Hukum Jual Beli Buket Uang

Bagaimana hukum jual beli buket uang dalam Islam? Buket merupakan sebuah karangan yang biasanya diberikan sebagai hadiah atau kado wisuda, ulang tahun, pernikahan, atau perayaan lainnya kepada teman, saudara, atau orang tersayang lainnya. Buket sendiri memiliki beraneka macam dan bentuk, ada buket bunga, buket coklat, buket buah, buket boneka, dan buket uang.

Buket uang merupakan kumpulan uang yang dibungkus dengan plastik bening dan disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan kado yang cantik dan meningkatkan daya tarik tersendiri bagi para konsumen.

Sebagian konsumen ada yang memilih proses pemesanan dan nominal uang tertentu dengan harga yang disepakati oleh pihak pengrajin dan pihak konsumen. Lantas, bagaimanakah hukum jual beli buket uang dalam Islam?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan mengenai hukum jual beli buket uang dalam islam. Pada dasarnya, fungsi uang yang beredar di negara ini adalah sebagai alat transaksi yang dihukumi sah oleh semua ulama baik dari kalangan salaf maupun ulama kontemporer. 

Sebagaimana dalam kitab Khasiyah At- Turmusy, juz 4 halaman 29 berikut;

واختلف المتأخرون فى الورقة المعروف بالنوط فعند الشيخ سالم بن سمير والحبيب عبد الله بن سميط أنها من قبيل الديون نظراإلى ما تضمنته الورقة المذكورة من النقود المتعامل بها وعند الشيخ محمد الأنبابى والحبيب عبد الله بن أبى بكر أنها كالفلرس المضروبة والتعامل بها صحيح عند الكل

Artinya : “Ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai uang yang dikenal dengan istilah naut, menurut Syekh Salim bin Samir dan Habib Abdullah bin Samit, itu termasuk kategori duyun karena memandang terhadap kandungan uang yang disebutkan digunakan sebagai alat transaksi. Menurut Syekh Muhammad al-Anbabi dan Habib Abdullah bin Abi Bakar, itu ibarat uang receh yang dicetak, dan melakukan transaksi dengan uang itu dihukumi sah menurut semua orang.”

Berdasarkan keterangan diatas, fungsi uang yang beredar di negara ini adalah sebagai alat transaksi yang dihukumi sah oleh semua ulama. Namun, seseorang seseorang diperbolehkan membeli buket yang berisi uang karena bermanfaat dan mempunyai nilai.

Selain itu, untuk biaya tambahan yang ada dalam pembelian buket ditujukan kepada biaya plastik bening dan barang lainnya yang disusun sedemikian rupa sebagai salah satu karya seni cipta atau prakarya yang dibuat penjual.

Sebagaimana dalam lanjutan keterangan kitab Khasiyah At- Turmusy, juz 4 halaman 29 berikut,

فان بيعت الاوراق بمثلها متماثلا او متفاضلا كان من قبيل الدين وهو باطل واذا قصدت المعاملة بأعيانها كانت كالفلوس المضروبة فيصح البيع بها وبيع بعضها ببعض لانها منتفع بها وذات قيمة كالنحاس المضروب وتصير عرض تجارة بنيتها

Artinya “Jika uang itu dijual dengan sejenisnya, baik sama maupun berbeda, maka hal itu seperti hutang dan tidak sah. Jika jual beli itu ditujukan kepada kertas yang dijadikan uang seperti uang receh yang dicetak, maka hukumnya sah untuk menjual keseluruhan dan sebagiannya. Karena bermanfaat dan mempunyai nilai seperti tembaga yang dicetak dan menjadi barang dagangan dari suatu perdagangan yang dimaksudkan.”

Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa seseorang diperbolehkan membeli buket yang berisi uang karena bermanfaat dan mempunyai nilai. Selain itu, untuk biaya tambahan yang ada dalam pembelian buket ditujukan kepada biaya plastik bening dan barang lainnya yang disusun sedemikian rupa sebagai salah satu karya seni cipta atau prakarya yang dibuat penjual.

Demikian penjelasan mengenai hukum jual beli buket uang dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 2)

Faedah 4. Pengaruh akidah terhadap kehidupan

Alhamdulillah. Tiada habisnya nikmat yang Allah curahkan kepada kita untuk kita puji. Begitu besar rahmat dan kasih sayang-Nya kepada para hamba. Di antara nikmat agung yang Allah berikan kepada kita adalah petunjuk tentang membangun akidah dan keyakinan dalam kehidupan.

Allah berfirman,

ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ

“(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Ayat ini sering kita dengar. Begitu indah dan merdu. Sebuah ayat yang menyimpan pelajaran-pelajaran berharga bagi kehidupan manusia. Allah menjelaskan kepada kita bahwa tujuan penciptaan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia. Mereka yang berhasil melalui ujian ini adalah yang mempersembahkan amal terbaik. Yaitu, yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunah (tuntunan) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kita pun sering mendengar atau membaca ayat,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini pun demikian akrab di telinga kita. Sebuah panduan dan pedoman bagi manusia agar kembali ke jalan Allah, menghamba kepada-Nya, dan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya.

Seorang ulama pembaharu di masanya, Abul Abbas Al-Harrani rahimahullah, menjelaskan bahwa hakikat ibadah itu mencakup segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diridai dan dicintai oleh Allah, baik berupa sesuatu yang lahir/tampak maupun suatu hal yang bersifat batin/di dalam hati. Segala bentuk amal dan ketaatan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu akidah tauhid, pemurnian ibadah kepada Allah semata. Tanpa tauhid, maka amal apa pun tidak akan diterima, bahkan sia-sia dan mendatangkan malapetaka bagi hamba di akhirat kelak.

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu , ‘Jika kamu mempersekutukan Allah (berbuat syirik) pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Tauhid inilah pondasi dan asas agama yang setiap muslim wajib untuk tunduk beribadah kepada Allah dan memurnikan amal ketaatan untuk-Nya semata. Bukan karena Allah membutuhkan amal dan ibadah kita, tetapi karena tauhid dan keikhlasan itulah kunci kebahagiaan kita. Tauhid inilah kewajiban terbesar manusia kepada Rabb dan Penciptanya.

