Mengapa Islam Membolehkan Poligami? Ini Hikmahnya

Islam membolehkan poligami.

Para fuqaha (ahli fikih) menyebutkan berbagai macam hikmah sosial maupun individual tentang diperbolehkannya poligami. Poligami dalam Islam memang dibolehkan dengan catatan hukum yang menyertainya.

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang universal yang sudah seharusnya menyiapkan perundang-undangan demi mencapai kemaslahatan. Hal ini mencakup apa saja, termasuk poligami.

Adapun hikmah di balik pembolehan poligami dalam Islam menurut para ulama adalah sebagai berikut:

Pertama, kebutuhan menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang baik secara kuantitas maupun kualitas. Agar dari mereka dapat disiapkan warga negara yang tepelajar, terdidik, dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan negara di berbagai bidang.

Kedua, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pada galibnya jumlah perempuan di semua negara lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Bahkan ada kalanya jumlah perempuan melebihi jumlah kaum laki-laki secara siginifikan.

Ketiga, potensi kebanyakan laki-laki untuk memberikan keturunan lebih besar dan lebih lama daripada yang dimiliki perempuan. Sebab pada umumnya, laki-laki tetap subur meski telah mencapai usia lanjut.

Keempat, adakalanya seorang istri dalam keadaan mandul atau sakit menahub tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan karenanya tidak dapat mengurusi rumah tangga dengan sempurna, sementara dia masih menginginkan rumah tangganya kekal.

Kelima, penyaluran hasrat seksual secara sah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hal yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Berpoligami

Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan.

 Dalam ajaran Islam, tujuan poligami adalah melindungi wanita yang rentan. Sebelum menikah dengan suami yang sudah memiliki istri, ada baiknya wanita melihat perspektif lain.

Penting bagi semua wanita mempertimbangkan berbagai faktor sebelum poligami, termasuk dampak poligami dalam kehidupan mereka. Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan dan khususnya dalam poligami.

Sebelum poligami, laki-laki diingatkan lagi tentang perlunya bersikap adil dalam keuangan, waktu, dan hal-hal lain. Jika tidak bisa adil, hukuman berat akan menanti mereka.

Penting bagi wanita Muslim mengetahui apa hak-hak khusus dan memastikan mereka tidak akan dimanfaatkan oleh pria yang berniat buruk. Khususnya, pria yang berpoligami hanya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa memenuhi kewajiban lain.

Emosi poligami

Wanita harus tahu realitas emosional kehidupan dalam poligami sangat berbeda dari teori. Ada beberapa wanita yang berpikir sebagai istri kedua, mereka secara otomatis akan menjadi istri favorit atau memiliki semacam keunggulan dibandingkan istri pertama. Ini adalah cara berpikir yang berbahaya.

Sangat tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip Islam untuk menikah dengan pria yang sudah menikah dengan tujuan menyebabkan perceraian atau menjadi istri favorit. Rasulullah bersada, “Janganlah seorang wanita menuntut cerai saudara perempuannya untuk menggantikannya dan menikah. Dia tidak dapat memiliki lebih dari apa yang ditetapkan untuknya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang wanita memilih untuk poligami, itu harus dengan tujuan baik tanpa adanya motif tersembunyi.

Emosi pria

Sama seperti wanita, pria juga memiliki emosi. Hanya karena seorang pria telah memilih menikah lagi bukan berarti dia tidak lagi mencintai istri pertamanya.

Sebelum menikah, wanita harus mengetahui detail informasi tentang suami. Misal, tentang pekerjaannya, keluarga dengan istri pertama, dan komitmen lain yang dia lakukan.

Persiapan mental struktur pernikahan poligami sangat berbeda dengan pernikahan monogami. Dalam beberapa kasus, pernikahan poligami bisa berhasil dengan adanya tanggung jawab, pemecah masalah yang baik, dan penanganan emosional yang sehat. Di samping itu, ada pula yang gagal karena pihak-pihak yang terlibat tidak dapat menangani situasi dalam jangka panjang.

Apa yang harus dilakukan seorang wanita?

