Hukum Puasa Rajab Menurut Empat Madzhab

Di bulan Rajab ini, bermunculan berbagai tulisan pembahasan mengenai hukum puasa Rajab yang tidak jarang memunculkan polemik. Dimana hal ini selalu terulang-ulang setiap tahunnya, sedangkan para fuqaha di madzhab empat sendiri sudah membahas persoalan ini. Marilah kita lihat, bagaimana duduk permasalahannya sebenarnya menurut mereka.

Madzhab Hanafi

Yang disukai dari puasa-puasa ada beberapa macam, yang pertama adalah puasa Al Muharram, kedua puasa Rajab dan ke tiga adalah puasa Sya’ban dan puasa Asyura’ (Al Fatawa Al Hindiyah, 1/202)

Posisi madzhab Hanafi cukup jelas, bahwasannya mereka menyatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang disukai.

Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (Syarh Fath Al Qadir, 2/391)

Madzhab Maliki

Al Lakhmi menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban. (Al Mawahib Al Jalil, hal. 319)

Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. (Syarh Ad Dardir ‘ala Khalil, 1/513)

Dengan demikian, Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh.

Madzhab Syafi`i

Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al Majmu’, 6/438)

Hal serupa disampaikan di Imam An Nawawi dalam kitab yang lain (lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/254).

Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan,”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805)

Dengan demikian, bisa dismpulkan bahwa Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya.

Imam Asy Syafi’i dalam pendapat qadim menyatakan makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Asy Asyafi’i menyatakan,”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28)

Madzhab Hanbali

Al Buhuti menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya makruh. Namun Al Buhuti melanjutkan,”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (Kasyf Al Qina’, hal. 1003)

Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 230)

Dengan demikian, madzhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan lain maka hilanglah unsur kemakruhan.

Bisa disimpulkan bahwa semua madzhab di atas sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Khilaf yang terjadi adalah berpuasa penuh di bulan Rajab tanpa disertai dengan puasa lainnya. Dan khilaf yang terjadi berkisar antara hukum sunnah dengan makruh, bukan haram.

Setelah posisi para ulama madzhab empat jelas bagi kita, bahwa hal ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, dimana berlaku kaidah yang menyatakan bahwasannya masalah ikhfilaf tidak boleh diinkari. Dengan demikian, hubungan baik antara umat Islam akan terjaga.

Jika dalam tulisan kali ini dibahas mengenai pendapat para ulama madzhab empat, dalam tulisan selanjutnya akan dibahas mengenai dalil-dalil dari masing-masing pihak dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

HIDAYATULLAH

Berapa Hari Kita Disunnahkan Puasa Rajab?

Kesunnahan puasa di bulan rajab telah dirumuskan oleh para dalam beberapa kitab fiqih klasik. Semuanya hampir sepakat mengenai anjuran berpuasa sunnah di bulan rajab dengan berdasarkan dalil-dalil dan argumen yang Sharih (jelas) dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pada tulisan sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa kesunahan puasa Rajab ditetapkan berdasarkan beberapa hadis Nabi. Yang di antaranya adalah hadis riwayat Abi Dawud sebagai berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Diriwayatkan dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/ kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘Siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku Al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’ Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa). Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya’. (HR Abu Dawud).

Menanggapi bagian akhir teks hadis di atas, Syaikh Abu Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud mengemukakan pendapat,

أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ

Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia, apa yang engkau kehendaki. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukkan bahwa Al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya Al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh As-Sindi. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 6 hal. 58)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami, Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya Al-Bahili berpuasa di bulan-bulan mulia termasuk Rajab hendaknya tidak dilakukan secara terus-menerus. Namun, diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka (tidak berpuasa). Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Akan tetapi, petunjuk Nabi di atas bersifat kasuistik. Petunjuk Nabi berpuasa Rajab di atas diarahkan bagi orang yang keberatan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab. Sedangkan bagi seseorang yang kuat untuk berpuasa Rajab melebihi petunjuk Nabi di atas, maka hal tersebut adalah lebih baik baginya, karena dalam satu bulan penuh di bulan Rajab semuanya baik untuk dipuasai. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menegaskan,

 قال الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ لِأَنَّهُ كان يَشُقُّ عليه إكْثَارُ الصَّوْمِ كما ذَكَره في أَوَّلِ الحديث فَأَمَّا من لَا يَشُقّ عليه فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ

Ulama berpendapat, Nabi memerintahkan Al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits. Sedangkan bagi orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, juz 2 hal. 53)

Walhasil, berpuasa Rajab tidak ada batasan berapa hari yang baik untuk dipuasai. Namun menyesuaikan dengan batas kemampuan setiap orang. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu, dua minggu, atau bahkan satu bulan penuh.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam…

BINCANG MUSLIMAH

Fatwa Ulama: Puasa Rajab

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

Soal:

Puasa sunnah Rajab itu dianjurkan pada awal bulan, tengahnya atau akhirnya?

