Keutamaan Membaca Dzikir di Awal Sepuluh Dzulhijjah

Dzikir dengan suara keras maupun pelan, merupakan suatu amal ibadah yang tak terikat dengan waktu. Kapan pun dan dalam keadaan apapun. Saat berdiri, duduk, berjalan dan seterusnya. Siang, malam, pagi dan sore. Salah satu keutamaannya yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah bisa menenangkan hati.

Namun, ada waktu-waktu tertentu yang sangat dianjurkan untuk berdzikir. Ada nilai lebih bila dilakukan pada saat-saat yang telah diinformasikan oleh Allah maupun Rasulullah. Di antaranya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Artinya:  “Dan (agar) menyebut (berdzikir) nama Allah di hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28).

Menurut mayoritas ulama, seperti Ibnu Abbas dan Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan hari-hari yang telah ditentukan tak lain sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Pada ayat yang lain Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41).

Ahmad Ibnu Hanbal dalam musnadnya menulis sebuah hadis, “Mengabarkan kepada kami ‘Affan, mengabarkan kepada kami Abu ‘Awanah, mengabarkan kepada kami Yazid Ibnu Abi Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, dan lebih dicintai oleh Allah amal-amalnya dari hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah. Maka perbanyaklah di hari-hari itu membaca tahlil, takbir dan tahmid”.

Keterangan dari dua sumber pokok hukum Islam di atas semakin menguatkan pendapat para ulama salaf yang menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak dzikir di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Imam Thabrani dalam sebuah hadis mengisahkan kisah Nabi Musa yang sempat mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, aku telah berdoa, namun mengapa Engkau enggan mengabulkannya?. Maka kiranya Engkau sudi mengajariku yang dengannya aku dapat berdoa memohon kepada-Mu ya Allah”, keluh kesah Nabi Musa.

Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, “Wahai Nabi Musa, jika telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah, ucapkanlah kalimat “La Ilaha Illallah”, maka akan Aku kabulkan keinginanmu”.

Lalu Nabi Musa kembali mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, seluruh hamba-Mu akan mengucapkannya”.

Kemudian Allah memberi kabar gembira lagi kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, barang siapa mengucapkan “La Ilaha Illallah” dalam hari-hari ini (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) sekali saja, andai tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan di atas satu telapak timbangan amal, sedangkan kalimat tahlil tersebut diletakkan di atas telapak timbangan yang lain, sungguh (kalimat tahlil) itu lebih berat dan lebih unggul dibanding ketujuh langit dan bumi seisinya”. Sebagaimana lazimnya, umat Islam berdzikir menggunakan kalimat tahlil. Dengan demikian, maka sangat rugi bila tidak memanfaatkan waktu di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan memperbanyak berdzikir membaca kalimat tahlil.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Shalat Idul Adha Sendirian

Idul Adha biasanya dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijah.  Idul Adha juga disebut dengan Hari Raya Kurban. Bagi orang yang berkecukupan meteri atau kaya, dianjurkan untuk berkurban.  Bentuk kepeduliaan terhadap sesama manusia.

Selain melaksanakan kurban, dianjurkan juga untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Ada pun hukum melaksanakan shalat Idul Adha para ulama berbeda pendapat. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i menyebutkan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah ath Thalibin. Ia dalam bab permulaan menerangkan masalah shalat Ied menuliskan hukum shalat Idul Adha adalah sunah. Imam Nawawi berkata;

هي سنة على الصحيح المنصوص

Artinya; Hukum shalat Ied adalah sunnah, yang anjuran mengerjakannya terdapat dalam nash.

Imam Mardawi dalam Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, karya Imam Al Mardawi—ulama dari kalangan Hanbali—, mengatakan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah. Ia berkata;

وعنه -أي: الإمام أحمد- هي -أي: صلاة العيد- سُنَّة مؤكَّدة

Artinya; Dan dari padanya—artinya dari Imam Ahmad bin Hanbal— hukum melaksanakan shalat Ied adalah sunah muakkadah.

Kemudian datang persoalan, Indonesia dalam keadaan pandemi Covid-19. Pemerintah pun memberlakukan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dalam kondisi PPKM Darurat, kegiatan keagamaan di masjid ditangguhkan. Nah dengan demikian bolehkah shalat Idul Adha secara sendirian (munfarid)?

Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab, menerangkan seyogianya shalat Ied dilaksanakan berjamaah. Akan tetapi bila ada yang melaksanakan secara munfarid atau sendirian maka shalat Ied tetap sah. Artinya, Shalat Idul Adha secara sendirian di rumah  hukumnya boleh.

Imam Nawawi berkata dalam al Majmu’ Syarah al Muhadzab;

تسن صلاة العيد جماعة، وهذا مجمع عليه؛ للأحاديث الصحيحة المشهورة، فلو صلاها المنفرد؛ فالمذهب صحتها

Artinya:  Sunah hukumnya melaksanakan shalat Ied (Adha dan Fitri) secara berjamaah, ini pendapat mayoritas,  pasalnya terdapat dalam hadis yang shahih. Jikalau shalat Ied seseorang dalam keadaan sendirian, maka shalatnya tetap sah.

Mufti Dar Ifta Mesir, Syekh Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam suatu waktu ditanya terkait shalat Ied yang dikerjakan secara sendirian. Ia lantas menjawab dengan mengatakan bahwa melakanakan shalat Ied secara berjamaah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Dan shalat secara berjamaah bukan syarat sah shalat Ied.

