Pengurus Masjid Diminta Sosialisasikan SE Idul Adha – Kurban

Warga Diminta Cegah Munculnya Klaster Keluarga

Masyarakat diingatkan untuk patuh terhadap protokol kesehatan selama perayaan Idul Adha pekan depan. Peringatan ini disampaikan pemerintah demi mencegah munculnya klaster keluarga, seperti yang sempat terjadi pasca-libur Lebaran lalu. Bahkan buntut dari lonjakan kasus justru semakin tinggi saat ini.

“Hindari kegiatan yang memicu kerumunan sehingga klaster keluarga bisa dicegah,” kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Kamis (15/7). 

Selain itu, pemerintah pusat juga meminta Satgas Penanganan Covid-19 di daerah agar memasifkan sosialisasi panduan pelaksanaan ibadah Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban. Wiku menyebutkan, sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat tidak bingung dan upaya pemutusan rantai penularan Covid-19 benar-benar optimal. 

“Menag telah keluarkan dua surat edaran, satu untuk pelaksanaan Idul Adha dan qurban di luar wilayah PPKM darurat, satu lagi untuk wilayah PPKM darurat. Tujuannya untuk memastikan protokol kesehatan berjalan dengan baik selama rangkaian ibadah,” kata Wiku.

Satgas daerah, ujar Wiku, perlu segera berkoordinasi dengan pengurus masjid, ulama di daerah, panitia kurban, dan pihak lain yang terlibat dalam ibadah Idul Adha nanti. Masyarakat perlu menjalankan pelaksanaan ibadah Idul Adha, termasuk penyembelihan hewan qurban, sesuai dengan aturan PPKM darurat atau pun PPKM diperketat. 

“Kepada pengurus masjid, diminta untuk dapat mensosialisasikan ketentuan dalam SE ini kepada jamaah di wilayah masing-masing,” kata Wiku. 

Sebagai informasi, Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan dua surat edaran sekaligus. Pertama, edaran Menteri Agama Nomor SE 16 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Sholat Idul Adha, dan Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/ 2021 M di Luar Wilayah Pemberlakuan PPKM Darurat. 

Kedua, edaran Menteri Agama Nomor SE 17 tahun 2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Sholat Idul Adha, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/2021 M di Wilayah Pemberlakuan PPKM Darurat. 

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan, khusus di wilayah yang diberlakukan PPKM darurat, maka peribadatan di tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, wihara dan klenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah yang dikelola masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan, ditiadakan sementara. 

Semua kegiatan peribadatan, selama pemberlakuan kebijakan PPKM darurat, dilakukan di rumah masing-masing. 

“Jadi, saat kebijakan diberlakukan, kegiatan peribadatan di wilayah yang menerapkan PPKM darurat, dilakukan di rumah masing-masing,” ujar Menag.

Menag mengatakan, penyelenggaraan malam takbiran di masjid/ mushola, takbir keliling, baik dengan arak-arakan berjalan kaki maupun dengan arak-arakan kendaraan, dan Sholat Hari Raya Idul Adha di masjid/mushola yang dikelola masyarakat, instansi pemerintah, perusahaan atau tempat umum lainnya, juga ditiadakan di seluruh kabupaten/ kota dengan level asesmen 3 dan 4 yang diterapkan PPKM darurat.

Untuk wilayah yang berada di luar pemberlakuan PPKM darurat, Sholat Hari Raya Idul Adha hanya dapat diselenggarakan pada daerah yang masuk zona hijau dan zona kuning berdasarkan ketetapan pemerintah daerah dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat. 

“Adapun kabupaten/ kota yang masuk zona merah dan zona oranye, meskipun tidak termasuk kabupaten/ kota yang diterapkan kebijakan PPKM darurat, Sholat Hari Raya Idul Adha ditiadakan,” ujarnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Saya Gak Takut Covid, Hanya Takut pada Allah, Benarkah Pernyataan Itu?

Tepat dua hari lalu saya telah menyelesaikan isolasi mandiri di pesantren setelah sebelas hari sebelumnya dinyatakan positif virus Covid-19. Sebenarnya, saya adalah tipe orang yang sangat jarang sakit. Bahkan, saya tidak ingat entah berapa tahun lalu terakhir merasakan sakit. Teman-teman sampai punya candaan jangan-jangan saya ini cucu Fir’aun yang terkenal tak pernah sakit. Hanya takut pada Allah, jangan takut pada covid-19.

Di seberang tempat saya berbaring, terdengar suara ustadz kondang dari salah satu smartphone santri yang bilang begitu, hanya takut pada Allah sajalah, jangan takut sama Covid-19. Ustadz kondang tersebut tengah terengah-engah menyampaikan pemikirannya itu dengan nada khas sedikit berapi-api.

Jujur saja, selama menjalani isolasi mandiri saya merasakan sakit luar biasa. Padahal, saya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Terbayang sudah, bagaimana rasa sakit mereka yang sebelum terkena Covid telah tercatat memiliki riwayat penyakit berat.

Saya hanya tersenyum mendengar pendapat ustadz tersebut. Pikiran saya tiba-tiba entah mengapa menolak. Padahal, seperti yang pembaca pikirkan, pendapat ustadz tersebut sangat dapat diterima. Kemudian saya teringat nasehat Al-Imam al-Syafi’i bahwa penerimaan akal pikiran menjadi kunci.

إذا ذكرت لكم دليلا أو برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبله لأن العقل مضطر لقبول الحق.

Jika aku menyampaikan argumenku kepada kalian lantas akal pikiran kalian menolak, jangan kalian terima karena akal menjadi kunci niscaya penerimaan kebenaran”.

Lalu, apa sebenarnya alasan saya menolak pemikiran ustadz kondang tadi? Semua berawal dari diskusi dengan sesama teman pondok sekaligus guru pribadi sesama mahasiswa jurusan tafsir. Unik memang, sepertinya hanya di pondok pesantren ada seseorang yang mengangkat teman seangkatannya sendiri sebagai mahaguru pribadi.