Jawab:

Tidak ada hadits yang shahih yang khusus menyatakan adanya keutamaan puasa bulan Rajab selain hadits yang dikeluarkan oleh An Nasa-i dan Abu Daud, yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari hadits Usamah, ia berkata:

قلت : يا رسول الله ، لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان ، قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

“aku bertanya: wahai Rasulullah, belum pernah aku melihatmu puasa di bulan lain sebagaimana puasamu pada bulan Sya’ban. Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang banyak dilalaikan manusia antara Rajab dan Ramadhan’. Dan bulan itu adalah bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul ‘Alamin. Maka aku suka jika ketika aku sedang berpuasa

Terdapat juga hadits-hadits umum yang menganjurkan mengerjakan puasa tiga hari atau puasa ayyamul bidh setiap bulannya. Yaitu pada tanggal 13, 14, 15 (bulan Hijriah). Dan juga anjuran untuk memperbanyak puasa di bulan-bulan haram, juga puasa senin-kamis. Bulan Rajab termasuk dalam keumuman hadits-hadits tersebut. Jika anda bersemangat untuk berpuasa pada hari-hari tertentu (di bulan Rajab) maka puasalah pada ayyamul bidh yang tiga hari tadi, atau pada hari senin dan kamis, atau jika bukan (pada hari-hari tersebut pun boleh), perkaranya luas.

Adapun mengkhususkan hari tertentu sebagai hari puasa Rajab, kami tidak mengetahui ada dasarnya dari Syariat.

Wabillahi at taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala ahlihi washahbihi wasallam.

Sumber: http://www.alifta.com/Fatawa/fatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=335&PageNo=1&BookID=12

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Mengapa Puasa Rajab?

Hukum Puasa Rajab

Telah menjadi tradisi, begitu masuk bulan rajab, keyword puasa rajab menjadi naik pesat. Google trends pekan inipun melaporkan, kata kunci puasa rajab naik tajam. Setidaknya ini bukti bagaimana perhatian kaum muslimin terhadap fadilah puasa rajab, meskipun kasus ini tidak kita jumpai untuk bulan-bulan lainnya.

Pertanyaan besar yang layak kita renungkan, mengapa hanya puasa rajab yang paling banyak dicari? Mengapa pencarian ini tidak gencar untuk puasa Sya’ban, Dzulqa’dah, Muharam, atau 9 hari pertama Dzulhijjah?

Tentu saja jawabannya adalah masalah motivasi (fadilah) puasa rajab. Mereka perhatian dengan puasa rajab, karena diyakini puasa ini memiliki fadilah yang amat besar. Semangat untuk mendapatkan fadilah ini yang mendorong orang secara semarak melakukan puasa rajab.

Ini berbeda dengan bulan-bulan selain rajab dan ramadhan. Pencarian orang tentang puasa Sya’ban, Dzulqa’dah, Muharam, atau Dzulhijjah tidak begitu gempar. Bisa jadi karena mereka beranggapan puasa di bulan-bulan tidak memiliki fadilah yang besar.

Alasan Utama Puasa Rajab

Setelah membaca situs besar yang paling getol memotivasi puasa rajab, alasan pokok untuk membela pendapat mereka adalah hadis tentang anjuran puasa di bulan haram. Sebelumnya perlu kita pahami, bulan haram ada 4: Dzul Qa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab.

Kembali pada hadis anjuran puasa bulan haram. Hadis yang diisyaratkan tersebut adalah hadis dari Mujibah Al-Bahiliyah dari bapaknya atau pamannya, Abdullah bin Harits Al-Bahily. Sahabat ini mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah bertemu dan menyatakan masuk islam, beliau kemudian pulang kampungnya. Satu tahun kemudian, dia datang lagi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Ya Rasulullah, apakah anda masih mengenal saya.” Tanya Kahmas,

“Siapa anda?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Saya Al-Bahily, yang dulu pernah datang menemui anda setahun yang lalu.” Jawab sahabat

“Apa yang terjadi dengan anda, padahal dulu anda berbadan segar?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Saya tidak pernah makan, kecuali malam hari, sejak saya berpisah dengan anda.” Jawab sahabat.

