Inilah Kisah Senda Gurau-nya Rasulullah ﷺ

KISAH senda gurau Rasulullah ﷺ bisa menjadi pelajaran dan iktibar untuk semua. Yang Mulia Nabi Muhammad ﷺ bergaul dengan semua orang. Beliau selalu menerima budak, orang buta, orang miskin hingga anak-anak.

Beliau bercanda dengan anak kecil, bermain dengan mereka dan bercanda dengan orang tua. Namun Rasulullah ﷺ tidak mengatakan kecuali yang benar dan yang benar.

Yuk ikuti kisah senda gurau Rasulullah ﷺ dengan tiga wanita berikut ini:

Pertama, kisah seorang wanita dengan bayi unta

Suatu hari, seorang wanita ingin menunggangi untanya. Karena unta itu besar, sulit baginya untuk menungganginya. Ia pun mencoba menaiki tubuh unta-nya dengan segala upaya tetapi tetap tidak berhasil juga.

Kemudian wanita itu datang kepadanya dan berkata, “Ya Rasulullah! Bantu aku memanjat tubuh unta ini.”

“Aku akan menaikkanmu ke atas anak unta,” kata Nabi.

“Dia tidak mampu,” kata wanita itu.

“Tidak! Aku akan menaikkanmu ke atas anak unta,” kata Rasulullah.

“Tidak akan bisa,” ulangi wanita itu lagi.

Para Sahabat yang ada di sana berkata, “Bukankah unta itu juga bayi unta?”

Kedua, kisah wanita bermata putih

Pada kesempatan lain, seorang wanita datang kepada Rasulullah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Suami saya sakit. Dia memanggilmu.”

Dia kemudian bertanya: “Siapa suamimu? Apakah dia yang matanya putih?”

Wanita itu tetap menolak dengan berkata: “Demi Allah! Tidak.”

“Semoga suamimu yang dalam matanya putih,” kata Rasulullah ﷺ

Wanita itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan nada heran, “Kenapa kamu ini?”

Rasulullah ﷺ memberitahu bahawa dalam matamu putih,” kata isterinya menerangkan.

“Bukankah semua mata ada warna putih?”kata suaminya.

Sebenarnya Rasulullah ﷺ bergurau dan apa yang dimaksudkan oleh Baginda ialah putih yang mengelilingi mata yang hitam itu.

Ketiga, kisah seorang wanita dengan orang tuanya yang tidak masuk Surga

Dikisahkan juga bahwa seorang wanita tua sedang mendekati Rasulullah ﷺ. Dan wanita itu berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar saya dimasukkan ke Surga. ”

“Wahai Ummi Fulan! Surga tidak dimasuki oleh orang tua,” kata Rasulullah berkata tegas.

Mendengar penjelasan Rasulullah ﷺ  wanita tua itu langsung menangis. Rasulullah menjelaskan, “Tidakkah kamu membaca firman Allah ini, Allah انه ال berfirman:

Di mana mereka memunggungi, dan apakah mereka memunggungi pegunungan?

إِنَّآ أَنشَأْنَٰهُنَّ إِنشَآءً
فَجَعَلْنَٰهُنَّ أَبْكَارًا
عُرُبًا أَتْرَابًا

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan yang istimewa, dan Kami menjadikan mereka selalu perawan (yang belum pernah dijamah), yang masih mencintai pasangannya, dan yang seusia.” (QS: Al-Waqiah;  35- 38).

Ketiga wanita dalam cerita di atas, pada awalnya bingung tetapi setelah mengamati perkataan para sahabat, barulah mereka mengetahui arti sabda Nabi Muhammad ﷺ. Dan memahami bahwa Rasulullah hanya ingin bercanda , menyebabkan ketiga wanita itu tersenyum dan menghibur hati mereka.*

Rep: Admin Hidcom

Sejarah Karbala dalam Pandangan Ahlus Sunnah

MASIH banyak kaum muslimin di negeri ini yang belum memahami peristiwa syahidnya Husein bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ di Padang Karbala dengan benar. Sebagian kaum muslimin menjadikan tulisan orang-orang Syiah tentang peristiwa Karbala ini sebagai rujukan.

Maka penting sekali untuk kita kaji peristiwa Karbala ini dalam perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, agar kita mengetahui yang sebenarnya dengan menjadikan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai rujukan.

Penyebab Husein Bin Ali Berangkat ke Iraq

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Iraq mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Maka orang-orang Iraq mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya.

Penduduk Iraq tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Makkah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini.

Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhilafahan Bani Umayyah di Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Iraq dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhilafahan.

Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang semua kabar yang beredar.

Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi ﷺ), Hani bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya Muslim bin Aqil bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.

Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut pembela Husein ini.

Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, hingga ketika matahari hampir terbenam, yang tersisa hanya tinggal Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun akhirnya ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad.

Isi surat Muslim kepada Husein adalah :

“Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Para pendusta itu tidak memiliki prinsip, pandangan dan komitmen dalam perjuangan ini.”

Muslim bin Aqil pun dibunuh pada Hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah tahun 60 H. Husein berangkat dari Makkah menuju Kufah di hari tarwiyah.

Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad Al-Hanafiyah dll.

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

“Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai pembelamu di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu -Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, “Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan, mereka sangat mudah sekali berubah. Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang, mereka semua adalah penakut”.”

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi ﷺ. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beliau antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian wahai Ahlul Bait dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”.

Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Iraq keliru, dan ia hendak pulang menuju Makkah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami.”

Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim. Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah.

Bertemulah Al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku.”

Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiyallahu ‘anha.”

Detik-detik Syahidnya Hussein di Karbala

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan bala! (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiyallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.

Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Sa’ad. Ternyata Ubaidullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Iraq. Kemudian 30 orang pasukan Iraq dipimpin oleh Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein.

Peperangan di Karbala yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad ﷺ.

Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzil Jausyan -semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein hingga terjatuh, lalu orang-orang mengeroyoknya. Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya.

Ada yang mengatakan Amr bin Dzil Jausyan lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang memenggal kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu kita ketauhi bahwasanya Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzil Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan Ahlul Bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya.

Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah :

  1. Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
  2. Anak-anak Husein bin Ali: Ali Al-Akbar dan Abdullah.
  3. Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
  4. Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
  5. Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bawasanya Jibril datang kepada Nabi yang mulia ﷺ, Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu Ash-Shahabah).

Sikap Para Sahabat terhadap Kepergian Husein ke Iraq

Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein radhiyallahu ‘anhu yang keluar menuju Iraq. Oleh karena itu, banyak Sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Iraq.

Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezhaliman dan kesombongan orang-orang Kufah terhadap Ahlul Bait Nabi ﷺ.

Sekiranya Husein radhiyallahu ‘anhu menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya.

Sikap Kita

Kematian Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah kesedihan. Natum tidak boleh diratapi dengan memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya apalagi dengan melukai diri. Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlah bagian dari umatku, orang yang menampar-nampar pipi (ketika ditimpa kematian), merobek-robek baju dan meratapi mayat sebagaimana ratapannya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah kematian hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِله وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah (2) : 155)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far Ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far rahimahumullahu ta’ala, para imam dari kalangan Ahlul Bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka. Atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.

Kita tidak sama dengan orang-orang yang mengaku Syiah (atau mengaku sebagai pembela Husein), pada hari ini. Di mana merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein.

Posisi Yazid bin Muawiyah dalam Peristiwa Karbala 

Dalam permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Kita mengatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,  Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Iraq.

Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan Ahlul Bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah ﷺ).

Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Makkah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Iraq. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Iraq dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka.

Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein wafat di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya. Wallahu Ta’ala A’lam.*

Penulis pengkaji dan pemerhati sejarah peradaban Islam, pendiri PP Darul Iman Bandung Barat. Sumber diambil dari Kitab Hiqbah min At-Tarikh (Syeikh Dr. Utsman Al-Khamis), Mausu’ah Al-Hasan wa Al-Husain Radhiyallahu ‘Anhuma,  (Dr. Hasan Al-Husain) dan  Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir)

HIDAYATULLAH

Cinta Tanah Air adalah Tabiat dan Fitrah Manusia

Siapa yang tidak cinta dengan tanah air (tanah kelahiran)? Tempat melalui masa kecil yang indah. Tempat dengan penuh kenangan. Tempat di mana masih banyak keluarga serta kerabat yang menyayangi kita. Semua manusia secara tabiat dan fitrahnya, akan cinta dengan tanah airnya.

Syekh Al-Albani rahimahullah mengutip perkataan Ash-Shagani rahimahullah dan yang lainnya, untuk menjelaskan hal ini,

إذ إن حب الوطن كحب النفس، والمال، ونحوه، كل ذلك غريزي في الإنسان، لا يمدح بحبه، ولا هو من لوازم الإيمان؛ ألا ترى أن الناس كلَّهم مشتركون في هذا الحب، لا فرق في ذلك بين مؤمنهم وكافرهم

Jadi, cinta tanah air itu sebagaimana cinta terhadap jiwa, cinta terhadap harta, dan semisalnya. Semua ini adalah tabiat (fitrah) pada manusia. Tidak dipuji karena cinta ini saja (secara syariat cinta ini wajar dan hukum asalnya tidak bernilai ibadah, pent.), tidak pula termasuk dari konsekuensi iman (bagian dari iman). Tidakkah engkau melihat semua manusia memiliki kesamaan dalam cinta ini (cinta tanah air)? Tidak ada perbedaan antara muslim dan kafir (mereka semua cinta tanah air).” (Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, lihat hadis no. 36)

Cinta tanah air sebagaimana cinta pada harta, istri, anak-anak, dan lain-lain merupakan fitrah serta tabiat manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Kecintaan Rasulullah kepada Tanah Airnya di Kota Mekah

Berikut beberapa dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun cinta dengan tanah airnya yaitu kota Mekah. Beliau menunjukan kesedihan yang mendalam saat harus meninggalkan tanah air kota Mekah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allah, sungguh engkau (wahai Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan yang paling dicintai oleh-Nya. Sekiranya bukan karena aku diusir dari engkau, tentu aku tidak akan keluar meninggalkan engkau.” (HR. Ahmad)

Demikian juga tatkala sampai di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa kepada Allah Ta’ala agar memberikan rasa cinta kepada kota Madinah sebagaimana cinta beliau terhadap tanah air Mekah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,

اللهم حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“‘Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah, sebagaimana kecintaan kami kepada Mekah atau lebih.” (HR. Bukhari)

Hadis Palsu “Cinta Tanah Air Bagian dari Iman” dan Penjelasannya

Terdapat hadis palsu yang menyebar di masyarakat yang berbunyi,

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

Cinta tanah air termasuk iman.

Ahli hadis Syekh Al-Albani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu dan maknanya juga tidak tepat. Beliau rahimahullah berkata,

موضوع، كما قال الصغاني وغيره، ومعناه غير مستقيم

(Ini) hadis palsu, sebagaimana dikatakan oleh Ash-Shagani dan yang lainnya. Maknanya juga tidak benar.”  (Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, lihat hadis no. 36)

Syekh Muhammad bin Shalih  al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hadis itu adalah dusta. Yang benar, kita cinta tanah air apabila tanah air kita adalah negara Islam di mana syiar-syiar Islam tampak di negara tersebut. Beliau rahimahullah berkata,

وأن ذلك حديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كذب. حب الوطن إن كان إسلاميًا فهذا تحبه لأنه إسلامي، ولا فرق بين وطنك الذي هو مسقط رأسك أو الوطن البعيد عن بلاد المسلمين كلها وطن إسلامي يجب أن نحميه. على كل حال؛ يجب أن نعلم أن النية الصحيحة هي أن نقاتل من أجل الإسلام في بلدنا أو من أجل وطننا لأنه إسلامي لا لمجرد الوطنية

Bahwa (menyatakan) hadis tersebut adalah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kedustaan. Cinta tanah air, apabila tanah air tersebut adalah negara Islam, maka Engkau mencintainya karena itu merupakan negara Islam. Tidak ada  perbedaannya antara tanah airmu yang merupakan tanah kelahiranmu atau negara lain yang jauh (yang merupakan) negeri kaum muslimin. Semuanya negara Islam, maka kita wajib menjaga dan melindunginya. Perlu diketahui bahwa niat yang benar adalah kita membela tanah air karena Islam ada di negara kita, atau karena negara kita adalah negara Islam, bukan semata-mata karena rasa cinta tanah air saja.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 56)

Indonesia adalah Negara dengan Syiar-Syiar Islam yang Tampak

Alhamdulillah, negara kita adalah negara dengan syiar-syiar Islam yang tampak dan penduduknya mudah melakukan berbagai macam ibadah. Mudah melakukan salat berjamaah di masjid. Mudah melakukan salat ‘id. Mudah memakai jilbab dan niqab. Mudah melakukan berbagai macam aktivitas keagamaan. Hal ini membuat kaum muslimin semakin cinta dengan tanah air. Betapa banyak yang merantau di luar negeri, ketika ada momen hari raya idul fitri dan idul adha, mereka sangat rindu dengan suasana tanah air.