Dia memulai diskusi dengan menceritakan hasil bacaannya dari buku terjemahan The Message of The Quran karya Muhammad Asad. Teman sekaligus guru saya ini berujar bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan tidak akan merusak suatu kelompok masyarakat hanya karena dzalim dengan catatan masyarakat tadi berbuat kebaikan terhadap sesama.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ.

Karena, Pemeliharamu tidak akan pernah membinasakan suatu masyarakat karena [kepercayaan] zalim [semata], selama penduduknya berbuat kebajikan [satu sama lain]. (Hud [11] : 117)

Dzalim pada ayat ini biasa diartikan oleh kebanyakan mufasir klasik sebagai kemusyrikan. Akan tetapi Muhammad Asad berpendapat agak unik. Dia menyatakan bahwa dzalim di sini tidak hanya musyrik, melainkan juga perilaku buruk terhadap sesama manusia.

Untuk menyokong argumennya, Asad mengutip pendapat mufasir klasik lain daripada yang lain. Mufasir yang dikutip oleh Asad adalah al-Razy pemilik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib. Setelah berdiskusi, saya mengecek pendapat al-Razy yang dikutip Asad. Benar saja, saya mengangguk takjub atas apa yang disampaikan oleh al-Razy.

والمَعْنى أنَّهُ تَعالى لا يُهْلِكُ أهْلَ القُرى بِمُجَرَّدِ كَوْنِهِمْ مُشْرِكِينَ إذا كانُوا مُصْلِحِينَ في المُعامَلاتِ فِيما بَيْنَهم، والحاصِلُ أنَّ عَذابَ الِاسْتِئْصالِ لا يَنْزِلُ لِأجْلِ كَوْنِ القَوْمِ مُعْتَقِدِينَ لِلشِّرْكِ والكُفْرِ، بَلْ إنَّما يَنْزِلُ ذَلِكَ العَذابُ إذا أساءُوا في المُعامَلاتِ

Ayat tadi bermakna bahwa Allah tidak akan menghancurkan masyarakat “hanya” karena musyrik dengan catatan mereka berbuat baik terhadap sesama (manusia dan alam). Karenanya, sungguh adzab Allah yang membinasakan tidak akan turun hanya karena masyarakatnya berkeyakinan musyrik dan kafir. Malah, Allah menurunkan adzab tadi disebabkan jika suatu masyarakat berbuat buruk dalam bergaul terhadap manusia lain dan alam (mu’amalat).”

Menurut saya, pendapat al-Razy ini sangat logis dan masuk akal. Bahwa meskipun -mohon maaf-  suatu masyarakat tidak takut kepada Allah (musyrik, kafir) akan tetapi berbuat ishlah kebaikan terhadap sesama, Allah tidak akan membinasakannya.

Kita bisa berkaca pada peradaban Eropa yang tidak menakuti Allah karena kebanyakan dari mereka non-muslim akan tetapi menakuti Covid karena mereka sadar bahwa Covid akan mengacaukan kondisi ekonomi, sosial mereka. Lalu mereka berbahu-bahu mulai dari pemerintahan sampai masyarakat kelas bawah untuk menangani virus ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi canggih menciptakan vaksin.

Hasilnya? Apakah Allah mengadzab mereka karena tidak beriman? Yang ada adalah karena penanganan dari pemerintah maksimal lalu berefek positif kepada masyarakat, sekarang mereka sudah bisa memadati stadion sepak bola dan berkurumun hanya untuk merayakan tim nasional mereka sukses di turnamen Euro. Turnamen sepak bola empat tahunan di Eropa.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakatnya kesulitan berkerumun padahal tujuannya sangat penting, untuk beribadah. Ironis memang, di saat stadion sepak bola mulai padat, Masjidil Haram tempat Ka’bah berada masih harus kosong melompong. Karena untungnya, pemerintah Saudi masih sadar diri bahwa penanganan virus negara-negara mayoritas muslim masih kalah jauh dengan penanganan di Eropa.

Ini akibat, secara mu’amalah atau hubungan antara sesama manusia dalam konteks penanganan Covid di negara muslim sangat rendah jika dibandingkan dengan di wilayah Eropa. Padahal, hal semacam ini sudah sangat jelas terang benderang dalam al-Qur’an kitab suci yang katanya menjadi pedoman hidup masyarakat muslim. Anehnya, cahaya al-Qur’an lebih terang di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Al-Razy menambahkan, sebab ayat ini para ahli fikih klasik mewanti-wanti dengan ungkapan bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu lebih ketat dibanding pergaulan kepada Allah.

 قالَ الفُقَهاءُ إنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعالى مَبْناها عَلى المُسامَحَةِ والمُساهَلَةِ، وحُقُوقَ العِبادِ مَبْناها عَلى الضِّيقِ والشُّحِّ.

 Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

12 Adab yang Harus Diperhatikan Saat Membaca Alquran Digital

Adab membaca Alquran digital sama seperti mushaf biasa

Alquran digital kini banyak digunakan Muslim di Indonesia, terutama di kalangan milenial. Berbagai platform aplikasi Alquran digital yang dapat diunduh di smartphone makin memudahkan mereka membaca Alquran di manapun, kapan pun. Namun, bagaimana adab memperlakukan Alquran digital ini? 

Pendakwah sekaligus Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL), Ustadz Rakhmad Zailani Kiki, menjelaskan adab membaca Alquran digital sama dengan adab membaca mushaf Alquran. Habib Utsman bin Yahya dalam kitabnya Iqdul Juman menjelaskan sejumlah adab membaca Alquran yaitu sebagai berikut:  

Pertama bagi yang membaca Alquran adalah adab yang fardhu ain, yaitu dia wajib membaca Alquran, baik mushaf maupun digital, dengan tajwid. Maka, bagi seseorang yang membaca Alquran tanpa tajwid dia menjadi fasik.

Kedua, membaca Alquran digital dengan sungguh-sungguh dan sunnahnya dalam keadaan berwudhu, menghadap kiblat, menundukkan kepala sebagai bentuk hormat kepada Alquran, dan jangan duduk dengan bersandar. 