Dilansir About Islam, seorang wanita yang sedang mempertimbangkan poligami harus mencoba mempersiapkan dirinya untuk berbagai kemungkinan, seperti perubahan dalam struktur hubungan yang semula disepakati hingga potensi pelanggaran hak-haknya. Selain itu, perlu juga tahu poligami tidak bisa seperti hubungan monogami yang hubungan bisa menjadi fokus utama hidupnya.
Sangat penting untuk menjaga keseimbangan emosional, baik itu dalam pekerjaan, keluarga, hobi, atau persahabatan. Pada akhirnya, kebahagiaan seorang wanita dalam poligami tergantung dari beberapa faktor.
Faktir itu, antara lain kepribadiannya dan cara menangani realitas emosional poligami, cara menyelesaikan konflik, dan usaha mempertahankan hubungannya. Tentu saja, hal terpenting yang harus diingat apakah poligami berhasil atau tidak, adalah selalu kembali kepada Allah.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 153:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Kenapa Nabi Muhammad Hijrah ke Negeri Madinah?

Hampir 13 tahun Nabi berdakwah di Mekah. Mengetuk hati penduduk Mekah untuk menerima Islam sebagai agama. Dari satu pintu ke pintu yang lain. Dari satu orang ke orang lain. Namun, dakwah Nabi tersebut juga belum membuahkan hasil yang positif.

Justru caci-maki, cemooh, dan hinaan yang diperoleh Nabi dari kaum pagan Mekah. Arogansi kaum Quraisy kian meningkat tatkala paman tercinta Nabi, Abu Thalib meninggal dunia. Orang yang senantiasa melindungi Nabi dan dakwahnya. Pun siksaaan terhadap Nabi dan sahabat lain meningkat ketika istri beliau, Khadijah berpulang ke hadirat Allah.

Eskalasi siksaan dan hinaan yang diterima kaum muslimin kian menjadi-jadi. Pada tahun ke 8 dan 10 kenabian, akhirnya Nabi berencana hijrah ke Thaif— sebuah kota dengan ketinggian 1.520  meterdari permukaan laut. Daerah Thaif sekitar 60-70 km ke arah timur laut Mekah. Thaif termasuk kota terbesar ketiga di Jazirah Arab; Mekah, Yastrib (Madinah), dan Thaif.

Sayang, harapan untuk hijrah ke Thaif tak membuahkan hasil. Kehadiran Nabi Muhammad tak diterima. Penolakan keras justru yang diterima Nabi dan sahabat lainnya. Penduduk Thaif dengan ganas melempar Nabi dengan bebatuan. Lemparan batu itu mengakibatkan pelipis Nabi berdarah.

Titik terang dakwah Nabi terjadi pada musim haji, kabilah Kharraj dan Aus—dua suku terbesar di Yastrib—, datang untuk melaksanakan haji ke Mekah.  Kabilah ini menjalin korespondensi dengan Nabi Muhammad. Hasil dari korespondensi ini berujung adanya Bait Aqabah I dan II. Perjanjian ini menjadi angin segar bagi dakwah Nabi. Pasalnya, warga Madinah banyak yang mendukung dakwah Nabi ini.

Tingginya animo masyarakat Madinah terhadap dakwah Nabi, membuat Rasulullah untuk mengirim Mush’ab bin Umair untuk menyebar luaskan Islam di Yastrib. Dan pada akhirnya, Nabi juga memutuskan untuk hijrah ke Yastrib. Hijrah ke Yastrib merupakan perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, Q.S al Ankabūt/29;56;

          يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ أَرْضِى وَٰسِعَةٌ فَإِيَّٰىَ فَٱعْبُدُونِ

Yā ‘ibādiyallażīna āmanū inna arī wāsi’atun fa iyyāya fa’budn

Artinya: Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja

Lantas muncul persoalan, kenapa Nabi memilih Hijrah ke Madinah? Bukankah sebelumnya Nabi sempat mengirim sahabat Ja’far bin Abu Thalib hijrah ke Habasah (Etiopia). Dan juga sempat mengirim Usman bin Affan untuk mencari suaka politik dari raja Habsyah—raja yang Kristen. Apa rahasianya Nabi memutuskan hijrah ke Madinah?

Dalam buku Kearifan Syariat; Menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis, dan Sosiohistoris, menyebutkan bahwa ada banyak alasan Nabi memutuskan untuk hijrah ke negeri Madinah. Pertama, karateristik penduduk Madinah yang solider dan mau menerima dakwah Nabi. Inilah tampaknya termasuk pertimbangan Nabi dalam melaksanakan hijrah.

Ajaran Islam yang komplit terkait muamalah, ekonomi, hukum, politik, dan ubudiyah mampu diterapkan di Madinah. Hal-hal ini yang dapat diperhatikan dalam kandungan yang tertuang dalam ayat-ayat Madaniyah. Sehingga peradaban Islam mampu terwujud dari Madinah. Kota yang subur dan penduduk yang ramah.