Sangat banyak ulama yang menjelaskan bahwa kita harus bersemangat melakukan kebaikan untuk negara Islam serta menjaga kestabilan, membela, dan menjaganya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

أما الوطن فيحب إن كان إسلاميًا، وعلى الإنسان أن يشجع على الخير في وطنه وعلى بقائه إسلاميًا، وأن يسعى لاستقرار أوضاعه وأهله وهذا هو الواجب على كل المسلمين

Adapun tanah air, apabila merupakan negara Islam (tampak syiar-syiar Islam), maka wajib bagi rakyatnya untuk bersemangat melakukan kebaikan untuk tanah airnya dan untuk kelestariannya (agar) tetap menjadi negara Islam. (Dan wajib) berusaha untuk menjaga kestabilan situasi keadaan dan penduduknya. Hal ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat, 9: 317)

Jangan Sampai Cinta Tanah Air Mengalahkan Cinta terhadap Agama

Para ulama mengingatkan agar jangan sampai cinta hal-hal dunia mengalahkan cinta terhadap agama, termasuk cinta terhadap tanah air. Maksudnya adalah melakulan hal-hal yang dilarang agama demi tanah air.

Allah Ta’ala menurunkan ayat terhadap orang-orang yang tidak mau hijrah dengan alasan cinta tanah air. Di mana kondisi di saat itu adalah mengharuskan hijrah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya (kepada mereka), ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Mereka itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An-Nisa’: 97-98)

Bukan hanya cinta tanah air, bahkan cinta kepada orang tua, ayah, ibu, saudara dan kerabat jangan sampai mengalahkan cinta terhadap agama. Artinya karena cinta kepada mereka, kita melakukan hal yang dilarang agama.

Allah Ta’ala berfirman,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu merupakan bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.“ (QS. Al-Mujadilah: 22)

Semoga Allah menjaga negara Indonesia kita tercinta. Aamiin …

***

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68269-cinta-tanah-air-adalah-tabiat-dan-fitrah-manusia.html

Bukan Sekadar Mengingat Allah

Sering disampaikan dalam pengajian bahwa seorang hamba yang selalu mengingat Allah, maka Allah akan ingat kepada hamba tersebut. Mengingat Allah di sini tidak hanya sekedar ingat saja dalam pikiran, tatapi bentuk ingat kepada Allah tersebut diungkapkan dengan zikir dalam hati dan perbuatan yang bernilai ibadah.

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ

Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (QS Al-Baqarah: 152).

Dalam Tafsir Ringkas Kementerian Agama, dijelaskan maksud ayat tersebut. Yakni atas semua kenikmatan yang didapatkan manusia itu, Allah menyuruh kaum Muslim untuk selalu mengingat-Nya. Maka ingatlah kepada-Ku, baik melalui lisan dengan melafalkan pujian, melalui hati dengan mengingat kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, maupun melalui fisik dengan menaati perintah Allah.

Jika kamu mengingat-Ku, Aku pun pasti akan ingat kepadamu dengan melimpahkan pahala, pertolongan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bersyukurlah juga kepada-Ku atas nikmat-Ku dengan menggunakannya di jalan-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku, kepada nikmat-nikmat-Ku, dan jangan mempergunakannya untuk berbuat maksiat.

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, dengan nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum Muslimin, hendaklah mereka selalu ingat kepada-Nya, baik di dalam hati maupun dengan lisan, dengan cara membaca tahmid (alhamdulillah), tasbih (subhanallah), dan membaca Alquran dengan cara memikirkan alam ciptaan-Nya untuk mengenal, menyadari dan meresapi tanda-tanda keagungan, kekuasaan dan keesaan-Nya.

Apabila mereka selalu mengingat Allah, Dia pun akan selalu mengingat mereka pula. Hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah dianugerahkan-Nya dengan jalan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya dan dengan jalan memuji, bertasbih dan mengakui kebaikan-Nya. Di samping itu, janganlah mereka mengkufuri nikmat-Nya dengan menyia-nyiakan dan mempergunakannya di luar garis-garis yang telah ditentukan-Nya.

IHRAM

Manusia Diberi Pahala Lebih, Ini Penjelasannya

Alquran menerangkan bahwa manusia akan diberi pahala lebih.

Alquran menerangkan, manusia akan diberi pahala lebih dari sesuatu yang dikerjakannya. Namun, manusia akan diberi hukuman seimbang atas kejahatan yang dilakukannya.

Menurut Tafsir Kementerian Agama, manusia diuntungkan karena akan mendapatkan pahala lebih banyak dari suatu kebaikan yang dikerjakannya. Sementara, manusia akan dihukum sesuai dengan kejahatan yang dikerjakannya, artinya hukumannya tidak diperberat atau diringankan.

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 286)

Terkait ayat ini, Tafsir Kementerian Agama menerangkan, dalam mencapai tujuan hidup, manusia diberi beban oleh Allah sesuai kesanggupannya. Mereka (manusia) diberi pahala lebih dari yang telah diusahakannya, dan mendapat siksa seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

Amal yang dibebankan kepada seseorang hanyalah yang sesuai dengan kesanggupannya. Agama Islam adalah agama yang tidak membebani manusia dengan beban yang berat dan sukar. Mudah, ringan dan tidak sempit adalah asas pokok dari agama Islam.

Dalam surah dan ayat lain, dijelaskan bahwa Allah tidak menjadikan kesukaran untuk kamu dalam agama. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Kemudian Allah menerangkan hasil amalan yang telah dibebankan dan dilaksanakan oleh manusia, yaitu amal saleh yang dikerjakan mereka. Maka balasannya akan diterima dan dirasakan oleh mereka berupa pahala dan surga.

Sebaliknya perbuatan dosa yang dikerjakan oleh manusia, maka hukuman akibat mengerjakan perbuatan dosa itu akan dirasakan dan ditanggung pula oleh mereka, yaitu siksa dan azab di neraka.

Ayat ini mendorong manusia agar mengerjakan perbuatan yang baik serta menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan agama. Ayat ini memberi pengertian bahwa perbuatan baik itu adalah perbuatan yang mudah dikerjakan manusia karena sesuai dengan watak dan tabiatnya, sedang perbuatan yang jahat adalah perbuatan yang sukar dikerjakan manusia karena tidak sesuai dengan watak dan tabiatnya.