ومعنى كون الجماعة فيها من السنن، أي: إنَّه يصح أداؤها في غير جماعة، فالجماعة على ذلك ليست من شروط صحتها

Artinya; pengertian “keadaan shalat Jamaah” pada shalat Ied adalah sunnah artinya sesungguhnya sah melaksanakannya dalam keadaan tidak berjamaah, maka shalat Ied dalam keadaan berjamaah atas demikian bukan menjadi syarat sah shalat Ied.

Sementara itu dalam kitab Tuhfah al Muhtaj bi Syarhi al Minhaj karya Ibn Hajar mengatakan shalat Idul Adha tetap sunah hukumnya dikerjakan meskipun dalam keadaan sendirian atau munfarid. Tetapi bagi orang yang melaksanakan shalat Idul Adha secara sendirian, tidak pakai khutbah. Ia berkata;

وتسن للمنفرد، ولا خطبة له

Artinya; Disunahkan juga shalat Ied meskipun sendirian, dan tidak perlu pakai khutbah (khutbah Ied).

Pada sisi lain, Imam Mardawi dalam kitab al Inshaf , mengatakan bagi orang yang ketinggalan dalam melaksanakan shalat Idul Adha atau Idul Fitri, maka ia disunnahkan mengqadha (ganti) shalat Ied tersebut. Caranya sebagaimana yang dilakukan oleh Imam tersebut.

وإن فاتته الصلاة (يعني : صلاة العيد) استحب له أن يقضيها على صفتها (أي كما يصليها الإمام)

Artinya; Jika seseorang luput melaksanakan shalat (maksudnya; shalat Ied) maka sunah baginya untuk meng-qadha sebagamaina sifat shalat Ied, (artinya; sebagaimana shalat Ied Imam).

Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni menjelaskan, orang yang ketinggalan shalat Ied, maka ia boleh  memilih. Antara melaksanakan shalat Ied secara sendirian atau pun berjamaah. Itu dibenarkan oleh syariat.

“وهو مخير ، إن شاء صلاها وحده ، وإن شاء صلاها جماعة” انتهى

Artinya; Ia bisa memilih; jika ingin shalat Ied sendirian atau pun jika ingin bisa melaksanakannya secara berjamaah.

BINCANG SYARIAH

Hormati Keputusan Para Dokter di Masa Pandemi Ini

Yuk hormati keputusan para dokter di masa pandemi ini. Bukanlah kita serahkan sesuatu harus kepada ahlinya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyerahkan Maslahat Dunia kepada Ahlinya

Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ

Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا لِنَخْلِكُمْ

Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

Lebih jelasnya lagi pada ilmu pengobatan bisa diperhatikan dari hadits berikut ini.

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «

“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”  (HR. Abu Daud, no. 3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

Para Ulama Sangat Hormati Keputusan Dokter

Imam Syafi’i rahimahullah saja sangat menghormati profesi dan otoritas dokter serta mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya.

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,

لاَ أَعْلَمُ عِلْمًا بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلُ مِنَ الطِّبِّ إِلاَّ أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” (Siyar A’lam An-Nubala, 8:528, Darul Hadits)

Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,

إِنَّمَا العِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ الدِّيْنِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالعِلْمُ الَّذِي لِلدِّيْنِ هُوَ: الفِقْهُ، وَالعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ

“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]

Imam Syafi’i rahimahullah membuat ungkapan sebagai berikut:

لَا تَسْكُنَنَّ بَلَدًا لَا يَكُوْنُ فِيْهِ عَالِمٌ يُفْتِيكَ عَن دِينِك، وَلَا طَبِيبٌ يُنْبِئُكَ عَنْ أَمْرِ بَدَنِك

“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Kasihan sekali, banyak umat jadi tertinggal akibat sikap ulamanya yg hanya memandang sisi keutamaan ibadah tanpa memperhatikan aspek Sunnatullah dalam bidang medis. Kalau Imam Syafii hidup saat ini pasti beliau akan terlepas diri dari fatwa-fatwa ulama yang tidak tepat dan abai terhadap Sunnatullah.

Wallahu a’lam.

Penyikapan Wabah di Masa Silam yang Keliru

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Shalat Berjamaah dengan Menjaga Jarak Bukanlah Bid’ah dan Menyelisihi Manhaj

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun, jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).

Memakai Masker Saat Shalat Berjamaah

Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Shalat Jumat Saat Kasus Covid Meningkat

Jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Kuatkan Diri dengan Doa dan Dzikir Saat Kasus Covid Meningkat

Jangan Mudah Menyebarkan Berita yang Tidak Jelas, Bukan dari Pakarnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.”

Hanya Allah beri taufik dan hidayah.

Semangat terus para dokter, kami di belakangmu. Yuk taat protokol kesehatan apalagi pandemi semakin menanjak dan kasus di sekeliling kita masih banyak.

Selasa pagi, 3 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28766-hormati-keputusan-para-dokter-di-masa-pandemi-ini.html

Ingin Jadi Youtuber Terkenal?

Mungkin di zaman ini banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi youtuber terkenal. Padahal senang pada popularitas itu akan merusak agama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

ما ذئبانِ جائعانِ أُرسلا في غنمٍ، بأفسدَ لها من حرصِ المرءِ على المالِ والشرفِ، لدِينه

“Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor kambing, itu tidak lebih merusak daripada ambisi manusia terhadap harta dan kedudukan, yang itu akan merusak agamanya” (HR. At Tirmidzi no. 2376, ia berkata, “hasan sahih”).

“Jangan lupa like video saya ya … “

Itulah slogan para Youtuber. Berharap penonton memuji videonya dan mereka terus mencari decak kagum para penonton. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih” (HR. Ahmad no. 16460, disahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 2674).