“Serta jangan duduk seperti kelakuan orang yang takabur mengangkat dirinya,” kata Ustadz Kiki kepada Republika.co.id, belum lama ini. 

Ketiga, seseorang yang membaca Alquran digital wajib merendahkan diri dan berperangai lemah lembut. Maka, jangan berangas dan jangan suka merasa lebih unggul dari yang lain dalam masalah bacaan atau membaca Alquran dengan suara yang berlawanan dari pembaca yang lain.

Keempat, orang yang membaca Alquran digital dan orang yang mendengarkan Alquran digital dengan sedih hati, meskipun dia tidak mengetahui akan artinya. 

Kelima, seseorang wajib membaca Alquran digital dengan ikhlas.

Keenam, seseorang yang membaca Alquran digital wajib telah mengamalkan setiap amal ibadah yang kewajibannya tertera di dalam Alquran, seperti sholat, puasa, dan beribadah dengan ikhlas. 

“Dan dia juga telah menjauhi setiap larangan Allah SWT yang tertera di dalam Alquran, seperti riya, takabur, dengki, mengumpat, mengadu satu sama lainnya, mencela orang, makan barang yang haram, dan lain-lain,” kata Ustadz Kiki.

Ketujuh, sunnah bagi seseorang yang membaca Alquran digital untuk membaguskan suaranya dengan lagu atau langgam. 

Kedelapan, hukumnya sunah untuk berdoa dan meminta rahmat apabila dibacakan ayat yang menyebutkan rahmat. Mintalah surga jika ayat yang dibaca terkait dengan surga dan mintalah dijauhkan dari api neraka jika ayat yang dibacakan terkait dengan neraka.

“Mintalah pula dijauhkan dari siksa apabila dibacakan ayat yang disebutkan siksa. Juga bacalah tasbih apabila dibacakan ayat tentang tasbih,” katanya.

Kesembilan, apabila dibaca Innallah wa malaikatahu hingga akhirnya, disunahkan untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Kesepuluh, hukumnya sunnah membaca Alquran digital dengan perlahan-lahan. 

Kesebelas, disunahkan bagi pembaca Alquran digital untuk takbir di akhir tiap-tiap surat, dari surat Ad Dhuha hingga akhir surat Alquran. 

Kedua belas, hukumnya sunnah untuk melakukan sujud tilawah sesudah membaca atau mendengarkan ayat yang terkait dengan sunah sujud. 

“Kekurangan Alquran digital adalah umumnya aplikasinya atau software-nya tidak tersimpan dalam ponsel atau gawai khusus Alquran, tercampur dengan file atau aplikasi lainnya yang bahkan kurang pantas sehingga kurang baik dalam sisi penghormatannya dan kemuliaannya,” kata Ustadz Kiki.

Karena itu, dia menyarankan, pemilik atau pemakai Alquran digital harus menjaga ponsel atau gawainya dari aplikasi, file atau software yang kurang pantas.   

sumber : Harian Republika

Mengapa Rasulullah Ajarkan Kita Makan dengan Tangan Kanan?

alah satu adab makan adalah makan dengan bantuan tangan kanan. Ini sifatnya sunnah, karena mengikuti adab dan perilaku Rasulullah. Penggunaan tangan kanan saat makan tentu ada hikmah dan alasan, seperti yang diajarkan oleh Baginda Nabi. Tapi, apa alasan Rasulullah ajarkan umatnya makan dengan tangan kanan?

Ternyata, anjuran dan kesunnahan yang dilakukan Nabi menggunakan tangan kanan saat makan ada hikmahnya. Yaitu, agar tidak menyerupai setan. Karena setan menggunakan tangan iri saat makan dan minum, maka untuk membedakannya dan tidak mengikutinya, kita sebagai umat Nabi Muhammad disunnahkan makan dengan tangan kanan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عَبدِ الله بن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يَأْكُلَنَّ أحَدٌ مِنكُم بشِمالِهِ، ولا يَشْرَبَنَّ بها، فإنَّ الشَّيْطانَ يَأْكُلُ بشِمالِهِ، ويَشْرَبُ بها. قالَ: وكانَ نافِعٌ يَزِيدُ فيها: ولا يَأْخُذُ بها، ولا يُعْطِي بها. وفي رِوايَةِ أبِي الطَّاهِرِ: لا يَأْكُلَنَّ أحَدُكُمْ.

Artinya: dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Saw bersabda, “janganlah di antara kalian makan dengan tangan kirinya, dan janganlah minum dengan tangan kiri juga, karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kirinnya.” Lalu dalam riwayat Nafi’ menambahi, “dan janganlah mengambil sesuatu dengan tangan kiri dan memberi sesuatu dengan tangan kiri.” Dan dalam riwayat Abu Thahir dengan narasi, “La Ya`kulunna ahadukum (janganlah sekali-kali di antara kalian)” (HR. Muslim)

Anjuran untuk makan dan minum dengan tangan kanan adalah untuk menyalahi setan. Artinya, jika kita makan dan minum dengan tangan kiri secara sengaja, kita mengikuti perbuatan setan. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, jangan pula mengambil sesuatu atau memberi sesuatu dengan tangan kiri.

Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Apapun perbuatannya, bahkan sampai aktifitas makan jangan diikuti. Sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqoroh ayat 208,

 وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

Demikian hikmah dibalik anjuran makan dan minum dengan tangan kanan dari Rasulullah. Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG MUSLIMAH

Keutamaan Membaca Dzikir di Awal Sepuluh Dzulhijjah

Dzikir dengan suara keras maupun pelan, merupakan suatu amal ibadah yang tak terikat dengan waktu. Kapan pun dan dalam keadaan apapun. Saat berdiri, duduk, berjalan dan seterusnya. Siang, malam, pagi dan sore. Salah satu keutamaannya yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah bisa menenangkan hati.