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci dan telah tertanam dalam hatinya jiwa ketauhidan. Sekalipun manusia oleh Allah diberi potensi untuk menjadi baik dan menjadi buruk, tetapi dengan adanya jiwa tauhid yang telah tertanam dalam hatinya sejak dia masih dalam rahim ibunya, maka tabiat ingin mengerjakan kebajikan itu lebih nyata dalam hati manusia dibanding dengan tabiat ingin melakukan kejahatan.’

Setelah disebutkan sifat-sifat orang yang beriman dan menyebutkan karunia yang telah dilimpahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tidak membebani hamba dengan yang tidak sanggup mereka kerjakan, maka Allah mengajarkan doa agar diampuni dari segala dosa karena mengerjakan perbuatan terlarang disebabkan lupa, salah atau tidak disengaja.

Doa yang diajarkan kepada kita bukanlah sekadar untuk dibaca dan diulang-ulang lafaznya saja, melainkan maksudnya ialah agar doa itu dibaca dengan tulus ikhlas dengan sepenuh hati dan jiwa, di samping melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sesuai dengan kesanggupan hamba itu sendiri.

Doa erat hubungannya dengan tindakan dan perbuatan. Tindakan dan perbuatan erat pula hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Sebab itu orang yang berdoa belumlah dapat dikatakan berdoa, bila ia tidak mengerjakan perbuatan yang harus dikerjakan serta menjauhi larangan yang harus ditinggalkan.

Berbuat dan beramal haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan. Ada amal yang sanggup dikerjakan dan ada amal yang tidak sanggup dikerjakan, ada amal yang dikerjakan dengan sempurna dan ada pula amal yang tidak dapat dikerjakan dengan sempurna. Untuk menyempurnakan kekurangan ini, Allah mengajarkan doa kepada hamba-Nya. Dengan kata lain, doa itu menyempurnakan amal yang tidak sanggup dikerjakan dengan sempurna.

Dari doa itu dipahami bahwa pada hakikatnya perbuatan terlarang yang dikerjakan karena lupa atau salah dan tidak disengaja, ada juga hukumannya. Hukuman itu ditimpakan kepada pelakunya. Karena itu Allah mengajarkan doa tersebut kepada hamba-Nya agar dia terhindar dari hukuman itu.

Setelah diajarkan doa untuk meminta ampun kepada Allah dari segala perbuatan yang dilakukannya karena lupa dan tidak sengaja, maka diajarkan juga doa yang lain untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang berat sebagaimana yang telah dibebankan kepada orang-orang dahulu.

Kemudian diajarkan lagi doa untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang tidak sanggup dipikulnya.

Di antara doa orang-orang yang beriman ini sebagai berikut, “Ya Allah, hapuskanlah dosa dan kesalahan kami, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, dan janganlah kami diazab karena dosa perbuatan yang telah kami kerjakan. Janganlah kami disiksa karenanya, berilah kami taufik dan hidayah dalam segala perbuatan kami, sehingga kami dapat melaksanakan perintah-perintah Engkau dengan mudah.”

Kita sudah diberi pedoman dalam berdoa kepada Allah, memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi orang kafir. Pertolongan yang dimohonkan di sini ialah pertolongan agar mencapai kemenangan. Yang dimaksud kemenangan adalah kemenangan dunia dan akhirat, bukan semata-mata kemenangan dalam peperangan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Pembunuhan Imam Husein di Karbala; Jejak Berdarah Politik Islam

Hari ini 10 Muharam (19 Agustus 2021), tepat terjadinya peristiwa berdarah. Pembunuhan dan pembantaian terhadap cucu Nabi, Husein bin Ali di Karbala. Peristiwa yang membuat sejarah kelam ini dicatat dan direkam hingga kini.

Syahdan, friksi di tengah umat Islam sudah kelihatan, ketika Rasulullah baru saja wafat. Friksi terjadi bahkan ketika jenazah baginda Nabi Muhammad belum selesai fardu kifayahnya. Jenazah baginda Nabi masih disemayamkan di rumah duka— belum di kubur.

Apa musabab? Salah satunya adalah suksesi kepemimpinan. Siapa orang yang berhak menerima mandat khalifah setelah Nabi wafat. Pemimpin yang akan mengepalai urusan kaum muslimin. Penerus perjuangan Nabi. Tentu ini adalah perkara yang besar. Di sinilah friksi itu terjadi.

Pada sisi lain, Nabi Muhammad semasa hidupnya, tidak meninggalkan wasiat siapa yang akan mengantikan beliau. Tak meninggalkan surat tertulis, orang yang berhak menjadi suksesi kepemimpinan beliau. Estafet kepemimpinan seolah berhenti setelah Nabi wafat. Umat hanya bisa menerka dan menebak. Kemudian berdebat panas.

Kenapa Nabi tak menunjuk khalifah pengganti beliau setelah wafat? Al- Bazar dalam musnad-nya menjelaskan persoalan ini. Hal ini pernah ditanyakan pada Nabi. Sahabat mencoba mengulik persoalan ini. Lantas bertanya pada Nabi, ”Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkat salah seorang dari kami khalifah penggantimu?”

Lantas Nabi menjawab; “Aku khawatir kalau sekiranya aku mengangkat khalifah di antara kalian, lalu kalian mengkhianatinya sehingga Allah menurunkan adzab bagi kalian,” begitu sabda Nabi.

Untuk lebih jelas, simak penuturan Imam Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Tārīkh al Khulafā, mengisahkan percakapan sahabat dan Nabi Muhammad. Imam Jalaluddin Suyuthi menggambarkan sebagai berikut;

قال البزار في مسنده: حدثنا عبد الفتاح بن وضاح الكوفي، حدثنا يحيى بن اليماني، حدثنا إسرائيل، عن أبي اليقظان، عن أبي وائل عن حذيفة، قال: قالوا: يا رسول الله ألا تستخلف علينا؟ قال: “إني أستخلف عليكم فتعصون خليفتي ينزل عليكم العذاب” أخرجه الحاكم في المستدرك1، وأبو اليقظان ضعيف

Artinya; Berkata Al Bazar dalam musnad-nya, menceritakan pada kami Abdul Fatah bin wadhah al Kufi, menceritakan Yahya bin Yamani, dan Israil dari Abu al-Yaqdhan dari Abu Wa‟il dari Khudzaifah, berkata: “Para Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah tidakkah engkau mengangkat salah seorang dari kami khalifah penggantimu?”

Rasulullah menjawab :“Aku khawatir kalau sekiranya aku mengangkat khalifah di antara kalian, lalu kalian mengkhianatinya sehingga Allah menurunkan adzab bagi kalian.” Meriwayatkan Hakim dalam al mustadrak.