Al Munawi Rahimahullah menjelaskan,

لِما فيه من الآفة في دين المادح والممدوح، وسمّاه: ذبحاً، لأنه يُميت القلب فيخرُجُ من دينه، وفيه ذبحٌ للممدوح فإنه يَغُرّه بأحواله ويُغريه بالعُجب والكِبْر

“Karena senang dipuji itu akan menjadi penyakit bagi agama orang yang memuji ataupun yang dipuji. Disebut oleh Nabi sebagai ‘disembelih’ karena ini akan mematikan hati, sehingga mati pula agamanya. Juga orang yang dipuji seperti disembelih, karena ia akan tertipu dengan sifat ujub dan sombong” (Faidhul Qadir, 3/129).

Dan jika ternyata berhasil jadi terkenal atau viral, namun yang ditampilkan adalah keburukan dan pelanggaran agama, ngerinya bisa menjadi dosa jariyah. Dosa yang mengalir terus selama diamalkan dan diikuti oleh para follower dan subscriber.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

من دعا إلى هدًى ، كان له من الأجرِ مثلُ أجورِ من تبِعه ، لا يُنقِصُ ذلك من أجورِهم شيئًا . ومن دعا إلى ضلالةٍ ، كان عليه من الإثمِ مثلُ آثامِ من تبِعه ، لا يُنقِصُ ذلك من آثامِهم شيئا

“Barang siapa yang mendakwahkan kebenaran, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barang siapa mendakwahkan kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).

Itulah ngerinya menjadi terkenal.

Oleh karena itu para salaf dahulu benci popularitas. Ibrahim An Nakha’i Rahimahullah mengatakan,

كفى فتنة للمرء أن يشار إليه بالأصابع في دين أو دنيا إلا من عصمه الله

“Cukuplah sebagai fitnah (ujian) bagi seseorang, ketika jari-jari menunjuk padanya dalam masalah agama atau masalah dunia. Kecuali orang-orang yang Allah selamatkan” (Az Zuhd libni Surri, 2/442).

Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan,

إياك والشهرة؛ فما أتيت أحدًا إلا وقد نهى عن الشهرة

“Jauhilah cinta popularitas, dan aku tidak menemui satu guru pun kecuali mereka melarang cinta popularitas” (Siyar A’lamin Nubala, 7/260).

Bisyr bin Al Harits Rahimahullah mengatakan,

مَا اتَّقَى اللهَ مَنْ أَحَبَّ الشُّهْرَةَ

“Tidak akan bisa bertakwa kepada Allah orang yang cinta popularitas” (Siyar A’lamin Nubala, 10/476).

Bukan berarti terlarang untuk meng-upload video ke Youtube. Selama itu edukatif, bermanfaat, dan tidak mengandung perkara-perkara haram, maka tidak mengapa. Namun lebih baik jika tanpa disertai upaya untuk mencari popularitas diri. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan dan tersembunyi” (HR. Muslim no. 2965).

Dijelaskan oleh Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah,

هو الذي لا يظهر نفسه ، ولا يهتم أن يظهر عند الناس أو يشار إليه بالبنان أو يتحدث الناس عنه

“Yaitu orang yang tidak menampakkan dirinya, tidak berambisi untuk tampil di depan manusia, atau untuk ditunjuk oleh orang-orang atau diperbincangkan oleh orang-orang” (Syarah Riyadush Shalihin, 629).

Maka jangan jadikan “terkenal” dan “viral” sebagai cita-cita, karena itu adalah ujian dan bencana. Teruslah berkarya dalam hal yang manfaat untuk dunia dan akhirat, namun buang jauh-jauh rasa ingin dikenal.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67391-ingin-jadi-youtuber-terkenal.html

Bagaimana Muslim Sikapi Survei Jenggot Rawan Covid-19?

Survei menyebut penggunaan masker tak tepat untuk jenggot picu Covid-19

Sebuah penelitian beberapa waktu lalu menyebut jenggot dapat meningkatkan risiko terpapar atau bahkan menularkan Covid-19. Penularan terjadi karena jenggot disebut akan membuat celah di masker yang dipakai seseorang, sehingga memungkinkan virus masuk atau keluar dari celah tersebut.

Dilansir dari CNN, seorang Profesor klinis dermatologi dari Yale School of Medicine, Dr Mona Gohara, menyebut penggunaan masker yang tidak maksimal dapat meningkatkan risiko terkena infeksi virus Covid-19. “Jika masker tidak dipasang dengan benar, apapun alasannya, Anda meningkatkan risiko terinfeksi,” katanya.

“Masker yang dipasang dengan benar itu menempel dengan kulit bukan menempel di rambut (jenggot),” tambahnya.

Tentu penelitian ini berdampak kepada orang-orang yang gemar memelihara jenggot. Terlebih bagi sebagian besar Umat Islam, jenggot diyakini sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW. Lantas bagaimana seharusnya bersikap?

Pendakwah Ustadz Zapari Harahap menjelaskan memelihara jenggot adalah ajaran Islam dan sunnah Nabi, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat ulama dalam menyikapi hal ini. Terlebih memelihara jenggot adalah sunnah yang mudah bagi seseorang yang memang diberkahi dengan kemudahan memanjangkan jenggot. Sehingga memotongnya seperti sebuah kehilangan ladang amal bagi seorang Muslim.

“Ketika kita (memanjangkan jenggot) niatnya ibadah, kita dapat pahala 24 jam. Kita dapat pahala tanpa ngapa-ngapain, logikanya begitu,” jelas Ustadz yang juga memanjangkan jenggotnya ini.

