Hukum Nazar Pemilu dalam Islam, Bolehkah?

Bagaimana hukum nazar Pemilu dalam Islam? Pasalnya, saat ini jagat Media Sosial tengah digemparkan dengan postingan salah satu pendukung paslon Capres Pemilu 2024. Dalam postingan tersebut ia bernazar akan membagi-bagikan buku tentang mental health dan buku agama kepada 3 orang, jika salah satu paslon yang tidak didukunganya kalah.

Postingan tersebut diunggah di aplikasi x dengan nama akun @faraahabidah. Ia menggunakan hastag #Nazarpemilu yang sedang trend di Media Sosial saat ini. Lantas bagaimanakah pandangan Islam terhadap fenomena ini? Bolehkah bernazar untuk kepentingan pemilu, jikalau boleh wajibkah orang yang bernazar memenuhi janjinya?

Dalam Islam nazar secara etimologi memiliki arti janji. Sedangkan menurut syara’ nazar adalah janji khusus terhadap perbuatan baik. Nazar juga terbagi menjadi dua macam yakni Nazar Mubham dan Nazar Mu’ayyan. Selengkapnya berikut penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu juz 4 halaman 2553;

النذر لغة: الوعد بخير أو شر، وشرعاً: الوعد بخير خاصة. وأما‌‌ المنذور فنوعان: مبهم ومعين، فالمبهم: ما لا يبين نوعه كقوله: لله علي نذر، وحكمه أن فيه في رأي المالكية كفارة يمين. والمعين: أربعة أنواع الأول ـ قربة، فيجب الوفاء بها. الثاني ـ معصية، فيحرم الوفاء بها. الثالث ـ مكروه، فيكره الوفاء به . الرابع ـ مباح، فيباح الوفاء به وتركه، وليس على من تركه شيء

Artinya: “Nazar secara bahasa adalah janji untuk kebaikan atau kejahatan, dan secara hukum syar’i adalah janji khusus untuk kebaikan. Adapun Nazar yang diucapkan ada dua macam, yaitu Mubham dan Muayyan. Yang Mubham adalah yang tidak memperjelas jenisnya, seperti ucapan: Kepada Allah aku telah bernazar, dan hukumnya adalah menurut pendapat Maliki, berisi penebusan atas sumpah.

Nazar Muayyan itu ada empat jenis: Yang pertama adalah tindakan pengorbanan yang harus dipenuhi. Yang kedua adalah dosa, maka haram untuk menunaikannya. Ketiga, tidak disukai, maka tidak disukai untuk menunaikannya. Keempat, boleh, maka boleh menunaikannya dan meninggalkannya, dan siapa yang meninggalkannya, tidak wajib melakukan apa pun.”

Selain itu dalam bernazar dapat dikatakan sah ketika orang yang bernazar memenuhi beberapa syarat yakni islam, baligh dan berakal sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu juz 4 halaman 2554;

‌‌أولاً ـ الأهلية من العقل والبلوغ: فلا ينعقد نذر المجنون والصبي غير المميز والصبي المميز؛ لأن هؤلاء غير مكلفين بشيء من الأحكام الشرعية، فليسوا أهلاً للالتزام. ثانياً ـ الإسلام: فلا يصح نذر الكافر، حتى لو نذر، ثم أسلم، لا يلزمه الوفاء بنذره لعدم أهليته للقربة أو التزامها

Artinya; “ Pertama, berakal dan baligh. Oleh karena itu tidak sah Nazarnya seoarang yang gila, anak kecil yang belum tamyiz dan anak kecil yang sudah tamyiz. Karena mereka belum terbebani Hukum Syariat, oleh karenanya mereka tidak kompeten untuk berkomitmen. Kedua, beragama islam. Maka tidak sah nazarnya orang kafir (non muslim), meski ia pernah bernazar kemudian masuk islam. Maka ia tidak wajib memenuhi janji nazarnya ketika telah masuk Islam. Karena tidak adanya kompetensi untuk mendekatkan diri dan berkomitmen kepada allah.”

Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa nazar yang telah ditulis dan dipost di aplikasi x oleh akun @faraahabidah di atas dapat dikategorikan sebagai Nazar Muayyan yang berupa ibadah, yakni membagikan sebuah buku.

Oleh karenanya ia harus memenuhi janjinya tersebut apabila Paslon capres tersebut kalah. Namun hal itu berlaku jika pihak yang bernazar telah baligh dan mempunyai akal serta beragama islam. Jika tidak demikian maka Nazarnya dianggap tidak sah dan tak wajib memenuhi janji tersebut.

Demikian penjelasan seputar hukum nazar untuk kepentingan Pemilu. Semoga bermanfaat Wallahu alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Hukum Kurban di Awal Bulan Rajab Menurut 4 Madzhab

Bagaimana hukum kurban di awal Bulan Rajab? Pasalnya, pada awal bulan Rajab, umat Islam di Arab Jahiliyyah memiliki tradisi menyembelih hewan. Tradisi ini disebut sebagai Athirah.

Menurut Al-Azhari, tradisi ini bermula dari kebiasaan mereka untuk bernadzar. Ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, mereka akan berjanji untuk menyembelih hewan di bulan Rajab. Bahkan, jika mereka mengalami kesulitan yang berat, mereka akan menyembelih beberapa kijang. Demikian secuplik sejarah dari kurban di awal bulan Rajab yang dikenal dengan istilah Athirah ini. Bahkan tradisi ini berlanjut di awal mula Islam. Dikatakan;

جَاءَ الإِْسْلاَمُ وَالْعَرَبُ يَذْبَحُونَ فِي شَهْرِ رَجَبٍ مَا يُسَمَّى بِالْعَتِيرَةِ أَوِ الرَّجَبِيَّةِ، وَصَارَ مَعْمُولاً بِذَلِكَ فِي أَوَّل الإِْسْلاَمِ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْل كُل بَيْتٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ

Artinya; “Ketika Islam datang, masyarakat Arab jahiliyah memiliki tradisi menyembelih hewan di bulan Rajab. Tradisi ini dikenal dengan istilah Athirah atau Rajabiyah, sehingga amaliah ini pada awal mula Islam itu dikerjakan juga. Hal ini berdasarkan sabdanya Rasulullah SAW bahwa “setiap rumah itu harus menyembelih kurban dan Athirah”.