Imbas dari tidak ditunjukkan siapa sebagai penggantinya pun diikuti oleh khalifah setelahnya, Abu bakar, Umar bin Khattab, dan di masa Ali terjadi perebutan kekuasaan—berakhir dengan abitrase. Tradisitak menunjuk pengganti sebagai pemimpin senantiasa di pelihara oleh Khulafaur rasyidin.

Dalam kitab Tārīkh al Khulafā, Bukhari dan Muslim meriwayatkan penjelasan dari Umar bin Khattab, ketika menjelang ajalnya—saat ditusuk Abu Lukluk (Fairuz)—, alasan tidak akan menunjuk khalifah penggantinya. Umar bin Khattab, Kalifah II kaum muslimin berkata:

“Jika aku mengangkat seorang khalifah maka telah ada khalifah yang lebih baik dari padaku (yaitu Abu Bakar), dan jika aku meninggalkan kalian maka ada yang lebih baik dari pada aku (yaitu Rasulullah),” begitu tuturnya.

Akibat tak ditunjuk sebagai pengganti, terjadi perebutan kekuasaan dalam tubuh umat Islam. Politik umat Islam kian memanas. Umar di bunuh. Usman bin Affan, kabarnya dibunuh. Ali juga mengalami hal yang tragis—dibunuh Khawarij, Abdurrahman bin  Muljam. Inilah akhir hayat para pemimpin kaum muslimin.

Peristiwa Berdarah Karbala

Peristiwa berdarah itu berlanjut. Perebutan kekuasaan. Berujung dengan pertumpahan darah. Pembantaian brutal terhadap cucu tercinta Nabi, Husein bin Ali. Anak dari sahabat sekaligus keponakan dan menantu Nabi, Ali bin Abi Thalib.

Pembantaian brutal itu tercatat lebih dari 1.300 tahun yang lalu. Penguasa Daulah Ummayah, Yazid bin Muawiyah ingin memperkukuh posisi politiknya sebagai pemegang kekhalifahan Islam yang saha, dengan membunuh Husain, cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680.

Peristiwa berdarah itu,  terjadi di Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah. Karbala pun jadi lambang pengorbanan, pembantaian dan kesedihan.

Alkisah, ketika Muawiyah meninggal dunia, ia telah menunjuk Yazid sebagai penggantinya—sesuatu yang tidak dilakukan khalifah sebelumnya. Yazid seorang politikus handal. Ia segera bergerak. Langkah pertama, meyakinkan penduduk Syam untuk membaiatnya sebagai khalifah. Dalam buku Tārīkh al Khulafā, Jalaluddin Suyuthi mengatakan Yazid juga ingin melebarkan pengaruhnya hingga ke negeri Hijaz.

Yazid pun mengutus seseorang ke Madinah untuk mengambil baiat penduduk Madinah. Penduduk Madinah diminta mengakui legitimasi kekuasaannya. Namun Husein bin Ali  dan Ibnu Zubair menolak dan dan pada malam hari keduanya pergi menuju Mekkah. Ibnu Zubair menolak membaiatnya dan tidak mengajak orang lain untuk berbaiat kepada dirinya.

Adapun Husein bin Ali ketika Yazid memproklamirkan diri sebagai khalifah, penduduk Kufah memintanya kembali datang ke Kufah, untuk diabiat. Husein pun mengabulkan permintaan itu. Ia berniat untuk pergi Iraq. Para sahabat Nabi berbeda pendapat terkait sikap cucu Nabi itu. Adapun Ibnu Zubair menyuruhnya untuk berangkat, sedangkan Abbas melarangnya pergi dan berkata : “Jangan kau lakukan itu, “Sesungguhnya saya menduga bahwa engkau akan dibunuh bersama istri dan anak-anakmu sebagaimana Utsman dibunuh,”.

Kemudian Ibnu Umar juga melarang pergi, seraya berkata kepadanya : “Janganlah kamu pergi. Karena sesungguhnya Rasulullah diberikan pilihan kepadanya antara dunia dan akhirat akan tetapi dia lebih memilih akhirat, dan kamu adalah bagian daripadanya maka janganlah kau pilih dunia,” itu katanya.  Kemudian Ibnu Umar meemeluknya seraya melepas kepergiannya.

Pada tanggal 10 Dzulhijjah Imam Husein berangkat bersama para Ahli Bait dari Mekkah menuju Iraq. Lalu Yazid menulis surat kepada gubernurnya yang ada di Iraq Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya. Maka Ziyad mengerahkan bala tentaranya yang berjumlah empat puluh ribu orang yang dipimpin oleh Amr bin Saad bin Abi Waqqas. Penduduk Kufah membiarkan Al-Husein dan kerabatnya serta tidak membelanya sama sekali seperti yang mereka lakukan kepada ayahnya.

Kemudian tatkala mereka saling mengangkat senjata Al-Husein memberikan tawaran kepada mereka agar menyerah dan kembali pada Yazid, akan tetapi mereka menolaknya seraya akan membunuhnya lalu mereka membunuhnya dan kepalanya diletakkan dalam baskom untuk diberikan Ziyad dalam sebuah wadah.  Dan langsung dikirim ke Yazid bin Muawiyah.

Imam Husein bin Ali  terbunuh di padang Karbala, dalam pembunuhannya terdapat sebuah kisah yang menyedihkan dan sangat meringis hati. Imam Al-Husein telah terbunuh bersama dengan enam belas orang dari kerabat dekatnya. Jaluluddin Suyuthi mengambarkan dengan tragis kematian itu;

فقتل وجيء برأسه في طست حتى وضع بين يدي ابن زياد، لعن الله قاتله وابن زياد معه ويزيد أيضًا. وكان قتله بكربلاء، وفي قتله قصة فيها طول لا يحتمل القلب ذكرها، فإنا لله وإنا إليه راجعون، وقتل معه ستة عشر رجلًا من أهل بيته. ولما قتل الحسين مكثت الدنيا سبعة أيام والشمس على الحيطان كالملاحف المعصفرة، والكواكب يضرب بعضها بعضًا، وكان قتله يوم عاشوراء، وكسفت الشمس ذلك اليوم، واحمرت آفاق السماء ستة أشهر بعد قتله، ثم لازالت الحمرة ترى فيها بعد ذلك اليوم ولم تكن ترى فيها قبلها

Artinya: Maka dikatakan kepalanya didatangkan kepada Ziyad dalam sebuah wadah. Semoga Allah melaknat pembunuhnya serta Ibnu Ziyad begitu juga dengan Yazid. Al-Husein terbunuh di padang Karbala, dalam pembunuhannya terdapat sebuah kisah yang menyedihkan dan sangat meringis hati. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Imam Al-Husein telah terbunuh bersama dengan enam belas orang dari kerabat dekatnya.

Adapun saat Imam Husein terbunuh, seakan bumi berhenti berputar selama tujuh hari dan matahari seakan berada pada sisi dunia yang memancarkan cahaya kunung bak kain yang berwarna kekuningan, bintang-bintang bertabrakan satu sama lain, Imam Al-Husein dibunuh pada hari ‘Asyura pada hari itu terjadi gerhana matahari hingga memerahkan langit selama enam bulan lamanya setelah terbunuhnya Husein di Karbala sebuah fenomena alam yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pertumpahan Darah Mewarnai Dinasti Islam

Sejarah juga mencatat bagaimana bala tentara Yazid memporak-porandakan kota Madinah. Peristiwa kelam itu dikenal dengan sebutan harrah. Ia menyerang kota suci ini, tatkala penduduk Madinah mencabut dukungan politik terhadapnya.  Selama tiga hari kota itu dikepung. Anarkisme berdarah pun terjadi. Sejarah menulis sekitar 4.500 jiwa melayang. Lebih seribu anak gadis dan perempuan yang diperkosa. Tragis. Dan biadab.

Tak sampai di situ, Yazid juga mengutus pasukan ke Mekah untuk memerangi Abdullah bin Zubeir. Pemimpin pasukan Harrah ini adalah Uqbah bin Muslim. Kemudian digantikan oleh Husain bin Numair as Sakuni. Peperangan itu terjadi pada tahun 64 Hijrah. Kota Mekah dilempar dengan ketapel besar. Penyerangan ini mengakibatkan Ka’bah terbakar. Dan rusak parah.

Perjalan khilāfah islāmiyah tak sepi tragedi duka. Tujuh abad lebih menjadi adikuasa dunia, dinasti Umayah dan Abbasiyah merekam kekejian. Ribuan nyawa melayang. Pun darah mengalir, akibat intrik politik dan birahi ingin berkuasa. Itulah sistem dinasti Islam di masa lampau.

Gambaran lebih tragis dan bengis dinasti Islam pun dinukil oleh Faraq Fouda. Dalam Kebenaran yang Hilang; Sisi Kelam Praktik politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslimin, ia menulis sisi kelam pemerintahan Islam. Bagi Faraq Fouda,  khilafah dalam perjalanannya tak seperti yang orang banyak pikirkan. Sejarah politik Islam tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia menggugat slogan Islam dalam label Khilafah Islam.

Ia menganjurkan bagi puak-puak  revivalis  yang berniat  untuk menghidupkan khilafah Islam dan fotocopy Khulafaur Rasyidin, tak lebih dari kumpulan para omong kosong. Kaum ini hanya akan mengajak manusia kembali terjatuh dalam tragis. Sejarah Khilafah Islam tak selama putih, ia diwarnai tinta hitam yang akan terus terbongkar meskipun ditutup sedemikian.

Demikianlah sekelumit sisi kelam dan tragedi duka dalam politik Islam. Terutama di Karbala. Pembunuhan secara tragis Husein bin Ali pada tanggal 10 Muharam, di padang Karbala. Sejatinya, penerapan Khalifah Islam seyogianya bukanlah esensi dasar Islam sendiri. Esensi dari syariat Islam adalah berkesesuaian dengan semangat Islam.

BINCANG SYARIAH

Menimbang Ulang Pertanyaan Syakib Arsalan: “Kenapa Umat Lain Maju Sementara Umat Muslim Tidak?”

Pertanyaan itu adalah titipan dari Rasyid Ridha yang diperoleh dari Syekh Basyuni Imran, yang kemudian Ridha serahkan kepada sahabatnya, Syakib Arsalan. Pertanyaan yang mulanya muncul di awal abad 20 itu, kini telah menjadi renungan legendaris yang diartikulasikan dengan beragam parafrase dan narasi.

Ada dua kata kunci utama, yakni ‘umat Islam’ dan ‘maju’, yang perlu ditinjau ulang agar memastikan bahwa apakah pertanyaan tersebut masih tetap bisa ditelan mentah-mentah, sebagaimana umumnya terjadi. Atau, sebaliknya?

Pertanyaan ini dipopulerkan Arsalan saat situasi negara-negara muslim di Timur Tengah baru keluar dari kolonialisme Eropa. Di lain pihak, Arsalan, sebagaimana pemikir muslim modern pada masa itu, sepertinya menyimpan residu psikologis akibat kemajuan ilmu pengetahuan Barat yang ditopang oleh pencerahan.

Salah satu disiplin yang sedikit berkontribusi bagi kemajuan iptek, namun banyak berkontribusi bagi efektifitas kolonialisme adalah Islamic Studies. Islamic studies yang dikembangkan Barat kala itu, selain dijadikan ‘alat’ pencari legitimasi bahwa Islam tak mungkin berkembang dan mustahil menyaingi prestasi Pencerahan (enlightenment), juga bermanfaat bagi identifikasi perilaku dan paham masyarakat di negara jajahan.

Sebagai respons, muncullah pemikir-pemikir muslim modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Syakib Arsalan, menawarkan berbagai spektrum pemikiran yang di dalamnya memuat alternatif-alternatif, entah di bidang politik, pendidikan, doktrin ataupun mentalitas.

Dalam konteks itu, Arslan menempatkan pertanyaannya pada bingkai politik dan mentalitas. Dari segi politik, Arslan percaya bahwa keberlangsungan Imperium Utsmani, dengan kebijakan Pan-Islamiknya Sultan Abdul Hamid II, adalah satu-satunya harapan yang dapat menyatukan umat Islam yang sedang tercerai akibat kolonialisme Eropa.

Hal ini menyimpan tendensi bahwa Arslan punya kecenderungan membayangkan ‘umat Islam’ sebagai bangsa berbasis kristalisasi agama dan batas geografi, dibanding berbasis kosmopolitanisme yang sebagaimana diaplikasikan oleh negara-negara modern masa kini.

Ketika menyebut ‘umat islam maju’, maka ada makna implisit yang merujuk pada konsolidasi sekumpulan orang Islam di batas geografis tertentu yang mengimbangi orang non-Islam di batas geografis lain yang telah maju.