Kedua, karateristik penduduk Madinah. Karateristik penduduk Madinah terbilang penduduk yang tangkas, pemberani, kuat, mencintai kebebasan, serta konsisten dengan asas pembelaan harga diri. Masyarakat Madinah tidak mau tunduk pada perintah siapapun. Tidak pernah juga menyerahan hasil bumi mereka untuk penguasa sebagai jaminan keamananan.

Hasil bumi hanya diserahkan sebagai jamuan makan untuk tamu. Juga hasil bumi diserahkan dalam bentuk transaksi jual-beli. Di samping itu, karateristik penduduk Madinah yang memiliki tingkat solidaritas tinggi membuat sahabat Nabi yang hijrah menemukan saudara dan keluarga baru.

Ketiga, letak strategis kota Madinah. Letak geografis Yastrib (Madinah) terbilang sangat strategis. Pasalnya, daratan Yastrib didominasi oleh gurun pasir, pegunungan, vegatasi pohon kurma, dan pelbagai tanaman tebal. Wilayah ini banyak memiliki kebun kurma yang luas. Kondisi ini, mempersulit dan memperlemah musuh untuk menyerang Madinah.

Tak sampai di situ, wilayah Madinah sebelah Barat terdapat hirrah wabrah. Sedangkan pada sisi Timur terdapat hirrah waqim. Ada pun hirrah merujuk pada bebatuan hitam dan keras yang terbentuk dari aliran lahar gunung berapi. Medan lapangan ini sulit didahului oleh pejalan kaki dan juga kendaraan. Kondisi ini juga menjadi tempat strategis untuk pertahanan militer.

Keempat, Nabi Muhammad sebagai juru damai Madinah. Pasalnya sebelum Nabi hijrah ke Madinah, wilayah ini rawan konflik antar suku. Beberapa kali terjadi konflik antar suku yang berujung kematian. Suku Aus, Khazraj, dan Yahudi sering bertikai. Hingga membuat terjadi perang Buats—sekitar tahun ke lima kenabian.

Pada perjanjian Aqabah salah satu permintaan kabilah Khazraj adalah agar Nabi mau mengambil peran dalam mendamaikan suku yang berkonflik. Pasalnya, kabar tentang Nabi sebagai al Amin—terpercaya dan amanah—, tersebar hingga negeri Madinah. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, maka pelbagai suku yang berkonflik menjadi damai.

BINCANG SYARIAH

Memuliakan 10 Hari Pertama Bulan Muharam

Sebagaimana kita ketahui bahwa 10 hari yang diagungkan yaitu 10 awal Zulhijah dan 10 akhir Ramadan. Hal ini telah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin karena memang ada dalil khusus terkait hal ini. Semisal tafsir ulama dalam surat Al-Fajr, Allah berfirman,

وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar. Dan (demi) hari yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)

Para ulama menafsirkan yang dimaksud dengan hari “yang sepuluh” di sini adalah 10 awal Zulhijah atau 10 akhir Ramadan. Silahkan baca di tulisan kami sebelumnya: https://muslim.or.id/28601-10-awal-dzulhijjah-dan-10-akhir-ramadhan.html

Terkait dengan memuliakan 10 awal Muharam dengan amal saleh, terdapat atsar dari para ulama kita.

Abu ‘Ustman An-Nahdi rahimahullah berkata,

كانوا يعظمون ثلاث عشرات

العشر الأخير من رمضان

والعشر الأول من ذي الحجة

والعشر الأول من المحرم

Para salaf dahulu memuliakan tiga ‘sepuluh hari’ :

[1] sepuluh hari akhir Ramadan

[2] sepuluh awal Zulhijah

[3] sepuluh awal Muharam

(Lathaif al-Ma’arif hal 35)

Demikian juga dijelaskan oleh Al-Mawardi, beliau berkata,

أفضل المحرم اليوم العاشر وهو يوم عاشوراء ثم التاسع وهو تاسوعاء ثم العشر الأول.

Yang paling mulai dari bulan Muharam adalah hari ke-10 yaitu hari Asyura kemudian hari ke-9 yaitu hari Tasua kemudian sepuluh awal Muharam.” (Al-Inshaf 3/346)

Terkait hal ini beberapa ulama berpendapat bahwa memuliakan khusus 10 awal Muharam saja tidak sepenuhnya benar, karena hadis menyebut keutamaan bulam Muharam secara umum dan tidak ada hadis khusus yang menjelaskan keutamaan 10 awal Muharam.

