Kunci Hidup Tenang: Menerima Ketetapan dari Allah

Seseorang yang bertawakal kepada Allah tidak akan putus asa.

Saat sebuah harapan atau rencana tidak berjalan sesuai keinginan, tidak sedikit orang yang jatuh dalam keputusasaan atau juga keterpurukan. Banyak juga yang menyalahkan Allah SWT atas hasil yang tidak sesuai keinginan ini. 

Kondisi ini sebenarnya banyak dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dalam Alquran. Sebuah perumpamaan dibuat di salah satu ayat:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216). 

Dilansir dari About Islam, yang menjadi penekanan dalam ayat ini adalah, “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Ayat yang menyiratkan untuk bertawakal atau mempercayai ketetapan Allah SWT. 

Seseorang yang telah bertawakal kepada Allah, tidak akan sampai terucap kata-kata putus asa seperti, “Kenapa ini terjadi padaku?,” atau “Jika ini terjadi..” Kalimat “Allah Maha Mengetahui” mengajarkan manusia untuk berserah diri dan menerima semua ketetapan Allah karena Dia yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. 

Ketika menerima dengan lapang qadar Allah, ada dua hal yang seseorang dapatkan. Pertama, orang itu akan mendapat ketenangan hati (sakinah) dalam hidup. Kedua, Allah akan senang dengan kita dan membantu kita bersama atas hasil yang didapat. 

Menantang Qadar

Jika sesuatu tidak terjadi persis seperti yang  dibayangkan, orang-orang yang menantang atau menolak takdir akan menjadi sangat frustrasi, tertekan, marah, dan mungkin melampiaskannya pada orang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya sakinah dan tidak menerima situasi yang dialami.

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Kebutaan Telah Menjangkiti Hati

Mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya,  inilah kebutaan yang lebih parah

TIDAK  semua buta atau kebutaan akan membawa petaka atau kesengsaraan, sebab tak sedikit kita menyaksikan, betapa seorang yang buta ternyata mampu menjadi Penghafal Al-Qur’an, juga di bidang yang lain. Kekurangan indra penglihatan tidak menjadikan mereka kehilangan semangat, bahkan, subhanallah, mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah kekurangan.

Beberapa tahun lalu, kita menyaksikan sebuah video yang viral, Muadz (11 tahun), seorang remaja buta sejak lahir dari Mesir yang menjadi penghafal Al-Qur’an. Ketika ditanya oleh Syaikh Fahd Al-Kandari tentang bagaimana perasaannya, dia menjawab: “Dalam shalat, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku, bukannya aku tak yakin pada Allah, bukan. Namun aku menginginkan yang lebih indah dari sekedar penglihatan.”

“Semoga ini menjadi keselamatan bagiku pada hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab) pada hari tersebut. Nanti saat berdiri di hadapanNya, takut dan gemetar, Allah menanyakan tentang nikmat penglihatan dan Dia akan bertanya “apa yang telah engkau lakukan pada Al-Qur’an ini?” Aku hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untukku pada hari kiamat kelak.” Jawaban remaja ini membuat Syaikh menangis tersedu-sedu.

Pendahuluan dan cerita di atas hanya sebuah pengantar agar kita mampu dengan kebersihan hati mengakui bahwa ketiadaan kekurangan penglihatan bukanlah sebab dan alasan untuk sebagai Insan yang memiliki akal dan nurani mengingkari dan menolak Kebenaran. Hati yang tulus dan jujur akan membimbing kita untuk tak akan pernah berbohong dan memutarbalikkan fakta, sekalipun kita tak mampu melihat.

Tak pernah ada dalam sejarah manusia selama berabad-abad ini, ada seseorang yang cuma karena kehilangan indra penglihatannya menjadikan dia berperilaku di luar batas kemanusiaan.  Namun, sejak beratus tahun lalu kita membaca sejarah, betapa banyak manusia yang  demi memuaskan hawa nafsunya bertindak diluar batas kemanusiaan, baik secara perorangan maupun kelompok.

Kebutaan Membawa Petaka

Di zaman super teknologi kini, di mana semua tak bisa luput dari catatan dan pemantauan, atau ada rekam  dan jejak digital, tak mampu mengubah mereka yang memang di hatinya telah mengendap penyakit sehingga selalu memandang bias pada siapapun yang di luar kelompoknya.  Inilah kebutaan yang lebih parah, karena secara indrawi mereka sempurna, tetapi hati dan akal mereka telah tertutup oleh kebencian akut.