Hanya saja, ulama 4 Madzhab berbeda pendapat terkait hukumnya. Kementerian Wakaf Kuwait dalam kompilasi hukumnya menyatakan;

لَكِنَّ الْفُقَهَاءَ اخْتَلَفُوا بَعْدَ ذَلِكَ فِي نَسْخِ هَذَا الْحُكْمِ، فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ (الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ) إِلَى أَنَّ طَلَبَ الْعَتِيرَةِ مَنْسُوخٌ. وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ فَرَعَ لاَ عَتِيرَةَ وَبِمَا رُوِيَ عَنِ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: ” نَسَخَ صَوْمُ رَمَضَانَ كُل صَوْمٍ كَانَ قَبْلَهُ، وَنَسَخَتِ الأُْضْحِيَّةُ كُل ذَبْحٍ كَانَ قَبْلَهَا، وَنَسَخَ غُسْل الْجَنَابَةِ كُل غُسْلٍ كَانَ قَبْلَهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا قَالَتْ ذَلِكَ سَمَاعًا مِنْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَِنَّ انْتِسَاخَ الْحُكْمِ مِمَّا لاَ يُدْرَكُ بِالاِجْتِهَادِ 


Artinya; Mayoritas ulama’ dari kalangan Hanafi, Maliki dan Hambali menyatakan bahwasanya anjuran athiroh ini sudah dihapus. Mereka berlandaskan pada Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi ” Tidak ada fara’ dan athiroh”.

Selain itu juga bersandar pada riwayatnya Sayyidah Aisyah yang mana beliau menyatakan bahwasanya puasa bulan Ramadan itu menasakh semua puasa yang ada sebelumnya, berkurban itu menasakh amalan penyembelihan kurban sebelumnya, dan mandi jinabah juga menghapus kewajiban mandi sebelumnya”. Pernyataan ini disampaikan oleh Sayyidah Aisyah berdasarkan pendengarannya dari Baginda Rasulullah SAW, sebab penghapusan hukum ini tidak dicetuskan melalui metode ijtihad”.

Adapun menurut Madzhab Syafi’i, hukum athiroh ini tidak dinasakh. Madzhab ini berbeda sendiri dengan selainnya, dikatakan;

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى عَدَمِ نَسْخِ طَلَبِ الْعَتِيرَةِ، وَقَالُوا تُسْتَحَبُّ الْعَتِيرَةُ، وَهُوَ قَوْل ابْنِ سِيرِينَ. قَال ابْنُ حَجَرٍ: وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ نُبَيْشَةَ قَال: نَادَى رَجُلٌ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا كُنَّا نَعْتِرُ عَتِيرَةً فِي الْجَاهِلِيَّةِ فِي رَجَبٍ، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَال: اذْبَحُوا لِلَّهِ فِي أَيِّ شَهْرٍ كَانَ. . . إِلَخْ الْحَدِيثِ. قَال ابْنُ حَجَرٍ فَلَمْ يُبْطِل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَتِيرَةَ مِنْ أَصْلِهَا، وَإِنَّمَا أَبْطَل خُصُوصَ الذَّبْحِ فِي شَهْرِ رَجَبٍ. قَال النَّوَوِيُّ: الصَّحِيحُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، وَاقْتَضَتْهُ الأَْحَادِيثُ: أَنَّهُمَا لاَ يُكْرَهَانِ، بَل يُسْتَحَبَّانِ، (أَيِ الْفَرَعُ وَالْعَتِيرَةُ).

Artinya; “Adapun Mazhab Syafi’i, mereka berpendapat bahwasanya anjuran terkait amalan Atiroh ini tidak dihapus. Bahkan mereka menstatusinya dengan hukum sunnah demikian juga disampaikan oleh Ibnu Sirin. Ibnu Hajar al-asqalani menyatakan bahwa “Pendapat demikian ini dikuatkan dengan riwayat yang disampaikan oleh Imam Abu Dawud, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, dan riwayat yang disahihkan oleh Al Hakim dan Ibnul Munzir, yang mana Nubaisyah menyatakan “Seorang laki-laki memanggil Rasulullah SAW, katanya,

“Wahai Rasulullah, di masa Jahiliyah kami biasa mempersembahkan kurban di bulan Rajab, lantas apa yang anda perintahkan kepada kami?” beliau menjawab: “Sembelihlah untuk Azza Wa Jalla pada bulan apa saja, dan berbuatlah kebajikan untuk Allah, serta berilah makan (kepada orang lain).”Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, di masa Jahiliyyah kami bisa menyembelih fara’, lantas apa yang sekiranya anda perintahkan untuk kami?”

Beliau bersabda: “Pada setiap Sa`imah ada fara’ yang diasuh oleh ternakmu, sehingga jika ia telah besar maka kamu dapat menyembelihnya dan menyedekahkan dagingnya”. Menurut Ibnu Hajar, Rasulullah SAW itu tidak membatalkan hukum athiroh ini. Hanya saja Rasulullah itu membatalkan kekhususan penyembelihan di bulan Rajab.

Oleh karenanya Imam Al-Nawawi dengan tegas menyatakan bahwasanya pendapat yang kuat yang disampaikan oleh Imam Al-Syafi’i dan sesuai tuntunan hadis adalah bahwasanya athiroh dan Fara’ ini tidak makruh, bahkan disunahkan”.