Dalam Fatawa asy-Syabakiyah asuhan Syekh Abdullah al-Faqih dijelaskan,

ولم يرد حديث صحيح فيما نعلم في فضل صيام العشر الأول من محرم بمجموعها.

Tidak terdapat hadis sahih yang sepengetahuan kami yang menjelaskan keutamaan 10 awal bulan Muharam sama sekali” (Fatwa no. 43810)

Demikian juga Profesor Syekh Khalid al-Muslih hafidzahullah, beliau menjelaskan (dengan ringkasan),

“Keutamaan  bukan hanya pada 10 awal Muharram saja, akan tetapi seluruh hari-harinya. Allah menyandarkan bulan ini kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم

Sebaik-baik puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharam.” (HR. Muslim).” [Sumber: https://youtu.be/kjwZxKU0M7M]

Beberapa ulama menafsirkan surat Al-Fajr pada ayat “hari yang sepuluh” dengan tafsir bahwa itu adalah 10 awal bulan Muharam, akan tetapi tafsir ini kurang tepat. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan (dengan ringkasan),

وأفضل شهر الله المحرم عشره الأول، وقد زعم يمان بن رآب: أنه العشر الذي أقسم الله به في كتابه، ولكن الصحيح أن العشر المقسم به عشر ذي الحجة.

Yang paling mulia dari bulan Allah yaitu bulan Muharam adalah 10 awalnya. Yaman bin Ra’ab menyangka bahwa 10 hari yang Allah gunakan bersumpah dalam kitab-Nya adalah 10 awal Muharam, akan tetapi yang benar bahwa yang dimaksud adalah 10 awal Zulhijah” (Lathaif al-Ma’arif hal 39-40)

Keutamaan hari dari bulan Muharam yang ada dalilnya yaitu hari ke-9 dan hari ke-10 di mana kita disunnahkan dan lebih ditekankan untuk berpuasa, sebagaimana dalil-dalil berikut:

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari)

Dan hadis,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab, “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [HR. Muslim]

Demikian juga penekanan puasa pada hari ke-9 Muharam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jika tahun depan insyaallah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharam), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“. Akan tetapi belum tiba Muharam tahun depan hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut. [HR. Muslim. No.1134]

Kesimpulan:

  1. Terdapat beberapa atsar dari salaf tentang memuliakan 10 awal bulan Muharam dengan memperbanyak amal saleh
  1. Sebagian ulama menjelaskan tidak ada dalil khusus memuliakan 10 awal Muharam karena dalilnya umum sehingga kita memuliakan seluruh hari bulan Muharram secara umum
  1. Terdapat dalil penekanan untuk memuliakan hari ke-9 dan ke-10 dengan puasa

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68234-memuliakan-10-hari-pertama-bulan-muharam.html

Dekat Orang Saleh Bukan Jaminan Saleh? Ini Penjelasannya

Alquran menjelaskan bahwa hidayah kunci dari kesalehan seseorang

Dekat dengan orang saleh , ternyata tidak selalu membuat seseorang menjadi saleh  pula. Contoh untuk perkara ini telah dijelaskan alam Alquran.

Alquran telah memberikan contoh betapa berpengaruhnya istri terhadap kehidupan keluarga.

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“ Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (jahanam)”.” (QS At Tahrim 10)

Dalam ayat ini, Allah SWT memberikan permisalan bahwa kedekatan dengan orang saleh tidak menjadi jaminan hidayah. Ini sebagaimana yang terjadi pada istri Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS. 

Dalam kitab Al-Futuhat Al-Ilahiyyah disebutkan, ayat ini menjadi permisalan kepada Rasulullah Muhammad SAW, terkait status orang-orang kafir, yang meskipun mereka terhubung dekat dengan Rasul tetapi kedekatan mereka tak berarti apa-apa tanpa iman.   

Alquran mencontohkan istri Nabi Nuh AS yang menjadi penyebab kesesatan salah satu putranya karena telah menanamkan citra yang buruk tentang ayahnya. Akibatnya, citra Nabi Nuh pun terdistorsi di mata anaknya.

Istri Nabi Nuh AS biasa menyampaikan kepada putranya bahwa ayahnya seorang penyihir dan gila. Pikiran yang menyesatkan ini pun tertanam di benak putranya hingga dewasa. Termasuk ketika terjadi peristiwa banjir yang diabadikan dalam Alquran pada Surat Hud ayat 42-46.

Saat Nabi Nuh memanggil putranya untuk segera ikut masuk ke dalam kapal agar terhindar dari air bah, putranya menolak dan malah mencari perlindungan ke gunung hingga akhirnya dia termasuk orang yang ditenggelamkan.