Namun, ada waktu-waktu tertentu yang sangat dianjurkan untuk berdzikir. Ada nilai lebih bila dilakukan pada saat-saat yang telah diinformasikan oleh Allah maupun Rasulullah. Di antaranya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Artinya:  “Dan (agar) menyebut (berdzikir) nama Allah di hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28).

Menurut mayoritas ulama, seperti Ibnu Abbas dan Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan hari-hari yang telah ditentukan tak lain sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Pada ayat yang lain Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41).

Ahmad Ibnu Hanbal dalam musnadnya menulis sebuah hadis, “Mengabarkan kepada kami ‘Affan, mengabarkan kepada kami Abu ‘Awanah, mengabarkan kepada kami Yazid Ibnu Abi Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah, dan lebih dicintai oleh Allah amal-amalnya dari hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah. Maka perbanyaklah di hari-hari itu membaca tahlil, takbir dan tahmid”.

Keterangan dari dua sumber pokok hukum Islam di atas semakin menguatkan pendapat para ulama salaf yang menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak dzikir di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Imam Thabrani dalam sebuah hadis mengisahkan kisah Nabi Musa yang sempat mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, aku telah berdoa, namun mengapa Engkau enggan mengabulkannya?. Maka kiranya Engkau sudi mengajariku yang dengannya aku dapat berdoa memohon kepada-Mu ya Allah”, keluh kesah Nabi Musa.

Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, “Wahai Nabi Musa, jika telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah, ucapkanlah kalimat “La Ilaha Illallah”, maka akan Aku kabulkan keinginanmu”.

Lalu Nabi Musa kembali mengadu kepada Allah, “Wahai Tuhanku, seluruh hamba-Mu akan mengucapkannya”.

Kemudian Allah memberi kabar gembira lagi kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, barang siapa mengucapkan “La Ilaha Illallah” dalam hari-hari ini (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) sekali saja, andai tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan di atas satu telapak timbangan amal, sedangkan kalimat tahlil tersebut diletakkan di atas telapak timbangan yang lain, sungguh (kalimat tahlil) itu lebih berat dan lebih unggul dibanding ketujuh langit dan bumi seisinya”. Sebagaimana lazimnya, umat Islam berdzikir menggunakan kalimat tahlil. Dengan demikian, maka sangat rugi bila tidak memanfaatkan waktu di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan memperbanyak berdzikir membaca kalimat tahlil.

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Shalat Idul Adha Sendirian

Idul Adha biasanya dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijah.  Idul Adha juga disebut dengan Hari Raya Kurban. Bagi orang yang berkecukupan meteri atau kaya, dianjurkan untuk berkurban.  Bentuk kepeduliaan terhadap sesama manusia.

Selain melaksanakan kurban, dianjurkan juga untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Ada pun hukum melaksanakan shalat Idul Adha para ulama berbeda pendapat. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i menyebutkan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah ath Thalibin. Ia dalam bab permulaan menerangkan masalah shalat Ied menuliskan hukum shalat Idul Adha adalah sunah. Imam Nawawi berkata;

هي سنة على الصحيح المنصوص

Artinya; Hukum shalat Ied adalah sunnah, yang anjuran mengerjakannya terdapat dalam nash.

Imam Mardawi dalam Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, karya Imam Al Mardawi—ulama dari kalangan Hanbali—, mengatakan hukum melaksanakan shalat Idul Adha adalah sunah muakkadah. Ia berkata;

وعنه -أي: الإمام أحمد- هي -أي: صلاة العيد- سُنَّة مؤكَّدة

Artinya; Dan dari padanya—artinya dari Imam Ahmad bin Hanbal— hukum melaksanakan shalat Ied adalah sunah muakkadah.

Kemudian datang persoalan, Indonesia dalam keadaan pandemi Covid-19. Pemerintah pun memberlakukan Penetapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dalam kondisi PPKM Darurat, kegiatan keagamaan di masjid ditangguhkan. Nah dengan demikian bolehkah shalat Idul Adha secara sendirian (munfarid)?

Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab, menerangkan seyogianya shalat Ied dilaksanakan berjamaah. Akan tetapi bila ada yang melaksanakan secara munfarid atau sendirian maka shalat Ied tetap sah. Artinya, Shalat Idul Adha secara sendirian di rumah  hukumnya boleh.

Imam Nawawi berkata dalam al Majmu’ Syarah al Muhadzab;

تسن صلاة العيد جماعة، وهذا مجمع عليه؛ للأحاديث الصحيحة المشهورة، فلو صلاها المنفرد؛ فالمذهب صحتها

Artinya:  Sunah hukumnya melaksanakan shalat Ied (Adha dan Fitri) secara berjamaah, ini pendapat mayoritas,  pasalnya terdapat dalam hadis yang shahih. Jikalau shalat Ied seseorang dalam keadaan sendirian, maka shalatnya tetap sah.

Mufti Dar Ifta Mesir, Syekh Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam suatu waktu ditanya terkait shalat Ied yang dikerjakan secara sendirian. Ia lantas menjawab dengan mengatakan bahwa melakanakan shalat Ied secara berjamaah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Dan shalat secara berjamaah bukan syarat sah shalat Ied.

ومعنى كون الجماعة فيها من السنن، أي: إنَّه يصح أداؤها في غير جماعة، فالجماعة على ذلك ليست من شروط صحتها

Artinya; pengertian “keadaan shalat Jamaah” pada shalat Ied adalah sunnah artinya sesungguhnya sah melaksanakannya dalam keadaan tidak berjamaah, maka shalat Ied dalam keadaan berjamaah atas demikian bukan menjadi syarat sah shalat Ied.

Sementara itu dalam kitab Tuhfah al Muhtaj bi Syarhi al Minhaj karya Ibn Hajar mengatakan shalat Idul Adha tetap sunah hukumnya dikerjakan meskipun dalam keadaan sendirian atau munfarid. Tetapi bagi orang yang melaksanakan shalat Idul Adha secara sendirian, tidak pakai khutbah. Ia berkata;

وتسن للمنفرد، ولا خطبة له

Artinya; Disunahkan juga shalat Ied meskipun sendirian, dan tidak perlu pakai khutbah (khutbah Ied).