Menyadari semangat sahabat ini untuk berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ، صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Mengapa engkau menyiksa dirimu. Puasalah di bulan sabar (ramadhan), dan puasa sehari setiap bulan.

Namun Al-Bahily selalu meminta tambahan puasa sunah,

“Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” Orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Sampai akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kalimat pungkasan,

صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ

“Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa (kecuali ramadhan)…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa.”

Status Hadis:

Hadis ini diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Hadis ini dinilai sahih oleh sebagian ulama dan dinilai dhaif oleh ulama lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dan As-Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibn Majah. Salah satu diantara masalahnya adalah adanya perawi yang majhul (tidak diketahui statusnya), yang setidaknya membuat mereka meragukan keabsahan hadis ini.

Terlepas dari perdebatan status keshahihan hadis, jika kita perhatikan, dzahir hadis ini tidaklah menunjukkan adanya keutamaan KHUSUS untuk puasa rajab. Ada beberapa sisi untuk menjelaskan ini:

Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menyarankan puasa di bulan haram sebagai alternatif terakhir, setelah sahabat tersebut berusaha mendesak agar bisa memperbanyak puasa sunah. Namanya alternatif terakhir, tentu fadilahnya tidak lebih besar dibandingkan alternatif pertama atau kedua.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan saran yang sama untuk sahabat yang lain. Artinya bisa jadi hadis ini bersifat kasuistik (qadhiyatul ‘ain). Jika tidak, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotivasi sahabat lainnya untuk melakukan hal yang sama, berpuas di bulan haram.

Yang disarankan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa bulan haram, bukan puasa rajab SAJA. Ketika kita bersikap adil, seharusnya kita memiliki semangat yang sama untuk bulan Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam. Karena itulah, kami jadikan ini sebagai pertanyaan besar di awal artikel.

Pertanyaan ini mengundang dugaan, pasti ada keistimewaan dan fadhilah lain khusus untuk puasa rajab, yang menjadi motivasi mereka diluar anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk puasa di bulan haram.

Tidak Ada Anjuran Khusus Puasa Rajab

Sekalipun situs ormas besar itu sangat getol menganjurkan puasa rajab, namun dia tidak menyebutkan dalil shahih yang secara khusus menyebutkan keutamaan puasa rajab. Mereka sadar, semua hadis yang menyinggung fadilah puasa rajab statusnya hadis lemah, yang tidak bisa menjadi dalil. Dengan demikian, tameng utama mereka untuk menganjurkan puasa rajab adalah hadis Mujibah Al-Bahiliyah yang telah kita kupas sebelumnya. Selanjutnya mereka hanya sebutkan hadis-hadis yang lemah itu di bagian paling belakang artikel, yang diharapkan bisa memotivasi orang untuk melakukan puasa khusus di bulan rajab.

Diantara bukti bahwa hadis yang secara khusus menganjurkan puasa rajab merupakan hadis lemah, adalah keterangan beberapa ulama hadis, diantaranya,

Al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam karyanya Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Fadli Rajab, menjelaskan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6).

Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif, beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab,

لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,

لم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه و لكن روي عن أبي قلابة قال : في الجنة قصر لصوام رجب قال البيهقي : أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ و إنما ورد في صيام الأشهر الحرم كلها

“Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.’ Riwayat yang ada adalah riwayat yang menyebutkan anjuran puasa di bulan haram seluruhnya” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa

Kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab sejatinya telah ada di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.

Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab. Riwayat ini kami ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,

روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”

Dalam riwayat yang lain,

كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة

“Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).”

(Lathaif Al-Ma’arif, 215).

Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,

أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان

Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar dalam Tabyin Al-Ajabhlm. 35)

Ibnu Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang melakukan puasa rajab sebulan penuh.

Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/17969-mengapa-puasa-rajab.html

Rajab Bulan Mulia: Puasa Sunah Kenapa tidak?

PADA prinsipnya puasa sunah dianjurkan untuk dilaksanakan sebanyak mungkin mengingat puasa sarat keutamaan lahir dan batin. Karenanya agama Islam tidak akan menghalangi pemeluknya yang ingin mengejar banyak keutamaan melalui puasa selain pada hari-hari tertentu yang dilarang. Teristimewa pula puasa yang diperintahkan Rasulullah SAW seperti puasa Rajab, maka anjuran agama semakin kuat.

Abu Bakar bin M Al-Hishni dalam karyanya Kifayatul Akhyar menyebutkan,

. : . : . :

Dianjurkan sekali memperbanyak puasa sunah. Timbul pertanyaan, apakah makruh puasa sepanjang masa? Imam Baghowi berpendapat, makruh. Sementara Imam Ghozali mengatakan, itu justru disunahkan. Sedangkan mayoritas ulama menjelaskan, selagi khawatir akan mudharat tertentu atau melalaikan kewajiban karenanya, maka puasa sepanjang masa hukumnya makruh. Tetapi jika tidak membawa akibat-akibat tertentu, maka tidak makruh.

Di samping anjuran puasa sebanyak mungkin mengingat besarnya keutamaan ibadah jenis ini, Rasulullah SAW menekankan agar umatnya tidak melewatkan kesempatan puasa pada bulan-bulan Haram (mulia) sebagai kesempatan emas. Syekh Yahya Abu Zakariya Al-Anshori dalam Tahrir Tanqihil Lubab mengatakan sebagai berikut.

:

Perintah berpuasa di bulan mulia tertera pada hadis yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan imam lainnya. Dan yang paling utama dari semua bulan itu adalah Muharram seperti hadis riwayat Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa paling afdal setelah Ramadan itu dikerjakan pada bulan Muharram.”

Adapun perihal bulan-bulan mulia ini, ada baiknya kita mengamati keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Muin berikut ini.

. .

Bulan paling utama untuk ibadah puasa setelah Ramadan ialah bulan-bulan yang dimuliakan Allah dan Rasulnya. Yang paling utama ialah Muharram, kemudian Rajab, lalu Dzulhijjah, terus Dzulqadah, terakhir bulan Syaban.

Puasa yang lebih utama setelah puasa Ramadan, jelas puasa di bulan Muharram. Tetapi mana yang lebih utama setelah Muharram, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan bulan Syaban jatuh setelah Muharram. Sementara Imam Royani memilih Rajab berada di posisi ketiga setelah Ramadan dan Muharram. Keterangan ini dikutip dari Kifayatul Akhyar. Pendapat Imam Royani sejurus dengan keterangan sebelumnya di Fathul Muin.

Dalam Ianatut Tholibin, Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi mengemukakan sejumlah catatan soal Rajab sebagai salah satu bulan mulia di sisi Allah dan Rasulnya.

. . .

“Rajab” merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti memuliakan. Masyarakat Arab zaman dahulu memuliakan Rajab melebihi bulan lainnya. Rajab biasa juga disebut “Al-Ashobb” karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. Ia bisa juga dipanggil “Al-Ashomm” karena tidak terdengar gemerincing senjata untuk berkelahi pada bulan ini. Boleh jadi juga disebut “Rajam” karena musuh dan setan-setan itu dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang saleh.

Dari uraian di atas, kita memperoleh keterangan terkait bulan-bulan terhormat yang mana kita disunahkan untuk berpuasa pada bulan yang dimuliakan Allah SWT dan Rasulnya SAW itu. Wallahu Alam. (Alhafiz K/nuol)

Keutamaan Bulan Rajab dan Amalan Para Ulama

Rajab berasal dari kata tarjib yang artinya menghormat, demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullan dalam tafsirnya. Dari namanya saja dapat diketahui bahwa Rajab adalah bulan yang layak dihormati dan dimuliakan.

Mengapa Rajab menjadi bulan yang terhormat? Setidaknya ada tiga keutamaan bulan tersebut.

Rajab Bulan Haram

Rajab merupakan salah satu bulan dari empat bulan haram (arba’atun hurum). Oleh karena itu, Rajab menjadi salah satu bulan istimewa dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai keutamaan bulan haram ini:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah itu ada 12 bulan. Seluruhnya dalam ketetapan Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara (12 bulan) itu terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu…” (QS. At Taubah : 36)

Ketika menjelaskan tafsir Surat At Taubah ayat 36 ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa sanksi berbuat dosa di bulan-bulan haram jauh lebih berat dibandingkan bulan-bulan lainnya, selain bulan suci Ramadhan. Sebaliknya, amal shalih di bulan-bulan haram pahalanya lebih besar dibandingkan di bulan lainnya, kecuali Ramadhan.

“Sesungguhnya mengerjakan perbuatan zalim di bulan-bulan haram, maka dosa dan sanksinya jauh lebih besar dibandingkan melakukan perbuatan zalim di bulan-bulan lainnya,” kata Ibnu Abbas yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

“Amal shalih di bulan haram pahalanya lebih besar, dan kezaliman di bulan ini dosanya juga lebih besar dibanding di bulan-bulan lainnya, kendati kezaliman di setiap keadaan tetap besar dosanya.”

