Arab Saudi Izinkan Pelaksanaan Ibadah Umrah Saat Ramadhan, Ini Syarat dan Ketentuannya

Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Haji dan Umrahnya memberikan izin pelaksanaan ibadah Umrah dan kunjungan ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi untuk orang-orang mulai bulan Ramadhan 2021 ini. Namun pihak Saudi hanya membolehkan bagi orang yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19.

Melansir media Saudi Press Agency, pada Selasa (06/04/2021), sumber Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menyebut pemberian izin Umrah dan shalat di Masjidil Haram serta berkunjung ke Masjid Nabawi mulai tanggal 01 Ramadhan 1442 Hijriah bagi orang-orang yang sudah divaksinasi sesuai dengan ketentuan di aplikasi Tawakkalna untuk kategori imunisasi.

Kategori imunisasi yaitu seseorang yang mendapat dua dosis vaksin Covid-19. Kemudian, seseorang yang setelah 14 hari menerima dosis pertama vaksin Covid-19 serta yang sembuh dari infeksi.

Izin pemesanan untuk menunaikan ibadah umrah, shalat dan kunjungan harus melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna, karena waktu yang tersedia dan kapasitas operasional tetap berpegang pada tindakan kehati-hatian.

Kemudian, untuk izin pemesanan menunaikan ibadah umrah, sholat dan kunjungan dilakukan melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna. Hal tersebut dilakukan untuk efisien waktu dan menyesuaikan dengan kapasitas operasional dan bentuk kehati-hatian.

Selain itu harus menunjukkan izin dan memverifikasi keabsahannya melalui aplikasi Tawakkalna, langsung dari rekening penerima. Sumber tersebut menegaskan, platform utama dan terakreditasi untuk mendapatkan izin adalah melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna.*

HIDATARULLAH

Menelusuri Jejak Nasab Rasullah Muhammad SAW

Keturunan Nabi Muhammad SAW hadir di Indonesia sejak abad ke – 14 dengan tujuan utama berdakwah.

Di kalangan umat islam, terdapat sebagian orang yang disebut sebagai alawiyin. Siapakah mereka? Alawiyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad.

Saat ini kaum alawiyin telah memiliki banyak keturunan dan tersebar di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang autentisitas keturunan (nasab) alawiyin diatur oleh suatu organisasi yang bernama Rabithah Alawiyah.

Sejarah pencatatan nasab alawiyin dimulai pada abad ke-15 oleh Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran. Pencatatan nasab alawiyin juga dilakukan oleh Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dengan bantuan pendanaan dari raja-raja India. Beliau memerintahkan untuk melakukan pencatatan alawiyin di Hadramaut, Yaman, pada abad 17.

Pada akhir abad ke-18, Sayid Ali bin Syekh bin Muhammad bin Ali bin Shihab juga melakukan pencatatan alawiyin. Hasil pencatatan itu terkompilasi dalam buku nasab sebanyak 18 jilid. Pencatatan nasab paling akhir dilakukan oleh mufti Hadramaut, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur pada akhir abad 19 yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Hasil pencatatan mereka terkumpul dalam tujuh buku nasab dari Hadramaut.

Ketika Habib Alwi bin Thahir Alhaddad mendirikan organisasi Rabithah Alawiyah, beliau berinisiatif melakukan pencatatan alawiyin yang ada di Indonesia.

Berangkat dari inisiatif itu, kemudian Rabithah Alawiyah membentuk Maktab Daimi pada 10 Maret 1932.

Maktab Daimi merupakan lembaga otonom yang mempunyai tugas memelihara sejarah dan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia. Harapannya, sejarah dan silsilah alawiyin tetap terjaga dan lesstari.

Dalam menjalankan tugasnya, Maktab Daimi mempunyai metode khusus untuk mengetahui nasab seseorang, yakni apakah orang tersebut masih garis keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan.

Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Ustadz Ahmad bin Muhammad Alatas mengatakan, setiap orang yang ingin mengetahui silsilah nasabnya harus mengajukan permohonan kepada Maktab Daimi.

Pemohon harus mengisi formulir yang sudah tersedia. Pemohon juga harus menyebutkan silsilah nasabnya sampai kakek kelimanya.