Pemilahan Hukum ini juga ditegaskan kembali oleh pakar fikih komparatif, yaitu Prof. Wahbah Al-Zuhaili dalam magnum opusnya menyatakan;

قال الحنفية: تباح العقيقة ولا تستحب؛ لأن تشريع الأضحية نسخ كل دم كان قبلها من العقيقة، والرجبية، والعتيرة، فمن شاء فعل، ومن شاء لم يفعل. والنسخ ثبت بقول عائشة: «نسخت الأضحية كل ذبح كان قبلها». وقال جمهور الفقهاء (غير الحنفية): لا تسن العتيرة، أو الرجبية. 

“Akikah ini hukumnya mubah (tidak disunnahkan), karena pasca disyariatkannya kurban itu sudah menghapus kurban lainnya yang ada sebelumnya. Adapun Athirah, ini hukumnya mubah juga. Siapa yang berkehendak, maka kerjakanlah. Dan jika tidak, maka boleh saja. Adapun madzhab selainnya, mereka mengatakan bahwa athirah ini tidak disunnahkan”. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Jilid 4, halaman 2745)

Dengan demikian, bisa diketahui bahwasanya hukum athiroh atau kurban di awal Bulan Rajab, hukumnya disunnahkan oleh Mazhab Syafi’i saja. Sedangkan menurut selainnya, tidak demikian. Sebab anjuran terkait Athirah ini sudah dihapus dengan adanya perintah berkurban. 

Keterangan tentang hukum kurban di bulan Rajab ini disarikan dari kompilasi hukum Islam yang diterbitkan oleh Kementrian Wakaf Kuwait dengan judul Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bi Al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

2 Cara Menghindari Maksiat dari Habib Abdullah Al-Haddad

Orang yang terus menerus melakukan kemaksiatan akan mendatangkan murka Allah SWT. Perbuatan maksiat itu disenangi oleh setan, dan tidak disukai oleh orang-orang yang beriman. Nah berikut 2 cara menghindari maksiat dari Habib Abdullah Al-Haddad.

Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam karyanya Risalah Al-Mudzakarah Juz I, halaman 34, menegaskan dalam ajaran Islam, perbuatan maksiat dianggap sebagai tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT. Al-Quran dan Hadis banyak menyebutkan larangan berbuat maksiat serta akibat-akibat buruknya di dunia dan akhirat.  

المصر عليها مقيت الرحمن، وولي الشيطان، وبغيض أهل الإيمان

Artinya: “Orang yang terus menerus melakukan maksiat adalah orang yang dimurkai oleh Allah swt, dicintai Setan, dan dibenci oleh orang- orang yang beriman”.

Di halaman yang sama, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad memberi peringatan terhadap orang-orang yang sering melakukan kemaksiatan, bahwa Allah akan menyiksa terhadap orang-orang yang suka berbuat maksiat. Beliau menegaskan:

فإياك يا أخي والتعرض لسخط الله وعقابه بارتكاب معصيته

Artinya: “Hati-hati wahai saudaraku, jangan sampai engkau menyodorkan diri untuk murkanya Allah dan siksanya dengan sebab bermaksiat kepada Allah SWT”.

Apabila terbesit dalam benak kita untuk melakukan kemaksiatan, maka langkah yang harus kita ambil adalah mencegahnya, supaya kita tidak dimurkai oleh Allah SWT. Selanjutnya Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad memberi tips atau cara supaya kita tidak terjerumus kepada kemaksiatan.

Menurut penuturan Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad ada dua langkah yang harus diambil ketika terbesit dalam benak kita untuk melakukan kemaksiatan. Adapun rinciannya sebagai berikut: 

Pertama, mengingat bahwa Allah melihat terhadap perbuatan maksiat yang kita lakukan. Apabila seseorang mengingat bahwa Allah melihat terhadap apa yang ia lakukan, maka ia akan berfikir dua kali untuk melakukan kemaksiatan. Berbeda dengan orang yang lupa terhadap pengamatan atau penglihatan Allah, ia merasa aman bahkan menyukai terhadap perbuatan maksiat yang ia lakukan.

Kedua, tanamkan rasa takut dalam diri kita untuk melakukan maksiat, dengan cara mengingat ancaman Allah. Bila rasa takut terhadap ancaman Allah sudah tertanam dalam diri kita, maka untuk melakukan kemaksiatan tidak akan pernah terbesit dalam benak kita.

Contohnya, kita mengingat siksa yang akan diterima oleh pelaku maksiat, bahwa siksa bagi pelaku maksiat itu sangat pedih, dan Allah akan menghinakannya dengan di masukkan ke dalam neraka, dan ia akan menerima berbagai siksaan.

Setiap orang berkewajiban menjaga anggota tubuhnya untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Sebab semua bagian tubuh manusia adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara oleh pemiliknya, dengan cara berbuat ketaatan dan kebaikan.

Demikian penjelasan 2 cara menghindari maksiat dari Habib Abdullah Al-Haddad. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Puasa Rajab dan Syaban Berturut-turut Hingga Ramadhan?

Umat Islam sebaikany tidak membebani diri dengan berpuasa melebihi kemampuan.

Salah satu amalan ibadah yang baik adalah puasa sunnah. Dalam menyambut momentum bulan-bulan mulia dalam Islam, bolehkah melakukan puasa Rajab dan Syaban berturut-turut hingga Ramadhan?

Dilansir di About Islam, Ahad (14/1/2024), Cendekiawan Muslim terkemuka yang juga Ketua Komite Fatwa Al-Azhar, almarhum Syekh Atiyyah Saqr pernah menyampaikan mengenai posisi puasa di bulan-bulan mulia dalam Islam.