Ketika menjelaskan ayat ini dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka menegaskan bahwa bulan Rajab adalah bulan yang dihormati.

“Enam bulan selepas haji itu, yaitu pada bulan Rajab dijadikan lagi bulan yang dihormati, hentikan berperang, hilangkan dendam kesumat, supaya dapat pula mengerjakan umrah di bulan suci itu,” terang Buya Hamka. “Sampai ke zaman kita sekarang ini buat seluruh Tanah Arab, dipandang bahwa bulan Rajab adalah bulan ziarah besar, mengerjakan umrah, dan penduduk Makkah sendiri mengadakan ziarah besar ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah.

Bulan yang Dekat dengan Ramadhan

Rajab merupakan bulan yang dekat dengan Ramadhan. Antara Rajab dan Ramadhan hanya dipisahkan dengan Sya’ban. Masuknya bulan Rajab, oleh sebagian ulama dijadikan momentum untuk menyambut bulan Ramadhan dengan segenap persiapan terutama ruhiyah.

Banyak ulama terdahulu yang mempersiapkan diri menyambut Ramadhan sejak bulan Rajab. Karenanya mereka berdoa:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”

Doa itu juga tercantum dalam riwayat Al-Baihaqi dan Thabrani, tapi derajatnya dhaif menurut Syaikh Al Albani. Namun, ada juga doa sejenis dengan matan berbeda dalam riwayat Ahmad.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta berkahilah kami dalam bulan Ramadhan” (HR. Ahmad)

Jika sebuah hadits diketahui dhaif, tidak boleh diyakini sebagai sabda Rasulullah. Namun, boleh saja berdoa dengan doa dalam berbagai bahasa. Dan banyak ulama yang membaca doa tersebut. Sebagai permohonan kepada Allah agar diberkahi di bulan Rajab, Sya’ban dan dipertemukan dengan bulan Ramadhan.

Bulan Isra’ Mi’raj

Banyak ulama yang menyakini bahwa isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Khususnya para ulama di Indonesia sehingga 27 Rajab ditetapkan sebagai hari libur isra’ mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Isra’ Mi’raj adalah perjalanan luar biasa yang dialami Rasulullah hanya semalam, bahkan kurang, dengan menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu naik ke Sidratul Muntaha.

Melalui isra’ mi’raj, Rasulullah mendapatkan perintah shalat lima waktu. Jika perintah yang lain diturunkan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril, khusus untuk shalat lima waktu ini, Rasulullah ‘dipanggil’ langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu apa saja amalan para ulama di bulan Rajab?

Doa Menyambut Ramadhan

Seperti telah dijelaskan di atas, banyak ulama yang mengamalkan doa memohon dipertemukan bulan Ramadhan. Doa ini dipanjatkan mulai Rajab hingga akhir Sya’ban.

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan” (HR. Baihaqi dan Thabrani)

Derajat hadits tersebut dhaif menurut Syaikh Al Albani. Namun, ada juga doa sejenis dengan matan berbeda dalam riwayat Ahmad.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta berkahilah kami dalam bulan Ramadhan” (HR. Ahmad)

Amalan Umum di Bulan Rajab

Amalan-amalan umum yang hukumnya sunnah tetaplah sunnah di bulan Rajab. Sehingga shalat sunnah mulai shalat sunnah rawatib, sholat tahajud, sholat witir, sholat dhuha dan lain-lain tetap sunnah di bulan Rajab. Demikian pula puasa sunnah seperti puasa Senin Kamis, ayamul bidh maupun puasa Daud. Bahkan, amalan-amalan sunnah itu pahalanya lebih besar di bulan Rajab yang merupakan bulan haram.

“Amal shalih di bulan haram pahalanya lebih besar, dan kezaliman di bulan ini dosanya juga lebih besar dibanding di bulan-bulan lainnya, kendati kezaliman di setiap keadaan tetap besar dosanya,” kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu seperti dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Amalan Khusus di Bulan Rajab

Ada pun amalan khusus di bulan Rajab, mulai dari mandi awal bulan rajab, puasa rajab, dan umrah rajab, tidak ada dalil yang kuat.