Dengan kata lain, dari segi politik, Arslan mendamba adanya persatuan di kalangan umat Islam. Adapun yang dituju adalah nasionalisme berbasis agama atau berbasis kosmopolitanisme, sepertinya perlu ditinjau lebih jauh, mengingat adanya beban intelektual yang dibawa Arslan karena menyaksikan robekan kultural, struktural dan sosial di masyarakat muslim akibat kolonialisme Eropaꟷwalaupun tendensinya agak sedikit condong ke nasionalisme berbasis agama.

Dari segi mentalitas, Arsalan melihat kemunduran Islam ialah disebabkan kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, dan lemahnya kerelaan berkorban, hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian. Ia juga menuding langsung pada kelompok konservatif yang melanggengkan sikap pasif dan romantis melalui ayat-ayat agama yang, dalam bahasa kaum sinis, dijuluki “a religion of proletariat.”

Sebagai gantinya, Arsalan menawarkan pandangan yang menempatkan Al-Quran sebagai inspirasi, yang diimbangi dengan keterbukaan semangat belajar pada bangsa-bangsa maju. Tawaran ini tidak lain merupakan upaya pembentukan mentalitas baru bagi umat islam agar bisa menggapai  kegemilangan masa lalu dengan aktualisasi yang sedikit-banyak berbeda.

Apa yang dilakukan Arsalan tidak lain juga dilakukan oleh banyak intelektual serupa di negara-negara jajahan (tentu dengan format dan strategi yang beragam). Mereka mencari dan mengembangkan the true-self dari masing-masing bangsanya yang tersisa dari gigitan kolonialisme. Spektrumnya merentang dari mulai soal identitas kenasionalan, mentalitas masyarakat, kebudayaan, hingga tata birokrasi dan sistem politik.

Setalah mengalami gema sana-sini, dan setidaknya hampir seratus tahun pertanyaan itu menggantung di umat Islam, ternyata roda peradaban umat Islam bergulir pada rel yang tidak sepenuhnya tertebak oleh Arsalan.

Pasca-kolonialisme, kekhalifahan Utsmani runtuh. Dan alih-alih negara-negara Islam mengalami konsolidasi populasi, justru mengalami ketidak-stabilan politik yang berpengaruh pada dekonsolidasi dan diaspora populasi. Bahkan, mereka juga berjuang lama untuk mencari identitas kenasionalan yang menjadi pra-syarat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang mustahil dilakukan tanpa adanya stabilitas politik.

Di belahan Eropa, ilmu pengetahuan berkembang pesat, namun tidak dengan populasi masyarakatnya. Perang beserta kolonialisme yang pernah dilakukan Eropa akhirnya menjadi bumerang. Kebutuhan ekonomi tidak sebanding dengan jumlah populasi, sehingga mendorong negara-negara Eropa perlu menggenapkan populasinya dengan penduduk dari negara jajahannya.

Gelombang migrasinya tentu sangat ditentukan pasang-surut situasi politik di periode-periode setelah kolonialisme, dan terus berlangsung hingga kini. Di lain pihak, instabilitas politik tak berkesudahan di negara-negara Timur Tengah juga menjadi pendorong bagi penduduknya untuk menyambut baik peluang di Eropa sebagai tempat pengungsian.

Maka terjadilah diaspora muslim di Eropa, yang kini isunya sering menjadi bahan ‘gorengan’ bagi politisi populis Eropa untuk mengaduk-aduk emosi warga kulit putih kristiani.  Gorengan ini tidak lain karena mulai berhasilnya migran muslim dalam menggapai kenyamanan kelas sosial.

Mereka kini mengisi pos-pos penting kelas menengah seperti toko retail, restoran, dan bisnis sejenisnya yang dulunya merupakan lapangan kerja bagi orang Eropa asli. Di tataran kelas sosial yang lebih tinggi, ada orang-orang muslim misalnya seperti Sadiq Khan di ranah politik dan Nidhal Guessoum dan Mohammad Hashim Kamali di ranah sains.

Di Indonesia, kondisinya kontras. Kalau muslim di Eropa minimalnya bersyukur bisa mendapat gerai, lapak dan sejenisnya (kenyamanan yang jelas tak bisa mereka dapatkan di kampung halaman karena gejolak politik). Muslim di Indonesia bergerak pada arah mundur. Mereka menjadi pelaku populisme, mematerialisasikan agama sebagai asuransi hidup, dan terbelah menjadi dua kelompok ekonomi: kelas bawah yang terpinggir dan kelas menengah yang cemas. Jumlah mereka mayoritas tapi psikologisnya minoritas.

Pada situasi yang demikian, makna ‘umat Islam’ ternyata tidak mengarah pada persatuan bangsa hasil kristalisasi agama yang sebagaimana dibayangkan Arsalan, tapi mengarah pada kosmopolitanisme yang merajut antara identitas agama dan kebangsaan liyan.

Makna ‘maju’ akhirnya juga ikut berubah. Apakah ‘maju’ hanyalah tentang segelintir orang muslim yang memegang jabatan administratif, memiliki bisnis multinasional, punya capaian saintifik? Atau ‘maju’ adalah tentang sekelompok orang muslim yang kuat secara ekonomi (sejahtera) dan politik? Yang jelas, makna ‘maju’ tak bisa lagi dibayangkan sebagaimana ‘maju’ ala era klasik.

ISLAMI

3 Pintu Berbeda Umat Islam Menuju Alam Kubur

Syekh Said Nursi mengungkap jalan berbeda umat Islam menuju alam kubur

Ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan adanya tiga jalan bagi umat saat masuk kubur. Dia adalah ulama yang mengarang kitab monumental berjudul Risalah Nur.  

Nursi mengatakan, sejumlah pemuda meminta kepada penulis Risalah Nur itu untuk membantu dan menolong mereka seraya bertanya, “Bagaimana kami bisa selamat di akhirat, di mana saat ini kami tengah dikepung berbagai rayuan palsu, godaan hawa nafsu, dan hiburan yang menipu?” 

Atas nama sosok maknawi Risalah Nur, Nursi pun memberikan jawaban sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul “Tuntunan Generasi Muda” terbitan Risalah Nur: 

Kubur terhampar di hadapan semua orang. Tak seorang pun yang dapat mengingkarinya. Kita semua pasti akan memasukinya. Masuk ke dalam kubur hanya ada tiga jalan: 

Pertama, jalan yang menunjukkan bahwa kubur adalah pintu yang terbuka bagi kaum mukmin menuju alam yang lebih indah dibandingkan dunia ini. 

Kedua, jalan yang memperlihatkan bahwa kubur adalah pintu menuju penjara abadi bagi mereka yang terus berada dalam kesesatan, meskipun beriman kepada akhirat dan mereka dijauhkan dari seluruh orang yang dicintai di penjara pribadi tersebut. 