Dalam masalah apapun, tak terkecuali dalam persoalan kebangsaan, mereka dalam kelompok buta hati ini tak akan pernah mampu -untuk tak disebut sebagai tak mau- memberikan solusi, apalagi jika solusi itu tak memberikan keuntungan secara finansial atau mengangkat nama mereka.

وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا

“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (QS: Al-Israa, ayat 72).

Sebenarnya tak mampu memberikan solusi bukan sebuah aib. Tapi mereka, alih-alih memberikan solusi, biasanya tidak suka jika ada seseorang di luar kelompoknya mampu menawarkan solusi.  Kalau mereka sekedar mementahkan solusi orang lain, itu masih fair, yang dilakukan mereka adalah memfitnah, membuat citra jelek, membully, membuat opini sesat dan pembunuhan karakter.

Banyak kita temui di media social kedengkian-kedengkian dibungkus ceramah, kajian, dll. Memfitnah orang, kembaga sekolah, pondok pesantren, lembaga amal, ritual keagamaan –bahkan gelombong tuntutan pembubaran ormas Islam sekelas MUI– sudah menjadi sarapan keseharian mereka.

Tentu mereka yang diliputi kebutaan tidak sendirian dalam hal ini.  Dengan nada seperti suara koor, serempak, senada dan berbarengan, terlihat ada koordinasi, ada pembinaan secara masif.

Tidak pernah dalam sejarah republik ini ada sekelompok orang berani menuntut pembubaran MUI.  Tuntutan pembubaran MUI seperti ini hanya ada ketika zaman kejayaan PKI berkuasa.

Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maka kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Para Pembantu Presiden sering diutus untuk menanyakan sesuatu, bahkan Mentri Agama (Menag) tak akan pernah berani memutuskan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Qurban terkecuali setelah duduk bersama dengan MUI dan Perwakilan Ormas Islam.

Mencaci ulama dan Kiai serta intitusi MUI itu boleh jadi hanya  sebuah tujuan antara, karena tujuan akhir mereka adalah menghabisi Islam (Baca: agama). Apa yang kita khawatirkan amat sangat mungkin menjadi kenyataan di suatu hari nanti.

Siapapun bisa saja diam,  tetapi semua punya konsekwensi. Maka kami memilih bicara, karena diam  hanya akan membuat kebenaran terkubur dan sebaliknya yang hidup adalah kebathilan.

Jangan sampai Allah menutup mata, hati dan telinga kita dan dimasukkan dalam golongan mereka yang telah dikunci Allah dan tidak diberi hidayat. Na’udzubillah.

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (QS: Al-Baqarah, ayat 7).*/Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH

Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat

Pada asalnya, salat berjemaah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al-jama’ah sendiri dari kata al-ijtima’ yang artinya adalah sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut al-ijtima’.

Ini juga sebagaimana hadis dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk salat,

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang salat ini?” Maka seorang lelaki pun berdiri untuk salat bersamanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang ini adalah jemaah.” (HR. Ahmad no. 22189, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Demikian juga dalam hadis Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka hendak melakukan safar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kalian kalian dalam perjalanan (dan akan mendirikan salat) maka azanlah dan ikamahlah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam.” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no. 674).

Baca Juga:  Sunnah Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Shalat Jumat

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya salat berjemaah.

Namun, ulama berbeda pendapat tentang jumlah peserta salat jumat sehingga bisa sah disebut sebagai salat jumat.

Daud Azh-Zhahiri dan Asy-Syaukani rahimahumullah menguatkan bahwa batasan minimal jemaah salat jumat adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum) sebagaimana salat fardu.

Syekh Ibnu Badran Ad-Dimasyqi rahimahullah menjelaskan, “Terdapat beberapa riwayat dari Imam Ahmad tentang jumlah jemaah dalam salat jumat yang sah. Terdapat riwayat bahwa beliau mensyaratkan 7 orang (1 imam dan 6 makmum), dalam riwayat lain 5 orang (1 imam dan 4 makmum), dalam riwayat lain 4 orang (1 imam dan 3 makmum), dalam riwayat lain 3 orang jika di qoryah (kampung), namun tidak mencukupi jika di amshar (kota). Riwayat-riwayat ini disebutkan dalam kitab Al-Furu‘. Menurutku, angka-angka di atas, tidak didasari oleh dalil yang sahih, sehingga yang kuat adalah salat jumat paling minimal 3 orang (1 imam dan 2 makmum).” (Hasyiyah Al-Akhshar libni Badran, 127).

