Pembagian Rezeki Manusia yang Dijelaskan Alquran

Alquran melalui Surah Ar-Ra’d Ayat 26 dan tafsirnya menjelaskan tentang bagaimana cara Allah membagi-bagi rezeki kepada manusia.

اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ

Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. (QS Ar-Ra’d: 26)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama ayat ini menerangkan, Allah melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Mereka juga hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu.

Sebaliknya, Allah juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut.

Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya.

Oleh karena itu, ada kalanya Allah menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat.

Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang sholeh ataupun yang fasik.

Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Makah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar.

Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa. Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu.

Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut.

Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?”

Rasulullah bersabda, “Apalah artinya dunia ini bagiku. Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian ia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)

IHRAM

Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di Dalamnya

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi dibawakan oleh Rumaysho kali ini. Di samping dibawakan kisah, semoga banyak pelajaran bisa digali di dalamnya. Allahumma yassir wa a’in.

Kisah Ashabul Kahfi adalah Tanda Kekuasaan Allah

Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)

Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.

Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Sedangkan Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat padanya sebuah gua.

Nama anjing mereka adalah Humron.

Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.

Ashabul Kahfi itu di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para tokoh.

Kisah Mereka Secara Global

Allah Ta’ala berfirman,

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)

Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka, agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami.

Ditidurkan dalam Gua Sekian Tahun Lamanya

Allah Ta’ala berfirman,

فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)

Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.

Dibangunkan Setelah Tidur Sangat Panjang

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)

Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu yang Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh, dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah, dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.

Rincian Kisah Ashabul Kahfi

Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)

Ayat ini merupakan permulaan rincian kisah dan keterangannya. “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka” yakni mengakui keesaan Allah dan mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. “dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”, maksudnya adalah dengan taufik (hidayah) dan tatsbit (pemantapan dan keteguhan).

Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah Menurut Ibnul Qayyim

Hati Mereka Dikuatkan

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14)

Maksudnya adalah mereka dikuatkan dengan kesabaran, mereka meninggalkan kampung halaman mereka serta meninggalkan berbagai kenikmatan demi menyelamatkan agama mereka. Mereka berdiri di hadapan raja mereka dan menyatakan kebenaran dengan tegas di hadapannya ketika kabar mereka terdengar oleh raja dan mereka diminta hadir menghadap raja. Raja bertanya kepada mereka tentang agama dan keyakinan yang mereka Yakini, maka mereka menjawab dengan benar dan bahkan mengajak raja tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena itulah dalam ayat disebutkan, “Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi.” Mereka tidak menyembah Rabb selain Allah. Sebab jika mereka berbuat demikian, berarti mereka telah berbuat kebatilan, kedustaan, dan kebohongan.

Pengingkaran pada Kesyirikan Kaumnya

Allah Ta’ala berfirman,

هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)

Hal ini adalah isyarat bahwa orang kafir itu tidak mampu mendatangkan bukti atas apa yang mereka lakukan, yaitu beribadah kepada selain Allah, berbuat syirik. Jadi, mereka itulah orang-orang yang zalim yang menzalimi hak Allah karena mereka berdusta dan berbohong terhadap Allah. Kalau memang Allah itu Mahatinggi, maka tidak pantas bagi selain Allah punya kedudukan tinggi yang sama.

Akhirnya Mereka Mengasingkan Diri Demi Menyelamatkan Agama Mereka

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)

Yakni, jika kamu semua menyelisihi mereka denagn agama kalian, karena mereka menyembah selain Allah, maka selisihi pula (berpisahlah, tinggalkanlah mereka) dengan badan kalian. “maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, yakni, Allah akan membentangkan rahmat-Nya kepada kalian yang menutupi kalian dari kaum kalian yang kafir. “dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu” yang sedang kalian hadapi. Pada saat itulah, mereka keluar menghindar dari kaum mereka menuju sebuah goa kemudian tinggal di dalamnya.

Perlindungan Allah Terhadap Para Pemuda di dalam Gua

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)

Yakni, jika matahari meninggi di tempat terbitnya, maka ia condong dari gua, yaitu dari pintu gua sebelah kanan. Jika matahari terbenam, maka ia melewati mereka di sebelah kiri, yakni tidak mendekati mereka tetapi melewati.

“Sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu”, kata fajwah artinya tempat yang luas dan lega dalam gua, sehingga cukup tersedia udara yang datang dari segala penjuru tanpa tersengat matahari.

Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah“, yakni urusan mereka dan petunjuk Allah kepada mereka hingga ke gua tersebut dengan menjadikan mereka tetap hidup, serta apa yang Allah perbuat kepada mereka dari mulai matahari yang condong dan tidak mendekat sejak terbit hingga terbenam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan perhatian dan penjagaan Allah kepada mereka, serta petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”, yakni siapa yang ditunjukkan kepada kebenaran oleh Allah, maka ialah orang yang mendapat hidayah. Dalam hal ini terdapat pujian bagi para pemuda mukmin tersebut, yang telah berjihad di jalan Allah, kemudian menyerahkan diri mereka kepada-Nya, sehingga Allah bersikap lembut dan menolong mereka, menunjuki mereka untuk mencapai kemuliaan dan kekhususan dengan ayat-ayat yang luar biasa. Sesungguhnya setiap orang yang menempuh jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka ia akan mendapatkan keberuntungan.

“Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”, yakni siapa yang disesatkan oleh Allah, maka pasti kamu tidak akan mendapatkan penolong baginya yang menjaganya dari kesesatan, atau memberi petunjuk kepada jalan kebenaran dan keberuntungan.

Perhatian dan Perawatan Allah terhadap Para Pemuda di Dalam Gua

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)

Dan kamu mengira mereka itu” adalah pembicaraan untuk setiap orang, maksudnya, kamu mengira “mereka itu bangun” karena mata mereka terbuka, “padahal mereka tidur” sangat lelap dan pulas dalam tidurnya hingga tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka, “dan Kami bolak-balikkan mereka” yakni dalam tidur mereka “ke kanan dan ke kiri” agar tanah tidak merusak badan mereka, “sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua” yakni di halaman gua atau pintu gua. Keberkahan pemuda mukmin ini melingkupi hingga anjing mereka, ia juga mengalami seperti yang mereka alami, yaitu tidur panjang dalam keadaan seperti itu.

Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”, yakni jika kamu melihat mereka sekalipun begitu kuatnya kamu dalam melawan agar tidak lari, pasti kamu akan kalah dan lari dengan penuh ketakutan, yaitu hatimu dipenuhi rasa takut karena merkea para pemuda itu dilingkupi aura kewibawaan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat mereka kecuali akan ketakutan kemudian berpaling dan melarikan diri menjauh. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Agar tidak ada seorang pun yang mendekati atau menyentuh mereka hingga ketentuan itu sampai pada masanya, masa tidur mereka habis sesuai kehendak Allah Ta’ala, mengingat hal ini mengandung hikmah, hujjah yang kuat, dan rahmat yang luas.”

Kebangkitan Mereka Setelah Tidur Panjang

Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)

Yakni, sebagaimana kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, maka kami bangunkan merrka denagn keadaan segar bugar tubuh mereka, sehat, begitu pula dengan rambut dan kulit mereka tidak ada yang berubah dari keadaan dan bentuk mereka. Hal ini sebagai pengingat akan kemahakuasaan Allah untuk menidurkan dan mematikan serta membangkitkan kembali. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka bangun setelah 309 tahun.”

Referensi:

Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan Tahun 1436 H. Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.

Al-Mustafad min Qashash Al-Qur’an li Ad-Da’wah wa Ad-Du’aa’. Cetakan pertama, Tahun 1438 H. Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Zaidan. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Sumber https://rumaysho.com/31840-kisah-ashabul-kahfi-dan-pelajaran-penting-di-dalamnya.html

Apakah Rezeki Ditentukan Keimanan dan Kekufuran Seseorang?

Allah SWT memberikan rezeki kepada setiap umat manusia

Alquran melalui Surat Ar Rad ayat 26 dan tafsirnya menjelaskan tentang bagaimana cara Allah SWT membagi-bagi rezeki kepada manusia. 

Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. 

Allah  SWT membagikan rezeki tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. 

اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.” (QS Ar Rad 26)

Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama ayat ini menerangkan, Allah SWT melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. 

Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Mereka juga hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu. 

Sebaliknya, Allah SWT juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut. 

Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. 

Oleh karena itu, ada kalanya Allah SWT menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah SWT menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat. 

Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang sholeh ataupun yang fasik. 

Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Makah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar. 

Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa.

Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu. Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam At Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut. 

Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?” Rasulullah bersabda: 

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apalah artinya dunia ini bagiku? Apa urusanku dengan dunia? Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)  

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Ringkasan

Berikut ini ringkasan dari seluruh keterangan di serial artikel ini sebelumnya.

Ringkasan ayat pertama

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Kita memulai bacaan dengan hanya menyebut nama-nama Allah, satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus. Sembari memohon pertolongan dan berkah kepada-Nya dalam membaca Al-Fatihah ini.

Ringkasan ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala puji dan syukur yang sempurna hanya bagi Allah. Tuhan pemelihara seluruh makhluk. Pujian yang diiringi  dengan rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya. Berlandaskan dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala Mahasempurna dari segala sisi.

Ringkasan ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus.

Ringkasan ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah adalah Tuhan pemilik hari pembalasan. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali bagi hamba yang Allah maafkan. Oleh karena itu, semua urusan kembali kepada keputusan-Nya karena hanya Allah-lah pemilik hari pembalasan.

Ringkasan ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau kami beribadah, yang merupakan tujuan hidup kami. Dan hanya kepada Engkau semata pula kami mohon pertolongan dalam beribadah kepada-Mu.

Ringkasan ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Teguhkanlah kami di atas agama Islam. Jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Berilah kami tambahan petunjuk ilmu tentang syariat Islam dan pengamalannya.