Allah berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Seorang ahli tafsir, Imam Al-Baghawi rahimahullah, menukil penjelasan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap kata “ibadah” dalam Al-Qur’an (yang diperintahkan untuk ditujukan kepada Allah, pent), maka itu maksudnya adalah tauhid. Sungguh keterangan yang sangat penting dan berharga bagi kita.

Hakikat tauhid ialah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Inilah hak Allah atas setiap hamba yang Allah ciptakan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا

“Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita semuanya adalah ciptaan Allah. Hanya Allah yang mengatur segenap alam semesta dan memberikan rezeki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita hidup dalam kesia-siaan dan tanpa arahan yang jelas. Allah telah mengutus kepada kita seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau, maka dia akan masuk surga. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.

Allah berfirman,

وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam. Dan sungguh Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Allah juga berfirman,

مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ

“Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)

Inilah akidah besar dan keyakinan kokoh yang berupaya untuk dihancurkan dan dirusak oleh musuh-musuh dakwah tauhid. Sebuah keyakinan yang menanamkan pokok keimanan dan benih amal saleh ke dalam hati setiap muslim. Bahwa ketaatan dan kebaikan yang dilakukan ini harus sesuai dengan aturan Islam dan petunjuk Nabi akhir zaman shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebagian ulama terdahulu mengatakan dalam kalimat yang ringkas, tetapi sangat dalam maknanya, bahwa risalah (ajaran) Islam ini berasal dari Allah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya, sedangkan tugas kita adalah tunduk dan pasrah menjalankannya. “Minallahir risalah, wa ‘alarrasulil balagh, wa ‘alaina at-taslim.” Kepasrahan kepada ajaran Islam adalah kunci kebaikan dan pintu kebahagiaan. Suatu perkara yang sangat diperangi dan ditolak oleh Iblis dan bala tentaranya di alam dunia.

Lihatlah, bagaimana Iblis enggan dan menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia menolak tunduk kepada perintah Allah. Ia lebih mengedepankan hawa nafsu dan dangkalnya logika. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab utama munculnya fitnah (kerusakan) berupa syubhat (kerancuan) pemikiran adalah “taqdimur ra’yi ‘alan naqli”, yaitu mendahulukan pendapat akal di atas dalil naqli (wahyu) dari Allah. Sebagaimana akar munculnya fitnah syahwat (kesenangan) terhadap berbagai perkara yang diharamkan ialah “taqdimul hawa ‘alal ‘aqli”,yaitu lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat.

Iblis dan bala tentaranya berusaha menyesatkan manusia dari jalan hidayah melalui dua celah. Yaitu, dengan berlebih-lebihan (ekstrim) atau dengan sikap meremehkan dan menyepelekan. Mereka tidak peduli dari celah mana seorang hamba itu akan tersesat dan binasa. Yang jelas, ia selalu mengajak pengikutnya untuk bersama-sama menjadi penghuni neraka. Iblis pun telah bersumpah di hadapan Allah dengan menyebutkan kemuliaan-Nya untuk bekerja keras menyesatkan manusia.

Karena itulah, Allah selalu memperingatkan manusia bahwa setan (Iblis) itu adalah musuhnya, maka wajib untuk menjadikan setan itu sebagai musuh. Semua orang yakin bahwa setan adalah musuh kita, tetapi banyak orang yang justru menjadikan setan sebagai teman dan pembimbing perjalanan hidupnya. Ia tidak mau patuh kepada perintah dan larangan Rabbnya. Oleh sebab itu, Allah menyebut di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang kafir itu, penolong mereka adalah thaghut. Dan Iblis merupakan gembongnya thaghut yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berlapis kegelapan.

Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan kondisi banyak manusia,

“Mereka berlari meninggalkan penghambaan yang mereka tercipta untuknya.

Maka, mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan.”

Marilah kita berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. Mintalah pertolongan kepada Allah. Mintalah petunjuk dan bimbingan-Nya. Sebagaimana dalam doa yang selalu dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya, “ihdinash shirathal mustaqim”. Ya Allah, tunjukilah kami untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus ini

Wahai Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu, Wahai Allah Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Ya Allah, bantulah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.

Hadza, wallahu a’lam. Walillahu hamdu.

Faedah 5. Hak Allah atas hamba

Di antara perkara paling wajib yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah apa-apa yang menjadi hak Allah atas segenap manusia. Hal ini adalah perkara yang sangat jelas dan gamblang di dalam syariat para rasul dari masa ke masa hingga rasul yang terakhir.

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا

“Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik merupakan hak Allah atas segenap hamba. Inilah kewajiban terbesar di dalam hidup bani Adam. Allah berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Imam Al-Baghawi rahimahullah menukil tafsiran dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bahwa setiap perintah beribadah kepada Allah di dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah mentauhidkan-Nya.

Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah.”

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku (saja).” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Karena hanya Allah yang menciptakan kita, maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kezaliman yang paling besar. Allah berfirman,

 إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu doa, sembelihan, nazar, istighatsah, dan sebagainya, adalah penghancur amal kebaikan. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Oleh sebab itu, syirik menjadi keharaman paling besar dan dosa besar yang paling berat. Allah berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa di bawah itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48)

Amal kebaikan tidak akan diterima oleh Allah, kecuali apabila bersih dari syirik. Allah berfirman,

فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca.

Kembali ke bagian 1: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: Bersambung Insyaallah

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/90627-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-aqidah-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Syeikh Muhammad Ghazali, Salibisme dan Masalah Palestina

Sesungguhnya Salibisme mendukung berdirinya ‘Israel’  dengan merampas Negeri Palestina dan menganggap kembalinya kaum Yahudi ke Palestina sebagai suatu mukjizat 

Oleh: M. Yusuf Habibi Harahap

SAAT membaca berita pernyataan Paus Fransiskus yang menyebut serangan ‘Israel’  di Gaza sebagai terorisme pada Jumat, 24 November 2023 yang lalu, saya teringat dengan sebuah tulisan dari seorang dai dan cendikiawan Islam Mesir Syeikh Muhammad Ghazali.

Ingatan itu semakin menguat setelah melihat respons dari kejadian ‘luar biasa’ ini dari beberapa pihak. Memang, faktanya sebagian menunggu respons dari orang-orang di luar Islam perihal penjajahan ‘Israel’  atas bangsa Palestina ini.