Memanjangkan jenggot juga disebutnya memiliki manfaat medis yang akan berdampak baik bagi kesehatan orang yang melakukannya. Menurutnya, beberapa penelitian dari Barat menyebutkan berbagai manfaat mengamalkan sunnah Nabi ini.

Ustadz yang juga anggota anggota Asosiasi Ruqyah Syar’iyyah Indonesia (ARSYI) ini juga mengatakan jenggot memiliki kelebihan tersendiri, yakni dapat menakuti setan. Hal ini dikatakannya sering dialami para praktisi ruqyah.

“Setan mampu melihat kita dari sudut pandang mereka, sedangkan kita tidak bisa melihat mereka. Artinya ketika kita mengamalkan sunnah sesuai yang diperintahkan Rasulullah ini akan membuat efek ketakutan kepada setan. Karena sesuatu yang disukai atau diperintahkan Rasul itu sangat dibenci setan,” jelasnya.

Adapun terkait jenggot yang meningkatkan risiko terpapar Covid-19, dikatakannya masalah ini hanya terkait cara seseorang menggunakan maskernya dengan baik. Dia yang juga memiliki jenggot panjang sering melipat jenggotnya ketika memakai masker agar tidak ada celah untuk virus masuk.

Sunnah memanjangkan jenggot juga dikatakannya diberi panduan oleh Nabi, seperti anjuran merapihkannya dan membersihkannya. Sehingga jenggot tidak justru mencitrakan buruk seorang Muslim dan tidak memberikan dampak buruk bagi kesehatan.

“Setiap wudhu kita itu juga kan jenggot dimasukkan celah-celahnya pakai jari bersamaan dengan mengelus dagu, karena dagu ini harus basah. Jadi ada tata caranya, nggak mungkin sebuah ibadah yang baik untuk manusia membuat orang itu sulit atau menyulitkan,” ungkapnya.

Sebenarnya Dr Mona Gohara juga menyebutkan solusi untuk maslah ini tidak selalu harus memotong jenggot, ada beberapa cara lain yang bisa menjadi pilihan atau solusi. Seperti menggunakan masker yang memang berukuran besar yang cukup untuk menutupi hidung, mulut hingga jenggot.

Bagi seorang profesional medis yang memang berjenggot, bisa juga menggunakan respirator pemurni udara terkontrol atau respirator pemurni udara bertenaga. Alat ini memang dirancang untuk mengakomodasi rambut wajah sekaligus melindungi diri dan orang lain.

Bisa juga menggunakan masker ganda, satu untuk menutupi bagian hidung dan mulut dan yang kedua untuk menutupi jenggot hingga ke leher. “Dimulai dengan mengenakan masker N95 atau masker dengan dasi, semacam itu menciptakan sedikit lebih banyak keamanan dan keketatan. Lalu lanjutkan dengan masker lain yang Anda kenakan di janggut Anda, pas di rahang atau leher Anda, dan kencangkan dengan melilitkan tali di belakang telinga Anda atau dengan mengikatnya di belakang kepala Anda,” ungkapnya.

KHAZANA REPUBLIKA

Selain Dokter Lois Owien, Sebagian Penceramah Agama Juga Tak Percaya Covid-19

 Selain Dokter Lois Owien, terdapat juga para penceramah yang tak percaya Covid-19. Hal itu bisa dijumpai dalam media sosial dan video Youtube masing-masing penceramah. Tentu ini sebuah keresahan besar bagi umat beragam.

Syahdan, Andi berlari. Sekencang tenaga. Tak mau berhenti. Jarak 500 meter ia tempuh dalam sekejap. Napasnya turun-naik.  Degup jantungnya berdetak kencang.  Sesekali ia menarik napas panjang-panjang. Keringat bercucuran deras. Mengalir dari dahi. Bajunya basah. “Virus Corona itu hoaks,” celetuknya.

Tertegun saya mendengar katanya. Tanpa membalas saya berlalu dari hadapannya.  “Ini air minum. Minumlah sejenak” kata saya. Tatapan mata Andi kian tajam. Sorot bola matanya terarah. Gerakan bibirnya seperti ingin melanjutkan ucapan tadi. “Itu kata Ustadz anu. Saya percaya,” lanjutnya.

Andi memang seorang pemuda. Ia mahasiswa disalah satu universitas negeri. Sembari belajar ilmu umum, ia juga rajin belajar agama. Ia punya idola. Seorang ustadz. Tak pernah absen mendengar ceramahnya. Saban hari ia sempatkan, meski barang sejenak.

Sekitar setahun lalu, seorang sahabat lain mengeluh. Ia khawatir. Kerut didahinya berlipat. Ia sedang berpikir panjang. Tatapan matanya pun kosong. Wajahnya sayu. “Ada apa,” tanya saya.

“Gawat. Ibu ku bilang, keluarga besar ku bilang Covid-19 tentara Tuhan,” ceritanya. Keluarganya sangat nge-fans terhadap seorang penceramah beken. Ia masyhur. Pengikutnya panatik. Ia lulusan dari salah satu universitas Islam terbaik di dunia. Bahkan gelar master dan doktor, ia tamatkan dari luar negeri.

Mereka sekeluarga sering mendengar ceramah ustadz ini. Apapun yang ia sampaikan diterima sebagai sebuah kebenaran. Rasa hormat dan takut durhaka, menjadi stempel mati yang dipercaya.  Selain sesama dari Sumatera, ustadz ini dianggap otoritatif. “Keluarga ku fans garis keras,” tuturnya, setahun lalu.

Narasi Covid-19 merupakan tentara Allah sempat viral di media sosial. Pasalnya seorang penceramah kondang menyebut, Virus Corona adalah tentara Allah. Virus ini untuk membalaskan dendam atas penyiksaan terhadap Muslim Uighur, di China.