Ringkasan ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Jalan yang dimaksud yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai. Mereka yang dimurkai adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu.

Penutup

Semoga Allah menerima amal sederhana ini sebagai amal jariah bagi kami. Memberikan keberkahan untuk kami; kaum muslimin dan muslimat.

Wallahu a’lam.

Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmushaalihaat.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72514-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-4.html

Imam Syafi’i: Anak Yatim Piatu yang Mulai Berfatwa Sejak Usia 15 Tahun

Orangnya sangat tekun dan istiqamah, khususnya perihal ilmu pengetahuan. Memiliki keturunan mulia dan masih satu garis keturunan dengan Rasulullah SAW. Tidak banyak bicara, namun semua pendapatnya diikuti oleh semua masyarakat, disegani oleh semua umat, hingga akhirnya mendirikan mazhab yang berafiliasi pada namanya, mazhab Imam Syafi’i atau jamak dikenal di Indonesia Mazhab Syafi’i.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid ibn Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Ghalib. Ia dilahirkan di Ghaza, Palestina pada tahun 150 dan wafat di Mesir pada Malam Jumat bulan Rajab tahun 204 hijriah.

Garis keturunan Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah tepat pada kakeknya yang bernama Abdul Manaf. Rasulullah berasal dari keturunan Hasyim bin Abdu Manaf, sedangkan Imam Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdul Manaf.

Tumbuh Sebagai Anak Yatim

Dalam catatan Imam ad-Dzahabi (wafat 748 H) dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala, pendiri mazhab Syafi’i itu tidak pernah melihat senyum ayahnya. Sebab, ia harus ikhlas dan rela ditinggal wafat oleh ayahnya pada usianya yang masih balita. Ia hidup berdua bersama ibunya, Fatimah binti Ubaidillah Adziyah.

Setelah kematian ayahnya, sang Ibu yang ahli ibadah membawa putranya untuk meninggalkan Ghaza dan pindah ke Makkah agar putranya bisa mencari dan mendalami ilmu di sana. Sebab menurutnya, hidup berdua dengannya di Ghaza hanya akan membuang waktu bagi putranya tanpa faedah.

Tepat pada usianya yang baru melepas balita, yaitu lima tahun, sang ibu pasrah kepada Allah untuk melepas anak kesayangannya demi ilmu, ia titipkan kepada pamannya agar belajar ilmu kepadanya.

Rihlah Intelektualitas Imam Syafi’i

Sesampainya di Makkah, saat itu Imam Syafi’i berumur dua tahun, ia memulai rihlah keilmuannya dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an kepada pamannya. Paman yang sekaligus menjadi pembimbingnya menyadari betul bahwa anak yang kelak akan menjadi pendiri salah satu mazhab terkemuka dalam Islam itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Ia pun tidak menyia-nyiakan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi’i kecil. Setiap hari ia diberi pelajaran khusus dan hafalan khusus dengan tempo waktu yang tidak terlalu lama. Dan benar saja, semua amanah dari gurunya tidak pernah dikecewakan. Hafalan yang diberikan kepadanya ia selesaikan dengan mudah. Bahkan, sejarah mencatat bahwa ia sudah bisa menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun.

Setelah Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya berhasil dikuasai oleh Imam asy-Syafi’I, ia melanjut pada ilmu selanjutnya, yaitu hadits. Pada masa itu, ia langsung berguru kepada Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki sekaligus penulis kitab al-Muwattha’ yang di dalamnya berisikan hadits-hadits Rasulullah.

Dalam rihlah intelektual berguru kepada Imam Malik, ia mampu menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun. Usia yang masih terhitung sangat muda untuk bisa menghafal Al-Qur’an dan kitab Muwattha’, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,

حَفِظْتُ القُرْآنَ وَأَنَا ابْنُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَحَفِظْتُ المُوَطَّأَ وَأَنَا ابْنُ عَشْرٍ

Artinya, “Saya telah menghafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun, dan saya telah menghafal kitab al-Muwattha’ di usia sepuluh tahun.” (Ibnu Hajar, Tahdzibu at-Tahdzib, Matba’ah an-Nidhamiah: 1326 H], juz IX, halaman 25).

Setelah ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan kitab karya Imam Malik, berhentikah Imam Syafi’i dari belajar? Ternyata tidak. Meski di usia sepuluh tahun sudah menguasai banyak cabang-cabang ilmu syariat, tidak lantas membuatnya berhenti untuk mencari ilmu. Ia terus mengembara sebagai seorang pelajar yang haus akan ilmu. Tidak hanya di Makkah, ia juga sering keluar kota hanya untuk mencari ilmu.