Pada sisi lain, Imam Mardawi dalam kitab al Inshaf , mengatakan bagi orang yang ketinggalan dalam melaksanakan shalat Idul Adha atau Idul Fitri, maka ia disunnahkan mengqadha (ganti) shalat Ied tersebut. Caranya sebagaimana yang dilakukan oleh Imam tersebut.

وإن فاتته الصلاة (يعني : صلاة العيد) استحب له أن يقضيها على صفتها (أي كما يصليها الإمام)

Artinya; Jika seseorang luput melaksanakan shalat (maksudnya; shalat Ied) maka sunah baginya untuk meng-qadha sebagamaina sifat shalat Ied, (artinya; sebagaimana shalat Ied Imam).

Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni menjelaskan, orang yang ketinggalan shalat Ied, maka ia boleh  memilih. Antara melaksanakan shalat Ied secara sendirian atau pun berjamaah. Itu dibenarkan oleh syariat.

“وهو مخير ، إن شاء صلاها وحده ، وإن شاء صلاها جماعة” انتهى

Artinya; Ia bisa memilih; jika ingin shalat Ied sendirian atau pun jika ingin bisa melaksanakannya secara berjamaah.

BINCANG SYARIAH

Hormati Keputusan Para Dokter di Masa Pandemi Ini

Yuk hormati keputusan para dokter di masa pandemi ini. Bukanlah kita serahkan sesuatu harus kepada ahlinya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyerahkan Maslahat Dunia kepada Ahlinya

Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ

Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا لِنَخْلِكُمْ

Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

Lebih jelasnya lagi pada ilmu pengobatan bisa diperhatikan dari hadits berikut ini.

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «

“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”  (HR. Abu Daud, no. 3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

Para Ulama Sangat Hormati Keputusan Dokter

Imam Syafi’i rahimahullah saja sangat menghormati profesi dan otoritas dokter serta mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya.

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,

لاَ أَعْلَمُ عِلْمًا بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلُ مِنَ الطِّبِّ إِلاَّ أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” (Siyar A’lam An-Nubala, 8:528, Darul Hadits)

Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,

إِنَّمَا العِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ الدِّيْنِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالعِلْمُ الَّذِي لِلدِّيْنِ هُوَ: الفِقْهُ، وَالعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ

“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]

Imam Syafi’i rahimahullah membuat ungkapan sebagai berikut:

لَا تَسْكُنَنَّ بَلَدًا لَا يَكُوْنُ فِيْهِ عَالِمٌ يُفْتِيكَ عَن دِينِك، وَلَا طَبِيبٌ يُنْبِئُكَ عَنْ أَمْرِ بَدَنِك

“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hlm. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Kasihan sekali, banyak umat jadi tertinggal akibat sikap ulamanya yg hanya memandang sisi keutamaan ibadah tanpa memperhatikan aspek Sunnatullah dalam bidang medis. Kalau Imam Syafii hidup saat ini pasti beliau akan terlepas diri dari fatwa-fatwa ulama yang tidak tepat dan abai terhadap Sunnatullah.

Wallahu a’lam.

Penyikapan Wabah di Masa Silam yang Keliru

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Shalat Berjamaah dengan Menjaga Jarak Bukanlah Bid’ah dan Menyelisihi Manhaj

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun, jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).

Memakai Masker Saat Shalat Berjamaah

Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Shalat Jumat Saat Kasus Covid Meningkat

Jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Kuatkan Diri dengan Doa dan Dzikir Saat Kasus Covid Meningkat

Jangan Mudah Menyebarkan Berita yang Tidak Jelas, Bukan dari Pakarnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.”

Hanya Allah beri taufik dan hidayah.

Semangat terus para dokter, kami di belakangmu. Yuk taat protokol kesehatan apalagi pandemi semakin menanjak dan kasus di sekeliling kita masih banyak.

Selasa pagi, 3 Dzulhijjah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28766-hormati-keputusan-para-dokter-di-masa-pandemi-ini.html

Ingin Jadi Youtuber Terkenal?

Mungkin di zaman ini banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi youtuber terkenal. Padahal senang pada popularitas itu akan merusak agama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

ما ذئبانِ جائعانِ أُرسلا في غنمٍ، بأفسدَ لها من حرصِ المرءِ على المالِ والشرفِ، لدِينه

“Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor kambing, itu tidak lebih merusak daripada ambisi manusia terhadap harta dan kedudukan, yang itu akan merusak agamanya” (HR. At Tirmidzi no. 2376, ia berkata, “hasan sahih”).

“Jangan lupa like video saya ya … “

Itulah slogan para Youtuber. Berharap penonton memuji videonya dan mereka terus mencari decak kagum para penonton. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

“Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih” (HR. Ahmad no. 16460, disahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 2674).

Al Munawi Rahimahullah menjelaskan,

لِما فيه من الآفة في دين المادح والممدوح، وسمّاه: ذبحاً، لأنه يُميت القلب فيخرُجُ من دينه، وفيه ذبحٌ للممدوح فإنه يَغُرّه بأحواله ويُغريه بالعُجب والكِبْر

“Karena senang dipuji itu akan menjadi penyakit bagi agama orang yang memuji ataupun yang dipuji. Disebut oleh Nabi sebagai ‘disembelih’ karena ini akan mematikan hati, sehingga mati pula agamanya. Juga orang yang dipuji seperti disembelih, karena ia akan tertipu dengan sifat ujub dan sombong” (Faidhul Qadir, 3/129).

Dan jika ternyata berhasil jadi terkenal atau viral, namun yang ditampilkan adalah keburukan dan pelanggaran agama, ngerinya bisa menjadi dosa jariyah. Dosa yang mengalir terus selama diamalkan dan diikuti oleh para follower dan subscriber.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

من دعا إلى هدًى ، كان له من الأجرِ مثلُ أجورِ من تبِعه ، لا يُنقِصُ ذلك من أجورِهم شيئًا . ومن دعا إلى ضلالةٍ ، كان عليه من الإثمِ مثلُ آثامِ من تبِعه ، لا يُنقِصُ ذلك من آثامِهم شيئا

“Barang siapa yang mendakwahkan kebenaran, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barang siapa mendakwahkan kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).