Pada sisi lain, ada juga seorang ustadz dengan inisial UZ. Dengan lantang menyebut hal serupa. Virus Corona adalah makhluk yang diutus Allah untuk membalaskan dendam terhadap komunis China. Pasalnya mereka telah berbuat aniaya dan picik terhadap muslim Uighur.

Imformasi ini diperoleh si Ustadz setelah menonton video ruqyah yang dilakukan oleh Syekh Halima Abdurrauf. Konon, dalam video itu diperlihatkan seorang pemuda yang keserupan jin. Lantas si pemuda yang tengah kesurupan jin muslim itu ditanya terkait Virus Covid-19. “ Virus corona itu adalah kebocoran yang menyebar, lalu kami (jin) mengambilnya dan memindahkanya ke tubuh orang China Wuhan.

Lantas apa motif jin yang mengambil virus dan menyebarkannya ke manusia. Jin menjawab, untuk membalas dendam terhadap penderitaan muslim Uighur. Rupanya jin juga sedih hati. Melihat kaum Uighur disiksa, tapi mereka tak tahu cara membantunya. Virus Corona membantu membalas dendam kaum Uighur.

Ceramah Ustad tersebut bisa Anda tonton dalam UZMA Media TV Channel. Silakan klik judulnya Terungkap! Misi Terselubung di Balik Virus Corona. Video ini sudah ditonton sebanyak 153 ribu kali. Jumlah yang banyak. Dan penontonya pun rata-rata anak muda yang berusia sekitar 17-40 tahun.

Pada kesempatan lain, UZ juga tak kalah membuat heboh. Pendakwah yang berasal dari Sumatera ini menyebut bahwa virus Corona dibuat oleh illuminati. Ada konspirasi besar di  balik pembuatan Virus tersebut.

Berikut saya kutipkan transkipnya pada Anda;

Baru kemarin terbongkar, ada seorang doktor Muslim yang soleh berhasil me-ruqyah seseorang yang kesurupan jin. Setan yang ada dalam tubuh orang itu diajak berbicara dan berbicara tentang virus corona”. “Apa kata kata mereka? Yang membuat virus corona ini adalah illuminati”

Lagi-lagi pencarian sumber kebenarannya dari jin. Kali ini berasal dari seorang wanita bercadar yang diruqyah. Dan jadilah ia mengatakan demikian. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang agamawan kita percaya hal seperti ini. Sialnya ia pun menyebarkan pada pengikutnya. Lebih sial lagi, banyak para pengikut ini yang percaya dan terus menyebarkanya. Berkelindan.

Pada sisi lain, muncul isu Covid-19 sebagai konspirasi yang ingin membunuh umat Islam.  Isu ini muncul dari hasil ceramah seorang tokoh agama. Ia menyebut Covid-19 buatan Komunis dan Barat, untuk membungihanguskan umat Islam. Pasalnya,  menurut si Ustadz para kaum komunis, Nasrani, dan Yahudi tak akan senang melihat umat Islam.

Sebagai argumen, si ustadz menyebutkan bahwa anak-anak kita tidak bisa sekolah. Masjid kita ditutup. Tak bisa ibadah. Shalat berjamaah dilarang. Silaturrahmi pun terputus. Ini adalah fitnah yang sangat kejam.

Faisal Irfani, dalam artikel Menyelami Isi Pikiran Penganut Konspirasi Anti-COVID & Anti-Vaksin mempertontonkan seorang tokoh terpandang di Kedoya Jakarta Selatan yang menolak Covid-19. Ia dipanggil “Pak Haji”. Baginya Covid-19, tak lebih dari sekadar flu biasa.

Pak Haji menduga virus ini diciptakan sebagai ajang untuk kepentingan lain. adanya motif jahat dari pejabat tanah air. Pasalnya, argumen pendukung sudah ada. Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Ia menduga ada permain terstuktur dari narasi Covid-19.

Narasi ini sungguh sangat menjengkelkan. Terlebih di tengah banyaknya korban meninggal akibat Covid-19. Saya tak bisa membayangkan seorang yang kehilangan keluarga dan orang yang dicintai akibat Covid-19, lalu mendengar argumen ini. Saya juga tak bisa membayangkan bila seorang yang tengah terjangkit dan tak menemukan ruangan untuk perawatan, lantas membaca dan mendengar argumen mereka yangtak percaya covid-19. Sedih. Geleng-geleng kepala. Tentu saja marah.

Para penceramah agama yang menyangkal Covid-19, dengan alasan teori konspirasi dan lainnya,menurut hemat saya suatu pandangan yang berbahaya. Terlebih mereka adalah public figur. Para orang yang diangggap otoritatif. Tentu ini akan berkelindan. Terlebih mereka mempunyai pengikut yang panatik.

Di sisi lain, para penceramah ini tak sedikit yang memnyebarkan narasinya memakai term-term agama. Membungkus argumennya dengan ayat Al-Qur’an dan Hadis. Hal itu untuk meligitimasi pendapatnya.

Pasalnya, tak sedikit orang apabila sudah dibacakan ayat dan hadis akan menelannya secara mentah. Tanpa melihat konteks, status, dan penafsiran teks suci itu. Sakral merupakan kata yang ditelan mentah-mentah.

Tentu ini merupakan tantangan di tengah krisis pandemi seperti ini. Korban terus meningkat. Jumlah pasien positif terus bertambah. Dan kafasitas rumah sakit telah melebihi kafasitas. Oksigen pun langka.