Dengan segala keilmuan yang ada dalam dirinya, ia telah tumbuh sebagai sosok yang disegani oleh para ulama di usia yang cukup muda. Tepat di usianya yang kelima belas, Imam Syafi’i telah layak untuk mengeluarkan fatwa atas persoalan yang terjadi saat itu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam as-Suyuthi,

كَانَ الشَّافِعِي يَفْتِي وَلَهُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً وَكَانَ يُحْيِى اللَّيْلَ إِلَى أَنْ مَاتَ

Artinya, “Imam asy-Syafi’i telah berfatwa sedangkan ia masih berumur lima belas tahun. Dan, dia (juga) menghidupi malam (dengan ibadah) hingga akhir hayatnya.” (Imam as-Suyuthi, Thabqatu al-Huffadz lis-Suyuthi, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1403], halaman 28).

Guru-guru Imam Syafi’i

Di balik kehebatan Imam Syafi’i tidak lepas dari perjuangan gurunya yang selalu memberikan didikan terbaik kepadanya. Dalam catatan sejarah gurunya tidak hanya terdiri dari puluhan, bahkan mencapai ratusan.

Pada masa belajar di Makkah, ia belajar kepada Sufyan bin Uyaynah, Muslim bin Khalid bin Said az-Zinji, Daud bin Abdurrahman at-Thahhar, Abdul Majid bin Abdul Aziz az-Zadi, Sa’id bin Salim al-Qaddah, Ismail bin Qsahthanthin, dan beberapa guru lainnya.

Ketika belajar di Madinah, ia belajar kepada Imam Malik bin Anas, Abdul Aziz al-Khurasani, Abdullah bin Nafi’, Ibrahim bin Muhammad al-Aslami, Ibrahim bin Sa’id bin Ibrahim az-Zuhri, Muhammad bin Ismail bin Muslim, dan beberapa guru lainnya.

Saat berada di Yaman, ia belajar kepada Imam Mutharrif bin Mazin al-Kanani, Hisyam bin Yusuf ash-Shan’ani, Amru bin Abi Salamah, Abu Zakaria al-Bashri, Yahya bin Hasan, dan beberapa guru lainnya di Yaman.

Dan ketika belajar di Irak, ia belajar kepada Imam Waqi’ bin Jarrah bin Malih al-Kufi, Abu Usamah al-Kufi, Muhammad bin Hasan, Ismail bin Uyaynah al-Bishri, Abdul Wahab bin Abdul Majid at-Tsaqafi, Ayyub bin Suaid, dan beberapa guru lainnya di Irak.

Itulah beberapa guru-guru Imam Syafi’i yang telah sukses memberikan didikan terbaiknya hingga mampu mencetak seorang murid yang sangat alim dan puncaknya bisa mendirikan mazhab dengan jumlah pengikut terbanyak dari beberapa mazhab lainnya.

Mutiara Hikmah Imam Syafi’i

Imam asy-Syafi’i tidak hanya dikenal dengan seorang ulama dengan keilmuan yang luas, karangan kitab yang banyak, pengikut yang banyak, akan tetapi juga ahli syair. Bahkan banyak mutiara hikmah darinya yang bisa dijadikan renungan, khususnya bagi orang-orang yang sedang mencari ilmu. Dalam kitab Diwanu al-Imami asy-Syafi’i, halaman 18 disebutkan,

مَا فِي الْمَقَامِ لِذِي عَقْلٍ وَذِي أَدَبِ *** مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبِ

“Berdiam diri saja di tempat mukim (rumah) sejatinya bukanlah peristirahatan bagi mereka pemilik akal dan etika, maka tinggalkan negerimu dan merantaulah (untuk mencari ilmu.”

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفَارِقُهُ *** وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Berkelanalah, niscaya akan engkau temukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan. Bersungguh-sungguhlah (dalam usaha), karena kenyamanan hidup itu ada pada kesungguhan.”

إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ *** إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ

“Sungguh, aku melihat diamnya air hanya akan merusaknya. Jika saja air itu mengalir, tentu ia akan terasa menyegarkan. Jika tidak, maka tidak bisa menyegarkan.”

وَالْأَسَدُ لَوْلَا فِرَاقُ الْأَرْضِ مَا افْتَرَسَتْ *** والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يصب

“Dan sekawan singa, andai tidak meninggalkan sarangnya, ia tidak akan terlatih kebuasannya. Dan anak panah andaikan tidak melesat meninggalkan busurnya, maka ia tidak akan mengenai sasaran.”

وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الْفَلَكِ دَائِمَة ً *** لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ

“Dan mentari andai selalu terpaku di ufuk, niscaya manusia akan mencelanya; baik bangsa Arab atau selainnya.” (Baca juga: Imam Ahmad bin Hanbal; Pendiri Mazhab Hanabilah yang Alim Sejak Usia 15 Tahun)

Itulah beberapa kalam hikmah dari Imam asy-Syafi’I yang memberikan semangat untuk orang-orang yang sedang mencari ilmu. Di dalamnya terdapat anjuran untuk pergi meninggalkan tanah kelahiran demi menuntut ilmu dan kemuliaan. Dengan mengetahui kisah di atas, semoga kita bisa meneladani rihlah intelektual Imam asy-Syafi’i yang begitu menginspirasi, serta bisa mendapatkan berkah darinya, Amin.