Itulah ngerinya menjadi terkenal.

Oleh karena itu para salaf dahulu benci popularitas. Ibrahim An Nakha’i Rahimahullah mengatakan,

كفى فتنة للمرء أن يشار إليه بالأصابع في دين أو دنيا إلا من عصمه الله

“Cukuplah sebagai fitnah (ujian) bagi seseorang, ketika jari-jari menunjuk padanya dalam masalah agama atau masalah dunia. Kecuali orang-orang yang Allah selamatkan” (Az Zuhd libni Surri, 2/442).

Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan,

إياك والشهرة؛ فما أتيت أحدًا إلا وقد نهى عن الشهرة

“Jauhilah cinta popularitas, dan aku tidak menemui satu guru pun kecuali mereka melarang cinta popularitas” (Siyar A’lamin Nubala, 7/260).

Bisyr bin Al Harits Rahimahullah mengatakan,

مَا اتَّقَى اللهَ مَنْ أَحَبَّ الشُّهْرَةَ

“Tidak akan bisa bertakwa kepada Allah orang yang cinta popularitas” (Siyar A’lamin Nubala, 10/476).

Bukan berarti terlarang untuk meng-upload video ke Youtube. Selama itu edukatif, bermanfaat, dan tidak mengandung perkara-perkara haram, maka tidak mengapa. Namun lebih baik jika tanpa disertai upaya untuk mencari popularitas diri. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan dan tersembunyi” (HR. Muslim no. 2965).

Dijelaskan oleh Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah,

هو الذي لا يظهر نفسه ، ولا يهتم أن يظهر عند الناس أو يشار إليه بالبنان أو يتحدث الناس عنه

“Yaitu orang yang tidak menampakkan dirinya, tidak berambisi untuk tampil di depan manusia, atau untuk ditunjuk oleh orang-orang atau diperbincangkan oleh orang-orang” (Syarah Riyadush Shalihin, 629).

Maka jangan jadikan “terkenal” dan “viral” sebagai cita-cita, karena itu adalah ujian dan bencana. Teruslah berkarya dalam hal yang manfaat untuk dunia dan akhirat, namun buang jauh-jauh rasa ingin dikenal.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67391-ingin-jadi-youtuber-terkenal.html

Bagaimana Muslim Sikapi Survei Jenggot Rawan Covid-19?

Survei menyebut penggunaan masker tak tepat untuk jenggot picu Covid-19

Sebuah penelitian beberapa waktu lalu menyebut jenggot dapat meningkatkan risiko terpapar atau bahkan menularkan Covid-19. Penularan terjadi karena jenggot disebut akan membuat celah di masker yang dipakai seseorang, sehingga memungkinkan virus masuk atau keluar dari celah tersebut.

Dilansir dari CNN, seorang Profesor klinis dermatologi dari Yale School of Medicine, Dr Mona Gohara, menyebut penggunaan masker yang tidak maksimal dapat meningkatkan risiko terkena infeksi virus Covid-19. “Jika masker tidak dipasang dengan benar, apapun alasannya, Anda meningkatkan risiko terinfeksi,” katanya.

“Masker yang dipasang dengan benar itu menempel dengan kulit bukan menempel di rambut (jenggot),” tambahnya.

Tentu penelitian ini berdampak kepada orang-orang yang gemar memelihara jenggot. Terlebih bagi sebagian besar Umat Islam, jenggot diyakini sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW. Lantas bagaimana seharusnya bersikap?

Pendakwah Ustadz Zapari Harahap menjelaskan memelihara jenggot adalah ajaran Islam dan sunnah Nabi, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat ulama dalam menyikapi hal ini. Terlebih memelihara jenggot adalah sunnah yang mudah bagi seseorang yang memang diberkahi dengan kemudahan memanjangkan jenggot. Sehingga memotongnya seperti sebuah kehilangan ladang amal bagi seorang Muslim.

“Ketika kita (memanjangkan jenggot) niatnya ibadah, kita dapat pahala 24 jam. Kita dapat pahala tanpa ngapa-ngapain, logikanya begitu,” jelas Ustadz yang juga memanjangkan jenggotnya ini.

Memanjangkan jenggot juga disebutnya memiliki manfaat medis yang akan berdampak baik bagi kesehatan orang yang melakukannya. Menurutnya, beberapa penelitian dari Barat menyebutkan berbagai manfaat mengamalkan sunnah Nabi ini.

Ustadz yang juga anggota anggota Asosiasi Ruqyah Syar’iyyah Indonesia (ARSYI) ini juga mengatakan jenggot memiliki kelebihan tersendiri, yakni dapat menakuti setan. Hal ini dikatakannya sering dialami para praktisi ruqyah.

“Setan mampu melihat kita dari sudut pandang mereka, sedangkan kita tidak bisa melihat mereka. Artinya ketika kita mengamalkan sunnah sesuai yang diperintahkan Rasulullah ini akan membuat efek ketakutan kepada setan. Karena sesuatu yang disukai atau diperintahkan Rasul itu sangat dibenci setan,” jelasnya.

Adapun terkait jenggot yang meningkatkan risiko terpapar Covid-19, dikatakannya masalah ini hanya terkait cara seseorang menggunakan maskernya dengan baik. Dia yang juga memiliki jenggot panjang sering melipat jenggotnya ketika memakai masker agar tidak ada celah untuk virus masuk.

Sunnah memanjangkan jenggot juga dikatakannya diberi panduan oleh Nabi, seperti anjuran merapihkannya dan membersihkannya. Sehingga jenggot tidak justru mencitrakan buruk seorang Muslim dan tidak memberikan dampak buruk bagi kesehatan.

“Setiap wudhu kita itu juga kan jenggot dimasukkan celah-celahnya pakai jari bersamaan dengan mengelus dagu, karena dagu ini harus basah. Jadi ada tata caranya, nggak mungkin sebuah ibadah yang baik untuk manusia membuat orang itu sulit atau menyulitkan,” ungkapnya.