Argumen dan narasi mereka yang tak percaya Covid-19 sangat berbahaya dan meresahkan.  Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan Jadi 21,2 persen atau seperlima penduduk kita menganggap Covid-19 itu adalah hoaks. Survei IPI itu berlangsung pada 1 sampai 3 Februari 2021 terhadap 1.200 responden yang dianggap mewakili populasi penduduk.

Pada sisi lain, Lembaga survei The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan jajak pendapat terkait covid-19 dan vaksinasi. Survei CSIS menyatakan kalau generasi Z– anak muda dengan usia 17-22 tahun—,  merupakan kelompok yang paling banyak tidak percaya tentang covid-19 dan tidak percaya terhadap vaksin.

CSIS melakukan survei terhadap 800 responden dengan masing-masing 400 orang di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Survei dilakukan pada penduduk usia 17 tahun ke atas, atau sudah menikah. Survei ini  menggunakan metode sampel acak dan margin error sampel kurang lebih 3,46 persen. Hasil survei menunjukkan Sekitar 10 persen responden di DKI Jakarta dan 6,3 persen responden di Yogyakarta tidak percaya pada covid-19.

Langkah apa yang bisa ditempuh?

Berhubung pendengung narasi tak percaya Covid-19 dan Covid-19 konspirasi adalah publik figur—yang notabenenya adalah pemuka agamawan—, maka tugas para kiai, ustadz, cendikiawan yang mempunyai keilmuwan agama tinggi untuk melawan narasi ini. Dan juga memberikan pencerahan terhadap masyarakat luas.

Di samping itu, para dokter dan mereka yang memiliki otoritas untuk terus memberikan edukasi untuk masyarakat luas. Bila tidak? Ini akan sangat berbahaya. Terleih pada era PPKM darurat seperti ini. Akan ada saja yang menganggap enteng. Dan berakibat fatal bagi dirinya dan orang lain.

Terakhir, untuk para pendengung Covid-19 hoaks dan konspirasi Yahudi dan Barat, sehingga Anda tak percaya pada Covid-19, saya hanya berharap dua hal saja. Lihatlah kepemakaman dan rumah sakit. Betapa saudara Anda seiman sedang berjuang dari rasa sakit. Dan juga ada air mata akibat kehilangan.

Saya juga berharap Anda tak terjangkit virus ini. Dan tak kehilangan orang tercinta akibat ganasnya covid-19. Karena saya tahu, kehilangan dan berpisah dengan orang akibat kematian, tak ada obatnya. Perih dan duka selamanya.

BINCANG SYARIAH

Tiga Kelompok Jamaah Haji

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khamsah kecuali Nasa’i Dari Abu Hurairah, berdasarkan miqat makani tempat memulai ihram, maka jamaah haji terbagi menjadi tiga golongan. 

Pertama, Ahlul Afaqih yaitu mereka yang bertempat tinggal di luar lima miqat yang telah ditetapkan, yaitu dzulhulaifah untuk orang Madinah dan Juhfa untuk orang Syam, Qarnul Manazil untuk orang Nejd,  Yalamlam untuk orang Yaman dan Dzul Irq untuk orang Irak.

Kedua, Ahlul Hilli yaitu penduduk tanah Halal orang yang bertempat tinggal di miqat yang lima di atas namun masih di luar tanah haram, seperti penduduk Bastan Bani Amir dan lainnya. Miqat mereka adalah daerah mereka sendiri atau dari mana saja yang diinginkannya dari tanah halal yang berada di antara mereka dan tanah haram.

Ada juga yang disebut Hullah, yaitu masyarakat umum bukan bangsawan yang tinggal di tanah haram atau di luar tanah haram.

Ketiga, mereka yaitu penduduk Makkah, penduduk tanah haram. Miqat Haji mereka adalah tanah haram sedangkan miqat umrahnya adalah daerah Hilli penduduk Makkah mulai berihram haji dari daerah asalnya atau dari tanah haram yang disukainya. 

Sedangkan memulai ihram umrah nya dari Hilli yaitu Tan’im dan yang lainnya.

Ali Yusuf

IHRAM

6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Alhamdulillah, bulan Dzulhijah telah menghampiri kita. Bulan mulia dengan berbagai amalan mulia terdapat di dalamnya. Lantas apa saja amalan utama yang bisa kita amalkan di awal-awal Dzulhijah? Moga tulisan sederhana berikut bisa memotivasi saudara untuk banyak beramal di awal Dzulhijah.

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.[1]

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]

Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).”[6]

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[7] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[8]

6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah

Ada 6 amalan yang kami akan jelaskan dengan singkat berikut ini.

Pertama: Puasa

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[9], …”[10]

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [11]

Kedua: Takbir dan Dzikir

Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10  hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.[12]

Catatan:

Perlu diketahui bahwa takbir itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).

Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.

Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib berjama’ah[13].

Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.

Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.

Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh

Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah menunaikan haji ke Baitullah. Silakan baca tentang keutamaan amalan ini di sini.

Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh

Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Kelima: Berqurban

Di hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Silakan baca tentang keutamaan qurban di sini.

Keenam: Bertaubat

Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. Silakan baca tentang taubat di sini.