BINCANG SYARIAH

Hari ini, 99 Tahun Wafatnya KH Ahmad Dahlan

“Sekarang setannya tambah satu. Tadi Pak dokter, sekarang kamu, Bu,” ujarnya pelan sambil merapikan tas berisi buku-buku yang akan dipakainya untuk berceramah.

Sedianya dokter meminta sang istri untuk memastikan dia istirahat sementara waktu karena sakitnya. Namun, bukan KH Ahmad Dahlan namanya kalau larangan untuk berdakwah diiyakannya.

Sekalipun dalam keadaan sakit, ia tetap melakukan perjalanan ke Tretes, Malang, untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah 1923.

Sepulang dari Malang, kondisi kesehatannya kian menurun, hingga Dr. van De Burne, Dr. Ofringa dan Dr. Somowidagdo yang merawatnya meminta keluarga untuk membatasi tamu yang membezoeknya.

Di tengah perjuangannya memikirkan kondisi umat, Allah mencukupkan tugasnya di bumi dengan memanggilnya pada hari Jumat 23 Februari 1923, di usia yang masih relatif muda untuk ukuran umat Muhammad, 54 tahun.

Bumi menangis. Seorang mujahid berpulang, menyisakan duka yang mendalam. Kabar duka itu segera menyebar. 

Inna lillahi wainna ilaihi radji’oen.

Kabar duka itu ditulis majalah Soewara Moehammadijah No. 2 dan 3., Tahun ke-4, Februari-Maret 1923, halaman 74-75.

Dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Sarikat Islam, bahwa pada hari Djoemoeah menghadap malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11.45 u, Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin, ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviseur Centraal Sarikat Islam telah berpoelang ke rachmatoellah.

Dari pada itoe, marilah kita bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah arwach marhoem Kejahi A. Dachlan itoe dianoegerahi Sorga pahlanja.

Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikan apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.

Setidaknya ada 4 koran berbahasa Belanda yang memuat berita itu. Yakni Soerabajasch Handelsblad, De Indische Courant, Bataviaasch Nieuwsblad, dan satu koran yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad. 

Ada manusia-manusia besar yang Allah takdirkan menuliskan narasi besar. Bisa jadi ia meninggal sebelum narasi itu selesai dituliskannya, namun pemikirannya melintasi zaman.

Kiai Dahlan adalah salah satunya. Berawal dari dari keprihatinannya akan kondisi umat yang berada dalam kebodohan dan kejumudan, ia didik murid-muridnya di langgar (mushala kecil) di halaman rumahnya di kampung Kauman, Yogya. 

Dari satu sekolah, kini berkembang menjadi lebih dari 10.381 sekolah. 365 ponpes, 364 RS/klinik, 384 panti asuhan, dan banyak lagi asset lainnya. Dimulai dari Yogyakarta, kini menyebar ke 27 negara di dunia.

Hari ini, 99 tahun lalu jasadnya dikuburkan, namun pahala jariyah dan buah pikirnya tak akan lekang tergerus zaman.

Jakarta, 23/2/2022

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

KHAZANAH REPUBLIKA

Ayat Alquran yang Biasa Menjadi Legitimasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Islam seringkali dituduh sebagai agama yang melanggengkan praktik patriarki. Beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi dituding penuh dengan nilai superioritas laki-laki. Ditambah lagi, penjelasan dari para ulama klasik yang masih cenderung tidak berpihak pada pengalaman perempuan.

Buya Husein dalam bukunya, “Islam Agama Ramah Perempuan” menyebutkan setidaknya ada dua ayat yang menjadi legitimasi laki-laki bahkan perempuan membenarkan tindakan kekerasan kepada perempuan, baik dalam relasi suami dan istri, ayah dan anak atau relasi lainnya.

Ayat pertama adalah surat an-Nisa ayat 34,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ

Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya

Secara eksplisit, menurut Buya Husein, ayat ini menujukkan superioritas laki-laki atas perempuan. Kelebihan laki-laki atas kemampuan mencari harta dijadikan alasan atas sikap superior dan relasi yang tidak seimbang, bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Atas ayat ini, para ulama klasik hampir seluruhnya menyetujui superioritas laki-laki sebagai pandangan Islam.

Maka pemahaman dengan cara pandang ini dituangkan oleh para ulama klasik dalam fatwa-fatwa keagamaan. Lebih dari itu, narasi yang disampaikan oleh para pendakwah di setiap khutbah juga mendukung narasi seperti ini. Sehingga, Islam terkesan sebagai agama yang hanya mementingkan pihak laki-laki.

Ayat berikutnya adalah surat al-Baqoroh ayat 228,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Artinya: Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.

Senada dengan ayat 34 surat an-Nisa, ayat ini juga secara eksplisit mendukung superioritas laki-laki atas perempuan. Dua ayat ini, oleh para ulama klasik yang kemudian menjadi rujukan utama para pendakwah, melahirkan pemahaman domestikasi terhadap perempuan. Dalam ranah publik pun, perempuan juga sering diposisikan secara tidak adil. Dianggap tidak bisa memimpin, tidak bisa berpikir logis, dan sering diberi jabatan atau posisi yang sifatnya domestik semata.