“Setelah dicatat dengan benar (nama kakeknya), kita akan mengecek pada buku-buku besar (buku silsilah nasab) yang kita miliki,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Jika nama-nama kakek si pemohon ada di dalam buku nasab, maka pihak Maktab Daimi akan meminta pemohon mengajukan saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar berasal dari suku atau marga alawiyin.

Namun sebaliknya, jika nama kakek yang dituliskan si pemohon tidak ada di buku silsilah nasab yang menjadi rujukan Maktab Daimi, Maktab Daimi akan menggunakan metode lain.

Maktab Daimi akan meminta data-data silsilah kakek si pemohon yang berurutan dan valid sampai kakek si pemohon ada di buku silsilah nasab.

Ia mencontohkan, misalkan pemohon menuliskan silsilah kakeknya sampai kakek kelimanya. Tapi, ada empat nama kakeknya yang tidak terdaftar di buku silsilah nasab Maktab Daimi.

Maka, empat nama kakeknya tersebut harus dibuktikan dengan data yang valid seperti dengan kartu keluarga, surat pernikahan, paspor, dan surat jual beli.

“Yang mana semuanya itu akan menyebutkan nama ayahnya, sehingga akan berkesinambungan kepada silsilah yang ada di buku ini (silsilah nasab),” ujarnya.

Metode seperti itu, menurut Ustadz Ahmad, dibuat guna menghindari orang-orang yang ingin memalsukan nasabnya.

Ia menerangkan, buku silsilah nasab yang digunakan Maktab Daimi awalnya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.

Buku itu kemudian diserahkan kepada Habib Alwi bin Thahir Alhaddad di Indonesia. Namun, buku itu hanya memuat nama-nama alawiyin yang lahir di Yaman.

Kemudian, ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf, mengembangkan buku pertama yang berasal dari Hadramaut tersebut.

Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.

“Jadi Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf meneruskan nasab yang ditulis oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur yang dari Hadramaut,” jelasnya.

Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itu sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.

Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surabaya, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.

“Dari 15 jilid buku tersebut, ada juga yang dipinjam sampai di Madinah dan digunakan di Jeddah. Boleh dikatakan buku nasab hasil perpaduan buku nasab dari Hadramaut dan Indonesia itu lebih lengkap secara keseluruhan dibanding buku nasab yang lain,” papar Ustadz Ahmad.

Jejak para sayyid

Menurut catatan yang ada saat ini, keturunan Nabi Muhammad SAW atau para sayyid datang ke Indonesia sejak abad 14. Mereka datang secara bergelombang.

Ada yang ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Di antara para sayyid itu, ada yang sekarang dikenal sebagai Wali Songo.

“Tujuan para sayyid datang ke Indonesia untuk berdakwah melalui perdagangan. Dengan cara berdagang bias membaur dengan masyarakat, setelah itu berdakwah,” ujarnya.

Para sayyid memang banyak yang berasal dari Yaman. Dari Yaman, mereka hijrah ke India. Lalu, dari negeri Hindustan itu, mereka hijrah lagi ke kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Indonesia.

“Itu yang disebut dari Gujarat. Jadi, Gujarat adalah wilayah besar di India, mereka itu berasal dari Yaman, bukan keturunan orang India,” terang Ustadz Ahmad.

Di India, para sayyid banyak bermukim di wilayah Hyderabad dan Kerala. Di Hyderabad, terdapat sekitar 38 marga yang bertalian dengan garis keturunan Nabi Muhammad SAW.

Di Kerala, terdapat 20 marga, sementara di Indonesia ada 68 marga yang bertalian dengan garis keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa manfaatnya mengenal nasab? Bagi para sayyid, menurut ustadz Ahmad, hal itu bermanfaat untuk mengetahui asal usul atau silsilah keluarga mereka.

Harapannya, mereka dapat mencontoh dan mengikuti kepribadian, akhlak, dan sifat Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia.

“Untuk apa kalau nasabnya bagus tapi perilaku dan akhlak nya tidak sesuai (dengan Nabi Muhammad SAW)? Maka akan sangat disayangkan sekali.” 

IHRAM

#TanyaBincangSyariah: Bagaimana Kiat Agar Anak Tidak Terjerumus dalam Konten Kekerasan?

Pertanyaan

Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.

Ada banyak sekali konten kekerasan dan konten yang mengandung kekerasan bersilewan di media sosial. Sebagai orang tua yang memiliki anak-anak yang masih kecil, saya sering merasa khawatir. Takutnya, di luar pengawasan saya, anak-anak terjebak dalam konten kekerasan.