Intinya, keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[14]

Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut (sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah, dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah.[15]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Finished with aid of Allah, on 1st Dzulhijah 1431 H (07/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA

Written by: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/1372-6-amalan-utama-di-awal-dzulhijah.html

Bala’ dan Musibah Turun karena Dosa dan Terangkat karena Taubat

Sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab berbunyi,

ما نزل البلاء إلا بذنب وما رفع إلا بتوبة

“Setiap musibah yang turun disebabkan oleh dosa, dan tidak akan terangkat kecuali dengan taubat”

Hal ini perlu diperhatikan oleh setiap muslim, agar ia tidak terlalu mencari “kambing hitam” atas apa yang terjadi di dunia ini, akan tetapi hendaknya langsung introspeksi terhadap dirinya sendiri kemudian memperbaik dosa kesalahan tersebut serta mengiringi keburukan tersebut dengan segera melakukan kebaikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻭَﺃَﺗْﺒِﻊِ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺔَ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔَ ﺗَﻤْﺤُﻬَﺎ

“Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan kebaikan  akan menghapuskannya.”[1]

Semua musibah dan kesesahan yang menimpa kita adalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Asy Syura: 30).

Oleh karena itu kita dianjurkan agar memperbanyak bertaubat dan beristighfar agar dosa dihapus oleh Allah dan tidak Allah turunkan kepada kita dalam bentuk bala’ dan musibah.

Istighfar adalah sumber kemudahaan hidup dengan izin Allah, karenanya kita sangat dianjurkan memperbanyak istigfar di manapun dan kapan pun. Istigfar adalah amalan yang sangat mudah karena hanya menggerakkan lidah dan menghadirkan hati.

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

أَكْثِرُوا مِنَ الِاسْتِغْفَارِ فِي بُيُوتِكُمْ، وَعَلَى مَوَائِدِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَفِي أَسْوَاقِكُمْ، وَفِي مَجَالِسِكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ، فَإِنَّكُمْ مَا تَدْرُونَ مَتَى تَنْزِلُ الْمَغْفِرَةُ

“Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah, meja-meja makan, jalan-jalan, pasar-pasar dan majelis-majelis kalian di manapun kalian berada, karena kalian tidak tahu kapan turunnya pengampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[2]

Luqman bepesan kepada anaknya,

يَا بُنِيَّ عَوِّدْ لِسَانَكَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، فَإِنَّ لِلَّهِ سَاعَاتٍ لَا يَرُدَّ فِيهَا سَائِلًا

“Wahai anakku biasakan lisanmu dengan ucapan: [اللهم اغفر لي] ‘Allhummafirli’  karena Allah memiliki waktu-waktu yang tidak ditolak permintaan hamba-Nya di waktu itu.”[3]

Dengan taubat kepada Allah maka bala’ dan musibah akan diangkat.

Imam Al-Qurthubi menukil dari Ibnu Shubaih dalam tafsirnya, bahwasanya ia berkata,

شَكَا رَجُلٌ إِلَى الْحَسَنِ الْجُدُوبَةَ فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَشَكَا آخَرُ إِلَيْهِ الْفَقْرَ فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَقَالَ لَهُ آخَرُ. ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي وَلَدًا، فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَشَكَا إِلَيْهِ آخَرُ جَفَافَ بُسْتَانِهِ، فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. فَقُلْنَا لَهُ فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: مَا قُلْتُ مِنْ عِنْدِي شَيْئًا، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي سُورَةِ” نُوحٍ”

“Ada seorang laki-laki mengadu kepadanya Hasan Al-Bashri tentang kegersangan bumi maka beliau berkata kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”

yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”

yang lain lagi berkata kepadanya, “Doakanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!” maka beliau mengatakan kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”

Dan yang lain lagi mengadu tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan pula kepadanya, “beristighfarlah kepada Allah!”

Dan kami pun menganjurkan demikian kepada orang tersebut.

Maka Hasan Al-Bashri menjawab: “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri, tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh [ayat 10-12].”[4]

Dan dengan istigfar kita akan mendapatkan berbagai kemudahan, hati yang lapang dan rezeki

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى

dan hendaklah kamu meminta ampun [istigfar] kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian),niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan.” (Hud: 3)

Syaikh Muhammad Amin As-Syinqithi berkata menafsirkan ayat ini,

وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمَتَاعِ الْحَسَنِ: سَعَةُ الرِّزْقِ، وَرَغَدُ الْعَيْشِ، وَالْعَافِيَةُ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَّ الْمُرَادَ بِالْأَجَلِ الْمُسَمَّى: الْمَوْتُ

“Pendapat terkuat tentang yang dimaksud dengan kenikmatan adalah rezeki yang melimpah, kehidupan yang lapang, dan keselamatan di dunia dan yang dimaksud dengan waktu yang ditentukan adalah kematian.”[5]

Hendaknya kita renungkan sabda  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.”[6]

Demikian semoga bermanfaat

@ Di antara Langit dan bumi Allah, Pesawat Citilink, Perjalanan Yogyakarta – Medan

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/38223-bala-dan-musibah-turun-karena-dosa-dan-terangkat-karena-taubat.html

Tauhid dan Terangkatnya Musibah

Bismillah.

Sebuah perkara yang menjadi prinsip dan diterangkan oleh para ulama dalam karya-karya mereka adalah bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar. Tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas segenap hamba.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima tanpa tauhid. Artinya, sebanyak apapun ibadah dan amal ketaatan, jika terkotori oleh syirik; peribadatan kepada selain Allah -di samping ibadahnya kepada Allah- maka semua amal itu akan tertolak.