Pendapat ini juga di-rajih-kan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yaitu bahwa minimal salat jumat dan juga salat id adalah 3 orang, dengan 1 orang imam dan 2 orang makmum. Alasan beliau, karena kata “jama’ah” dalam bahasa Arab ini artinya “sekelompok orang” yang minimal jumlahnya 2 orang. Dan tercapai jama’ah jika makmumnya minimal ada 2 orang.

Namun, 3 orang tersebut haruslah orang-orang yang terkena kewajiban salat jumat. Yaitu, orang yang balig, berakal, dan mustauthin (orang yang bertempat tinggal).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,

واختلف العلماء في العدد المشترط لهما، وأصح الأقوال أن أقل عدد تقام به الجمعة والعيد ثلاثة فأكثر، أما اشتراط الأربعين فليس له دليل صحيح يعتمد عليه

Ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai jumlah yang dipersyaratkan (dalam jemaah salat id). Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa jumlah minimal peserta salat jumat dan salat id adalah 3 orang atau lebih. Adapun mempersyaratkan 40 orang, maka ini tidak ada landasan dalilnya yang sahih.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 halaman 12).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga mengatakan,

أقربُ الأقوال إلى الصواب: أنها تنعقد بثلاثة، وتجِب عليهم

Pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa jumlah minimalnya adalah tiga orang, dan tiga orang ini harus orang yang sudah terkena kewajiban salat jumat.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 5/41).

Wallahu a’lam.

 ***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/70353-jumlah-minimal-jamaah-shalat-jumat.html

Menag Gelar Pembicaraan dengan Saudi, Ini yang Dibahas

Menteri Urusan Islam Arab Saudi, Al-Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz Al-Sheikh mengadakan pembicaraan resmi dengan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas. Pembicaraan ini meninjau upaya Arab Saudi dalam melayani Islam dan umat Muslim dalam bingkai menyebarkan nilai-nilai moderasi dan perbaikan wacana keagamaan.

Kedua menteri itu, seperti dilansir dari Saudi Gazette, Ahad (21/11), juga membahas proses pencetakan Alquran oleh Kompleks Raja Fahd di Madinah. Juga soal upaya Saudi dalam menghadapi kelompok-kelompok yang mencoba memanfaatkan Islam untuk mencapai ideologi mereka.

Al-Sheikh mengatakan, kementeriannya menandatangani nota kesepahaman dengan beberapa lembaga dan kementerian Islam di berbagai negara untuk mentransfer pengalaman negaranya dalam melayani Islam. Hal itu juga untuk menyebarkan nilai-nilai dan ajaran toleransi yang sejalan dengan kebijakan Saudi serta pesan kepada umat Islam di seluruh dunia.

Sementara itu, Menteri Yaqut memuji upaya Arab Saudi untuk melayani Islam dan Muslim di dunia serta Muslim di Indonesia pada khususnya. Dia menekankan, Saudi mengambil langkah besar untuk menyebarkan pendekatan moderasi yang dibutuhkan umat Islam.

Yaqut juga menegaskan kembali keinginan negaranya untuk mengaktifkan perjanjian kerja sama dengan Saudi yang melayani Islam dan umat Muslim. Dia mengatakan, upaya yang dilakukan oleh Kerajaan untuk peziarah, dan pengunjung, dan pengalaman Kerajaan dalam menangani pandemi Corona itu berbeda dan mencerminkan kebijaksanaan dan ketajaman dari kepemimpinannya. 

Pembicaraan tersebut juga membahas soal pengaktifan nota kesepahama yang telah ditandatangani sebelumnya antara kedua belah pihak dalam urusan Islam. Ini dalam rangka menyebarkan metode moderasi dan melawan ekstremisme, dan bertukar keahlian dalam segala hal yang melayani Islam dan Muslim.

IHRAM

Niat yang Mulia

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat.

Dalam rukun ibadah, niat selalu menjadi urutan yang pertama. Saat berwudhu, menegakkan shalat, melaksanakan puasa, berzakat hingga pergi haji, selalu ada kata niat sebagai tonggak fondasi agar tujuan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang digariskan. 