Puasa Ramadhan

Puasa di bulan Ramadhan, menurut Syekh Saqr, adalah wajib sebagaimana halnya puasa untuk menunaikan nazar, atau sebagai penebus dosa. Sedangkan puasa yang lain hanya dianjurkan saja. Nabi Muhammad SAW mendorong umat Islam untuk melakukan puasa sunnah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam hadits yang shahih.

“Sesungguhnya barang siapa yang berpuasa satu hari karena ridha Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api (Neraka) selama (jarak yang ditempuh dengan perjalanan) tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Puasa di bulan Rajab

Selain itu, puasa terpuji adalah pada bulan-bulan haram (mulia), salah satunya Rajab, begitu pula pada bulan Syaban. Akan tetapi, Imam Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa tercela berpuasa di bulan Rajab dengan niat menjadikannya serupa dengan Ramadhan atau mengira bahwa puasa tersebut mempunyai keistimewaan pada bulan itu sendiri.

Terdapat hadits shahih tentang keutamaan puasa di bulan Syaban. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Sayyidah Aisyah berkata, “Nabi biasa menjalankan puasa paling banyak di bulan Syaban; bahkan nampaknya Nabi berpuasa sepanjang bulan itu. Dalam riwayat mengenai hal ini, diriwayatkan bahwa Nabi SAW melakukan hal tersebut dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan.”

An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid ra bertanya kepada Nabi, “Aku belum pernah melihatmu berpuasa di bulan seperti yang kamu lakukan di bulan Syaban.”

Nabi bersabda, “Ini adalah bulan yang diabaikan orang, yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Pada bulan itu amal dipersembahkan kepada Allah Tuhan semesta alam, maka aku senang amalku dipersembahkan ketika aku sedang berpuasa.”

Adapun puasa yang terus-menerus atau puasa di akhir bulan Syaban dan menghubungkannya dengan Ramadhan, kata Syekh Saqr, tidak dianjurkan berpuasa pada waktu tersebut. Sebab, di dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menjadi dasar pendapat Imam Syafii, hal itu tidak dibolehkan karena dilarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan.

Para perawi meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi, “Rasulullah bersabda, ‘Janganlah seorang di antara kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum bulan Ramadhan kecuali dia mempunyai kebiasaan menjalankan puasa sunnah (dan jika dia puasanya bertepatan dengan hari itu), maka dia boleh berpuasa pada hari itu.”

Syekh Saqr menjelaskan tidak ada hadits yang menjadikan puasa Rajab dan Syaban terus-menerus dan menghubungkannya dengan Ramadhan sebagai bid’ah yang tercela dalam agama.

“Seperti yang saya katakan tadi, puasa pada bulan Rajab dan Syaban diperbolehkan. Adapun Rajab merupakan salah satu bulan suci,” ujar beliau.

Puasa di bulan Syaban

Mengenai bulan Syaban, Nabi SAW biasa berpuasa di dalamnya. Meski demikian, ada nasihat bagi umat Islam untuk tidak membebani diri mereka sendiri dengan berpuasa melebihi kemampuan mereka.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Sayyidah Aisyah  meriwayatkan, “Nabi tidak pernah berpuasa pada bulan apa pun lebih dari pada bulan Syaban. Beliau bersabda: “Lakukanlah amalan yang mudah kamu kerjakan, karena Allah tidak akan lelah (memberi pahala) sampai kamu bosan dan lelah (melakukan amal shaleh).”

Terlebih lagi, kata Syekh Saqr, jika seseorang tetap berpuasa dua bulan berturut-turut padahal hal ini mungkin mempengaruhi puasa Ramadhan, maka ia akan lalai.  Demikian pula halnya dengan puasa karena nazar karena akan membebani seseorang.

Namun, puasa Rajab dan Syaban dibolehkan bagi yang mampu berpuasa tanpa merasa lelah. Selain itu, jika seorang istri ingin menjalankan puasa sunnah, ia harus meminta izin suaminya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Seorang wanita tidak boleh berpuasa (puasa sunnah) kecuali dengan izin suaminya.”

ISLAMDIGEST

Al-Qur’an Journaling

Saudaraku, seberapa sering engkau berinteraksi dengan Al-Qur’an?

Sebuah kitab suci yang mulia. Terkandung di dalamnya kalamullah. Ayat-ayat yang langsung bersumber dari Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta, Maha Mengatur seluruh makhluk-Nya. Rabb yang telah menetapkan takdir kehidupan dunia dan akhirat kita. As-Shamad yang semestinya kita menggantungkan segala urusan kepada ketetapan-Nya.

Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita panduan hidup yang fundamental baik secara duniawi maupun ukhrawi. Selayaknya, panduan ini menjadi pegangan yang tak pernah lepas dari ingatan dan fokus kita setiap waktu. Adalah Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Kita membutuhkan kitab suci ini. Karenanya, kita butuh berinteraksi dengannya setiap hari.

Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah melakukan interaksi dengan Al-Qur’an?

Ada beberapa metode dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Di antaranya adalah dengan membacanya, memahami maknanya, belajar membacanya, mengkaji tafsirnya, menghafalnya, serta yang paling utama adalah mengamalkan kandungan isinya sesuai dengan metode penafsiran yang mengacu pada pemahaman salaf saleh.

Mungkin, di antara kita ada yang menjadikan tidak adanya kajian Al-Qur’an terdekat yang dapat dihadiri, tidak adanya asatidz, atau terbatasnya ilmu, bahkan ketersediaan waktu, sebagai alasan untuk tidak mentadaburinya. Atau, ada pula mungkin di antara kita yang hanya mencukupkan diri dengan membacanya saja dan mencoba untuk menghafalnya sedikit demi sedikit.