1. Mandi Awal Bulan Rajab

Menjelang bulan Rajab, sering beredar pesan WhatsApp bahwa barangsiapa mandi keramas menyambut bulan Rajab dan berpuasa di dalamnya, maka hatinya tidak akan mati dan dibersihkan hatinya bagaikan bayi serta dapat mengangkat 70 orang yang berdosa di akhir zaman.

Mandi awal bulan Rajab ini tidak ada dalilnya sama sekali. Bahkan hadits dhaif sekalipun, tidak ada. Dan mengenai keutamaannya yang disebut bisa mengangkat 70 orang yang berdosa di akhir zaman, hal itu sangat aneh. Bagaimana jika setelah mandi awal rajab lalu ia meninggal, apakah ia akan bangkit kembali untuk mengangkat 70 orang yang berdosa di akhir zaman?

2. Puasa Rajab

Seperti dijelaskan di atas, puasa sunnah (puasa Senin Kamis, ayyamul bidh, maupun puasa Daud) tetaplah sunnah di bulan Rajab. Bahkan pahalanya semakin banyak, seperti kata Ibnu Abbas. Namun, puasa khusus di bulan Rajab, tidak ada tuntunannya.

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan, “tidak ada riwayat shahih yang bisa dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu.” Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Ragu Berpuasa Rajab? Ini Pendapat Ulama Empat Mazhab

Rajab, mengutip Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris, berarti pengagungan. Konon, masyarakat pra-Islam menghormati Rajab. Rajab adalah bulan yang mulia dan memiliki kedudukan agung.

Rajab termasuk salah satu dari empat bulan yang disucikan dan dilarang pertumpahan darah, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab (Larangan itu berlaku di semua bulan, hanya penekanan larangan itu lebih pada keempat bulan itu).

Penyebutan empat bulan haram tersebut merujuk hadis dari Abu Bakrah yang dinukilkan oleh Imam Ahmad.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS at-Taubah [9]: 36).

Di antara bentuk penghormatan terhadap kemuliaan bulan ini, Rasulullah SAW beberapa kali pernah melakukan puasa. Lantas, apa sebetulnya hukum berpuasa Rajab? Berikut ini pendapat empat imam mazhab terkait puasa Rajab yang disarikan dari beragam sumber.

 

Mazhab Hanafi:

Menurut mazhab ini, puasa Rajab dikategorikan sebagai salah satu puasa sunah yang sangat dianjurkah (marghubat). Ini seperti dinukilkan dari kitab al-Fatawa al-Hindiyah. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ada beberapa puasa sunah antara lain Muharam, Rajab, Sya’ban, dan ‘Asyura.

 

Mazhab Maliki:

Mengutip kitab Syarah al-Kharasyi ‘ala Khalil yang bercorak Maliki bahwa puasa di empat bulan haram termasuk amalan yang sunat yang dianjurkan.

Dalam Muqaddimah Ibn Abi Zaid Ma’a as-Syar li Fawakih ad-Dawani disebutkan, mengerjakan puasa sunat sangat dianjurkan, termasuk puasa ‘Asyura, Rajab, Sya’ban, Arafah, dan Tarwiyah. Bahkan puasa Arafah bagi orang yang tidak berhasi, lebih utama.

 

Mazhab Syafi’i:

Para imam Mazhab Syafi’i juga berpendapat berpuasa Rajab termasuk salah satu amalan sunat yang dianjurkan.

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj diterangkan bahwa bulan terbaik untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah empat bulan haram.

Dan yang paling utama adalah Muharram, merujuk hadis yang kuat : “Puasa yang lebih utama setelah Ramadhan adalah Muharram kemudian Rajab”.

Ini terlepas dari adanya perbedaan tentang keutamaan Rajab atas keempat bulan Haram, menyusul kemudian adalah puasa Sya’ban.

 

Mazhab Hanbali:

Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Quddamah, dijelaskan secara prinsip berpuasa pada Rajab hukumnya boleh selama tidak dilakukan sebulan penuh dan berturut-turut.

Jika hanya berpuasa Rajab saja sebulan penuh, tanpa berpuasa di bulan lainnya hukumnya makruh. Ini adalah pendapat secara umum Mazhab Hanbali terkait berpuasa Rajab.

“Jika seseorang hendak berpuasa Rajab, berpuasa dan berbukalah sehari atau beberapa hari, agar tidak berpuasa sebulan penuh.” Bahkan, dalam kitab al-Inshaf, al-Mirdawi menjelaskan, salah satu opsi pendapat dalam Mazhab Hanbali, bahwa berpuasa Rajab termasuk sunat yang dianjurkan, selain puasa Sya’ban.

 

sumber:Republika Online