Kasih tau dong Min, gimana caranya agar anak-anak tidak terjerumus dalam konten kekerasan?

Waalaikumussalam Wr.Wb.

Jawaban

Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.

Sebelum membahas tentang konten kekerasan yang kerap menjerumuskan anak, para orang tua harus mengerti terlebih dahulu alasan pentingnya menguasai cara mendidik anak dalam Islam.

Cara tersebut adalah pijakan agar para orang tua bisa mengontrol anak agar tidak terjerumus ke dalam konten kekerasan di internet terutama di media sosial. Pendidikan anak adalah hal yang penting untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Mendidik Anak

Anak menduduki posisi penting dalam kehidupan, baik dalam keluarga atau dalam kehidupan masyarakat. Anak adalah generasi pelanjut dari satu generasi.

Dalam Al-Quran dan Terjemahnya, Saudi Arabiah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’at Mushhaf al-Syarif Medinah al-MunawwarahmilikDepartemen Agama RI disebutkan bahwa Al-Qur’an memberi kedudukan yang penting dalam kehidupan anak.

Hal tersebut terbukti dengan adanya berbagai macam istilah yang digunakan dalam Al-Qur’an. Sebagai misal, dalam surah Al-Kahfi (18) Ayat 46 disebutkan bahwa anak adalah perhiasan dalam kehidupan dunia.

ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Al-mālu wal-banụna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Tercantum pula tentang kehidupan anak dalam Qur’an Surat Ali ‘Imran (3) Ayat 14 sebagai berikut:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Zuyyina lin-nāsi ḥubbusy-syahawāti minan-nisāi wal-banīna wal-qanaṭīril-muqanṭarati minaż-żahabi wal-fiḍḍati wal-khailil-musawwamati wal-an'āmi wal-ḥarṡ, żālika matā'ul-ḥayātid-dun-yā, wallāhu 'indah</i></em><em><i>ụ </i></em><em><i>ḥusnul-maāb

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Selain kedua ayat tersebut, masih banyak ayat yang lain yang memberikan gambaran betapa pentingnya kedudukan anak.

Anak-anak digambarkan sebagai perhiasan, sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang sangat berharga membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan yang sungguh-sungguh.

Anak-anak adalah obyek kecintaan seseorang. Maka dari itu, para orang tua mesti memahami alasan pentingnya mengetahui mengapa cara mendidik anak dalam Islam mesti dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Abdullah Nashih Ulwan dalam Pendidikan Anak dalam Islam (2007) menuliskan bahwa dalam hati orang tua akan tumbuh perasaan cinta terhadap anak dan tumbuh pula perasaan-perasaan psikologis lainnya.

Perasaan tersebut bisa berupa perasaan kebapakan dan perasaan keibuan untuk memelihara, mengasihi, menyayangi, dan memperhatikan anak. Untuk itu, cara mendidik anak bisa dijadikan fondasi untuk melaksanakannya.

Betapa berharganya kehadiran anak dalam Al-Qur’an sebab disamakan dengan perhiasan dan dianggap sebagai penyejuk hati.

Sayangnya, banyak media yang memberitakan ada saja orang tua yang tega membunuh anaknya tiga orang dengan jalan meracuni. Alasannya hanya karena orang tua takut masa depan anaknya yang tidak jelas sebab ditinggalkan oleh suaminya.

Ada juga orang tua yang tega membuang bayinya di drainase. Ada pula orang tua yang membunuh dengan jalan aborsi dan lain sebagainya.

Tragedi kemanusiaan tersebut menunjukkan betapa pentingnya cara mendidik anak dipahami oleh masyarakat.

Kehadiran anak dan perlindungan terhadap anak, termasuk pembinaan dan pendidikan bagi anak-anak adalah amanah yang diletakkan Allah Swt. di pundak seluruh umat manusia.

Metode Rasulullah

Metode Nabi Muhammad dalam mendidik anak menjadi acuan tersendiri untuk umat Islam. Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Ajarilah, permudahlah, janganlah engkau persulit, berilah kabar gembira, jangan engkau beri ancaman. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah diam.” (H.R. Ahmad dan Bukhari).

Ada banyak metode pendidikan yang bisa disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. dan juga dari perilaku sosial Nabi kepada anak-anak. Selain itu, ada pula yang diambil dari dialog langsung antara beliau dengan anak-anak atau kepada para bapak tentang cara memperlakukan anak-anak mereka.