Dan ketika respons itu datang dari orang nomor wahid di Vatikan, mereka yang menantikan hal itu cukup menyambut dengan baik. Apalagi, kabarnya sang Paus sudah melakukan pembicaraan dengan  yang penuh ketegangan dengan Presiden ‘Israel’  Isaac Herzog pada akhir Oktober.

Tulisan itu menyoal tentang Harian Ar-Rayah yang terbit di Qatar (5 April 1982) yang menulis dengan judul “Maka Tersingkaplah Rahasianya”. Isinya, antara lain:

“Pada akhirnya, Sri Paus berkesempatan memuliakan tanah yang diduduki musuh kita ini dengan suatu pidato. ‘Berbahagialah’ Palestina karena petuah beliau yang sekian lama dinanti. Sepatutnya kami berkata kepadanya, ‘Telah lewat masa tidur’. Berita itu mengundang beliau untuk mengomentarinya dengan, “Banyak orang Arab terjerumus dalam kekeliruan seperti ini, ketika berusaha memohon pertolongan dari majelis-majelis gereja-gereja sedunia. Mereka pulang dengan tangan hampa. Sesungguhnya, Salibisme mendukung berdirinya Negeri ‘Israel’  di Tanah Palestina dan menganggap kembalinya kaum Yahudi ke Palestina sebagai suatu mukjizat Kitab Suci Injil dan tanda kebenarannya. Weizman menyebut hal ini dalam buku catatan hariannya. Ia berkata, “Lord Balfour dan para Menteri Inggris lainnya menganggap bahwa Keputusan proklamasi negara kaum Yahudi sebagai manifestasi kebaktian kepada Allah, dan suatu bentuk ‘iman kristiani’.” (Syeikh Muhammad Ghazali, Merindu Islam Nabi, (Jakarta: Noura Books, 2015), 56-57)

Syeikh Muhammad Ghazali

Syeikh Muhammad Ghazali dilahirkan pada hari Sabtu, 21 September tahun 1917 M di sebuah kampung Nakla al-‘Inab di Provinsi al-Buhairah.

Ayahnya, Ahmad Mursi as-Sifa menamainya dengan dua suka kata “Muhammad Ghazali” sebagai harapan dengan seorang ahli fiqih Syafii atau seperti penulis buku ‘Ihya’ Ulumuddin’ Imam al-Ghazali.

Ayahnya memang seorang yang sangat mengidolakan dengan Abu Hamid al-Ghazali dan banyak terpengaruh dengan kecondongan tasawufnya. Muhammad Ghazali datang dari keluarga yang memegang teguh nilai-nilai agama dan akrab dengan pekerjaan jual-beli.

Keinginan sang ayah untuk melihat sang anak mengikuti jejaknya yang menghafal Al-Qur’an,  maka ia memasukkan Ghazali kecil ke Kuttab di desanya untuk mempelajari khat dan juga hisab di samping belajar Al-Quran.

Dari Kuttab di desanya, ia melanjutkan perjalanan menuntut ilmunya ke sekolah agama khusu di Provinsi Buhairah di Alexandria pada tahun 1928. Ia mendapatkan ijazah ibtidaiahnya setelah empat tahun pada tahun 1932, kemudian ijazah kafaah tiga tahun kemudian dan dilanjutkan dengan ijazah SMA pada tahun 1937.

Pada tahun yang sama Al-Ghazali mengikuti pendidikan tinggi di Al-Azhar dan memulai pendidikannya di Fak. Ushuluddin dan belajar pada guru-guru besar di dalamnya, seperti: Syeikh Mahmud Syaltut, Syeikh Abdul Azim Az-Zarqani.

Setelah empat tahun menempuh pendidikannya di sana, ia mendapatkan gelar pendidikan tingginya pada tahun 1941 dalam bidang dakwah dan pengajaran. (Mahmud Abduh, Muhammad al-Ghazali Da’iyah an-Nahdah al-Islamiyah, (Beirut: Markaz Al-Hadarah Li Tanmiyah al-Fikri al-Islamy, 2009), 17-18).

Bisa dikatakan, bahwa Syeikh Muhammad Al-Ghazali adalah seorang dai dengan ujung pena yang cukup tajam. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya karya-karyanya. Dar al-Qalam Beirut, belakangan cukup aktif menerbitkan ulang karya-karya beliau dengan tampilan yang lebih serius dan nyaman untuk dibaca. 

Dalam pembacaan Mahmud Abduh, karya Muhammad Al-Ghazali mencapai 56 judul buku. Di antara karya-karyanya adalah: al-Islām wa al awdā’ al-iqtisādiyah, min hunā na’lam, Khuluq al-Muslim, Aqīdah al-Muslim, Fiqh as-Sīrah, Ẓalām min al-Gharb, Jaddid Hayātak, Nazārat fī al-Quran, al-Jānib al-‘Atifi min al-Islām, Qazāif al-Haq, Humūm ad-Dā’iyah, At-Tarīq Min Hunā.

Dalam kaca mata muridnya, Abdullah al-Uqail, gaya bahasa yang digunakan oleh beliau dalam memaparkan Islam kepada masyarakat yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadis adalah merupakan gaya bahasa yang bercorak khas dan Istimewa serta termasuk gaya bahasa yang paling berhasil untuk menyiarkan dakwah. (Lihat: pengantar buku Qadzāiful Haq, Kairo: Dar Zatus Salasil, 1980).

Palestina adalah Persoalan Agama

Menyoal persoalan Palestina ini, Syeikh Muhammad Ghazali selalu menekankan unsur agama sebagai yang utama. Menurut beliau, masalah Palestina – secara khusus – mustahil bisa dilepaskan dari aspek keagamaan.

Pendapat yang menyatakan bahwa keharusan mengusir kaum Kolonialis Yahudi dari negeri kita, seperti keharusan mengusir kaum Kolonialis kulit putih dari Afrika Selatan, dan bahwa kedua sistem pemerintahan sama-sama bertumpu atas kecenderungan rasialis adalah pendapat yang sama sekali tidak berharga. Hanya dimaksudkan sebagai penutup kenyataan yang pahit.

Salibis dan Lemahnya Arab

Nampaknya, dalam banyak tulisannya, beliau sangat menekankan unsur ‘kaum salibis’ dalam keberlangsungan Yahudi dan Zionisme di Palestina. Menurut beliau, yang menambah kekalahan Arab adalah kebencian kaum Salibis yang belum tumpul satu cabangnya sehari pun.