Nabi Nuh memohon kepada Allah SWT sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” Allah SWT berfirman dalam surat Hud ayat 46 sebagai berikut: 

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ 

“Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”

Sementara, istri Nabi Luth, justru menjadi informan untuk kaumnya yang tidak menginginkan Nabi Luth mendapatkan tamu-tamu yang saleh dan tak lain adalah malaikat yang menjelma sebagai manusia. Setiap kali Nabi Luth mendapatkan tamu orang saleh itu, istrinya justru mengabarkannya kepada warga lain.  

قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ ۖ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ ۖ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ ۚ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۚ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ

“ Para utusan (malaikat) berkata, “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. (QS Hud 81)        

Kendati demikan, pengkhianatan yang dilakukan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tersebut menurut Ibnu Abbas bukan berupa zina, melainkan pengkhianatan dakwah. 

Kisah tersebut sekaligus menunjukkan titik lemah Islam yang bisa dimanfaatkan oleh musuh. Musuh-musuh Islam mampu menyerang gerakan-gerakan Islam melalui wanita. 

Salah satu senjata mematikan dalam perang antarnegara adalah perekrutan wanita ke dalam korps intelijen dan spionase, terutama untuk menjadi politisi dan pemimpin militer serta pengambil kebijakan negara yang strategis.

Maka tak heran bila ada negara yang mencegah pernikahan pimpinan negara atau politisi dengan wanita asing. Sebab, peran wanita dalam kehidupan pria sangatlah vital terutama dalam hal menginformasikan tentang privasi dan rahasianya, baik itu yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun pekerjaannya.

Selain itu, wanita juga memiliki peran yang besar dalam memengaruhi kehidupan keluarga secara umum dan meninggalkan jejak yang teramat jelas bagi kehidupan anak laki-laki maupun perempuan, baik dalam pendidikan moral ataupun psikologis.

Sumber: alukah 

KHAZANAH REPUBLIKA

Rezeki tak Terduga Buah Hindari Perkara Haram dan Syubhat

Abu Yaqub menghindari memakanan perkara yang haram dan syubhat

Allah SWT akan memberikan sesuatu yang lebih baik kepada hambanya ketika hambanya mampu menahan dari perkara haram dan syubhat (belum jelas statusnya). 

Pengalaman menahan diri dari barang syubhat dialami Syekh Abu Ya’qub Basri. Dikisahkan Syekh Maulana Muhammad , mengisahkan, suatu ketika Syekh Ya’qub sedang di Masjidil Haram dan dia mengalami kelaparan selama 10 hari sehingga dia sangat lemah.  

“Hatinya memaksa untuk keluar dari Masjidil Haram dan tebersit dalam pikirnya barangkali ketika keluar dia akan mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan,” tulis Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Haji. 

Setelah keluar, Abu Ya’qub mendapat makanan sejenis lobak yang telah dibuang ke tanah. Dia pun mengambilnya, tetapi dia rasakan di dalam hatinya perasaan tidak enak. 

“Dalam hatinya seperti berkata sudah 10 hari kelaparan dan akhirnya hanya mendapatkan makanan sejenis lobak yang sudah hampir busuk.” 

Oleh karena itu dia membuangnya dan kembali ke masjid. Ketika dia sedang duduk di dalam masjid, muncullah seorang yang tidak dia kenal mendatanginya dan meletakkan sebuah tas di hadapannya sambil berkata.

“Ambillah ini di dalamnya ada kantong kulit kecil yang berisi 500 dinar. Aku telah bernazar untuk memberikannya kepadamu.” Abu Yaqub bertanya. “Tetapi mengapa khusus untukku?  

Orang yang memberi tas itu menceritakan, bahwa selama 10 hari dia bersama rombongan tersesat di lautan sehingga kapal yang ditumpangi hampir tenggelam. Pada waktu itu setiap orang di antara mereka bernazar 

“Aku bernazar kepada Allah jika Dia menyelamatkan aku, aku akan memberikan uang ini kepada orang yang pertama kali aku lihat di antara orang-orang yang di Makkah. Maka Allah menyelamatkan kami, dan engkau adalah orang yang pertama kali aku lihat di Kota Makkah.” 

Syekh Abu Ya’qub meminta orang itu membuka tasnya. Dan terlihat di dalamnya ada gula putih, roti, buah badam yang telah terkelupas dan gula merah. Lalu Abu Yaqub mengambil segenggam dari masing-masing makanan itu. 