Allah Ta’ala berfirman,

 وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

“Dan seandainya mereka berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 88)

Di antara keutamaan tauhid yang sangat agung adalah bahwa tauhid menjadi sebab -bahkan sebab terbesar- untuk mendapatkan jalan keluar bagi segala bentuk kesulitan dan musibah yang menimpa di dunia maupun di akhirat. Artinya, tauhid akan membuka kemudahan atas kesulitan yang menimpa, begitu juga tauhid dapat menolak bahaya yang mengancam hamba (lihat keterangan Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid)

Ketika terjebak di dalam perut ikan, Dzun Nun atau Nabi Yunus ‘alaihis salam berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keesaan-Nya dalam hal uluhiyah dan mengakui kesalahannya, dan hal itu menjadi sebab Allah menyelamatkan dirinya. Beliau membaca doa “laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhalimin” yang artinya adalah “tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang zalim”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidaklah seorang muslim membaca doa ini dalam suatu kesulitan yang dia alami kecuali Allah penuhi permintaannya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi tidak membantah hal itu, hadis ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar) (lihat al-Wabil ash-Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim, hal. 224 tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id)

Hal ini perkara yang dimaklumi/bisa dipahami dengan jelas oleh para ulama karena sesungguhnya keimanan dan tauhid merupakan sebab keamanan dan hidayah bagi hamba.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82).

Dengan keamanan, ia akan terbebas dari rasa takut dan dengan petunjuk, ia akan selamat dari kesesatan. Besar kecilnya keamanan dan hidayah itu tergantung pada besar kecilnya tauhid dan keimanan yang ada pada diri seorang hamba. Semakin sempurna tauhid dan imannya, semakin sempurna pula keamanan dan hidayah yang didapatkan olehnya (lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 10-11)

Oleh sebab itu, Allah memberikan jaminan untuk selamat dari azab bagi mereka yang beriman dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

مَّا یَفۡعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمۡ إِن شَكَرۡتُمۡ وَءَامَنتُمۡۚ

“Allah tidak akan mengazab kalian; jika kalian bersyukur dan tetap beriman.” (QS. an-Nisaa’ : 147)

Dan sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa tauhid merupakan pokok keimanan dan juga pilar utama dalam mewujudkan rasa syukur kepada Allah. Karena syukur itu mencakup pengakuan dari dalam hati bahwa semua nikmat adalah berasal dari Allah, memuji Allah atas segala nikmat-Nya, dan menggunakan nikmat dalam ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan seluruh manusia tentang nikmat penciptaan dan memerintahkan mereka untuk mengesakan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 21)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan -sebagaimana dinukil oleh al-Baghawi dalam tafsirnya- bahwa semua perintah ibadah dalam al-Qur’an maka maknanya adalah perintah untuk mentauhidkan-Nya. Demikian pula, di antara tafsiran ‘supaya kalian bertakwa’ adalah supaya kalian bisa menjaga diri dari azab Allah, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dari sinilah kita mengetahui mengapa para ulama -bahkan para nabi- senantiasa memprioritaskan dakwah tauhid, karena inilah pokok ajaran agama dan kunci kebahagiaan umat manusia. Dengan memahami tauhid, seorang hamba akan menyadari bahwa Allah punya hak yang harus dia tunaikan, yaitu ibadah kepada-Nya tanpa dicampuri oleh syirik. Inilah dakwah setiap rasul kepada umatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut”.” (QS. an-Nahl: 36)

Tauhid inilah keadilan terbesar, sedangkan syirik kepada Allah merupakan kezaliman paling jahat di muka bumi. Oleh sebab itu, Allah menceritakan wasiat Luqman kepada putranya,

یَـٰبُنَیَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ

“Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah. Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13).

Syirik kepada Allah merupakan kezaliman sekaligus bentuk kekufuran yang sangat jelas. Bagaimana mungkin seorang hamba yang diberikan nikmat oleh Allah semata lantas menujukan ibadah kepada selain-Nya? Tentu hal ini bukan termasuk syukur kepada Allah, bahkan inilah kekufuran atas nikmat-Nya.

Bahkan hal ini -keyakinan bahwa tauhid merupakan sebab keselamatan- pun telah diakui oleh orang-orang musyrik di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, apabila mereka sedang terjebak oleh ombak dahsyat di tengah lautan dan khawatir tenggelam/binasa, mereka pun memurnikan doanya hanya kepada Allah dan membuang berhala-berhala mereka. Sebagaimana hal itu dikisahkan oleh Ikrimah bin Abi Jahal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (tafsir al-Ankabut ayat 65).

Hal ini tentu mengingatkan kita akan keagungan doa, yang itu merupakan intisari dari segala bentuk ibadah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

“Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir : 60).

Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa. Karena doa yang murni dan tulus kepada Allah mencerminkan perendahan diri dan ketundukan yang itu merupakan asas dalam penghambaan kepada Allah.

Oleh sebab itu pula, Allah melarang menjadikan sekutu bagi-Nya dalam hal doa. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapa pun juga.” (QS. al-Jin : 18).

Allah tidak rida dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah, apakah itu berupa malaikat ataupun nabi.

Oleh karena itulah para ulama menasihatkan bahwa salah satu kiat untuk keluar dari musibah dan bencana yang kita alami adalah dengan menunjukkan sikap iftiqar/merasa miskin dan butuh di hadapan Allah. Karena Allah telah berjanji untuk mencukupi orang-orang yang menghamba kepada-Nya semata. Allah pun berjanji untuk memberikan kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Allah pun berjanji memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang bertakwa. Orang-orang yang dicintai Allah, yang hidupnya di atas iman dan berhias ketakwaan, maka Allah janjikan kepada mereka rasa aman dan bebas dari segala kesedihan.

Apabila mereka meninggal di atas kalimat tauhid laa ilaha illallah, maka itu pun menjadi pintu kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Kematian menjadi tempat istirahat mereka dari segala keburukan.

Semoga Allah mengangkat wabah ini dari tengah kaum muslimin, dan semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/67366-tauhid-dan-terangkatnya-musibah.html