Niat menjadi faktor penting seseorang untuk mendapatkan apa yang hendak dituju. Dalam hal ibadah, niat menjadi garis demarkasi untuk membedakan apakah pelakunya mendapatkan pahala atau bahkan justru berdosa. Orang yang pergi berhaji dengan niat pamer tentu mendapat ganjaran berbeda dengan orang yang berhaji dengan niat untuk Allah. 

Tak sekadar itu, niat juga yang membedakan jenis ibadah seseorang meski ritualnya sama. Orang yang  puasa wajib pada Ramadhan, puasa sunnah, puasa qadha (bayar utang puasa) dan puasa nazar dibedakan berdasarkan niatnya. Begitupula shalat apakah dia hendak shalat fardhu dan shalat sunnah juga untuk membedakan zakat dengan sedekah. 

Bila ditilik dari bahasa, niat dikatakan sebagai menyengaja, menuju (al-qashd). Menurut istilah, niat adalah kemauan hati untuk mengerjakan sesuatu dan bertekad melaksanakannya tanpa ragu. Terkadang, niat juga diartikan sebagai al-azm atau keinginan.

Dalam bahasa syara’, niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan. Para ulama menjelaskan, niat adalah keinginan yang disertai dengan perbuatan yang akan dilaksanakan pada masa mendatang. 

Di dalam Alquran, niat terkait erat dengan keikhlasan. Beberapa ayat yang menjelaskan niat, yakni QS al-Baqarah ayat 139, QS al-A’raf ayat 29, QS Yunus ayat 22, QS al-Ankabut ayat 65, QS az-Zumar ayat 2, 11 dan 14, QS Luqman ayat 32, serta QS al-Bayyinah ayat 5. 

Tidak hanya itu, banyak hadis yang mengulas tentang niat. Salah satunya yang berasal dari Umar Ibnu Khattab yang termasuk dalam hadis Arba’in karya Imam Nawawi. Redaksi lengkapnya yakni, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ada beberapa kisah yang melatarbelakangi lahirnya hadis ini. Salah satunya berasal dari kisah Ibnu Mas’ud tentang adanya seseorang yang hendak melamar perempuan. Dia bernama Ummu Qais.

Syahdan, Ummu Qais enggan untuk menikahi lelaki tersebut. Dia pun berhijrah hingga menikahi Ummu Qais. Ibnu Mas’ud pun mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya).”

Kisah lainnya bersumber dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas Ra. Keluarga ini termasuk sahabat Rasulullah SAW. Satu waktu, Ma’an pernah berkata jika ayahnya yakni Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar yang diniatkan untuk sedekah.

Ayahnya meletakkan uang itu di sisi seseorang yang ada di masjid (agar sedekah tersebut diambil salah satu jamaah). Ma’an justru mengambil uang tadi. Yazid berkata kepada Ma’an, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan kepadamu.” 

Ma’an lalu mengadukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Lantas, beliau SAW bersabda, “Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR Bukhari).

Hadis ini mengandung hikmah yang amat besar karena menunjukkan betapa penting suatu keinginan dan ikhtiar ketimbang hasil. Selama niat itu dilandasi tujuan untuk mendapat ridha Allah SWT, maka akan diganjar pahala. Yang luar biasa adalah hal tersebut tak berlaku bagi niat untuk perilaku maksiat. Saat berniat buruk kemudian kita gagal melakukannya, justru dicatat sebagai satu kebaikan sempurna.

Dari Ibnu ‘Abbâs Ra dari Nabi SAW tentang hadis yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan tapi dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya.

Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk tapi dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka).

Meski demikian, Imam Al-Ghazali memberi catatan menarik dalam Ihya Ulumuddin. Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam Saripati Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali menjelaskan, kemaksiatan tidak akan berpindah dari tempatnya dengan sebab niat. Maksudnya, kemaksiatan tidak dapat berubah menjadi ketaatan hanya dengan niat.

Sebagai contoh, saat kita membangun masjid dengan harta haram. Hal tersebut dinilai sebagai sebuah kebodohan sehingga niatnya tidak mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari kemaksiatan.

OLEH A SYALABY ICHSAN

REPUBLIKA ID

Jamaah Tak Perlu Lagi Izin Kunjungi Masjid Nabawi

Berdasarkan Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan, Pejabat di Arab Saudi telah mengumumkan bahwa izin dan janji tidak lagi diperlukan bagi pengunjung yang ingin shalat di Masjid Nabawi di Madinah.