Mereka membantu kejahatan para musuh dan menyokongnya saat lemah dan membenarkan anak panahnya jika melesat. Andai hanya Yahudi semata yang ada di medan tempur, maka segelintir orang Arab dengan keadaan jiwa dan materi yang amburadul akan sanggup untuk menghancurkan para kumpulan monyet itu. Tapi Arab menghadapi beban yang berlipat ganda, tentu atas ketentuan-Nya. (Syeikh Muhammad Ghazali, Al-Yahūd al-Mu’tadūn wa Daulatuhum Israīl, Damaskus: Dar al-Qalam, 2019), 108)

Dan penyerbuan kaum Yahudi, yang didukung dan diperkuat kekuatan-kekuatan kaum “Salibis” internasional, memiliki tujuan yang jelas: memusnahkan umat dan menghapuskan agama (Islam), serta menghabisi orang-orang Arab yang telah memeluk Islam sepanjang empat belas abad, yang sekarang ini masih ingin memiliki ‘kulitnya’ dan meninggalkan ‘isinya’.

Orang-orang yang menjauhkan Islam dari perjuangan Palestina ikut bersekutu dalam pencapaian tujuan ini. Sebab, tanpa dorongan Islam, Palestina niscaya akan sirna. Begitu pula orang-orang Arab setelah itu, pasti musnah. Maka, setelah hilangnya bangsa Arab, kaum Muslimin akan surut. Inilah khitah dan strategi mereka. (Syeikh Muhammad Ghazali, Merindu Islam Nabi, Jakarta: Noura Books, 2015), 57-59).

Kembali Ke Palestina

Pertanyaannya, apakah Yahudi memiliki hak sejarah akan pendudukan mereka di tanah Palestina? Dengan tegas beliau menjawab, bahwa hak mereka akan hal itu sudah dicabut sejak pembangkangan yang mereka lakukan terhadap Allah dan apa yang menjadi ajaran para Nabi-Nabi mereka. Dan hujjah ini berasal dari keimanan kepada nas-nas Al-Quran yang membicarakan hal ini.

Dan apakah mereka akan kembali ke Palestina? Beliau menjawab, “Pasti, Yahudi akan kembali ke Palestina. Tapi untuk segera lenyap, bukan untuk hidup. Untuk penghabisan risalah mereka di dunia ini, bukan untuk semakin eksis.” (Syeikh Muhammad Ghazali, Al-Yahūd al-Mu’tadūn wa Daulatuhum Israīl, Damaskus: Dar al-Qalam, 2019), 108).

Beliau berdalil dengan apa yang menjadi kabar dan nubuwat Rasulullah ﷺ dalam hadisnya dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; “Kelak orang-orang Yahudi akan memerangi kalian, dan kalian pun dapat mengalahkan mereka, sampai-sampai bebatuan akan berkata; “Wahai orang Muslim, ini ada orang Yahudi di belakangku, bunuhlah dia.” (HR: Bukhari).

Dengan menulis buku khusus tentang Yahudi dan negara ‘Israel’ , kita menemukan keseriusan beliau untuk tetap menyuarakan persoalan Palestina dalam dakwah dan perjuangannya.

Dan dalam banyak karyanya yang lain, kita juga menemukan hal yang sama. Dan juga harapan bahwa suara beliau tentang masalah Palestina akan terus dibaca oleh generasi hari ini, dengan maksud menemukan hakikat kebenaran yang menjadi pokok permasalahan.

Dan tentunya juga para juru-juru dakwah yang tidak boleh sepi untuk selalu menyertakan kata “Palestina” dalam teks-teks khotbahnya atau dalam kalimat-kalimat ceramah dan tulisannya. Rahimahullah rahmatan wasi’an. Amin!

Guru Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan

HIDAYATULLAH

Raja Salman Siap Sambut 1.000 Tokoh Islam Dunia untuk Umroh

Program ini memperkuat ikatan persaudaraan antara Muslim di berbagai belahan dunia.

Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman telah menyetujui menjadi tuan rumah bagi 1.000 jamaah umroh dari seluruh dunia selama 2024. Ini termasuk dalam Program Kustodian Tamu Dua Masjid Suci untuk Haji, Umrah dan Kunjungan yang sedang dilaksanakan oleh Kementerian Urusan Islam, Panggilan dan Bimbingan.

Menteri Urusan Islam, Panggilan dan Bimbingan Sheikh Abdullatif Al-Sheikh berterima kasih kepada Raja, Putra Mahkota, dan Perdana Menteri Mohammed bin Salman atas sikap murah hati ini mereka. Menurutnya, ini menegaskan kepedulian besar para penguasa dalam melayani umat Muslim.

Selain itu, dalam memperkuat ikatan persaudaraan antara Muslim di berbagai belahan dunia dan komunikasi yang bermanfaat dengan mereka yang terlibat dalam berbagai bidang pekerjaan Islam.

“Program Tamu akan menampung 1.000 tokoh Islam terkemuka dari seluruh dunia, termasuk ulama Islam, syekh, intelektual, tokoh berpengaruh, dan profesor universitas untuk melakukan umroh dan berdoa di Masjid Nabi di Madinah,” ujar Al-Sheikh, dilansir dari Saudi Gazette, Kamis (4/1/2024).

Menteri menghargai dukungan besar yang terus-menerus diterima oleh Kementerian Urusan Islam di berbagai bidang yang berkontribusi pada keberhasilan misinya untuk melayani Islam dan Muslim, serta untuk menyebarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama Islam, dan menghadapi kebencian, fanatisme dan ekstremisme.

Dia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa untuk memberi penghargaan kepada Raja Salman dan Putra Mahkota dengan hadiah terbaik, atas apa yang telah mereka berikan. Dia juga berdoa atas upaya mereka dalam memberikan layanan terbaik untuk umat Islam di seluruh dunia.

Ini terutama dalam pelayanan haji dan umroh dan memungkinkan mereka kembali ke negara mereka dengan aman dan nyaman. Terakhir, dia juga memohon memberikan keberkahan keamanan dan kemakmuran di negara ini.

IHRAM

Baca Doa Ini Saat Melihat Kecelakaan

Dianjurkan membaca doa saat melihat kecelakaan.

