ketika memang belum sahur, maka silahkan makan saja, intinya berhati-hati dengan masuknya waktu subuh. 

Justru dengan konsep imsak sebelum fajar ini, memudahkan bagi kita, untuk tidak susah dalam perkara ini sudah masuk waktu puasa atau belum.  Waktu imsak pra subuh itu seyogyanya dilakukan radius 10 menit menuju subuh, Syekh Hasanain Makhluf mengatakan:

ومن هذا يعلم أن الإمساك لا يجب إلا قبل الطلوع وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريبا. 

“Dari sini diketahui bahwasanya imsak itu tidak wajib kecuali sebelum terbitnya fajar, hanya saja yang sunnah adalah hendaknya antara sahur dengan terbitnya fajar itu kira-kira lima puluh ayat, dan hal itu dikira-kirakan kurang lebih 10 menit.(Fatawa Dar al-Ifta’ al-Misriyyah  I/101). 

Demikianlah penjelasan mengenai makan di waktu imsak, dalam rangka berhati-hati. Maka kita sunnah, bahkan ada yang mengatakan wajib, agar tidak menabrak waktu puasa. Namun ketika belum makan sama sekali, maka silahkan makan, namun berhati-hatilah, takutnya sudah masuk waktu subuh. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Niat, Salah Satu Syarat Sahnya Puasa Ramadhan

Sebagian besar ulama madzhab empat sepakat niat merupakan salah satu syarat sahnya puasa Ramadhan. Adapun apakah niatnya dibaca atau cukup di dalam hati, ini masuk ranah khilaf

SEBAGIAN umat Islam akan memulai puasa Ramadhan (sebagaian sudah berpuasa). Salah satu hal patut diketahui adalah syarat sahnya puasa Ramadhan ada empat, salah satunya adalah niat berpuasa.

Syarat Sah Puasa Ramadhan

Syarat bagi orang yang hendak melakukan ibadah shiyam (puasa) Ramadhan agar  puasanya sah ada 3:

  • Muslim, adalah orang yang setidak-tidaknya dengan sadar telah mengucapkan syahadatain (dua kalimah syahadat).
  • Baligh (dewasa menurut syara’), bagi laki-laki telah bermimpi basah sehingga mengeluarkan mani (sperma) atau yang telah berumur lima belas tahun. Adapun bagi wanita sudah mengalami haid atau telah berumur sepuluh tahun.
  • Berakal sehat, apabila seseorang tidak mengidap penyakit syaraf, gila, idiot dan sejenisnya.

Niat masuk rukun puasa Ramadhan

Seseorang yang tengah melakukan ibadah shiyam (puasa) wajib melaksanakan rukun shiyam (puasa) agar puasanya diterima Alah. Adapun rukun shiyam (puasa) adalah sebagai berikut:

  • Niat
  • Shiyam (puasa)
  • Futhur (berbuka puasa).

Niat merupakan hal yang sangat mendasar dalam setiap ibadah, termasuk dalam puasa. Seluruh ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, puasa Ramadhan menjadi tidak sah.

Terdapat banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa niat menjadi syarat sah atau kewajiban niat puasa Ramadhan. Di antaranya hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah, dia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mazhab kami –maksdunya Syafiiyyah- bahwa dia tidak sah –maksudnya puasa Ramadhan- kecuali dengan berniat di waktu malam. Dan ini pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, Dawud dan mayoritas ulama salaf dan kholaf.” (dari ‘Al-Majmu, 6/318).

Syaikh Wahbah Al-Zuhail dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebutkan bahwa syarat niat puasa Ramadhan ada empat;

Pertama, niat puasa Ramadhan harus dilakukan di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib tiba hingga waktu Shubuh. Kedua, ta’yinun niah atau menentukan jenis puasa yang hendak dilakukan, sebagaimana wajib menentukan jenis shalat dalam niat ketika mengerjakan shalat wajib.

Dalam puasa Ramadhan, ketika kita melakukan niat, maka kita wajib menyebut ‘Ramadhan’ dalam niat. Misalnya, nawaitu shauma ghadin min romadhan (saya niat puasa besok dari bulan Ramadhan).