Mereka akan diperlakukan sesuai dengan keyakinan dan pandangan mereka tentang kehidupan lantaran tidak mau mengamalkan apa yang mereka yakini. 

Ketiga, jalan yang dilalui orang yang tidak beriman kepada akhirat dari golongan kaum sesat. Baginya, kubur adalah pintu menuju ketiadaan dan kematian abadi. 

Dalam pandangannya,  kubur merupakan tiang  gantungan yang  membinasakannya serta seluruh orang yang dicintainya. Inilah balasan atas sikap ingkarnya terhadap akhirat.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Pernahkah Kita Mendoakan Kebaikan untuk Indonesia?

Saudaraku sebangsa dan setanah air, tidak diragukan lagi doa adalah harapan dari lubuk hati terdalam seorang muslim. Doa juga bisa mewujudkan suatu permintaan dan permohonan. Bahkan permohonan yang kita anggap mustahil sekalipun, bisa Allah Ta’ala kabulkan. Hal ini karena Allah Ta’ala maha mampu mengabulkan doa.

Satu pertanyaan untuk kita sebagai rakyat Indonesia, pernahkah kita mendoakan kebaikan, ketentraman, kemakmuran, serta keberkahan untuk negara kita tercinta Indonesia? Pernahkah ada kata-kata “Indonesia” dalam doa dan munajat kita?

Kalau belum pernah selama ini, maka inilah yang harus kita perbaiki bersama. Bagaimana mungkin Allah Ta’ala mengabulkan kalau kita tidak pernah berdoa, meminta, dan memohon? Padahal sangat banyak ayat dan dalil yang menunjukkan bahwa doa itu tidak pernah membawa penyesalan dan kekecewaan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku” (QS. Maryam: 4).

Apabila kita tidak pernah berdoa dan mendoakan Indonesia, kita khawatir bahwa hal ini termasuk kesombongan dan seolah-olah kita tidak butuh Allah Ta’ala untuk kebaikan negeri Indonesia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (QS. Al Mukmin: 60).

Para ulama menjelaskan dan memotivasi kita agar terus melakukan kebaikan untuk tanah air kita. Terlebih lagi, tanah air kita adalah negara yang tampak syiar-syiar Islam dan mudah melakukan berbagai macam aktivitas ibadah.

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan,

أما الوطن فيحب إن كان إسلاميًا، وعلى الإنسان أن يشجع على الخير في وطنه وعلى بقائه إسلاميًا، وأن يسعى لاستقرار أوضاعه وأهله وهذا هو الواجب على كل المسلمين

“Adapun tanah air, apabila merupakan negara Islam (tampak syiar-syiar Islam), maka wajib bagi rakyatnya untuk bersemangat melakukan kebaikan untuk tanah airnya dan untuk tetap menjadi negara Islam. Berusaha untuk menjaga kestabilan keadaan dan pendudukan. Hal ini wajib bagi setiap muslim” (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat, 9: 317).

Memang benar, Indonesia ada kekurangannya, bahkan bisa jadi sangat banyak. Akan tetapi, hendaknya jangan pernah merendahkan negara sendiri, karena kita adalah bagian dari negara tersebut. Lalu, apabila kita terus mengeluh dan tidak pernah mempunyai harapan dan doa, maka siapa lagi yang akan mengubah Indonesia kalau bukan kita? Bukankah Allah Ta’ala tidak akan mengubah nasib suatu kaum, melainkan dengan usaha kaum tersebut yang mau berubah?

Allah Ta’ala berfirman

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا  بِاَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Oleh karena itu, mari kita mulai dari doa dan harapan untuk Indonesia. Kita perbaiki bersama dan berusaha memberikan sumbangsih untuk bangsa dan negara. Semisal doa dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman,

رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai, Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian” (QS. Al-Baqarah: 126).

Tidak lupa kita memperbaiki ketakwaan diri kita dan mengajak seluruh kaum muslimin agar bertakwa, beramal saleh, dan membantu sesama. Karena ini adalah salah satu penyebab negeri itu makmur dan berkah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَ‌ىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَ‌كَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mengingkari, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).

Sebagai penutup, kami bawakan beberapa hadis yang memotivasi kita agar senantiasa berdoa dan menaruh harapan yang akan kita wujudkan dengan izin dari Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفرا

“Sesunguhnya Rabb kalian tabaraka wa Ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud, Syekh Al Albani mengatakan hadis ini sahih).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ.

“Tidak ada sesuatu pun di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mulia daripada doa” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan Indonesia negeri yang makmur dan berkah. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68236-pernahkah-kita-mendoakan-kebaikan-untuk-indonesia.html

Allah Membagi Tiga Waktu pada Hari Jumat

 Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa dalam setiap harinya Allah telah menentukan ciptaan-Nya. Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin, menciptakan gunung pada hari Selasa, menciptakan tumbuh-tumbuhan, air dan perkambungan pada hari Rabu, menciptakan bintang, matahari, bulan dan malaikat pada hari Kamis.

Sedangkan pada hari Jumat Allah membagi tiga waktu. Waktu pertama di hari Jumat, Allah menetapkan ajal hidup dan matinya seseorang. Waktu kedua di hari Jumat, Allah menetapkan nasib, keberuntungan atau cobaan.

“Dan waktu ketiga di hari Jumat, Allah menciptakan Adam dan menempatkannya di surga,” jelas Ustaz H. Saifuddin Aman dalam bukunya Jumat Hari bertabur Kebajikan terbitan AMP Press tahun 2016.

Penjelasan tentang penciptaan makhluk itu disebutkan Allah dalam Alquran. Allah Swt berfirman,

{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9) وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ (10) ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11) فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12) }

“Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa genap. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Fussilat ayat 9-12).

Lebih lanjut, Ustaz H. Saifuddin Aman menjelaskan bahwa Hari Jumat adalah hari kemuliaan. Siapa saja yang berbuat kebajikan di hari ini berhak mendapat kemuliaan dari Allah. Hari Jumat sebenarnya sudah ditawarkan oleh Allah kepada umat-umat terdahulu untuk dijadikan hari besar. Allah telah menwarkan kepada kaum Bani Israil, tetapi mereka menolak dan memilih hari Sabtu. Padahal, Allah telah memebrikan kelebihan bagi mereka, memebrikan kitab dan hikmah, tetapi mereka berkata sami’na wa ‘ashaina (kami dengar tapi kami langgar).

IHRAM