Nabi Muhammad SAW memberikan tuntunan tentang doa yang dapat diucapkan ketika melihat peristiwa atau musibah apapun itu. Termasuk dalam hal ini musibah kecelakaan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW pernah bersabda, “Siapa yang melihat orang tertimpa musibah, ucapkan:

الحَمْدُلِلّٰهِ الَّذِى عَافَانِى مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِى عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلًا لَم يُصِبْهُ ذٰلِكَ البَلاَءُ

Alhamdulillaa-hil-ladzii ‘aa-faa-nii mimmab talaa bii wa fadh-dholani ‘alaa katsii-rin mimman kholaqo taf-dhii-lan lam yushib-hu dzaalikal balaa

Terjemahan:

“Segala puji bagi Allah yang menyelamatkan diriku dari cobaan yang telah menimpamu dan mengutamakanku di atas kebanyakan orang yang Dia ciptakan dengan keutamaan sebenar-benarnya. Maka niscaya ia tidak akan tertimpa musibah tersebut.” (HR Turmudzi).

Imam Nawawi dalam Al Adzkaar menjelaskan, para ulama menganjurkan agar orang yang bersangkutan, yakni orang yang melihat musibah itu, membaca doa tersebut dnegan suara pelan sehingga tidak didengar oleh orang yang tertimpa musibah. Tetapi hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri, agar orang yang tertimpa musibah tidak sakit hatinya.

“Kecuali jika cobaan tersebut berupa perbuatan maksiat, maka tidak dilarang memperdengarkan doa tersebut kepadanya, jika hal tersebut tidak dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan,” demikian penjelasan Imam Nawawi.

Adapun bagi orang yang sedang tertimpa sebuah musibah, maka dapat membaca doa yang diajarkan Nabi SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, Nabi Muhammad bertanya kepada Ali RA, “Wahai Ali, maukah kuberikan beberapa kalimat yang perlu dibaca jika kamu ada dalam bencana?”

Lalu, Ali RA menjawab, “Tentu saja. Semoga Allah menjadikanku tebusan untukmu.” Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu berada dalam suatu bencana, bacalah:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

Latin: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adzhiim.

Terjemahan: Dengan nama Allah Yang Maha Rahman lagi Maha Rahim. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (izin) Allah Yang Maha Tinggi Yang Maha Agung.

Sesungguhnya Allah ta’ala memalingkan (bencana itu) dengan sebab bacaan tersebut apa yang dikehendaki-Nya beberapa macam bencana.” (HR Ibnus Sunni, dalam kitab Al Adzkar karya Imam An Nawawi).

IHRAM

Hukum Mendownload Kitab Di Internet

Harus diakui, hidup di era saat ini tidak bisa lepas dari internet, entah dijadikan sebagai sarana komunikasi, mengetahui berita, pembelajaran atau sekedar hiburan saja. Fakta terkait internet hampir menjadi kebutuhan semua orang saat ini. Tentang masalah bagaimana dampak internet, tentu tergantung pengguna itu sendiri. Jika dijadikan sebagai sarana mencari ilmu, atau informasi-informasi penting, tentung akan memberikan manfaat. Sementara jika dijadikan alat untuk menipu tentu tidak baik.

Fakta lain pada internet yaitu untuk memudahkan setiap orang memperolah kebutuhan-kebutuhan pembelajaran seperti buku, kitab, artikel atau makalah yang dapat diperoleh secara gratis. Sebagaimana kebutuhan para santri yang sering kali membutuhkan kitab-kitab tertentu yang tidak bisa diperoleh di toko-toko kitab, maka internet menjadi jalan alternatif untuk memperolehnya.

Ada banyak kitab atau buku di inernet yang bisa didownload secara gratis. Hanya saja, apakah boleh melakukan perbuatan ini (mendownload kitab atau buku) tanpa ada idzin jelas dari pengarangnya ?

Menggunakan hak orang lain tanpa ada idzin hukumnya tidak boleh (haram). Hal ini ditegaskan oleh para ulama’. Karena yang demikian termasuk perbuatan dzalim kepada sesama. Di dalam Kaidah Fiqh disebutkan:

لَا يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مِلْكِ غَيْرِهِ بِلَا إِذْنٍ

Artinya: “Tidak boleh bagi siapapun menggunakan milik orang lain tanpa ada idzinya”

Termasuk menggunakan seluruh hak yang berada di internet tanpa ada idzin dari pemiliknya maka hukumnya haram.

Namun demikian, jika ada qarinah (indikasi) bahwa yang memiliki barang tersebut ridho dengan digunakannya, maka hukumnya halal. Ini yang dikenal dengan ulima ridhahu (diketahui keridhaannya).

Begitu juga mendonwload kitab atau buku yang terdapat di internet. Hukumnya adalah boleh selama tidak untuk komersial. Seperti sebagai bahan tambahan materi kuliah atau pengetahuan.

Syaikh Ramdlan al Buti ketika ditanya tentang persoalan tersebut, ia menjawab:

كُلُّ اسْتِفَادَةٍ شَخْصِيَّةٍ مِنَ الْكُتُبِ عَنْ طَرِيْقِ الْإِنْتِرْنِتِ جَائِزَةٌ وَإِنَّمَا الْمُحَرَّمُ أَنْ يَسْتَثْمِرَ كِتَابًا مَا فِي الْإِنْتِرْنِتِ اَوْ غَيْرِهِ لِلتِّجَارَةِ دُوْنَ إِذْنٍ مِنْ مُؤَلَّفِ الْكِتَابِ

Artinya: “Pengambilan manfaat milik individu berupa kitab-kitab dari internet hukumnya boleh. Hanya saja yang haram, jika mengambil hasil dari kitab-kitab tersebut yang ada di internet atau lainnya untuk dikomersilkan tanpa ada idzin pengarang kitab tersebut”

Kebolehan pengambilan manfaat  terhadap buku atau kitab yang terdapat di internet semata-mata karena diyakini dengan diuploadnya ke internet ini dan mengaktifkan srana download secara gratis ini menunjukkan keridhoan pengarang atau pemilik kitab tersebut untuk dimanfaatkan. Sementara diharamkan untuk dikomersialkan, karena hal tersebut bukan pengambilan manfaat, tetapi pengambilan keuntungan yang kemungkinan besar tidak menjadi tujuan penulis kitab atau buku di upload ke internet.

ISLAMKAFFAH

Berdosakah Memviralkan Jalan Rusak?

Berdosakan memviralkan jalan rusak dalam Islam? Masih segar dalam benak netizen Indonesia, tren memviralkan jalan rusak yang memadati setiap beranda platform media sosial. Mulanya tren ini dipicu oleh TikToker Bima Yudho Saputro.

Melalui akun tiktoknya, @awbimaxreborn, ia menyampaikan sejumlah kritik terhadap Lampung. Hal ini memicu perhatian dari banyak pihak bahkan banyak ditiru oleh netizen, dengan juga memviralkan jalan-jalan rusak yang ada di lingkungan mereka, mulai jalan nasional, kabupaten, bahkan jalan desa tidak luput dari sorot kamera. Lantas, bagaimanakah hukum memviralkan jalan rusak?

Dalam literatur kitab fikih dijumpai beberapa keterangan mengenai hukum memviralkan jalan-jalan rusak. Pada dasarnya, seorang imam tidak diperbolehkan menggunakan kas negara untuk keperluan yang tidak mendesak. Sehingga, apabila terjadi jalan-jalan rusak di suatu daerah, maka bagi pemerintah setempat diharuskan untuk memperbaiki jalan tersebut menggunakan uang anggaran daerah. Tetapi, apabila ada kebutuhan lain yang lebih mendesak, maka diperbolehkan untuk dialokasikan kepada kebutuhan tersebut. 

Sebagaimana dalam kitab Asybah Wa Nadhair, halaman 121 berikut, 

ومنها: أنه لا يجوز له أن يقدم في مال بيت المال غير الأحوج على الأحوج

Artinya : “Sebagian dari kewajiban imam adalah tidak diperbolehkan untuk menggunakan uang kas negara kepada selain hal yang dibutuhkan oleh negara.”

Berdasarkan keterangan diatas, pemerintah setempat diharuskan untuk memperbaiki jalan-jalan rusak menggunakan uang anggaran daerah apabila tidak ada kebutuhan mendesak lainnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, seseorang diperbolehkan untuk memviralkan jalan-jalan rusak dengan syarat tidak ada unsur cacian dan kebohongan. Sebagaimana dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Juz 2, Halaman 75 berikut,

أما الأول فهو ترك الثناء فإن وصفه للسلعة إن كان بما ليس فيها فهو كذب فإن قبل المشتري ذلك فهو تلبيس وظلم مع كونه كذبا

Artinya : “Adapun yang pertama, maka hal itu adalah meninggalkan pujian. Apabila seseorang mensifati barang dengan tidak sesuai kenyataan, maka hal itu disebut dusta, apabila pembeli mempercayai hal itu, maka itu termasuk penipuan dan kezaliman serta adanya dusta.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang diperbolehkan untuk memviralkan jalan-jalan rusak dengan syarat tidak ada unsur cacian dan kebohongan. Demikian penjelasan mengenai hukum hukum memviralkan jalan-jalan rusak. 

Demikian penjelasan jawaban atas pertanyaan berdosakah memviralkan jalan rusak dalam Islam?. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Bersiwak dengan Jari Tangan

Berikut penjelasan tentang hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan. Dalam Islam bersiwak merupakan salah satu sunnah nabi saw yang berkaitan dengan kebersihan mulut. Pasalnya, siwak dalam bahasa Arab memiliki arti menggosok, oleh karenanya bersiwak memiliki arti menggosok gigi dan sekitarnya dengan menggunakan benda yang tidak hanya dapat menghilangkan kotoran gigi namun juga bau mulut. 

Umumnya alat yang digunakan untuk bersiwak adalah kayu siwak atau yang dikenal dengan kayu Arak. Namun bagaimana jika seseorang bersiwak dengan menggunakan jari tangannya? Apakah tetap mendapatkan kesunnahan?

Dalam literatur fikih dijelaskan bahwa bersiwak dapat dilakukan dengan menggunakan setiap benda yang kasar baik berupa kain, kayu dan lainnya. Namun yang lebih utama dalam bersiwak adalah, tidak hanya menggunakan benda yang kasar tapi juga mempunyai aroma yang harum seperti kayu Arak

Sebagaimana yang telah dijelaskan Syekh Abdul Aziz Al Malibari dalam kitabnya Fathul Muin halaman 7;

ويحصل بكل خشن ولو بنحو خرقة أو أشنان والعود أفضل من غيره وأولاه ذو الريح الطيب وأفضله الأراك

Artinya: “kesunnahan bersiwak dapat tercapai dengan menggunakan benda yang kasar baik berupa kain atau kayu Usynan. Namun kayu lebih utama daripada yang lainnya. Dan yang lebih utama lagi yang mempunyai aroma harum. Dan paling utamanya lagi menggunakan kayu Arak.

Kemudian perihal hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah juz 4 halaman 142

‌‌أَمَّا الاِسْتِيَاكُ بِالأُصْبُعِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ:

الأَوَّل: تُجْزِئُ الأُصْبُعُ فِي الاِسْتِيَاكِ مُطْلَقًا، فِي رَأْيٍ لِكُلٍّ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَأَدْخَل بَعْضَ أَصَابِعِهِ فِي فِيهِ. . . وَقَال: هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

الثَّانِي: تُجْزِئُ الأُصْبُعُ عِنْدَ عَدَمِ وُجُودِ غَيْرِهَا، وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ، وَهُوَ رَأْيٌ آخَرُ لِكُلٍّ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ

وَالشَّافِعِيَّةِ، لِمَا رَوَاهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً مِنْ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ قَال: يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّكَ رَغَّبْتَنَا فِي السِّوَاكِ، فَهَل دُونَ ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ قَال: أُصْبُعَيْكَ سِوَاكٌ عِنْدَ وُضُوئِكَ، أَمِرَّهُمَا عَلَى أَسْنَانِكَ. 

الثَّالِثُ: لَا تُجْزِئُ الأُصْبُعُ فِي الاِسْتِيَاكِ. وَهُوَ رَأْيٌ ثَالِثٌ لِلشَّافِعِيَّةِ، وَالرَّأْيُ الآْخَرُ لِلْحَنَابِلَةِ، وَعَلَّلُوا ذَلِكَ بِأَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَرِدْ بِهِ وَلَا يَحْصُل الإِنْقَاءُ بِهِ حُصُولَهُ بِالْعُودِ

Artinya: “Dalam bersiwak menggunakan jari tangan ada 3 pendapat: Pendapat pertama mengatakan bersiwak dengan menggunakan jari tangan cukup untuk mendapat kesunahan, pendapat ini disampaikan oleh kalangan ulama pengikut Madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. Berdasarkan riwayat dari sahabat Ali Bin Abi Thalib RA. Bahwa sahabat Ali Bin Abi Thalib pernah berwudhu kemudian memasukkan sebagian jarinya kedalam mulut. Kemudian sahabat Ali Bin Abi Thalib berkata “beginilah wudhu Nabi Saw.”

Pendapat kedua menyatakan bersiwak dengan menggunakan jari tangan cukup untuk mendapat kesunahan, jika tidak ada benda lain untuk bersiwak selain jari tangannya. Hal ini menurut pendapat Madzhab Hanafi, serta sebagian pengikut Madzhab Syafi’i dan Maliki.

Berdasarkan riwayat sahabat Anas Bin Malik RA. bahwa ada seorang laki laki dari Bani Amr Bin Auf ia berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya Engkau ingin kami menggunakan siwak, lalu apakah ada benda lain selain itu? Lalu rasulullah saw menjawab “Kedua jarimu adalah siwak ketika kamu berwudhu, usapkan pada gigimu.”

Pendapat ketiga mengatakan bersiwak dengan jari tangan tidak cukup untuk mendapatkan kesunnahan. Hal ini menurut pendapat sebagian ulama pengikut Mazhab Syafi’i dan Hambali. Mereka beralasan bahwa syariat tentang bersiwak tidak datang dengan menggunakan jari tangan. Dan juga kebersihan yang dihasilkan dengan bersiwak menggunakan kayu berbeda dengan menggunakan jari tangan.”

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, dikalangan ulama masih terjadi perbedaan pendapat. Namun sebaiknya kita menyikapinya dengan bijak. Dalam artian tetap berusaha bersiwak dengan menggunakan benda yang lebih utama, seperti kayu arak. Jika tidak ada baru menggunakan benda lainnya.

Demikian penjelasan tentang hukum bersiwak dengan menggunakan jari tangan, semoga bermanfaat. Wallahu alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Perumpamaan Orang Munafik yang Diungkap Alquran

Ada beberapa perumpamaan orang munafik yang diungkap dalam Alquran.

Ada beberapa perumpamaan orang munafik yang diungkap dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW pun telah mengingatkan tentang nasib yang dialami oleh orang-orang munafik di akhir zaman.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

ليسَ مِن بَلَدٍ إلَّا سَيَطَؤُهُ الدَّجَّالُ، إلَّا مَكَّةَ والمَدِينَةَ؛ ليسَ له مِن نِقَابِهَا نَقْبٌ إلَّا عليه المَلَائِكَةُ صَافِّينَ يَحْرُسُونَهَا، ثُمَّ تَرْجُفُ المَدِينَةُ بأَهْلِهَا ثَلَاثَ رَجَفَاتٍ، فيُخْرِجُ اللَّهُ كُلَّ كَافِرٍ ومُنَافِقٍ.

“Tidak ada suatu negeri pun yang tidak akan dimasuki dajjal kecuali Makkah dan Madinah, karena tidak ada satu pintu masuk pun dari pintu-pintu gerbangnya (Makkah dan Madinah), kecuali ada para malaikat yang berbaris menjaganya. Kemudian Madinah akan berguncang sebanyak tiga kali sehingga Allah mengeluarkan orang-orang kafir dan munafik dari sana.” (HR. Bukhari)

Adapun perumpamaan orang munafik, dijabarkan oleh ulama di Masjid Zainabi Kairo Mesir, Syekh Ibrahim Jalhoum. Pemaparannya didasarkan pada riwayat dari Ibnu Mas’ud dan sebagian para sahabat Nabi SAW.

1. Seperti Orang yang Menyalakan Api

Orang munafik ibarat orang-orang yang menyalakan api. Allah SWT berfirman:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ

“Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.” (QS. Al-Baqarah ayat 17)

2. Seperti Orang yang Ditimpa Hujan Lebat

Orang munafik juga ibarat orang yang sedang ditimpakan hujan lebat. Allah SWT berfirman:

اَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌۚ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِۗ وَاللّٰهُ مُحِيْطٌۢ بِالْكٰفِرِيْنَ

“Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (QS Al-Baqarah ayat 19)

Meski begitu, orang munafik ada saja untuk menyangkalnya. Orang munafik lalu mengatakan bahwa Allah SWT lebih tinggi dan lebih mulia ketimbang membuat perumpamaan seperti itu. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat berikut ini:

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS Al-Baqarah ayat 26)

Perumpamaan-perumpamaan itu adalah untuk menunjukkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang rugi. “…Dan orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Ankabut ayat 52)

Hanya orang-orang fasik-lah yang disesatkan oleh perumpamaan yang dibuat Allah SWT. Abu Al-Aliyah menyampaikan bahwa orang-orang fasik itu adalah orang-orang yang munafik. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “…Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah ayat 67)

IQRA

Hadis: Zakat Hewan Ternak (Bag. 2)

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَتَبَ لَهُ الصَّدَقَةَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ يُخْرَجُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلاَ ذَاتُ عَوَارٍ، وَلاَ تَيْسٌ، إِلَّا مَا شَاءَ المُصَدِّقُ

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis ketentuan tentang zakat sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, (yaitu) janganlah mengeluarkan zakat kambing yang sudah berumur tua, yang buta sebelah (cacat), dan jangan pula kambing bibit (pejantan), kecuali apabila orang yang berzakat mau mengeluarkan sedekah.” (HR. Bukhari no. 1455)

Kandungan hadis kedua

Pertama, hadis ini merupakan dalil bahwa tidak boleh membayar zakat dengan “al-harimah” (الهرمة), yaitu sapi betina yang genap berusia dua tahun dan masuk tahun ketiga, namun gigi-giginya sudah rontok karena sudah tua. Juga tidak boleh mengeluarkan zakat berupa “dzatu ‘awar” (ذَاتُ عَوَارٍ), yaitu kambing yang memiliki cacat atau penyakit yang nyata terlihat.

Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang cara membaca (المصدق). Mayoritas ulama membaca dengan men-tasydid huruf shad dan dal (al-mushshaddiq), yaitu orang yang mengeluarkan zakat (pemilik hewan ternak). Sehingga maksud hadis adalah, “Tidak boleh mengeluarkan zakat berupa al-harimah dan dzatu ‘awar sama sekali (dua hal ini mutlak tidak boleh); demikian pula, tidak boleh mengeluarkan zakat berupa kambing pejantan, kecuali dengan rida si pemilik hewan.” Hal ini karena pemilik hewan membutuhkan kambing pejantan tersebut. Berdasarkan hal ini, pengecualian tersebut hanya berlaku untuk kambing pejantan saja, tidak berlaku untuk harimah dan dzatu ‘awar.

Akan tetapi, sebagian ulama membaca dengan hanya men-tasydid huruf dal saja (al-mushaddiq), yaitu orang (petugas) yang mengambil zakat atau penggembala hewan (bukan pemilik). Jika dibaca demikian, maka petugas zakat akan berijtihad manakah yang lebih baik. Dia boleh mengambil kambing pejantan sebagai zakat jika memang melihat ada maslahat di dalamnya. Petugas zakat juga boleh mengambil al-harimah sebagai zakat, jika memang ada maslahat untuk orang-orang fakir, misalnya karena hewannya gemuk. Demikian pula, boleh mengambil dzatu ‘awar jika memang menilai ada maslahat. Inilah yang tampaknya lebih mendekati. Hal ini karena pemilik hewan pada umumnya dikhawatirkan akan merugikan orang-orang miskin, sehingga pendapatnya tidak diterima. Adapun penggembala hewan, itu statusnya seperti wakil, sehingga dia tentu akan berusaha melihat manakah yang lebih maslahat.

Teks hadis ketiga

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةُ الجَذَعَةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ، وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الحِقَّةُ، وَعِنْدَهُ الجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الجَذَعَةُ، وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الحِقَّةِ، وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ المُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ، وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ، وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ

“Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu barangsiapa yang memiliki unta dan terkena kewajiban zakat jadza’ah, sedangkan dia tidak memiliki jadza’ah dan yang dia miliki hanya hiqqah, maka dibolehkan baginya mengeluarkan hiqqah sebagai zakat; namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham.

Barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah, sedangkan dia tidak memiliki hiqqah, namun dia memiliki jadza’ah, maka diterima zakat darinya berupa jadza’ah dan dia menerima (diberi) dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun, maka diterima zakat darinya berupa bintu labun; namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah, maka diterima zakat darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun, sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadh, maka diterima zakat darinya berupa bintu makhad,  namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh dirham atau dua ekor kambing.” (HR. Bukhari no. 1453)

Kandungan hadis ketiga

Hadis ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat berupa unta dengan kriteria umur tertentu, misalnya dia wajib mengeluarkan zakat berupa 1 jadza’ah, namun dia tidak punya unta jadza’ah, sedangkan yang dia miliki hanyalah hiqqah (yang usianya lebih muda), maka dia boleh membayar dengan hiqqah. Akan tetapi, dia juga wajib menyerahkan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai tambahan. Karena jika dijual, harga jadza’ah tentu lebih mahal daripada hiqqah.

Sebaliknya, apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat berupa 1 hiqqah, namun dia hanya punya jadza’ah (yang usianya lebih tua), maka dia boleh membayar dengan jadza’ah. Akan tetapi, petugas zakat harus memberikan dua ekor kambing atau 20 dirham sebagai pengembalian. Ketentuan semacam ini hanya khusus berkaitan dengan zakat unta, karena yang terdapat penjelasan dalam As-Sunah adalah hanya berkaitan dengan zakat unta.

Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa 20 dirham ini senilai dengan 2 ekor kambing, namun bukan suatu ketetapan (ketentuan) pasti. Maksudnya, apabila harga 2 ekor kambing di jaman ini adalah 200 dirham, maka dia diberi pengembalian 200 dirham.

Teks hadis keempat

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَعَثَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اليَمَنِ، فَأَمَرَنِي أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً، وَمِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارًا، أَوْ عِدْلَهُ مَعَافِرَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku ke Yaman dan menyuruhku untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi zakatnya 1 ekor tabi’ atau tabi’ah, dan setiap 40 ekor sapi zakatnya 1 ekor musinnah. Serta mengambil jizyah dari (setiap orang kafir) yang baligh satu dinar atau seharga satu dinar seperti baju ma’afir (baju yang dibuat di Ma’afir, salah satu daerah di Yaman).” (HR. Abu Dawud no. 1576, Tirmidzi no. 623, An-Nasa’i 5: 25-26, Ibnu Majah no. 1803, dan Ahmad 36: 338-339, sahih)

Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan terlebih dahulu dari hadis di atas, yaitu:

Tabi’ adalah sapi jantan yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua.

Tabi’ah adalah sapi betina yang genap berusia 1 tahun dan saat ini sedang di tahun kedua.

Musinnah adalah sapi betina yang genap berusia 2 tahun dan saat ini sedang di tahun ketiga.

Kandungan hadis keempat

Pertama, hadis tersebut merupakan dalil wajibnya zakat sapi ketika mencapai 30 ekor. Untuk memudahkan, kadar wajib zakat sapi kami ringkas sebagaimana tabel berikut ini.

Nishab (jumlah sapi)Kadar wajib zakat
30-39 ekor1 tabi’ atau 1 tabi’ah (boleh memilih)
40-59 ekor1 musinnah
60-69 ekor2 tabi’
70-79 ekor1 musinnah dan 1 tabi’
80-89 ekor2 musinnah
90-99 ekor3 tabi’
(Dan demikian seterusnya)Untuk setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah; dan setiap 40 ekor: 1 musinnah

Dari tabel di atas, jika jumlah sapi kurang dari 30 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat; hal ini menurut jumhur ulama. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang disyariatkan terkait zakat sapi adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadis Mu’adz ini. Dan di dalamnya juga terkandung nishab yang disepakati terkait zakat sapi.” (Al-Istidzkar, 9: 157)

Kedua, hadis ini merupakan dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak termasuk orang yang wajib mengeluarkan zakat. Akan tetapi, dia ditarik jizyah jika sudah baligh. Untuk setiap satu kepala, besar jizyah-nya adalah 1 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas atau jika bukan emas, maka barang lain yang senilai harganya dengan 4,25 gram emas.

Kembali ke bagian 1: Zakat Hewan Ternak (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

@Kantor Pogung, 17 Jumadil awal 1445/ 1 Desember 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/90565-zakat-hewan-ternak-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id