Masih pada ayat 34 surat an-Nisa, pembenaran akan tindakan kekerasan juga seolah didukung oleh ayat ini,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا

Artinya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.

Para ulama klasik menafsirkan ayat ini sebagai kebolehan untuk memukul istri yang nusyuz. Nusyuz diartikan sebagai sikap istri yang membangkang seperti tidak mau diajak berhubungan intim, tidak menjawab panggilan, dan mengucapkan kata kasar.

Kata ad-Dharb dalam beberapa kamus yang menjadi rujukan para penafsir dimaknai dengan “memukul”. Meskipun beberapa catatan dari para ulama tentang praktik memukul seperti tidak boleh melukai, tidak boleh dengan benda tajam, tetap saja ayat ini ditunjukkan atas kebolehan memukul istri.

Bagaimana seharusnya memahami ayat-ayat tersebut?

Rekontruksi tafsir terhadap ayat Alquran yang biasa menjadi legitimasi kekerasan terhadap perempuan kini dilakukan oleh banyak ulama kontemporer. Pengkajian ayat secara holistik dan pendekatan sosial dikedepankan agar mendapatkan makna yang dalam dan adil gender, sesuai pesan-pesan Alquran yang sesungguhnya dan ajaran dimaksudkan oleh Nabi Muhammad.

Buya Husein, dalam buku “Perempuan, Islam & Negara” menyebutkan Islam menyediakan dua kategori teks. Keduanya ialah universal dan particular. Teks universal adalah teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan untuk setiap manusia di segala ruang dan waktu. Ulama tersohor kita, Imam Ghazali menyebutnya dengan al-Kulliyat al-Khams yang mengandung hak-hak asasi manusia. Kelimanya adalah hifz ad-Din (perlindungan terhadap keyakinan), hifz an-nafs (perlindungan hak hidup), hifz al-Aql (perlindungan kebebasan berpikir), hifz an-nasl (perlindungan bereproduksi dan kehormatan diri) dan hifz al-mal (perlindungan atas hak milik).

Adapun ayat partikular, menurut penjelasan Buya Husein adalah ayat yang menunjukkan kasus tertentu. Sifatnya tidak permanen dan merespon pada kasus tertentu saja. Misal, ayat-ayat tentang kepemimpinan, perwalian dikategorikan sebagai ayat yang partikular (mutasyabihat) yang melahirkan pandangan yang berbeda di kalangan para penafsir.

Mayoritas ulama mengatakan, jika ada dua ayat universal dan partikular bertentangan maka dahulukanlah ayat partikular. Tapi Imam as-Syatibi menolak pandangan itu. Dalam al-Muwafaqat, Imam as-Syatibi menyebutkan bahwa ayat universal itu bersifat normatif sedang yang partikular bersifat relative. Maka teks universal lebih didahulukan daripada yang partikular.

Seperti ayat tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada surat an-Nisa ayat 34 bertentangan dengan surat al-Hujurat ayat 13,

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat pertama menunjukkan teks partikular sedangkan ayat berikutnya, al-Hujurat ayat 39 bersifat universal yang menyatakan kesetaraan manusia di hadapan Allah. Maka Imam as-Syatibi mendahulukan teks universal dan mengatakan bahwa ayat kepemimpinan sifatnya khsusus dan sosiologis serta belaku kontekstual.

Ayat-ayat lain yang menunjukkan nilai universal dan cara berelasi dengan manusia secara adil dan setara juga terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 11,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman.”

Hal paling penting dalam memahami ayat Alquran yang biasa menjadi legitimasi kekerasan terhadap perempuan adalah dengan meninjau kembali dan melakukan pendekatan yang berbeda. Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan cinta adalah visi yang dibawa oleh Nabi Muhammad atas perintah Allah. Tidaklah masuk akal apabila dikatakan ayat-ayat Alquran melanggengkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Menggabungkan Puasa Rajab dengan Qadha Ramadhan

Berpuasa di Rajab merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan sebagaimana bulan-bulan mulia lainnya (Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah). Sekalipun tidak ada hadis shahih yang secara khusus menjelaskan fadilah puasa Rajab, namun kesunnahan puasa Rajab sudah termasuk dalam dalil anjuran berpuasa secara umum dan anjuran berpuasa di bulan-bulan mulia. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika sebagian orang masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan, apakah ia boleh menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha ramadhan?

Puasa sunnah Rajab sebagaimana puasa sunnah lainnya sah (boleh) dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak, tidak disyaratkan menentukan jenis puasanya (ta’yin). Contohnya dengan niat “Saya berniat puasa karena Allah”, tidak wajib menambahkan lafadz “Karena melakukan kesunnahan puasa Rajab”. 

Sedangkan puasa qadha Ramadhan tergolong puasa wajib yang harus ditentukan jenis puasanya (ta’yin), contoh dengan niat “Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardu karena Allah”.