Ketiga, memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja, bukan untuk puasa yang lain. Keempat, harus melakukan niat setiap malam selama bulan Ramadhan. Hal ini karena setiap hari selama bulan Ramadhan merupakan ibadah mustaqillah (independen), tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya. Karena itu, menggabungkan niat hanya di awal malam hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh puasa selama satu bulan dinilai tidak cukup.

Sementara itu, dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī mengatakan paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.

“نويت صوم رمضان”.

Nawaitu shouma rhomadhona

Artinya: “Saya berniat puasa Ramadhan.” (Hasyiyah Bājūrī: 1/633).

Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb  Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).

Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.

وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم

“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.”  (I’ānah Thõlibīn: 2/1228).

Apakah niat wajib dilafalkan?

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Prof Dr Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa menurut istilah syara’, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Para ulama berbeda pendapat soal pelafalan niat.

Sebagian besar ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah atau bukan hal wajib. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzab Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah.

Sedangkan Madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah termasuk kelompok yang tidak mewajibkan. Beliau mengatakan;

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ

“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (dalam Majmu’ Fatawa, 6:79).

Sementara bagi sebagian ulama lain, syarat melafalkan niat, untuk membantu hati memperjelas niat. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.

وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.

“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” (Fathul Mu’īn: 261).

Lalu Imam Sayyid Bakri dalam I’ānah Thõlibīn menambahkan alasan dianjurkannya melafalkan niat.

وقوله: (بل يندب) أي: التلفظ بها ليساعد اللسان القلب.

“Pengucapan niat itu (dianjurkan) agar lisan dapat membantu hati.” (I’ānah Thõlibīn: 2/1217).

Dalam Madzhab Syafi’i (termasuk mayoritas umat Islam di Indonesia), lafadz niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhisy syahri romadhooni hadzihis sanati lillaahi ta’aala

“Artinya: Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan masalah ranah perbedaan pendapat antar ulama sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al-Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Silahkan umat Islam memilih yang mana. Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH

Pengertian Kaidah Fiqih “al-Dhararu Yuzalu”

Kaidah al-dhararu yuzalu merupakan salah satu kaidah pokok (qaidah kubra) dalam kaidah fikih. Yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna; “setiap dharar harus dihilangkan”.

Kaidah ini mencerminkan maqhasid al-syari’ah al-‘ammah (tujuan umum syariat), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sebab, jika dharar tidak ada maka dalam waktu yang sama maslahat akan hadir.

Kaidah ini berpijak kepada sabda Rasulullah Saw;

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh ada dharar dan juga dhirar”. (HR. Bukhari)

Pengertian hadis ini adalah tidak boleh ada dharar dalam bentuk apapun baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain dan tidak boleh membalas dharar kepada orang lain dengan melakukan dharar yang sama.

Hal ini sebagaimana keterangan Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadzair halaman 7;

الثَّالِثَة: الضَّرَر يُزَال. وَأَصْلُهَا قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Kaidah kubra yang ketiga adalah al-dhararu yuzalu. Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah Saw; “tidak boleh ada dharar maupun dhirar”

Namun menurut Imam al-Zarqa redaksi hadis di atas oleh sebagian ulama dijadikan sebagai redaksi dari salah satu kaidah kubra sedangkan kaidah al-dhararu yuzalu dijadikan kaidah turunannya.

Meski demikian, perbedaan ini tidak berarti apa-apa. Perbedaan ini hanya soal sistematika saja, yang paling penting adalah bahwa esensi dari kaidah tersebut tetap sama yaitu menghilangkan setiap dharar yang ada.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli suatu barang lalu ternyata terdapat cacat pada barang tersebut maka ia diperbolehkan mengembalikan barang tersebut dan meminta untuk diganti dengan yang baru. Sebab, cacat pada barang adalah ‘dharar’ dan dharar harus dihilangkan.

Contoh lain, jika seorang suami mendapati istrinya mengalami gangguan jiwa (gila) maka ia diberi pemilihan antara melanjutkan pernikahannya atau melapor kepada  hakim lalu memfasakh nikahnya. Sebab, gila merupakan aib sedangkan aib adalah dharar dan dharar harus dihilangkan.

Jadi, kaidah ini sesungguhnya ingin menjaga setiap mukallaf dari hal-hal yang dapat merugikan atau bahkan dapat mencelakakan dirinya. Setiap kali ada sesuatu yang dapat merugikan atau mencelakakan, sebisa mungkin sesuatu itu dihilangkan dengan cara apapun. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH