Hukum Pernikahan Beda Agama

Pernikahan adalah salah satu sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama yang bisa menjadi salah satu jalan ketenangan bagi seorang hamba. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Ruum: 21)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

بما رتب على الزواج من الأسباب الجالبة للمودة والرحمة. فحصل بالزوجة الاستمتاع واللذة والمنفعة بوجود الأولاد وتربيتهم، والسكون إليها، فلا تجد بين أحد في الغالب مثل ما بين الزوجين من المودة والرحمة

(Allah jadikan pernikahan sebagai ketenangan -pent) karena apa yang tumbuh setelah pernikahan tersebut. Yang dengannya seseorang bisa bersenang-senang satu sama lain termasuk dengan kehadiran anak-anak yang mereka didik dan merasa nyaman dengannya. Dan tidak ada hubungan yang secara umum melahirkan cinta dan kasih sayang kecuali hubungan antara suami dan istri.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 639)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama juga memerintahkan agar para pemuda bersegera menikah jika sudah mampu. Sebagaimana dalam hadis beliau shallallahu ‘alaihi wasallama,

يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فإنَّه أغَضُّ لِلْبَصَرِ وأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعليه بالصَّوْمِ فإنَّه له وِجَاءٌ

Wahai sekalian pemuda! Jika kalian sudah mampu, maka menikahlah! Karena dengan menikah akan lebih menjaga pandangan dan kemaluan. Namun, jika tidak mampu, maka berpuasalah. Karena di dalam puasa terdapat penghalang dari keinginan berbuat buruk.” (HR. Bukhari no. 5066)

Tentu saja, ketenangan di dalam rumah tangga ini tidaklah diperoleh, kecuali ketika seseorang memulainya dengan ketakwaan kepada Allah. Dan bukan dengan hal-hal yang melanggar perintah Allah ‘Azza Wajalla, seperti berpacaran, berzina, berpegangan tangan dengan lawan jenis, dan lain-lain yang semoga Allah azza wajalla melindungi kita dan anak keturunan kita darinya.

Pilih yang baik agamanya

Di antara petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama ketika hendak menikah adalah hendaknya kita memilih seseorang yang baik agamanya. Yakni, pasangan yang saleh dan salehah dan bukan pasangan yang fasik (gemar berbuat dosa). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها، ولِحَسَبِها، وجَمالِها، ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

Alasan wanita dipilih untuk dinikahi ada empat, yakni, hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan kualitas agamanya. Maka, pilihlah wanita yang salehah, niscaya kalian akan beruntung.” (HR. Bukhari no. 5090)

Karena keberadaan wanita yang salehah akan menjadi pelita bagi kehidupan rumah tangga seorang muslim. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا المَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

Dunia ini seperti perhiasan. Dan perhiasan dunia yang paling indah adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 1467)

Yakni, wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian patuh kepada titah suaminya, menjaga aib keluarganya, mendidik anak-anaknya dengan didikan agama, dan sebagainya. Merekalah yang akan digambarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama sebagai wanita yang berhak masuk surga dari pintu mana saja yang mereka kehendaki.

Bahkan, mayoritas ulama dari empat mazhab mempersyaratkan (menjadikan ini sebagai saran pertimbangan utama) kesetaraan calon pasangan dalam masalah kualitas agama. Hal ini dengan beberapa alasan, yaitu:

Pertama: Orang yang fasik tertolak persaksian dan juga riwayatnya.

Kedua: Orang yang fasik tidak bisa dipercaya, baik terkait harta maupun nyawa.

Ketiga: Orang yang fasik berkurang kadar kedudukannya di hadapan Allah, maka tidaklah mereka layak untuk wanita-wanita yang menjaga kehormatan dirinya.

Menikahi pasangan beda agama

Namun, rasa cinta yang bersarang di hati setiap hamba berbeda-beda. Ada juga yang terjatuh ke dalam cinta kepada calon pasangan yang beda agama. Islam juga telah mengatur akan hal ini. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu (yautu ahlul kitab, pent.), apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Maidah: 5)

Tentu saja hal ini dikhususkan pada kondisi seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita nonmuslimah dari kalangan ahlulkitab (yaitu, Nasrani dan Yahudi). Adapun wanita nonmuslimah selain dari kalangan ahlulkitab (seperti Majusi), maka Islam tidak membolehkannya. Imam At-Thabari rahimahullahu mengatakan,

 ( والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم ) يعني : والحرائر من الذين أعطوا الكتاب وهم اليهود والنصارى الذين دانوا بما في التوراة والإنجيل من قبلكم أيها المؤمنون بمحمد من العرب وسائر الناس أن تنكحوهن أيضاً

(Yang dimaksud dengan wanita-wanita yang diberi kitab suci) adalah wanita dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Yang mereka itu dekat dengan ajaran Taurat dan Injil sebelum kalian wahai orang-orang yang beriman. Boleh bagi kalian menikahi mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6: 104)

Namun, tentu saja hal ini perlu dipikirkan lebih matang lagi. Mengingat penjagaan seseorang terhadap agama dirinya seringkali lemah di hadapan wanita yang dicintainya. Maka seseorang perlu benar-benar mempertimbangkan sebelum memutuskan menikahi wanita ahlulkitab.

Bagaimana dengan wanita muslimah yang menikahi laki-laki kafir?

Adapun masalah ini, maka Islam mengharamkannya dan pernikahan mereka tidak sah. Baik laki-lakinya dari kalangan ahlulkitab maupun yang lain. Dalilnya adalah firman Allah ‘Azza Wajalla,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ

Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman), hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)

Dan hal yang menyayat hati di zaman sekarang, banyak wanita muslimah yang harus mengorbankan aturan agama dengan mengatasnamakan cinta. Padahal kecintaan yang hakiki adalah ketika kecintaan tadi dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wajalla. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka kecintaan tersebut justru akan mencelakakannya di akhirat kelak.

Semoga Allah Ta’ala menjaga diri kita dan keluarga kita dari cinta yang menghancurkan. Amin.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88858-hukum-pernikahan-beda-agama.html

Calon Suami Tidak Paham Teks Qabul Saat Akad Nikah, Sahkah?

Bagaimanakah hukum calon suami tidak paham teks qabul saat akad nikah? Dalam fikih, salah satu rukun yang harus terpenuhi dalam sahnya pernikahan adalah adanya ijab qabul dalam akad nikah.

Dalam hal ini wali berposisi sebagai pihak yang melakukan ijab, sementara suami bertugas untuk melakukan qabul nikah. Namun, seringkali akad nikah yang menggunakan bahasa Arab membuat calon suami tidak paham terhadap artinya.

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menyatakan tentang wajibnya melakukan ijab qabul dalam akad pernikahan. Hal ini karena ijab dan qabul termasuk dari salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi saat melangsungkan akad pernikahan.

Sebagaimana dalam penjelasan kitab Al-Iqna’, halaman 411 berikut,

  فصل فِي أَرْكَان النِّكَاح وَهِي خَمْسَة صِيغَة وَزَوْجَة وَزوج وَولي وهما العاقدان وشاهدان

Artinya : “ Fasal, rukun rukunnya nikah itu ada lima, sighot, istri, suami dan wali yang berstatus sebagai orang yang mengakad, dan dua saksi.”

Hukum Calon Suami Tidak Paham Teks Qabul Saat Akad Nikah

Namun demikian, mempelai pria tidak diharuskan memahami secara mendalam mengenai arti dari masing-masing teks qabul yang diucapkan, melainkan hanya perlu tahu bahwa teks tersebut memang digunakan untuk meng-qabul akad nikah. Sebagaimana dalam keterangan kitab Fathul mu’in berikut,

ولو عقد القاضي النكاح بالصيغة العربية لعجمي لا يعرف معناها الاصلي بل يعرف أنها موضوعة لعقد النكاح صح – كذا أفتى به شيخنا، والشيخ عطية – وقال في شرحي الارشاد والمنهاج: أنه لا يضر لحن العامي – كفتح تاء المتكلم، وإبدال الجيم زايا، أو عكسه.

Artinya : Bila seorang qodli melakukan akad nikah dengan seorang ‘ajam, qodli dengan bahasa arab dan ‘ajamy dengan bahasanya sendiri, tetapi si ‘ajamy memahami bahwa maksud dari redaksi yang dilontarkan qodli adalah untuk menikahkan, maka akad seperti ini dihukumi sah. Demikian menurut syaikhuna dan syaikh ‘athiyyah. Dalam kitab al-irsyad dan al-minhaj dikatakan: bahwa kesalahan pelafalan bahasa arab oleh orang awam tidak sampai menjadikan rusaknya akad.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa mempelai pria tidak diharuskan memahami secara mendalam mengenai arti dari masing-masing qabul yang diucapkan, melainkan hanya perlu tahu bahwa teks tersebut memang digunakan untuk meng-qabul akad nikah.

Demikian penjelasan mengenai hukum tidak paham teks qabul saat akad nikah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hal yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Berpoligami

Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan.

 Dalam ajaran Islam, tujuan poligami adalah melindungi wanita yang rentan. Sebelum menikah dengan suami yang sudah memiliki istri, ada baiknya wanita melihat perspektif lain.

Penting bagi semua wanita mempertimbangkan berbagai faktor sebelum poligami, termasuk dampak poligami dalam kehidupan mereka. Islam telah mengatur dengan jelas hak-hak perempuan dalam pernikahan dan khususnya dalam poligami.

Sebelum poligami, laki-laki diingatkan lagi tentang perlunya bersikap adil dalam keuangan, waktu, dan hal-hal lain. Jika tidak bisa adil, hukuman berat akan menanti mereka.

Penting bagi wanita Muslim mengetahui apa hak-hak khusus dan memastikan mereka tidak akan dimanfaatkan oleh pria yang berniat buruk. Khususnya, pria yang berpoligami hanya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa memenuhi kewajiban lain.

Emosi poligami

Wanita harus tahu realitas emosional kehidupan dalam poligami sangat berbeda dari teori. Ada beberapa wanita yang berpikir sebagai istri kedua, mereka secara otomatis akan menjadi istri favorit atau memiliki semacam keunggulan dibandingkan istri pertama. Ini adalah cara berpikir yang berbahaya.

Sangat tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip Islam untuk menikah dengan pria yang sudah menikah dengan tujuan menyebabkan perceraian atau menjadi istri favorit. Rasulullah bersada, “Janganlah seorang wanita menuntut cerai saudara perempuannya untuk menggantikannya dan menikah. Dia tidak dapat memiliki lebih dari apa yang ditetapkan untuknya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang wanita memilih untuk poligami, itu harus dengan tujuan baik tanpa adanya motif tersembunyi.

Emosi pria

Sama seperti wanita, pria juga memiliki emosi. Hanya karena seorang pria telah memilih menikah lagi bukan berarti dia tidak lagi mencintai istri pertamanya.

Sebelum menikah, wanita harus mengetahui detail informasi tentang suami. Misal, tentang pekerjaannya, keluarga dengan istri pertama, dan komitmen lain yang dia lakukan.

Persiapan mental struktur pernikahan poligami sangat berbeda dengan pernikahan monogami. Dalam beberapa kasus, pernikahan poligami bisa berhasil dengan adanya tanggung jawab, pemecah masalah yang baik, dan penanganan emosional yang sehat. Di samping itu, ada pula yang gagal karena pihak-pihak yang terlibat tidak dapat menangani situasi dalam jangka panjang.

Apa yang harus dilakukan seorang wanita?

Dilansir About Islam, seorang wanita yang sedang mempertimbangkan poligami harus mencoba mempersiapkan dirinya untuk berbagai kemungkinan, seperti perubahan dalam struktur hubungan yang semula disepakati hingga potensi pelanggaran hak-haknya. Selain itu, perlu juga tahu poligami tidak bisa seperti hubungan monogami yang hubungan bisa menjadi fokus utama hidupnya.
Sangat penting untuk menjaga keseimbangan emosional, baik itu dalam pekerjaan, keluarga, hobi, atau persahabatan. Pada akhirnya, kebahagiaan seorang wanita dalam poligami tergantung dari beberapa faktor.
Faktir itu, antara lain kepribadiannya dan cara menangani realitas emosional poligami, cara menyelesaikan konflik, dan usaha mempertahankan hubungannya. Tentu saja, hal terpenting yang harus diingat apakah poligami berhasil atau tidak, adalah selalu kembali kepada Allah.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 153:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Wahai Para Suami, Ingatlah Tujuan Pernikahan

Pejamkan kedua matamu, renungkan dan lihatlah siapakah sebenarnya dirimu! Matamu saja tidak cukup untuk melihat siapakah kamu sebenarnya, tetapi butuh bantuan mata mata yang lain; mata orang lain, perspektif syari’at, ajaran agama dan pengalaman bangsa-bangsa lain.

Ingat, mata-mata manusia selalu tertuju padamu dan berharap banyak kepada peranmu. Dalam sebuah syair disebutkan,

Hati-hati manusia haus dahaga

Dan hanya di jari-jemarimu kesegaran mereka

Mata-mata manusia letih dan nanar

Dan kamulah tidur nyenyak dan impian mereka

Dalam kehidupan ini, kamu tidak sendirian. Di sana banyak orang yang digariskan oleh Allah berada dalam kekuasaanmu. Dalam genggaman tanganmu terdapat wewenang mutlak karena kamu pantas memikul tanggung jawab yang diberikan Allah kepadamu. Jadi, kamu adalah harapan semua kalangan ketika kamu benar-benar menjadi laki-laki hebat. Oleh karena itu, sekarang buang semua hal yang ada dalam telapak tanganmu.

Apakah kamu mengetahui tujuan pernikahan? Pernikahan adalah terbentuknya suatu keluarga dengan misi-misi agung. Misi-misi tersebut antara lain adalah:

1. Pernikahan adalah suatu proses menuju jiwa dan raga yang paripurna.

Orang yang hidupnya membujang, maka pada hakikatnya ia dalam kekurangan; baik secara psikologi, nalar, dan kedewasaannya. Orang yang memiliki perasaan dan kepekaan yang tinggi serta memiliki pandangan mendalam adalah orang yang mampu membedakan antara orang yang telah menikah dan bujangan.

Perbedaan itu dapat diketahui, baik dari bicara, alur berpikir, kematangan, dan keharmonisan pergaulannya.

2. Lahirnya generasi yang menjunjung tinggi martabatmu di dunia dan di akhirat, memberi aroma kebahagiaan dalam hidupmu, mendoakanmu pasca-kematianmu dan lahirnya keturunan dengan cara yang benar dan selamat.

Umar bin Khathab berkata,

“Sungguh saya selalu memaksa diri saya untuk bercampur dengan istriku dengan harapan semoga Allah memberiku keturunan yang senantiasa bertasbih dan ingat kepada-Nya.”

3. Menjaga wanita yang berada dalam dekapan tanganmu dan menjadi curahan kasih sayangmu.

Karena pada saat itu, dua jenis manusia bertemu atas dasar cinta, saling menghormati, kesamaan fitrah yang dapat mewujudkan kepuasan dan berujung pada terciptanya kasih sayang dan keseimbangan antara fitrah dan kehidupan.

Dengan demikian, sempurnalah penjagaan diri mereka berdua secara lahir dan batin, kemudian bermunculanlah generasi unggul yang dapat memakmurkan dan menyemarakan bumi Allah.

Dengan pernikahan, kamu berhak mendapat panggilan mulia dari Allah dengan disaksikan semua makhluk kelak di hari kiamat,

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” (QS. Al-Zuhruf: 70).

Pemahaman manusia tentang pernikahan sangat beragam; ada yang menikah karena faktor kebutuhan, ada yang karena motif kemaslahatan, ada juga yang hanya karena mengikuti tradisi yang berlaku, dan ada pula yang tidak memiliki motif sama sekali di balik pernikahannya. Allah berfirman,

قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ

setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. (QS. Al-A’raf: 160).

Oleh karena itu, hendaknya para suami mengingat kembali misi dan tujuan pernikahan. Demikian dikutip dari karya Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud dalam buku Kado Pernikahan.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Janji-janji Allah kepada yang Telah Menikah

KETIKA seorang Muslim-pria atau wanita-akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping.

Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada perasaan keraguan. Namun, ada juga muncul rasa kekhawatiran. Bagi calon suami, maka rasa khawatir menghantui pikirannya. Khawatir bagaimana nanti setelah menikah? Apakah bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga atau tidak? Bagaimana nanti setelah mempunyai anak, mampukah membimbing dan mendidik mereka? Apalagi kebutuhan hidup sehari-hari semakin mahal dari tahun ke tahun.

Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memiliki kekhawatiran soal ekonomi dan sudah memiliki calon pasangan, namun sengaja tidak segera menikah. Mereka berasalan, bahwa menikah itu tidak gampang, harus menemukan kecocokan dulu, harus berpendidikan tinggi dulu, harus kaya terlebih dulu. Maka hal itu akan menjadi tumpukan dosa jika melewati masa-masa matang tidak mempersibuk diri dengan kebaikan.

Persoalan utama seseorang yang akan menikah adalah penyakit ragu-ragu. Jika penyakit tersebut hinggap dalam pikiran dan hati seseorang, maka saat itu juga waktu yang paling tepat untuk introspeksi diri terhadap keyakinannya. Karena itulah kunci utama dalam melangkah ke depan dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup.

Berkaitan dengan kekhawatiran itu, yang karenanya seseorang tidak segera menikah padahal sudah mempunyai calon pasangan, Allah Taala berkalam,

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nur [24]: 32)

Jika memang Allah Taala berjanji demikian, kenapa harus ragu? Jika memang janji dari Zat yang Mahabenar itu sudah jelas tertulis di dalam al-Quranul Karim, mengapa mesti ada ketakutan untuk segera menikah? Padahal, calon pasangan sudah ada. Padahal, umur sudah waktunya dan memang pantas segera menikah.

Maka jalan keluarnya adalah berikhtiar. Jika berikhtiar sudah dilakukan, maka jangan pernah berhenti sekaligus berdoa. Percayalah, Allah Taala telah menentukan saat-saat yang tepat dan terbaik bagi hamba-Nya yang tak pernah putus asa dari Rahmat-Nya.

Adalah kewajiban kita untuk mempercayai janji Allah. Jangan sampai bisikan-bisikan setan menyusup ke dalam hati. Karena itu dapat menggoyahkan keimanan kita terhadap kebenaran janji Allah Taala, termasuk ketika Allah Taala berjanji akan memampukan hamba-Nya yang miskin bila menikah. Tiada yang sulit bagi Allah Taala jika ingin memberikan karunia kepada hamba-Nya. Sungguh, Allah Taala Maha Pemurah dan Pemberi rezeki. Tinggal kita meyakini atau tidak. Dengan keyakinan itu, hidup kita akan optimis dan selalu berpikir posititf.

Berkaitan dengan karunia Allah Taala, yang dimaksud adalah rezeki. Rezeki dapat berupa materi atau non materi. Namun dikatakan rezeki jika di dalamnya terdapat manfaat bagi dirinya dan orang lain.

Misalnya, seorang ikhwan tidak memiliki sepeda motor yang dapat memberikan manfaat yang banyak setelah menikah. Pergi ke mana-mana naik angkutan umum atau bis. Namun, dengan kebaikan-kebaikan yang tulus, maka Allah Taala membuka pintu-pintu rezeki. Tiba-tiba ada dermawan yang menghibahkan sepeda motor untuk keperluan dakwah dan sebagainya. Maka motor tersebut menjadi manfaat untuk menambah kebaikan. Sehingga Allah Taala terus membukakan pintu-pintu karunia-Nya sebagai “hadiah” karena memanfaatkan nikmat pada jalur yang bijak.

Demikian pula rezeki non materi. Sebagai contoh, seseorang yang belum menikah juga mempunyai kesehatan, kesempatan, atau bahkan kemampuan yang sama dengan setelah menikah. Memang hidupnya sederhana setelah menikah. Namun dia dapat hidup bahagia dengan keadaan yang dijalani. Kariernya semakin memuncak, tatapan matanya terhadap masa depan senantiasa optimis, dan dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Itulah janji-janji Allah Taala bagi yang telah menikah dengan keyakinan yang mantap dan keimanan yang benar.

Pintu-pintu rezeki akan terbuka lebar jika seseorang telah mengalami sebuah jenjang membahagiakan bernama pernikahan. Setelah kita berusaha dan berdoa, rezeki akan datang dengan segera.

Dengan menikah, kita mengharapkan Allah Taala menganugerahkan rezeki yang barakah. Yaitu rezeki yang dapat menentramkan hati dan mensucikan jiwa. Sehingga semakin membuat kita berbahagia dan meningkatkan rasa syukur terhadap nikmat yang telah Allah Taala berikan dengan semakin giat dan tekun dalam beribadah dan bekerja.

Hanya kepada Allah kita menyembah, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.[]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2382289/janji-janji-allah-kepada-yang-telah-menikah#sthash.12DNGr87.dpuf

Tafsir Mawaddah dan Rahmah

Di antara tujuan pernikahan disebutkan dalam Surat Ar Rum ayat 21, agar suami istri mendapatkan mawaddah dan rahmah.

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rum: 21)

Apa itu mawaddah dan rahmah? Dalam Tafsir Al Qurthubi, dikutip penjelasan Ibnu Abbas bahwa mawaddah adalah cintanya seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya untuk tidak menimpakan sesuatu yang tak disukainya.

Lebih jauh, Muhammad Al Ghazali menerangkan tentang rahmah. “Rahmah itu,” terangnya dalam Qadhaya al Mar’ah bainat Taqalid ar Rakidah wal Wafidah, “tidak muncul dari kasih sayang ketika melihat pipinya yang indah, akan tetapi ia muncul dari dalam hati yang bersih, akhlak yang baik dan latar belakang yang mulia.”

Jadi, mawaddah adalah cinta yang timbul karena pertimbangan fisik atau materi. Karena istrinya adalah seorang wanita yang memiliki sesuatu yang menarik kemudian suami mencintainya, itulah mawaddah. Seseorang yang melihat istrinya kemudian timbul hasrat dan dengannya mereka saling bercinta, itulah mawaddah.

Sedangkan rahmah adalah cinta yang tidak mempertimbangkan fisik melainkan karena faktor non fisik; ruhiyah, akhlak dan sejenisnya. Rahmah inilah yang membuat pasangan suami istri tetap bersama meskipunsudah tua. Rahmah inilah yang membuat suami istri tetap setia meskipun tak bisa lagi saling bercinta. Rahmah inilah yang membuat suami istri tetap saling menyayangi meskipun tidurnya saling berpunggungan. Rahmah inilah yang menjelaskan mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek tetap bersama dan saling menjaga.

Maka jika ingin keluarga kita abadi hingga maut memisahkan, dua sayap cinta mawaddah dan rahmah ini harus kita punya. Hubungan yang hanya didasari oleh mawaddah, ia hanya bisa bertahan beberapa tahun. Sesudah kulit keriput, rambut memutih dan mata rabun, rahmah-lah yang bekerja. Maka, temukan alasan non fisik yang membuat kita mencintai pasangan kita.

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Untukmu yang Merindukan Pernikahan…

MERINDUKAN pendamping hidup adalah fitrah setiap insan. Wanita, sebagai makhluk Allah yang cenderung ingin diayomi atau dilindungi, tentu wajar berharap pula akan kehadiran seorang ikhwan dalam hidupnya.

Dan saat menanti adalah ujian berat bagi seorang gadis. Sebagai bunga yang sedang mekar atau yang mungkin telah mekar sekian lama, seringkali ia terlena dengan tawaran manis si kumbang yang datang mempesonanya.

Sayang, kebanyakan kumbang-kumbang itu sekedar ingin menggoda saja. Malah ada pula yang sekedar ingin menghisap madunya tanpa mau bertanggung jawab. Naudzubillah! Begitulah fakta di masa kini.

Realita fitnah syahwat yang terjadi di mana-mana hingga banyak wanita kehilangan kehormatannya. Karena itu, setiap gadis muslimah hendaknya pandai-pandai menjaga diri dan selalu berhati-hati, jangan sampai tertipu. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis muslimah dalam penantian?

a. Memperbanyak amal ibadah

Seorang muslimah dalam masa penantian hendaknya semakin mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah, khususnya ibadah sunnah. Karena ia bisa menjadi perisai diri dari berbagai godaan.

b. Doa dan tawakal

Rezeki, maut, termasuk jodoh manusia sudah diatur oleh Allah, dan Dia Maha Mengetahui yang terbaik bagi hambaNya, yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar dan berdoa, kemudian bertawakal kepadaNya.

Hanya kepada Allah kita berserah diri dan mohon pertolongan. Berdoalah agar segera dikaruniai jodoh yang shalih, yang baik agamanya, dan bisa membawa kebahagiaan bagi kita di dunia dan akhirat. Yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik. Bukankah Dia akan mengikuti persangkaan hambaNya? Karena itu jangan pernah berburuk sangka terhadap Allah.

c. Mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu

Bekali diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan kerumah tanggaan. Lalu, bekali diri dengan keterampilan berumah tangga. Seorang suami tentu saja akan senang bila istrinya terampil dan cekatan.

Terakhir, persiapkan diri menjadi istri shalihah dan sebaik-baik perhiasan bagi suami. Jangan lupa untuk merawat diri agar selalu tampil cantik dan segar. Tapi ingat, kecantikan itu tidak untuk diumbar sembarangan, persembahkan hanya untuk suami tercinta kelak.

Kepada para ikhwan

Bagi para ikhwan, ketahuilah sesungguhnya telah banyak akhwat yang siap. Mereka menunggu pinanganmu. Mereka menunggu keberanianmu. Tunggu apalagi jika engkau pun sudah siap menikah dan merindukan seorang istri?

Ayolah, jangan ikhlaskan wanita-wanita shalihah itu dinikahkan dengan lakilaki yang tak baik agamanya. Ingat bahwa Allah akan menolong seorang pemuda yang berniat menikah demi menyelamatkan agamanya. Karena itu, bersegeralah mencari pendamping yang bisa membantumu bertaqwa kepada Alloh. [Majalah Nikah]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2348689/untukmu-yang-merindukan-pernikahan#sthash.vsKIStfy.dpuf

Hukum Agama yang Disalahgunakan Sebagian Istri

Kriteria utama dalam menikahi wanita adalah yang taat beragama, selain kekayaannya, kecantikannya dan keturunannya. Sebab, agama adalah faktor utama dalam menjalankan kehidupan rumah tangga.

Jika suami taat dalam bergama, maka istri akan terpengaruh untuk taat. Demikian juga sebaliknya.

Kehidupan rumah tangga itu saling mendukung dan memengaruhi. Siapa saja yang mempunyai pengaruh yang kuat, maka pasangannya akan mengikutinya.

Terkait masalah agama, sebagian sebagian istri ada memfilter dirinya dalam menerima hukum-hukum fikih sesuai dengan kepentingan mereka. Bisa jadi karena kurang paham dalam ilmu agama atau bisa jadi karena hawa nafsu belaka.

Di antara hukum tersebut adalah seperti yang disebutkan dalam buku Kado Pernikahan karya Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud sebagai berikut:

1. Menyangkal kebolehan berpoligami dengan menggunakan argumentasi salah dalam memahami ayat Al-Qur`an, bahwa kalian tidak akan adil antara istri-istrimu meskipun kalian telah mengerahkan segenap kemampuan. Dia menyitir firman AllahTa’ala,

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. (QS. An-Nisa’: 129).

Padahal, bukan itu yang dimaksud dalam ayat tersebut.

2. Melarang suami agar tidak berpikir tentang perceraian, karena perceraian adalah hal halal yang paling dibenci oleh Allah.

Ketika sang suami hendak berpoligami, maka dialah pihak pertama yang melayangkan gugatan cerai dan mendorong suaminya untuk melakukan hal yang paling dibenci Allah.

Selain itu, hukum agama pun dia permainkan mengikuti kemauannya.

3. Menasihati suami agar takut kepada Allah mengenai hal-hal yang menjadi kepentingannya saja.

Dia menakut-nakuti suaminya agar tidak melihat dan dekat wanita lain. Pada saat yang sama, dia membiarkan suaminya meninggalkan shalat, dan mendengarkan hal-hal yang haram.

Yang terpenting baginya adalah hak-hak dan kepentingannya terpenuhi. Dia memperdaya diri sendiri dengan memayungi kepentingannya dengan label agama.

4. Berbohong dalam menyebutkan usia.

Kebohongannya semakin menggumpal seiring bertambahnya usia. Dalam sebuah peribahasa arab disebutkan,

“Jika kamu ingin mengetahui kebohongan seorang wanita, maka tanyalah berapa usianya.”

5. Mencari fatwa-fatwa lemah dan bertanya kepada para mufti yang terkenal longgar dalam berfatwa mengenai perempuan, tanpa menghiraukan dalil dan argumentasi yang lebih kuat dan mufti lain yang lebih terkenal lebih bertakwa.

Jika sang istri mendengar beberapa ulama mengharamkan sesuatu, lalu ada seorang ulama yang cocok dengan seleranya dan berfatwa sebaliknya seraya berkata, ‘Sesungguhnya hukum syari’at tentang hal ini adalah boleh,’ maka tanpa ragu dia mengikuti fatwa itu dan membelanya.

6. Beralasan dengan kesalahan-kesalahan ummahatul Mukminin (istri-istri Rasulullah) secara lahir, tanpa mengikuti kebaikan-kebaikan mereka dan sifat-sifat terpuji mereka.

Engkau pasti terheran-heran ketika menemukan sekumpulan istri dengan sangat lancar menyebutkan bukti-bukti dari daftar kesalahan ummahatul Mukminin. Pada saat yang sama, mereka tidak mengetahui sama sekali tentang ummahatul Mukminin selain daftar kesalahan mereka.

7. Boleh memata-matai suami dengan dalih demi kebaikan bersama atau agar jika suami melakukan kesalahan dapat langsung menegurnya.

Ini tentu tidak dibolehkan, karena akan menimbulkan prasangka buruk yang terus-menerus dalam hati isti.

Solusinya adalah para suami mendidik istrinya dengan baik dan mengajarinya ilmu-ilmu agama, agar semua permasalahan rumah tangga diselesaikan dengan apa yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Wallahu A’lam.

 

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Taati Suami, Jangan Membangkang

Dunia mode Barat pada saat ini benar-benar hendak mengubah penampilan perempuan menjadi laki-laki dan mengenakan pakaian seperti halnya laki-laki.

Hingga kita mendengar sebagian wanita muslimah menyuarakan slogan-slogan kaum sekularis yang telah bercokol di dunia Islam sebelumnya.

Mereka benar-benar telah menghancurkan tabiat wanita muslimah terhadap suaminya dengan mengenalkan ide-ide yang mereka ambil dari revolusi Prancis.

Salah satu slogan mereka adalah, “Suamimu tidak lebih sebagai partner hidup, bukan sebagai pemimpinmu yang bertanggung jawab atasmu.

Kamu adalah partner hidupnya, bukan budaknya atau orang yang dimilikinya, sehingga engkau menuruti segala permintaannya. Ajaklah suamimu berdialog, tunjukkan eksistensimu sebagai wanita merdeka dan jangan tinggal diam.”

Menurut kaum sekularis itu, membangkang kepada suami adalah alat untuk menunjukkan eksistensi seorang wanita.

Mereka melupakan sifat alamiah yang telah dilekatkan oleh Allah kepada suami, yaitu sebagai pelindung bagi istri. Sungguh AllahTa’ala telah berfirman,

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa`: 34)

Ini merupakan musibah yang menjadi latar belakang semboyan “Kehidupan suami istri dibangun berdasarkan kesepakatan” dan “Hak berpendapat.”

Orang Yahudi merupakan donatur terbesar dalam merusak dunia Barat yang telah porak poranda. Terlebih dalam kehidupan keluarga yang menjadi dasar terciptanya suatu komunitas masyarakat.

Mereka menciptakan wanita yang senantiasa membangkang terhadap suaminya dan menuntut persamaan dalam kehidupan sosial.

Mereka menganjurkan para istri untuk bersama-sama menanggalkan prinsip al-qawamah(kepemimpinan suami) dalam rumah tangga dan mendorong mereka menyaingi posisi suami sebagai pemegang kendali keluarga.

Mereka mentransfer itu semua melalui film-film sinetron, film layar lebar, novel-novel, dan cerita-cerita. Akhir-akhir ini, pemikiran tersebut semakin vulgar dan terang-terangan dibincangkan dalam dialog dan seminar.

Setelah itu, tanpa menyaringnya, sebagian dari saudara kita menelannya mentah-mentah; bahwa suami tidak lagi mempunyai hak untuk menyuruh dan mengeluarkan perintah, taat dan patuh kepada suami bukan merupakan suatu kewajiban dan semua urusan kehidupan rumah tangga harus berdasarkan kesepakatan.

Menurut mereka, kesepakatanlah yang menjadi landasan adanya ketaatan atau tidak. Pihak istri harus terlebih dahulu setuju agar dia patuh dan taat.