Menggabungkan (tasyrik) niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya adalah sah dan pahala keduanya bisa didapatkan. Bahkan menurut Syaikh Al-Barizi, meski hanya niat mengqadha puasa Ramadhan, secara otomatis pahala berpuasa Rajab bisa didapatkan.

Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah I’anah At-Thalibin [Juz 2, Hal: 224] karya Syaikh Syata’ Ad-Dimyati, sebagaimana berikut,

 وبالتعيين فيه النفل أيضا فيصح ولو مؤقتا بنية مطلقة كما اعتمده غير واحد  (وقوله ولو مؤقتا) غاية في صحة الصوم في النفل بنية مطلقة أي لا فرق في ذلك بين أن يكون مؤقتا كصوم الاثنين والخميس وعرفة وعاشوراء وأيام البيض أو لا كأن يكون ذا سبب كصوم الاستسقاء بغير أمر الإمام أو نفلا مطلقا   (قوله بنية مطلقة ) متعلق بيصح فيكفي في نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول نويت الصوم  ( قوله كما اعتمده غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة  وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا  وذكر غيره أن مثل ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة ويوم الخميس  انتهى 

“Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yakni puasa sunnah, maka sah hukumnya berpuasa sunnah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama.

“Perkataan Syaikh Zainuddin, meskipun puasa sunnah yang memiliki jangka waktu, ini adalah puncak kebolehan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam ke-sah-an tersebut antara puasa sunnah yang berjangka waktu seperti puasa hari Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama. Atau selain puasa sunnah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak”. 

“Ungkapan Syaikh Zainuddin, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa.”  

Khatib Al-Syirbini dan Syaikh Jamal Al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. 

Dalam kitab Al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syaikh Al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis.

Itulah penjelasan perihal hukum menggabungkan niat puasa Rajab dan puasa qadha Ramadhan. Wallahu A’lam.

BINCANG MUSLIMAH

KJRI Jeddah : Paket Karantina dan PCR di Arab Saudi Senilai Rp 8 Juta

Biaya yang harus dikeluarkan untuk paket karantina di Arab Saudi. Rata-rata, untuk lima hari karantina menghabiskan biaya sekitar Rp 8 hingga 10 juta.

“Paket karantina termasuk dua kali tes PCR di Arab Saudi antara 1.500 hingga 5.000 riyal atau sekitar Rp 5,7 juta hingga Rp 19,1 juta,” kata Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah, Eko Hartono, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/2/2022). 

Kisaran biaya ini disebut bergantung pada pilihan hotel yang digunakan untuk karantina. Namun, sejauh ini rata-rata biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 8 juta hingga 10 juta.

Eko lantas menyebut, selama ini dalam pelaksanaan umrah, jamaah melakukan tes PCR sebanyak tiga kali, hal ini terhitung mulai dari kedatangan hingga kepulangan.

Terakhir, dia menyebut sejauh ini masih belum ada informasi pasti tentang pelaksanaan ibadah haji, termasuk pengaturannya. Namun, sudah beredar kabar jika haji tetap akan dilakukan. 

“Masih belum pasti walau ada informasi bahwa haji akan diadakan. Tapi kuota dan pengaturannya masih belum jelas,” lanjutnya. 

Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu (SIHDU) Ditjen PHU, Jaja Jaelani, sebelumnya menyebut kenaikan besaran BPIH disebabkan adanya biaya prokes jamaah dan kenaikan biaya penerbangan. 

“Berkaitan dengan kenaikan BPIH tahun ini menjadi 45 juta, hal ini dikarenakan adanya biaya prokes yang cukup besar yakni sekitar 7,6 juta, yang mana pada tahun 2020 itu tidak ada,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (21/2/2022). 

Selanjutnya, kenaikan BPIH ini berkaitan dengan kenaikan biaya penerbangan dan juga ada kenaikan biaya operasional di Arab Saudi maupun di Tanah Air. 

Rincian komponen biaya prokes jamaah haji tahun ini meliputi biaya tes Swab PCR di Asrama Haji sebanyak dua kali, saat keberangkatan ke Arab Saudi dan setibanya di Tanah Air. Tes Swab PCR juga dilakukan di Arab Saudi sebanyak tiga kali, saat tiba, karantina dan akan pulang ke Tanah Air. 

Akomodasi dan konsumsi selama lima hari karantina di Jeddah dan akomodasi dan konsumsi di Asrama Haji setiba dari Arab Saudi juga menjadi komponen lain dalam hal prokes tersebut.  

IHRAM

Flexing Ala Sultan, Begini Penjelasan Quraish Sihab tentang Tahaddus Bin Ni’mah

Belakangan ini marak suatu istilah populer yang dinamakan flexing. Flexing sendiri berarti pamer kekayaan. Hal yang dipamerkan bisa berupa saldo rekening, kendaraan mewah, tas langka, jam branded, outfit mahal, liburan ke luar negeri, parfum mahal dan lainnya. 