“Sisanya aku kembalikan. Aku telah menerima hadiah ini akan tetapi ambillah kembali makanan itu, dan bagikanlah kepada anak-anakmu.”

Dalam hati Abu Ya’qub berkata kepada dirinya sendiri  “Sungguh aneh kamu ini, rezeki sedang di antar kepadamu sejak 10 hari yang lalu, dan kamu di sini sibuk mencarinya.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Berpuasa Asyura Tanpa Puasa Tasu’a, Apakah Boleh?

Sudah maklum bahwa di bulan Muharram, kita dianjurkan untuk berpuasa di hari Tasu’a dan hari Asyura. Namun terdapat sebagian orang yang hanya mampu dan ingin berpuasa di Asyura saja. Ia hanya mencukupkan puasa di hari Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a. Bagaimana hukum berpuasa hanya di hari Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a, apakah boleh?

Menurut para ulama, mencukupkan diri dengan puasa Asyura tanpa puasa di hari Tasu’a hukumnya adalah boleh dan sah. Puasa Asyura boleh dan sah dilakukan hanya di tanggal 10 Muharram saja, meskipun tanpa didahului dengan puasa di hari Tasu’a atau tanggal 9 Muharram, dan hari-hari sebelumnya. Ini karena keabsahan puasa Asyura tidak tergantung dengan puasa di hari Tasu’a dan puasa di hari-hari sebelumnya.

Meski boleh dan sah berpuasa hanya di hari Asyura saja, namun dianjurkan agar puasa hari Asyura didahului dengan puasa di hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, dan diiringi puasa di hari setelahnya, yaitu tanggal 11 Muharram.

Menurut para ulama, ada tiga tingkatan dalam pelaksanaan puasa di hari Asyura. Pertama, puasa Asyura didahului puasa di hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, dan diiringi puasa di hari setelahnya, yaitu tanggal 11 Muharram. Kedua, puasa Asyura hanya didahului puasa di hari sebelumnya tanpa diiringi puasa di hari setelahnya. Ketiga, hanya berpuasa di hari Asyura.

Di antara tiga tingkatan tersebut, tingkatan pertama adalah pelaksanaan yang paling sempurna, lalu diiringi tingkatan kedua, dan terakhir tingkatan ketiga. Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Zadul Ma’ad berikut;

فمراتب صومه ثلاثة: أكملها أن يصام قبله يوم وبعده يوم، ويلي ذلك أن يصام التاسع والعاشر وعليه أكثر الأحاديث، ويلي ذلك إفراد العاشر وحده بالصوم

Adapun tingkatan puasa Asyura ada tiga; Yang paling sempurna adalah didahului puasa di hari sebelumnya dan diiringi puasa di hari setelahnya. Lalu diikuti dengan puasa di tanggal 9 dan 10 (Muharram) saja, dan ini yang banyak disebut dalam hadis. Kemudian diikuti dengan hanya berpuasa di tanggal 10 (Muharram) saja.

Dengan demikian, berpuasa hanya di hari Asyura hukumnya boleh dan sah. Hanya saja meski boleh, namun sebaiknya puasa Asyura didahului puasa di hari sebelumnya dan di hari sesudahnya, atau hanya didahului puasa di hari sebelumnya.

BINCANG SYARIAH

Hukum Puasa Asyura Saat Punya Utang Ramadhan

Dalam hal ini ulama empat mazhab tidak dalam satu suara.

Tahun baru Hijriyah akan tiba yang dimulai dengan Muharram sebagai bulan pertama. Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah. Dalam bulan ini, umat Islam bisa melakukan banyak ibadah, salah satunya puasa sunnah Asyura.

Namun, apakah dibolehkan menjalani puasa Asyura saat masih memiliki utang puasa Ramadhan? Peneliti Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Zarkasih mengatakan dalam bukunya Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi, dalam hal ini ulama empat mazhab tidak dalam satu suara.

Pendapat pertama adalah pendapat mazhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah. Mereka mengizinkan menjalankan puasa sunnah walaupun masih mempunyai utang puasa Ramadhan. Pendapat tersebut berdasarkan pada ibadah qadha’ Ramadhan hukumnya wajib tapi bersifat ‘ala al-tarakhi yang berarti boleh menunda.

Waktu qadha’ Ramadhan panjang, sejak masuk bulan Syawal sampai berakhirnya bulan Sya’ban sehingga kewajiban Ramadhan bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-faur (bersegera), tapi boleh menunda karena waktunya panjang.

Dalam ilmu ushul fiqh, ini disebut wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya.