Para istri yang telah terpengaruh oleh pemikiran Barat itu lupa bahwa pembangkangan dan ketidakpatuhannya kepada suami akan diperhitungkan kelak pada hari kiamat.

Setajam apa pun perbedaan dengan suaminya dan mengenai apa pun, dia harus menuruti perintah dan permintaan sang suami. Tugasnya hanyalah mengharap pahala dari Allah atas kepatuhannya.

Jangan lupa, bahwa kesepakatan itu bisa terjadi antara dua hal yang sama posisi dan hak, sementara dalam pernikahan, tidak ditemukan adanya kesamaan antara suami dan istri, sebagaimana dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Allah Ta’ala tentu tidak begitu saja memilih suami memegang al-qawamah, kecuali telah mengetahui rahasianya dan mengerti sisi-sisi perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman,

“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. (QS. Al-Mulk: 14).

Wahai para istri, taatilah suamimu, semoga hidupmu selamat di dunia dan Akhirat. Amin.

Demikian ditulis kembali dari buku Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud berjudul Kado Pernikahan.

 

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Lima Jenis Perkawinan Ini Dilarang, Apa Sajakah?

Islam mengajarkan umatnya sampai kepada jenis-jenis perkawinan yang boleh dan yang dilarang. Dalam Alquran, hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 23-24 yang menyebutkan lima jenis perkawinan dilarang. Berikut ulasannya seperti dikutip dari buku Ensiklopedi Muhammad karya Afzalur Rahman.

 

1. Menikahi Saudara Sepersusuan

Nabi Muhammad melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan saudara sepersusuan. Hal ini sama seperti larangan mengawini orang-orang yang memiliki hubungan sedarah.

Ummu Al-Fadi menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Orang yang disusui sekali atau dua kali tidak menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah,” (HR Muslim).

Selain itu Ummu Salamah juga mengatakan Rasulullah bersabda: “Hubungan persaudaraan sesusu yang menyebabkan perkawinan tidak sah adalah susu yang diambil dari payudara, kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk dan diambil sebelum waktu penyapihan,” (HR Tirmidzi).

 

2. Pertukaran Perkawinan 

Dalam pertukaran perkawinan atau biasa disebut Al-Syighar, orang-orang menukarkan putri-putri atau saudara-saudara perempuan mereka tanpa membayar mahar.

Ibn Umar mengatakan Rasulullah melarang pertukaran perkawinan yang berarti ketika si A menikahkan putrinya dengan B. Maka B ini pun menikahkan putrinya dengan si A. Apalagi pernikahan tersebut jika dilangsungkan tanpa membayar mahar tergolong dilarang dalam Islam.

 

3. Menikahi Ibu, Anak, Bibi, atau Saudara Perempuan dari Istri

Rasulullah mengatakan dalam hadisnya bahwa jika seseorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan sudah berhubungan intim dengannya, maka dia tidak boleh menikahai anak perempuan istrinya itu. Namun jika dia belum melakukan hubungan intim dengan perempuan itu, dia boleh menikahi anak perempuan dari perempuan itu.

“Dan, jika seseorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dia tidak boleh menikahi ibu perempuan itu, terlepas apakah dia telah melakukan hubungan intim atau belum dengan perempuan itu,” (HR Tirmidzi).

Selain itu, Abu Hurairah mengatakan Rasulullah melarang menikahkan perempuan dengan pria yang pernah menikahi bibi dari perempuan itu. Baik bibi dari garis ayahnya maupun garis ibunya.

Ditambah lagi, Rasulullah melarang menikahkan seorang bibi dari garis ayah dengan pria yang telah menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki bibi itu (keponakannya). Seorang bibi dari garis ibu dengan pria yang pernah menikahi anak perempuan dari saudara perempuan bibi itu (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Darimi dan Nasa’i).

Dalam suatu riwayat, Al-Dahhhak ibn Fairuz AD-dailami menceritakan kisah ayahnya. “Wahai Rasulullah, aku telah menerima Islam (sebaga agamaku) dan aku telah menikahi dua orang kakak beradik. Rasulullah  menjawab pilihlah seorang dari mereka yang kau inginkan,” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).

 

4. Menikahi Perempuan Musyrik

Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 disebutkan jangan menikahi perempuan musyrik, sebelum perempuan itu beriman. Dalam ayat itu dikatakan menikahi hamba sahaya (budak) perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meski menarik hati.

“Mereka (pasangan musyrik) mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Allah menerangkan ayat-ayatnya supaya manusia mengambil pelajaran,” tulis ayat itu.

 

5. Menikahi Pezina

Dalam surat An-Nur Ayat 24 dijelaskan bahwa pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik. Pezina perempuan pun tidak boleh menikah kecuali dengan pezina pria atau dengan pria musyrik.

“Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki dirinya), maka sungguh Allah maha pengampun.”

sumber: Republika Online