Hal demikian adalah baik dan insyaallah tetap mendapatkan ganjaran pahala dari Allah Ta’ala. Namun, bagaimana jika kita melakukan tadabur Al-Qur’an setiap hari melalui suatu cara yang mudah dan dapat dilakukan secara konsisten?

Ya, cara mudah tersebut adalah dengan membuat catatan harian atau dengan bahasa populernya “Al-Qur’an Journaling”.

عن أبي عبد الرحمن السُّلمي قال: حدثنا مَن كان يُقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل.

Dari Abi Abdurrahman As-Sulami, beliau berkata, “Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakan Al-Qur’an kepada kami, menceritakan bahwa mereka biasa membaca sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak melanjutkan sepuluh ayat berikutnya sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kemudian kami belajar ilmu dan amal dari ayat-ayat tersebut.’ ” (HR. Ahmad)

Journaling Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan beberapa hal berikut: memantapkan niat, menyusun rencana, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukannya dengan konsisten, dan mengevaluasi secara konsisten.

Memantapkan niat dan memohon kemudahan kepada Allah

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi (tergantung) dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907)

Ikhlaskanlah niat dalam melakukan tadabur Al-Qur’an ini semata-mata untuk memperoleh keridaan dari Allah Ta’ala. Karena melakukan amalan ibadah dengan niat selain itu adalah tertolak dan –na’udzubillah– dapat terjerumus pada kesyirikan, disebabkan menjadikan tandingan bagi Allah Ta’ala dalam perkara peribadatan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan), kecuali neraka. Dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Hud: 15-16)

Hal yang menjadi sangat penting juga adalah berdoa memohon kemudahan kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah berupa kemampuan dalam mencerna isi kandungan Al-Qur’an, mengikuti petunjuk dan metode salaf saleh dalam memahaminya, serta mendapatkan keistikamahan untuk menjadikan tadabur Al-Qur’an ini sebagai habit setiap hari (amalan yaumi). Karena, betapa banyak orang yang telah mengerti, bahkan tafsir dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, tetapi masih enggan untuk mentadaburi dan mengamalkannya.

Mereka paham bahasa Al-Qur’an, namun masih memprioritaskan perkara duniawi daripada mempelajari Al-Qur’an secara konsisten, baik karena merasa telah cukup ilmunya atau bahkan karena Allah Ta’ala telah menutup hatinya, meskipun mereka memiliki ilmu tentang Al-Qur’an  –wal’iyadzubillah-.

Oleh karenanya, menyadari bahwa kecenderungan untuk senantiasa melaksanakan amalan saleh ini adalah karunia Allah Ta’ala, maka wajib bagi kita untuk memohon kepada Allah agar diberikan kemantapan hati, keikhlasan niat, serta kemudahan dan kekuatan untuk melakukan tadabur Al-Qur’an.

Menyusun rencana

Sebagaimana kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdahulu, dalam mempelajari dan mengamalkan setiap hari minimal 10 ayat Al-Qur’an. Maka, kita pun sebaiknya menargetkan hal serupa, yaitu membaca dan memahami minimal 10 ayat setiap harinya. Namun, sebagai permulaan, kita bisa menetapkan minimal 1 ayat setiap hari untuk dibaca, dipahami, dicatat, dan diamalkan.

Kita dapat memulainya dengan merencanakan tadabur Al-quran untuk satu bulan pertama, yaitu 1 hari, 1 ayat. Artinya, dalam satu bulan ada 30 ayat yang kita targetkan untuk kita baca, pahami, catat, dan amalkan kandungannya.

Apabila sampai pada ayat-ayat tentang perintah dan larangan Allah, kita langsung dapat mencatat dan meniatkan untuk segera mengamalkannya. Namun, jika ayat-ayat yang sedang kita tadaburi berisi kisah-kisah, kita dapat melanjutkan tadabur hingga bertemu dengan ayat-ayat yang mengandung perintah dan larangan Allah Ta’ala.

Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung

Selanjutnya, kita pun dapat menyiapkan satu tempat untuk tadabur Al-Qur’an ini di rumah, masjid, atau tempat-tempat syar’i, di mana kita dapat berkonsentrasi dalam mentadaburi Al-Qur’an. Hal yang penting untuk kita siapkan adalah mushaf, kitab tafsir, buku catatan, dan pena. Khusus untuk kitab tafsir, apabila kita belum memilikinya, kita dapat memanfaatkan media yang ada.

Kami merekomendasikan app Al-Qur’an Tadabur yang diasuh oleh Al-Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah yang dapat diakses di play store secara gratis. Pada aplikasi tersebut, telah tertera 4 (empat) sumber kitab tafsir, seperti: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Tafsir At-Taisir, dan Tafsir Al-Muyassar. Insya Allah, penjelasannya cukup mudah dipahami.

Catatlah setiap ayat-ayat yang dirasa perlu untuk ditadaburi lebih dalam, baca terjemahannya, dan telusuri tafsirnya. Pahami, lalu tambahkan catatan dengan tafsir yang telah dipahami.

Amalkan kandungan Al-Qur’an dan evaluasi secara konsisten

Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa apabila kita berjumpa dengan ayat-ayat perintah dan larangan, maka segeralah mempersiapkan diri untuk melaksanakan (perintah) dan menjauhinya (larangan). Renungkan maknanya secara mendalam dan jangan hanya mencukupkan diri dengan pemahaman sendiri dalam melaksanakan perintah dan larangan tersebut. Namun, bacalah tafsirnya, telusuri haris-hadis sahih yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.