Sebenarnya Dr Mona Gohara juga menyebutkan solusi untuk maslah ini tidak selalu harus memotong jenggot, ada beberapa cara lain yang bisa menjadi pilihan atau solusi. Seperti menggunakan masker yang memang berukuran besar yang cukup untuk menutupi hidung, mulut hingga jenggot.

Bagi seorang profesional medis yang memang berjenggot, bisa juga menggunakan respirator pemurni udara terkontrol atau respirator pemurni udara bertenaga. Alat ini memang dirancang untuk mengakomodasi rambut wajah sekaligus melindungi diri dan orang lain.

Bisa juga menggunakan masker ganda, satu untuk menutupi bagian hidung dan mulut dan yang kedua untuk menutupi jenggot hingga ke leher. “Dimulai dengan mengenakan masker N95 atau masker dengan dasi, semacam itu menciptakan sedikit lebih banyak keamanan dan keketatan. Lalu lanjutkan dengan masker lain yang Anda kenakan di janggut Anda, pas di rahang atau leher Anda, dan kencangkan dengan melilitkan tali di belakang telinga Anda atau dengan mengikatnya di belakang kepala Anda,” ungkapnya.

KHAZANA REPUBLIKA

Selain Dokter Lois Owien, Sebagian Penceramah Agama Juga Tak Percaya Covid-19

 Selain Dokter Lois Owien, terdapat juga para penceramah yang tak percaya Covid-19. Hal itu bisa dijumpai dalam media sosial dan video Youtube masing-masing penceramah. Tentu ini sebuah keresahan besar bagi umat beragam.

Syahdan, Andi berlari. Sekencang tenaga. Tak mau berhenti. Jarak 500 meter ia tempuh dalam sekejap. Napasnya turun-naik.  Degup jantungnya berdetak kencang.  Sesekali ia menarik napas panjang-panjang. Keringat bercucuran deras. Mengalir dari dahi. Bajunya basah. “Virus Corona itu hoaks,” celetuknya.

Tertegun saya mendengar katanya. Tanpa membalas saya berlalu dari hadapannya.  “Ini air minum. Minumlah sejenak” kata saya. Tatapan mata Andi kian tajam. Sorot bola matanya terarah. Gerakan bibirnya seperti ingin melanjutkan ucapan tadi. “Itu kata Ustadz anu. Saya percaya,” lanjutnya.

Andi memang seorang pemuda. Ia mahasiswa disalah satu universitas negeri. Sembari belajar ilmu umum, ia juga rajin belajar agama. Ia punya idola. Seorang ustadz. Tak pernah absen mendengar ceramahnya. Saban hari ia sempatkan, meski barang sejenak.

Sekitar setahun lalu, seorang sahabat lain mengeluh. Ia khawatir. Kerut didahinya berlipat. Ia sedang berpikir panjang. Tatapan matanya pun kosong. Wajahnya sayu. “Ada apa,” tanya saya.

“Gawat. Ibu ku bilang, keluarga besar ku bilang Covid-19 tentara Tuhan,” ceritanya. Keluarganya sangat nge-fans terhadap seorang penceramah beken. Ia masyhur. Pengikutnya panatik. Ia lulusan dari salah satu universitas Islam terbaik di dunia. Bahkan gelar master dan doktor, ia tamatkan dari luar negeri.

Mereka sekeluarga sering mendengar ceramah ustadz ini. Apapun yang ia sampaikan diterima sebagai sebuah kebenaran. Rasa hormat dan takut durhaka, menjadi stempel mati yang dipercaya.  Selain sesama dari Sumatera, ustadz ini dianggap otoritatif. “Keluarga ku fans garis keras,” tuturnya, setahun lalu.

Narasi Covid-19 merupakan tentara Allah sempat viral di media sosial. Pasalnya seorang penceramah kondang menyebut, Virus Corona adalah tentara Allah. Virus ini untuk membalaskan dendam atas penyiksaan terhadap Muslim Uighur, di China.

Pada sisi lain, ada juga seorang ustadz dengan inisial UZ. Dengan lantang menyebut hal serupa. Virus Corona adalah makhluk yang diutus Allah untuk membalaskan dendam terhadap komunis China. Pasalnya mereka telah berbuat aniaya dan picik terhadap muslim Uighur.

Imformasi ini diperoleh si Ustadz setelah menonton video ruqyah yang dilakukan oleh Syekh Halima Abdurrauf. Konon, dalam video itu diperlihatkan seorang pemuda yang keserupan jin. Lantas si pemuda yang tengah kesurupan jin muslim itu ditanya terkait Virus Covid-19. “ Virus corona itu adalah kebocoran yang menyebar, lalu kami (jin) mengambilnya dan memindahkanya ke tubuh orang China Wuhan.

Lantas apa motif jin yang mengambil virus dan menyebarkannya ke manusia. Jin menjawab, untuk membalas dendam terhadap penderitaan muslim Uighur. Rupanya jin juga sedih hati. Melihat kaum Uighur disiksa, tapi mereka tak tahu cara membantunya. Virus Corona membantu membalas dendam kaum Uighur.

Ceramah Ustad tersebut bisa Anda tonton dalam UZMA Media TV Channel. Silakan klik judulnya Terungkap! Misi Terselubung di Balik Virus Corona. Video ini sudah ditonton sebanyak 153 ribu kali. Jumlah yang banyak. Dan penontonya pun rata-rata anak muda yang berusia sekitar 17-40 tahun.

Pada kesempatan lain, UZ juga tak kalah membuat heboh. Pendakwah yang berasal dari Sumatera ini menyebut bahwa virus Corona dibuat oleh illuminati. Ada konspirasi besar di  balik pembuatan Virus tersebut.