Dilansir dari laman Alarabiya pada Ahad (21/11), pejabat mengatakan bahwa pengunjung yang ingin salat di Masjid Nabawi tidak perlu lagi mengajukan izin dan membuat janji melalui aplikasi ‘Eatmarna’. Akan tetapi masih akan diminta untuk menunjukkan aplikasi ‘Tawakkalna’ mereka yang membuktikan bahwa mereka telah menerima dua dosis vaksin Covid-19 atau menerima dosis pertama dan selesai 14 hari setelah menerima suntikan.

Pada bulan lalu, Masjidil Haram di Makkah beroperasi dengan kapasitas penuh, dengan jamaah shalat berdekatan untuk pertama kalinya semenjak pandemi virus corona dimulai. Hal ini terjadi setelah Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi menyetujui pelonggaran tindakan pencegahan Covid-19 yang ketat di negara itu, termasuk mengoperasikan Masjidil Haram dengan kapasitas penuh.

Awal pekan ini, Kerajaan mengumumkan bahwa jamaah luar negeri sekarang dapat mengajukan izin untuk umrah dan shalat di Masjidil Haram di Makkah. Kemudian juga untuk mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah melalui aplikasi seluler yang disetujui.

Sementara itu, selama lonjakan kasus covid, Saudi telah melakukan sejumlah pembatasan. Termasuk izin ibadah umrah yang dilakukan melalui aplikasi ‘Eatmarna’. Aplikasi ini juga mengatur upaya tindak lanjut masing-masing kelompok jamaah selama ibadah umrah atau saat mengunjungi Madinah.

Sementara itu, pada Ramadhan tahun ini 150 ribu orang telah diizinkan untuk melakukan umrah atau sholat setiap hari di Masjidil Haram.

IHRAM

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 1)

Nama-nama Nabi dan Rasul

Dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan sebagian dari nama-nama para Rasul yang Allah Ta’ala. Nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut mencapai dua puluh lima nabi dan rasul. Di antara dalil yang menunjukkan nama nabi dan rasul adalah sebagai berikut.

Dalam satu rangkaian ayat, Allah Ta’ala mengumpulkan delapan belas nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ ؛ وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  ؛ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ؛ وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada (1) Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan (2) Ishak dan (3) Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada (4) Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu (5) Daud, (6) Sulaiman, (7) Ayyub, (8) Yusuf, (9) Musa, dan (10) Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (11) Zakaria, (12) Yahya, (13) ‘Isa, dan (14) Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang salih. Dan (15) Ismail, (16) Alyasa’, (17) Yunus, dan (18) Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 83-86).

Di dalam surat An-Nisa’, Allah Ta’ala sebutkan tiga belas nabi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (1) (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada (2) Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada (3) Ibrahim, (4) Isma’il, (5) Ishak, (6) Ya’qub dan (7) al-asbath (anak cucunya, yaitu Yusuf, pen.) (8) ‘Isa, (9) Ayyub, (10) Yunus, (11) Harun, dan (12) Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada (13) Daud.” (QS. An-Nisa’: 163).

Selebihnya, Allah Ta’ala sebutkan dalam surat yang terpisah,

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’” (QS. Al-Baqarah: 31).

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوداً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ مُفْتَرُونَ

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.’” (QS. Huud: 50).

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحاً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 73).

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْباً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 85).

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقاً نَّبِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam: 56).

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al-Anbiya’: 85).

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah” (QS. Al-Fath: 29).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, nama Nabi dan Rasul yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah: (1) Adam; (2) Nuh; (3) Ibrahim; (4) Isma’il; (5) Ishaq; (6) Ya’qub; (7) Dawud; (8) Sulaiman; (9) Ayyub; (10) Yusuf; (11) Musa; (12) Harun; (13) Zakariya; (14) Yahya; (15) Isa; (16) Ilyas; (17) Alyasa’; (18) Idris; (19) Yunus; (20) Luth; (21) Hud; (22) Shalih; (23) Syu’aib; (24) Dzulkifli; dan (25) Muhammad ‘Alihimus shalaatu was salaam.

Yang dimaksud dengan “al-asbath” (sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 163) adalah Nabi dari anak keturunan Ya’qub ‘alaihis salaam (lihat Tafsir Ath-Thabari, 3: 109).

Perlu dicatat bahwa para Nabi itu jumlahnya sangatlah banyak. Tidak terdapat dalil yang sahih yang menunjukkan jumlah yang pasti [1]. Oleh karena itu, wajib beriman kepada mereka seluruhnya tanpa membatasi jumlah mereka dengan angka atau bilangan tertentu.