Pendapat kedua adalah pendapat mazhab al-Malikiyah. Mereka berpendapat puasa sunnah makruh hukumnya jika orang itu masih memiliki utang Ramadhan. Ini berarti masih tetap boleh menjalankan puasa dan sah puasanya tapi akan lebih baik jika dikerjakan yang wajib dulu, yairu qadha’ Ramadhan.

Pendapat ketiga merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni kesunahan puasa hanya berlaku bagi mereka yang sudah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna. Jadi, mereka yang masih punya utang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, malahan itu menjadi keharaman.

Artinya orang yang berpuasa sunnah baik itu Syawal atau puasa sunnah lain sedangkan masih mempunyai utang Ramadhan dia berdosa dan puasa sunnahnya tidak sah. Ini berdasarkan pada salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa tersebut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa Ramadhannya,” (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya).

Namun, hadits tersebut berstatus matruk, salah satu bagian dari hadits dhaif. Oleh karena itu tidak bisa berpendapat dengan hadits itu karena kedhaifannya. Kedhaifan hadits ini sudah diakui oleh para ulama mazhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka seperti Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnu.

Meskipun keempat mazhab berbeda pendapat, semua ulama dari kalangan empat mazhab itu sepakat untuk menyegerakan yang wajib. Sebab, ibadah wajib sangat dianjurkan dan menunda-nunda kewajiban bukan sifat Muslim yang baik.

KHAZANAH REPUBLIKA

Waktu Puasa Tasu’a dan Asyuro Jatuh pada 18-19 Agustus

Pelaksanaan ibadah sunnah puasa Tasu’a dan Asyuro yaitu pada 9-10 Muharram 1443 H bertepatan pada tanggal 18-19 Agustus 2021.

Nabi Muhammad pada masa awal Islam mengeluarkan perintah kepada umatnya untuk berpuasa Asyura. Setelah datang perintah puasa Ramadhan, Nabi SAW mempersilahkan kepada umatnya yang ingin berpuasa pada Hari Asyura, dan siapa yang tidak mengerjakannya tidak apa-apa.

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Orang-orang melaksanakan puasa hari ke-10 bulan Muharam (Asyura) sebelum diwajibkan puasa Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka’bah ditutup dengan kain (kiswah). Ketika Allah SWT telah mewajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang mau puasa Hari Asyura, laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah!'” (HR Bukhari)

Untuk niat puasa Tasu’a, yaitu “Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû’â lillâhi ta‘âlâ. Artinya, “Aku berniat puasa sunah Tasu’a pada besok hari karena Allah ta’ala.

Untuk niat puasa Asyuro, yakni “Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ. Yang artinya ialah “Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT.”

Syekh Salim bin Ied al-Hilali, dalam ‘Ensiklopedi Larangan Menurut al-Quran dan as-Sunnah,’ yang diterjemahkan Abu ihasan al-Atsari, menjelaskan, Imam at-Turmudzi berpendapat, dalam pandangan ulama, bahwa untuk puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar. Hal ini juga menjadi pendapat Imam Asy-Syafii, Ahmad dan Ishaq.

Sedangkan untuk puasa wajib, harus sudah berniat sebelum terbit fajar. Jika niatnya setelah fajar terbit, maka sama saja tidak berpuasa. Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat sebelum terbit fajar pada bulan Ramadhan atau qadha puasa Ramadhan atau puasa nadzar.

IHRAM

Berharap Bahagia Saat ‘Berjumpa’ dengan Allah

SETIAP orang beriman, pasti memiliki keinginan, dan cita mulia, serta harapan yang diidam-idamkan. Ketika Allah ‘azza wa jalla memanggil ke haribaanNya, ia dalam keadaan suka cita nan bahagia.

Allah ridha menerimanya, dan ia pun ikhlas berserah diri menghadapNya. Itulah buah kepasrahan dan keyakinan akan indahnya sebuah “perjumpaan” dengan segala bekal yang telah dipersiapkan tentunya.

Pantaslah Rasulullah ﷺ mengajarkan do’anya untuk kita:

إِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ.

“Sesungguhnya adalah hak Allah untuk mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah (dengan sebab musibah itu).” (HR: Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923).

Sejenak, diri ini teringat, saat orang dekat dan sahabat menasihati dengan tulusnya. “Kita tak pernah tahu dengan cara apa Allah ‘azza wa jalla memanggil kita pulang, tapi Allah tetap akan menanyakan sekuat apa dan seperti apa ikhtiar kita; berusaha untuk tetap sehat, dan berupaya untuk tetap bertahan.”