Berikut saya kutipkan transkipnya pada Anda;

Baru kemarin terbongkar, ada seorang doktor Muslim yang soleh berhasil me-ruqyah seseorang yang kesurupan jin. Setan yang ada dalam tubuh orang itu diajak berbicara dan berbicara tentang virus corona”. “Apa kata kata mereka? Yang membuat virus corona ini adalah illuminati”

Lagi-lagi pencarian sumber kebenarannya dari jin. Kali ini berasal dari seorang wanita bercadar yang diruqyah. Dan jadilah ia mengatakan demikian. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang agamawan kita percaya hal seperti ini. Sialnya ia pun menyebarkan pada pengikutnya. Lebih sial lagi, banyak para pengikut ini yang percaya dan terus menyebarkanya. Berkelindan.

Pada sisi lain, muncul isu Covid-19 sebagai konspirasi yang ingin membunuh umat Islam.  Isu ini muncul dari hasil ceramah seorang tokoh agama. Ia menyebut Covid-19 buatan Komunis dan Barat, untuk membungihanguskan umat Islam. Pasalnya,  menurut si Ustadz para kaum komunis, Nasrani, dan Yahudi tak akan senang melihat umat Islam.

Sebagai argumen, si ustadz menyebutkan bahwa anak-anak kita tidak bisa sekolah. Masjid kita ditutup. Tak bisa ibadah. Shalat berjamaah dilarang. Silaturrahmi pun terputus. Ini adalah fitnah yang sangat kejam.

Faisal Irfani, dalam artikel Menyelami Isi Pikiran Penganut Konspirasi Anti-COVID & Anti-Vaksin mempertontonkan seorang tokoh terpandang di Kedoya Jakarta Selatan yang menolak Covid-19. Ia dipanggil “Pak Haji”. Baginya Covid-19, tak lebih dari sekadar flu biasa.

Pak Haji menduga virus ini diciptakan sebagai ajang untuk kepentingan lain. adanya motif jahat dari pejabat tanah air. Pasalnya, argumen pendukung sudah ada. Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Ia menduga ada permain terstuktur dari narasi Covid-19.

Narasi ini sungguh sangat menjengkelkan. Terlebih di tengah banyaknya korban meninggal akibat Covid-19. Saya tak bisa membayangkan seorang yang kehilangan keluarga dan orang yang dicintai akibat Covid-19, lalu mendengar argumen ini. Saya juga tak bisa membayangkan bila seorang yang tengah terjangkit dan tak menemukan ruangan untuk perawatan, lantas membaca dan mendengar argumen mereka yangtak percaya covid-19. Sedih. Geleng-geleng kepala. Tentu saja marah.

Para penceramah agama yang menyangkal Covid-19, dengan alasan teori konspirasi dan lainnya,menurut hemat saya suatu pandangan yang berbahaya. Terlebih mereka adalah public figur. Para orang yang diangggap otoritatif. Tentu ini akan berkelindan. Terlebih mereka mempunyai pengikut yang panatik.

Di sisi lain, para penceramah ini tak sedikit yang memnyebarkan narasinya memakai term-term agama. Membungkus argumennya dengan ayat Al-Qur’an dan Hadis. Hal itu untuk meligitimasi pendapatnya.

Pasalnya, tak sedikit orang apabila sudah dibacakan ayat dan hadis akan menelannya secara mentah. Tanpa melihat konteks, status, dan penafsiran teks suci itu. Sakral merupakan kata yang ditelan mentah-mentah.

Tentu ini merupakan tantangan di tengah krisis pandemi seperti ini. Korban terus meningkat. Jumlah pasien positif terus bertambah. Dan kafasitas rumah sakit telah melebihi kafasitas. Oksigen pun langka.

Argumen dan narasi mereka yang tak percaya Covid-19 sangat berbahaya dan meresahkan.  Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan Jadi 21,2 persen atau seperlima penduduk kita menganggap Covid-19 itu adalah hoaks. Survei IPI itu berlangsung pada 1 sampai 3 Februari 2021 terhadap 1.200 responden yang dianggap mewakili populasi penduduk.

Pada sisi lain, Lembaga survei The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan jajak pendapat terkait covid-19 dan vaksinasi. Survei CSIS menyatakan kalau generasi Z– anak muda dengan usia 17-22 tahun—,  merupakan kelompok yang paling banyak tidak percaya tentang covid-19 dan tidak percaya terhadap vaksin.

CSIS melakukan survei terhadap 800 responden dengan masing-masing 400 orang di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Survei dilakukan pada penduduk usia 17 tahun ke atas, atau sudah menikah. Survei ini  menggunakan metode sampel acak dan margin error sampel kurang lebih 3,46 persen. Hasil survei menunjukkan Sekitar 10 persen responden di DKI Jakarta dan 6,3 persen responden di Yogyakarta tidak percaya pada covid-19.

Langkah apa yang bisa ditempuh?

Berhubung pendengung narasi tak percaya Covid-19 dan Covid-19 konspirasi adalah publik figur—yang notabenenya adalah pemuka agamawan—, maka tugas para kiai, ustadz, cendikiawan yang mempunyai keilmuwan agama tinggi untuk melawan narasi ini. Dan juga memberikan pencerahan terhadap masyarakat luas.

Di samping itu, para dokter dan mereka yang memiliki otoritas untuk terus memberikan edukasi untuk masyarakat luas. Bila tidak? Ini akan sangat berbahaya. Terleih pada era PPKM darurat seperti ini. Akan ada saja yang menganggap enteng. Dan berakibat fatal bagi dirinya dan orang lain.

Terakhir, untuk para pendengung Covid-19 hoaks dan konspirasi Yahudi dan Barat, sehingga Anda tak percaya pada Covid-19, saya hanya berharap dua hal saja. Lihatlah kepemakaman dan rumah sakit. Betapa saudara Anda seiman sedang berjuang dari rasa sakit. Dan juga ada air mata akibat kehilangan.

Saya juga berharap Anda tak terjangkit virus ini. Dan tak kehilangan orang tercinta akibat ganasnya covid-19. Karena saya tahu, kehilangan dan berpisah dengan orang akibat kematian, tak ada obatnya. Perih dan duka selamanya.

BINCANG SYARIAH