Adapun jumlah 25 nama yang tadi disebutkan, itu adalah nama-nama yang Allah Ta’ala sebutkan atau ceritakan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala memang menyebutkan nama sebagian mereka di dalam Al-Qur’an, namun tidak menceritakan sebagian besar dari mereka yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min: 78).

Saudara-saudara Yusuf bukanlah Nabi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidaklah diketahui dari Bani Israil (adanya nabi) sebelum Musa kecuali Yusuf. Di antara yang menguatkan  hal tersebut adalah ketika Allah Ta’ala menyebutkan para nabi dari keturunan Ibrahim, Allah Ta’ala mengatakan,

وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ

‘Dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun’ (QS. Al-An’am: 84).

Maka disebutkanlah Yusuf dan yang bersamanya, dan tidak disebutkan al-asbath. Seandainya saudara-saudara Yusuf adalah Nabi sebagaimana kenabian Yusuf, tentu akan ikut disebutkan bersamanya” (Jaami’ul Masaail, 3: 298).

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 327).

Tambahan dari dalil As-Sunnah

Terdapat tambahan dari yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Yusya’ bin Nun. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا؟ وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الغَنَائِمَ، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا، فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ، فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا، وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا

“Ada seorang Nabi di antara para nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama); dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya; dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak.’

Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung, datanglah waktu salat Asar atau sekitar waktu itu. lalu Nabi itu berkata kepada matahari, ‘Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami.’ Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah, lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya), namun api itu tidak dapat memakannya.

Nabi tersebut berkata, ‘Sungguh di antara kalian ada yang berkhiyanat (mencuri ghanimah). Untuk itu, hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbaiat kepadaku.’ Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut. Lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah, maka hendaklah suku kamu berbaiat kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut, lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah.’

Mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya. Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita” (HR. Bukhari no. 3124).

Nama Nabi tersebut adalah Yusya’ bin Nun. Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ عَلَى بَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Sesungguhnya matahari tidaklah ditahan untuk seorang manusia, kecuali untuk Yusya’ [ada saat dia berjalan pada malam hari menuju Baitul Maqdis]” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 14: 65, no. 8315. Dinilai sahih oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 6: 221) [2].

Di seri berikutnya, akan kami bahas apakah Khidir itu seorang Nabi ataukah bukan? Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 10 Rabiul akhir 1443/15 November 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70311-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-1.html

Tetap Istiqomah Bersama Islam

PERGAULAN adalah sebuah keniscayaan, itulah fitrah sebagai insan yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala kelengkapannya. Pergaulan selalu harus dimaknai adanya interaksi, dari mulai hal yang paling sederhana semisal senyum, saling sapa, sampai bentuk-bentuk komunikasi lainnya dalam persahabatan, keluarga, usaha, sejawat serta berbangsa dan bernegara.

Ini tentang cara pandang. Sesuatu jika sejak awal dipandang sebagai masalah dan mengandung kerumitan, maka apa yang kemudian ditemukan dan dijalani selalu bermuara pada kumpulan soal tak berjawab dan benang kusut.

Maka, mulailah segala sesuatu dengan pikiran jernih dan harapan yang penuh kebaikan. Tak semua yang kita temui akan sesuai harapan, tetapi banyak kemungkinan dan hal-hal baik di luar sana.

Bukankah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam Alaihi Salam, DIA pula Yang Maha Mengetahui tentang kebutuhannya pada sosok yang memungkinkan dia maksimal menggunakan fungsi indrawinya.

Sebagai Khalifah di muka bumi, hendaklah ia mengenal tentang segala potensi yang melekat pada dirinya, menggunakan sesuai dengan amanah yang diembannya. Pada akhirnya tak lain akan membuktikan bahwa dia tak merendahkan dirinya, yaitu karena mampu menunaikan kewajiban sesuai tugas dan kewenangan.

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di Bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman, dan sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al An-Aam, ayat 165)

Maka sesuatu yang semestinya tak terbantahkan adalah, bahwa kehidupan manusia dengan segala pernak-perniknya hanya akan mampu menciptakan keseimbangan, harmoni dan keadilan jika bersandarkan pada syariat-NYA.

Apa yang sering kita saksikan dan kita tengarai sebagai ketimpangan dalam pergaulan sehari-hari justru terjadi karena ulah manusia. Ia merasa jumawa dengan menganggap dirinya serba tau dan serba bisa semata dengan mengandalkan akal pikiran serta hawa nafsunya.