Tren flexing bahkan berubah menjadi semacam tingkah konyol dengan membuang uang, melempar gadget mahal dan menghancurkan barang mewah lainnya. Growth Stefany, seorang psikolog klinis, sebagaimana dilansir dalam kompas.com membagi motif pamer menjadi dua hal. 

Pertama, pamer disebabkan ada hal yang ingin dibanggakan dan mencoba membagikaannya kepada orang lain. Kedua, disebabkan rasa insecurity atau merasa ada yang kurang dalam dirinya. Sehingga dia merasa perlu menyembunyikan insecurity dengan memamerkan pencapaian. 

Fenomena flexing ini tentu saja perlu disoroti lebih lanjut dalam kajian al-Quran.  Al-Quran yang merupakan pedoman setiap muslim dalam menjalani roda kehidupan, tentulah selalu bisa menemukan kontekstualisasinya dalam setiap jaman.  Berkenaan dengan pamer online atau flexing ini, Allah berfirman dalam QS. al-Dzuha [93]:11

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur)”.

Berkaitan ayat ini, Prof. Quraish Shihab menjelaskan pendapat ulama yang menyatakan bahwa, pembicaraan (tahaddus) disini haruslah dapat mencitrakan kesyukuran tentang nikmat tersebut. Sehingga ayat ini dapat ditafsirkan, “Adapun nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau syukuri.” 

Quraish Shihab menambahkan bahwa termasuk bentuk pengejawantahan bersyukur adalah menyebut nikmat Tuhan dengan disertai kepuasan serta menghindari perasaan riya’ dan bangga. 

Al-Qurtubi bahkan, tutur Quraish Shihab, mengutip suatu riwayat yang isinya tidak hanya membatasi bentuk penyampaian anugerah yang bentuknya material, akan tetapi juga dalam hal immaterial seperti kedudukan dan nama baik serta pelaksanaan ibadah. 

Riwayat yang dikemukakan al-Qurthubi berasal dari Sayyidina al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang menyatakan: “Jikalau dirimu mendapatkan kebajikan atau melakukan kebaikan maka kabarkanlah hal tersebut kepada saudara yang engkau percaya”. 

Pembicaraan nikmat dalam konteks ini tentulah diperbolehkan dengan catatan tidak diikuti perasaan ingin disanjung dan merasa bangga. Hal tersebut dapat dibenarkan bahkan dianjurkan karena bisa memicu pendengarnya untuk melaksanakan kebajikan atau ibadah serupa. 

Menceritakan anugerah Allah tidak terbatas hanya dalam bentuk oral semata, namun juga mencakup dalam bentuk sikap praktis. Hadis lain yang menguatkan kesimpulan ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i. 

Beliau meriwayatkan bahwa suatu ketika Malik Ibn Nadhrah al-Jusyami bersandingan dengan Nabi. Melihat pakaian Malik yang sangat jelek, Nabi pun bertanya: “Apakah engkau mempunyai harta?” Malik menjawab: “Saya punya berbagai harta”. 

Nabi pun lalu menasehatinya :”Bila Allah menganugerahkanmu harta, maka baiknya terlihat tanda/bekas anugerahnya pada dirimu.” Nabi dalam suatu riwayat bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai keindahan dan suka bila melihat tanda/bekas nikmat (anugerah-Nya) kepada hamba-Nya.” 

Terdapat juga pakar tafsir yang menafsirkan kata haddits dengan makna “perintah menyampaikan secara lisan.” Hanya Saja, mereka menafsirkan kata ni’mah dalam pengertian yang terbatas kepada ajaran agama atau wahyu Allah.

Penafsiran tersebut didasarkan fakta bawa agama atau petunjuk Allah jika diperbandingkan dengan kelebihan, kesenangan dan kenyamanan apapun yang manusia peroleh tidak mempunyai arti tanpa disertai nikmat agama.  Sebaliknya, seberat apapun beban kehidupan seseorang, jika ia telah mengecap manisnya nikmat agama, semua cobaan akan terasa ringan.

Menyimak penjelasan Prof. Quraish Shihab tersebut, kita bisa simpulkan bahwa pamer terhadap kenikmatan Allah pada dasarnya dianjurkan, dengan catatan mempunyai tendensi untuk memotivasi pendengar.  

Pada akhirnya, Flexing adalah sesuatu yang netral. Positif negatifnya tergantung pada niat masing-masing. Jika niatnya baik, maka menjadi baik. Jika buruk, maka menjadi buruk. Jika ditilik lebih dalam kenetralan Flexing senada dengan konteks menampakkan dan menyembunyikan sedekah, Allah berfirman dalam QS al-Baqarah[2]: 271

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Kendati flexing bersifat netral, akan tetapi fenomena di media sosial acapkali berkonotasi negatif. Sehingga kita perlu merenungi rentetan ayat yang mengisahkan Qarun, pelaku flexing dengan tujuan menyombongkan diri. Allah berfirman dalam QS. al-Qashash [28]: 76-83, yakni menceritakan nasib Qarun. Yang pada ujungnya mendapatkan adzab. 

BINCANG SYARIAH