Misalnya, kita sampai pada ayat terkait perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, yatim piatu, orang miskin, sebagaimana dalam firman Allah,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu), ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.’” (QS. Al-Baqarah: 83)

Kita dapat memahami ayat ini dari konteks prioritas dalam berbuat baik, yaitu: pertama adalah kepada kedua orang tua, kemudian kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin. Dalam memahami makna ‘kerabat’, mungkin kita butuh penjelasan lebih rinci, siapa ‘kerabat’ yang dimaksudkan Allah Ta’ala dalam ayat ini. Maka, kita kemudian dapat menelusuri lebih jauh dalam tafsir dan hadis-hadis sahih sehingga kita menemukan bahwa kerabat yang dimaksud adalah saudara-saudara kandung/seayah/seibu, paman dan bibi dari ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya.

Maka, dengan metode demikian, insyaallah wawasan kita terhadap Al-Qur’an akan bertambah dan pemahaman kita dapat menjadi lebih dalam. Namun, yang paling utama adalah bagaimana hati, pikiran, dan fisik kita terdorong untuk segera melaksanakan isi kandungan Al-Qur’an tersebut.

Terakhir, jangan lupa untuk mencatat proses yang telah dijalani dan rencana tadabur ayat-ayat selanjutnya. Kita dapat menetapkan setiap akhir pekan, misalnya, kita kembali membuka catatan-catatan kita lembar demi lembar untuk mengevaluasi kekurangan dan untuk menyiapkan penyempurnaan catatan selanjutnya.

Saudaraku, catatan harian Al-Qur’an atau Al-Qur’an Journaling ini adalah bagian dari ikhtiar kita dalam rangka mentadaburi Al-Qur’an. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita agar kita dapat lebih istikamah selalu ber-taqarrub kepada-Nya. Allahumma amin.

Wallahu A’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/90796-al-quran-journaling.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hukum Puasa Rajab Menurut Empat Madzhab

Di bulan Rajab ini, bermunculan berbagai tulisan pembahasan mengenai hukum puasa Rajab yang tidak jarang memunculkan polemik. Dimana hal ini selalu terulang-ulang setiap tahunnya, sedangkan para fuqaha di madzhab empat sendiri sudah membahas persoalan ini. Marilah kita lihat, bagaimana duduk permasalahannya sebenarnya menurut mereka.

Madzhab Hanafi

Yang disukai dari puasa-puasa ada beberapa macam, yang pertama adalah puasa Al Muharram, kedua puasa Rajab dan ke tiga adalah puasa Sya’ban dan puasa Asyura’ (Al Fatawa Al Hindiyah, 1/202)

Posisi madzhab Hanafi cukup jelas, bahwasannya mereka menyatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang disukai.

Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (Syarh Fath Al Qadir, 2/391)

Madzhab Maliki

Al Lakhmi menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban. (Al Mawahib Al Jalil, hal. 319)

Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. (Syarh Ad Dardir ‘ala Khalil, 1/513)

Dengan demikian, Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh.

Madzhab Syafi`i

Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al Majmu’, 6/438)

Hal serupa disampaikan di Imam An Nawawi dalam kitab yang lain (lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/254).

Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan,”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805)

Dengan demikian, bisa dismpulkan bahwa Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya.

Imam Asy Syafi’i dalam pendapat qadim menyatakan makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Asy Asyafi’i menyatakan,”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28)

Madzhab Hanbali

Al Buhuti menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya makruh. Namun Al Buhuti melanjutkan,”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (Kasyf Al Qina’, hal. 1003)

Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 230)

Dengan demikian, madzhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan lain maka hilanglah unsur kemakruhan.

Bisa disimpulkan bahwa semua madzhab di atas sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Khilaf yang terjadi adalah berpuasa penuh di bulan Rajab tanpa disertai dengan puasa lainnya. Dan khilaf yang terjadi berkisar antara hukum sunnah dengan makruh, bukan haram.

Setelah posisi para ulama madzhab empat jelas bagi kita, bahwa hal ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, dimana berlaku kaidah yang menyatakan bahwasannya masalah ikhfilaf tidak boleh diinkari. Dengan demikian, hubungan baik antara umat Islam akan terjaga.

Jika dalam tulisan kali ini dibahas mengenai pendapat para ulama madzhab empat, dalam tulisan selanjutnya akan dibahas mengenai dalil-dalil dari masing-masing pihak dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

HIDAYATULLAH

Resmi Keluar, Ini Besaran Biaya Haji per Embarkasi dan Tahap Pelunasannya

Arab Saudi telah menetapkan kuota haji Indonesia 2024 sebanyak 241 ribu.

Keputusan Presiden (Keppres) tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 1445 Hijriyah/2024 Masehi yang bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bpih) dan Nilai Manfaat sudah terbit. Keppres Nomor 6 tahun 2024 ini ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 9 Januari 2024.

Keppres tersebut mengatur BPIH dan Bipih per embarkasi. Ketentuan biaya ini berlaku bagi jamaah haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan lbadah Haji dan Umrah (KBIHU).

Berikut Besaran Bipih Jamaah Haji

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 49.995.870,00

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 51.145.139,00

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 53.833.934,00

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 51.739.357,00

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 53.943.134,00

f. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede dan Bekasi) sebesar Rp 58.498.334,00

g. Embarkasi Solo sebesar Rp 58.562.008,00

h. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 60.526.334,00

i. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 56.510.444,00

j. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 56.471.105,00

k. Embarkasi Makassar sebesar Rp 60.245.355,00

l. Embarkasi Lombok sebesar Rp 58.630.888,00

m. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 58.498.334,00

Besaran Bipih jamaah haji ini dipergunakan untuk biaya: penerbangan haji, akomodasi Makkah, sebagian biaya akomodasi Madinah, biaya hidup (living cost), dan visa.

Berikut besaran Bipih PHD dan Pembimbing KBIHU:

a. Embarkasi Aceh sebesar Rp 87.359.984,00

b. Embarkasi Medan sebesar Rp 88.509.253,00

c. Embarkasi Batam sebesar Rp 91.198.048,00

d. Embarkasi Padang sebesar Rp 89.103.471,00

e. Embarkasi Palembang sebesar Rp 91.307.248,00

f. Embarkasi Jakarta (Pondok Gede dan Bekasi) sebesar Rp 95.862.448,00

g. Embarkasi Solo sebesar Rp 95.926.122,00

h. Embarkasi Surabaya sebesar Rp 97.890.448,00

i. Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 93.874.558,00

j. Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 93.835.219,00

k. Embarkasi Makassar sebesar Rp 97.609.469,00

l. Embarkasi Lombok sebesar Rp 95.995.002,00

m. Embarkasi Kertajati sebesar Rp 95.862.448,00

Bipih PHD dan KBIHU ini dipergunakan untuk biaya penerbangan; akomodasi; konsumsi; transportasi; pelayanan di Arafah, Mudzalifah, dan Mina; pelindungan; pelayanan di embarkasi atau debarkasi; pelayanan keimigrasian; premi asuransi dan pelindungan lainnya; dokumen perjalanan; biaya hidup (living cost); pembinaan jamaah haji di tanah air dan Arab Saudi; pelayanan umum di dalam negeri dan Arab Saudi; dan pengelolaan BPIH.

Keppres tersebut juga mengatur tentang Besaran BPIH Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Nilai Manfaat yang digunakan untuk membayar selisih BPIH dengan besaran Bipih sebesar Rp 8.200.040.638.567,00. Sementara nilai manfaat untuk jamaah haji khusus sebesar Rp 14.558.658.000,00.

Masa Pelunasan dan Syarat Istithaah

Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama telah merilis daftar nama jamaah haji reguler yang masuk alokasi kuota tahun 1445 H/2024 M. Daftar nama itu tertuang dalam Surat Edaran Dirjen PHU No 02 Tahun 2023 tentang Daftar Jemaah Haji Reguler Masuk Alokasi Kuota Tahun 1445 Hijriyah/2024 Masehi.

Daftar nama tersebut dapat diakses melalui Pusaka SuperApps Kementerian Agama dengan mengakses menu Daftar Jamaah Haji Reguler Masuk Alokasi Kuota 1445 H/2024 M.

“Proses verifikasi daftar nama jamaah haji reguler yang masuk ke dalam alokasi kuota tahun 1445 H/2024 M sudah selesai dan sudah diterbitkan dalam bentuk surat edaran Dirjen PHU. Daftar nama tersebut sudah diumumkan dan dikirim ke Kanwil Kemenag Provinsi seluruh Indonesia untuk segera ditindaklanjuti,” ujar Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (10/1/2024).

Dia pun mengimbau kepada jamaah reguler yang daftar namanya tercantum dalam Surat Edaran Dirjen PHU untuk mempersiapkan proses pelunasan biaya haji. Menurutnya, pelunasan Bipih jamaah haji reguler tahap pertama dibuka mulai 10 Januari hingga 12 Februari 2024.

“Jamaah yang namanya sudah masuk ke dalam alokasi kuota haji 1445 H/2024 M kami imbau agar segera melakukan pelunasan di Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS-BPIH). Waktu pelunasan Bipih reguler dilakukan mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB,” kata Anna.

“Jangan lupa melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Sebab, istithaah kesehatan haji mulai tahun ini menjadi syarat pelunasan,” ucap dia.

Anna merinci pelunasan tahap pertama dapat dilakukan jamaah haji reguler yang memenuhi kriteria berikut.

a. Jamaah haji reguler sesuai nomor urut porsi keberangkatan 1445 H/2024 M;

b. Jamaah haji reguler yang masuk prioritas lanjut usia; serta

c. Jamaah haji reguler yang masuk dalam urutan nomor porsi cadangan.

Arab Saudi telah menetapkan kuota haji Indonesia 1445 H/2024 M sebanyak 241 ribu. Jumlah ini terdiri atas 221 ribu kuota normal dan 20 ribu kuota tambahan.

IHRAM

Arab Saudi Membagi Masjidil Haram Menjadi Zona Berkode

Ini untuk memberikan panduan yang mudah bagi jamaah dan pekerja.

Badan negara Arab Saudi yang bertanggung jawab atas dua situs tersuci Islam telah menandatangani perjanjian untuk pembagian Masjidil Haram menjadi zona berkode untuk memfasilitasi akses jamaah ke tempat yang luas.

Dilansir dari Saudi Gazette, Kamis (11/1/2024), Otoritas Umum untuk Perawatan Dua Masjid Suci menandatangani pakta dengan Perusahaan Pos dan Logistik Saudi di sela-sela konferensi tentang layanan yang berkaitan dengan ziarah Haji Islam.

Kesepakatan tersebut bertujuan mempelajari pembagian Masjidil Haram, situs paling suci Islam, dan halaman luarnya menjadi zona berkode. Ini untuk membantu menentukan lokasi geografis yang tepat dan memberikan panduan yang mudah bagi jamaah dan pekerja di seluruh tempat.

Perjanjian tersebut akan membantu mengukur kinerja, dan distribusi tenaga kerja berdasarkan akomodasi dan kapasitas operasional, sehingga memastikan standar layanan tertinggi yang diberikan di seluruh masjid.

Masjidil Haram di Makkah adalah rumah bagi Ka’bah Suci, menarik jutaan Muslim setiap tahun dari seluruh dunia untuk berdoa dan melakukan umroh atau ziarah kecil. Menurut Menteri Haji dan Umrah Saudi Tawfiq Al Rabiah, jumlah peziarah umroh mencapai rekor 13,5 juta pada tahun lalu.

Arab Saudi, dalam beberapa bulan terakhir telah meluncurkan sejumlah fasilitas untuk umat Islam yang ingin melakukan umroh. Di antaranya, pemegang visa diizinkan untuk memasuki kerajaan melalui semua outlet darat, udara dan laut.