Bagaimana mungkin mereka bisa merasa dan meyakini demikian, padahal pada apa-apa yang ada pada dirinya pun mereka tak mampu mengendalikan sepenuhnya, mampukah ia mengatur detak jantungnya, atau bulu alis mata dan rambut hidungnya agar tumbuh terus?

Ego-ego seperti inilah yang pada gilirannya akan menumbuhkan pribadi yang gagal memahami sesama karena tak mampu bahkan untuk memahami dirinya sendiri.
Pergaulan bagi pribadi-pribadi hipokrit seperti ini cuma dipandang satu arah. Yang terpenting menghadirkan dirinya, dan karenanya pengakuan dan penghargaan pun dimaknai sangat sumir, yaitu ketaatan dan kepatuhan total, tanpa kesempatan untuk berdialog atau bahkan sekedar bertanya.

Dapatkah dibayangkan jika dari pribadi-pribadi demikian terlahir seorang pemimpin? Bukan pemimpin yang sadar betul tentang hakekat kehalifahan, bahwa dia mengelola alam semesta seperti yang dikehendaki pemilik alam semesta ini.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: An-Nisaa, ayat 58).

Jangan jadikan mereka sahabat, apalagi pemimpin

Pemimpin itu bukan mengatur manusia dan menata alam demi kepentingan dirinya. Namun seharusnya dari pikiran dan tangannya terlahir hukum dan aturan yang bukan saja tidak bersandar pada aturan-NYA, bahkan harus berusaha menggiring manusia semakin taat pada agama.

Anehnya yang banyak terjadi saat ini, hukum yang seharusnya menciptakan kepastian, malah memihak kepentingan penguasa dan segelintir orang saja.

Pergaulan antar sesama bukan lagi agar semakin mengangkat harkat kemanusiaan sebagai mahluk yang dilengkapi dengan akalnya, tetapi justru memanjakan dan menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai ukuran kepuasan serta kenikmatan. Akal dipaksakan untuk mencerna apapun dan menolak apapun yang tak masuk akalnya, padahal pada batas tertentu cuma Iman yang mampu menyelesaikan.

Lalu tata pergaulan apakah yang membedakan kita sebagai manusia dengan hewan? Bukankah akal yang menolak dikendalikan Wahyu hanya akan menempatkan kita sederajat dengan hewan? Bahkan lebih sesat dari hewan?

Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan;

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS: Al-A’raaf, ayat 179).

Maka sebagai seorang Muslim yang telah dikaruniai rahmat yang amat luar biasa yaitu hidayah Islam, tempatkanlah syariat sebagai sumber hukum tertinggi. Dan janganlah kita menukar dan menggadaikannya demi apapun.

Islamlah yang menjadikan kita manusia dan memanusiakan manusia. Ini penting, karena saat ini banyak bertebaran manusia yang bahkan secara lahir selayaknya tak pantas disebut sebagai Muslim, tapi dia begitu membenci syariat, dalam ucapan dan perbuatan.

Mereka para pengusung konsep liberal amat berharap suatu saat kita menjadi ragu pada kebenaran Dienul Islam, padahal mereka tidak memegang apapun kecuali kumpulan prasangka. Karenanya, tinggalkan dan janganlah pernah bergaul dengan mereka, karena mereka seburuk-buruknya manusia, sebab mereka menjadikan agama sebagai permainan.*/ Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal-haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik-demi-detik dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan bepata pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Lantas, bagaimana caranya untuk membedakan hewan (hayawan) yang halal dan yang haram dimakan?.

Di dalam teks teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadits) telah memberikan panduan yang purna soal halal-haram. Utamanya soal makanan. “Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu”.QS. al-baqarah.57.  Syaiklh Abu Bakar al-Jazair menafsirkan makanan yang baik dengan makanan yang halal. Aysar al-Tafasir, 1/28. Lalu bagaimana dengan konsep halal pada hewan. Mengingat al-Qur’an masih “mujmal” (belum begitu detail) menggambarkan halal-haram pada hewan. Disinilah rupa rupanya al-Hadits memainkan perannya sebagai sarana untuk memperjelas kemujmalan al-Qur’an.

Untuk mengetahui apakah hewan halal ataukah haram, dapat dilihat dari ciri ciri fisiknya.

  1. Semua hewan buas yang bergigi taring dan semua burung yang berkuku tajam/kuat, adalah “haram” dimakan. Ciri ciri ini telah digambarkan dengan begitu jelasnya oleh Rasulullah.