Dalam kondisi seperti ini, kita hanya bisa berdo’a: “Ya Allah berikan hamba jiwa raga yang nyaman dan tenang untuk bisa diajak beribadah hingga hamba dipanggil olehMu. Tak mengapa terasa sakit badan ini, namun berikan kekuatan pertolongan dari sisiMu yaa Allah, kalau waktu ibadah menyeru hamba, lenturkanlah badan ini untuk bisa berdiri tegap dengan nikmat menyambut ajakanMu, ajakan untuk ruku’ dan sujud padaMu.”

Karenanya, betapa agung dan utamanya apabila diri ini memiliki sikap husnuz zhan billaah, yakni selalu berbaik sangka pada Allah ‘azza wa jalla. Tidaklah segala sesuatu yang terjadi, melainkan Dialah Dzat yang Maha mengetahui.

Semakin kita berbaik sangka pada Tuhanmu, maka Tuhanmu akan semakin sayang padamu. Kasih sayangNya tak terbatas, sedangkan kasih sayang makhluk-Nya sangat terbatas.

“Peliharalah bahagia walau sedikit, niscaya akan menyelamatkanmu. Buanglah luka jiwa walau sedikit, karena ia akan mencederai jiwa seumur hidupmu.  Tak ada jalan lain yang lebih menentramkan selain wajib bersabar dan memupuk rasa bersyukur,” demikian kata Imam Ibnu Qayyim dalam Muqaddimah ‘Iddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin (2010).

Apabila dihubungkan dengan taqdir, sabar dan syukur tetap menjadi kuncinya. Allah ‘azza wa jalla menjadikan kesabaran sebagai kuda handal yang tak akan terjungkal, sebagai pedang tajam yang tak akan tumpul, sebagai pasukan yang tak akan kalah, dan sebagai benteng kokoh yang tak akan retak dan roboh.

Demikian pula dengan syukur, ia selalu menghiasi seseorang dari segala bentuk kekurangannya. Taqdir hubungannya dengan Dzat yang Maha pencipta, sabar dan syukur adalah bentengnya ikhtiar manusia.

Menarik apa yang dituturkan Imam Al-Mawardi, sehubungan dengan hal ini:

إنك إن صبرت جرى عليك القلم و انت مأجور، و إن جزعت جرى عليك القلم و انت مأزور

“Jika engkau bersabar, taqdir tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala atas kesabaranmu. Sementara jika engkau berkeluh kesah, taqdir juga akan tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan dosa atas keluh kesahmu.” (Lihat: Adabud Dunya wa ad-Din, hlm. 288).

Kembali ke persoalan akhir kehidupan, di mana kecintaan Allah ‘azza wa jalla saat dijumpai oleh seseorang di masa wafatnya, sangat tergantung pada seberapa jauh orang tersebut menunjukkan rasa cinta dan bahagia ketika menghadap Rabb-nya. Rasulullaah  ﷺ menuturkan dalam sabdanya:

من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ومن كره لقاء الله كره الله لقاءه. قالت عائشة أو بعض أزواجه إنا لنكره الموت قال ليس ذاك ولكن المؤمن إذا حضره الموت بشر برضوان الله وكرامته فليس شيء أحب إليه مما أمامه فأحب لقاء الله وأحب الله لقاءه وإن الكافر إذا حضر بشر بعذاب الله وعقوبته فليس شيء أكره إليه مما أمامه كره لقاء الله وكره الله لقاءه

“Siapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya siapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, Allah pun membenci perjumpaan dengannya.” Dengan cepat ‘Aisyah [atau sebagian isteri beliau] berkomentar: “kami juga cemas terhadap kematian!” Nabi pun langsung bertutur: “Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamahNya, sehingga tak ada sesuatu apa pun yang lebih ia cintai dari pada apa yang ada di hadapannya, sehingga ia begitu mencintai berjumpa dengan Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa dengannya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukumanNya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan dari pada apa yang ada di hadapannya, ia membenci berjumpa dengan Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallaahu ‘anh dan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa. Fathul Bari, no. 6142)

Hanya Allah-lah yang Maha segalanya, kita berharap Dia menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang bahagia ketika menyambut “panggilanNya”. Wahai ikhwah, masih ingatkah orang-orang bijak mengingatkan … “Kehidupan ini laksana cerita pendek, kita berharap agar kita tidak berhenti pada episode yang menyedihkan.”. Amin.*/Teten Romly Qomaruddien

HIDAYATULLAH