Dalam langkah fasilitasi baru, Arab Saudi telah mengizinkan warganya untuk mengajukan permohonan mengundang teman-teman mereka di luar negeri untuk mengunjungi kerajaan dan melakukan umroh. Peziarah wanita juga tidak lagi diharuskan ditemani oleh wali laki-laki.

Kerajaan juga mengatakan ekspatriat yang tinggal di negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk memenuhi syarat untuk mengajukan visa turis, terlepas dari profesi mereka, dan dapat melakukan umroh.

IHRAM

Berapa Hari Sunnah Puasa Rajab dalam Fikih?

Salah satu amalan yang dianjurkan saat bulan Rajab adalah puasa sunnah Rajab. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa sunnah hukumnya melaksanakan puasa di bulan haram. Rajab termasuk dari salah satu empat bulan haram [asyhurul hurum], Muharam, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Lantas puasa Rajab sunnah berapa hari?

Terdapat pelbagai alasan sunnah puasa Rajab. Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan puasa di bulan ini terdapat kemuliaan yang digandakan pahala amal kebajikan. Nabi bersabda;

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ

Artinya: “Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah!” (HR Abu Dawud dan yang lainnya).

Pada sisi lainm, terdapat juga hadis dari Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa berpuasa selama sehari di bulan haram, maka pahalanya setara dengan puasa sebulan penuh. Nabi bersabda;

مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ أَشْهُرِ اللّٰهِ الْحُرُمِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا

Artinya, “Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan-bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), maka ia akan mendapat pahala puasa 30 hari.”

Kemudian yang menjeadi persoalan, puasa Rajab baiknya berapa hari?

Meskipun beberapa hadits menyebutkan keutamaan puasa Rajab, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menganjurkan untuk berpuasa sebulan penuh. Rasulullah justru menyarankan pola puasa dengan jeda waktu, seperti tiga hari puasa tiga hari tidak puasa, atau tiga hari puasa berturut-turut diikuti istirahat, agar puasa Rajab tetap dilaksanakan dengan baik dan tidak memberatkan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam riwayat Abu Daud, bahwa menganjurkan kepada al-Bahili agar berpuasa sehari, kemudian berbuka. Artinya diselang-seling atau puasa Daud.

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ الله أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah al-Bahiliyah dari ayahnya atau pamannya, bahwasanya dia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian pergi. Kemudian dia mendatanginya lagi setelah setahun, dan kondisinya telah berubah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengenalku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapakah engkau?” Dia berkata, “Aku adalah orang Bahili yang mendatangimu tahun lalu.”

Rasulullah bertanya, “Apa yang mengubahmu, padahal engkau dulu dalam kondisi yang baik?” Dia berkata, “Aku tidak makan makanan kecuali pada malam hari sejak aku meninggalkanmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Mengapa engkau menyiksa dirimu?” Kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah bulan Sya’ban dan satu hari dari setiap bulan.” Dia berkata, “Tambahkanlah untukku, karena aku memiliki kekuatan.”

Nabi bersabda, “Berpuasalah dua hari.” Dia berkata, “Tambahkanlah untukku.” Rasulullah bersabda, “Berpuasalah tiga hari.” Dia berkata, “Tambahkanlah untukku.” Kemudian, Baginda Nabi bersabda, “Berpuasalah dari bulan-bulan haram, kemudian tinggalkan.” Beliau bersabda dengan jari-jarinya yang tiga, lalu menyatukan dan melepaskannya.(HR. Abu Daud).

Hadits ini menceritakan tentang seorang laki-laki dari suku Bahilah yang datang kepada Rasulullah untuk menyatakan keislamannya. Setelah itu, dia pergi dan kembali lagi setahun kemudian dengan kondisi yang sangat berbeda. Dia telah menjadi sangat kurus dan tidak lagi memiliki energi.

Ketika Rasulullah bertanya kepadanya apa yang terjadi, dia menjawab bahwa dia telah berpuasa setiap hari sejak meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi kemudian menasehati laki-laki tersebut untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam berpuasa. Beliau menyarankannya untuk berpuasa bulan Sya’ban dan satu hari dari setiap bulan. Namun, laki-laki tersebut meminta untuk menambah jumlah hari puasanya.

Lebih lanjut, Rasulullah menyarankannya untuk berpuasa dua hari, kemudian tiga hari, dan seterusnya. Namun, laki-laki tersebut terus meminta untuk menambah jumlah hari puasanya. Akhirnya,Nabi Muhammad menyarankannya untuk berpuasa dari bulan-bulan haram, yaitu bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Beliau bersabda bahwa laki-laki tersebut dapat berpuasa tiga hari dari bulan-bulan haram tersebut, kemudian beristirahat selama empat hari, dan seterusnya.

Sementara itu, Syekh Abu Bakar Syatha berkata dalam kitab I’anatut Thalibin sebagai mengatakan bahwa jika puasa sebulan penuh menimbulkan mudharat, maka sebaiknya ditinggalkan. Sebab, jika sampai membuat bahaya dengan berpuasa, maka akan menjadi haram.

وإنما أمر المخاطب بالترك لأنه كان يشق عليه إكثار الصوم، كما جاء التصريح به في الخبر.أما من لا يشق عليه، فصوم جميعها له فضيلة

Artinya; “Sesungguhnya Nabi Saw menyuruh audiens (sahabat al-Bahili) untuk meninggalkan puasa karena akan membahayakan dirinya jika dia banyak berpuasa, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadis di atas. Adapun jika tidak menimbulkan bahaya bagi seseorang, maka baginya berpuasa semuanya (sebulan penuh) merupakan keutamaan.”

BINCANG SYARIAH