Sabda Nabi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: rasulullah melarang (mengkomsumsi) hewan buas yang bertaring, dan semua jenis burung yang berkuku tajam. HR. Muslim, 510

Muhammad Ibn Umar Ibn Husain al-Raziy mengatakan bahwa “larangan rasulullah dalam hadits di atas bisa diarahkan kepada hukum haram. Al-Mahshul Li al-Raziy, 2/470

Hadits dia atas sekaligus menjadi dalil bagi fatwa Jumhur Ulama’ (al-Syafiiy, Abu Hanifah, Ahmad dan Daud al-Dhahiri) yang mengatakan haram hukumnyamengkonsumsi hewan yang bertaring dan berkuku tajam. Kecuali Imam Malik yang hanya menghukumi makruh tidak sampai kepada hukum haram. Syarah al-Nawawi ‘Ala Muslim, 13/82

  1. Semua hewan yang dianggap baik oleh orang arab maka halal dimakan kecuali hewan yang telah diharamkan oleh syari’at. Al-Majmu’, 9/26
  2. Hewan-hewan yang buruk maka haram hukumnya. Allah berfirman

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ

“dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka” QS. Al-A’raf. 157.

Syaikh Taqiyuddin al-Husainiy mencontohkan seperti ular, kala jengking, kera, kutu dan semacamnya. Kifayah al-Akhyar, 1/523

  1. Hewan air jika dia keluar dari air tidak bisa hidup kecuali seperti hidupnya hewan yang disembelih maka hukumnya halal dan tidak butuh untuk disembelih, walaupun hewan air tersebut tidak bebentuk seperti ikan, kecuali buaya, kalau buaya haram hukumnya. Kifayah al-Akhyar :1/687

Makanan yang dihalalkan oleh agama tentu memiliki guna yang bermanfaat positif bagi kelangsungan hidup jiwa ataupun karakter  manusia. Dan sebaliknya, makanan yang diharamkan memiliki efek berbahaya bagi kelangsungan hidup jiwa ataupun karakter .

ISLAM KAFFAH

45 Ribu Muslim Palestina Sholat Jumat di Masjidil Aqsa

Ribuan warga Palestina dari 1948 Menduduki Palestina, al-Quds (Yerusalem) dan Tepi Barat. Mereka melakukan shalat Jumat di Masjidil Aqsa di Al Quds yang diduduki.

Dilansir di AhlulBayt News Agency (ABNA), Sabtu (20/11), Departemen Wakaf Islam di Al Quds mengatakan sekitar 45 ribu Muslim menghadiri sholat Jumat. 

Pelaksanaan ibadah di situs suci Islam dilakukan di tengah langkah-langkah keamanan Israel yang ketat, baik di gerbang Aqsa dan di Kota Tua, yang mengarah ke situs suci. 

Mereka juga menggarisbawahi petugas polisi Israel melakukan pemeriksaan identitas atau ID semua orang yang ingin memasuki Kompleks Aqsa. 

Sebelumnya, diberitakan pemukim Yahudi, termasuk mahasiswa institut Ibrani, bersama pengawalan polisi melakukan upacara keagamaan di Masjid Al Aqsa. Mereka masuk secara berkelompok melalui Gerbang Maghariba, di saat seluruh Muslim dilarang memasuki Baitul Maqdis.  

Masjid Aqsa dilaporkan mengalami penodaan setiap hari oleh pemukim Yahudi dan pasukan polisi di pagi dan sore hari, kecuali pada Jumat dan Sabtu. 

Mereka secara rutin melakukan ritual keagamaan mereka di Al Quds, yang menurut kepercayaan Yahudi merupakan Bait Suci yang dibangun Nabi Sulaiman. 

Selain waktu tur pagi warga Yahudi, biasanya dimulai pukul 10.30 pagi, polisi Israel akan menutup Gerbang al-Maghariba. Gerbang akan dibuka kembali pada sore hari untuk ibadah malam para pemukim Yahudi.  

Selama kehadiran pemukim di dalam Kompleks Masjid, hanya jamaah Muslim yang dikenakan pembatasan atau bahkan dilarang masuk ke masjid. 

Umat Muslim diwajibkan meninggalkan kartu identitas mereka di pintu masuk dan hanya dapat mengambilnya kembali ketika meninggalkan masjid.

Sumber: abna24 

IHRAM