Menurut Muhammad Nur Abdul Hafiz Suwaid dalam buku Prophetic Parenting; Cara Nabi Mendidik Anak (2010) metode Nabi Muhammad dalam mendidik anak bisa direalisasikan ke dalam beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, menampilkan suri teladan yang baik.

Keteladanan dalam pendidikan adalah metode yang terbukti berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial dalam diri anak. Orang tua adalah figur terbaik dalam pandangan anak di mana tindak-tanduk orang tua senantiasa ditiru oleh mereka.

Suri teladan yang baik akan berdampak besar pada kepribadian anak hingga dewasa nanti. Hal ini disebabkan mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua orangtuanya. Bahkan, bisa dipastikan pengaruh yang paling dominan pasti berasal dari ajaran dan perilaku kedua orang tuanya.

Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kedua orang tua untuk menjadi suri teladan yang baik dalam bersikap dan berperilaku jujur ketika berhubungan dengan anak. Mengapa? Sebab, anak-anak akan selalu memperhatikan dan meneladani sikap dan perilaku orang dewasa.

Jika anak-anak melihat kedua orang tuanya berperilaku jujur, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang dipenuhi kejujuran dan demikian seterusnya. Untuk itu, hendaknya kedua orang tua selalu dituntut untuk menjadi suri teladan yang baik bagi anak-anaknya.

Dalam masa pertumbuhan, seorang anak akan selalu memerhatikan sikap dan ucapan kedua orang tuanya. Maka, orang tua dituntut untuk mengerjakan perintah-perintah Allah Swt. dan sunnah-sunnah Rasul-Nya.

Keteladanan mesti ditampilkan oleh orang tua sehingga anak akan terdorong untuk menirunya. Sayangnya, hal tersebut tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang tua hendaknya menahan dan menjaga diri dari hal yang membuatnya masuk neraka. Penjagaan diri yang dimaksud bisa dilakukan dengan upaya seorang ayah atau ibu dalam rangka menampilkan uswatun hasanah kepada anaknya.

Kedua, mencari waktu yang tepat untuk memberi pengarahan.

Kedua orang tua mesti memahami bahwa memilih waktu yang tepat untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap hasil nasihatnya. Maka dari itu, memilih waktu yang tepat dan efektif untuk meringankan tugas orang tua dalam mendidik anak mesti dilakukan.

Hal ini dilakukan karena sewaktu-waktu anak bisa menerima nasihatnya, tapi juga terkadang pada waktu yang lain ia akan menolak dengan keras. Jika orang tua sanggup mengarahkan hati sang anak untuk menerimanya, pengarahan yang diberikan akan memperoleh keberhasilan dalam upaya pendidikan.

Rasulullah Saw. selalu memperhatikan secara teliti tentang waktu dan tempat yang tepat untuk mengarahkan anak, membangun pola pikir anak, mengarahkan perilaku anak dan menumbuhkan akhlak yang baik pada diri anak.

Saat anak dalam kondisi belum siap menerima nasihat, orang tua sebaiknya menundanya dulu. Kedekatan antara orang tua dan anak juga diperlukan agar tidak ada perselisihan atau pertengkaran yang terjadi saat memberi pengarahan.

Metode Nabi Muhammad dalam mendidik anak bukan tentang anak yang dikontrol oleh orang tua, tapi tentang bagaimana orang tua dan anak bisa saling bekerja sama dalam menjalani dan memaknai kehidupan untuk mencapai ridho Allah Swt.

Baca: Lima Hak Anak yang Harus Dipenuhi Orang Tua

Cara Alternatif

Ada banyak cara mendidik anak dalam Islam. Salah satunya adalah metode mendidik anak yang ditulis oleh Syekh Abdul Fattah Abu Guddah dalam karyanya yang berjudul Ar-Rasool (S) al-Mu’allim wa Asaaleebihi fi-t-Ta’leem.

Ia menyatakan bahwa dalam proses pengajaran kepada anak, Rasulullah Saw. senantiasa menggunakan berbagai metode yang beliau nilai paling baik dan tepat sasaran.

Rasulullah Saw. menggunakan metode yang sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik, mudah dipahami dan dicerna akal, dan yang tidak kalah penting gampang diingat.

Menurut Abu Guddah, setidaknya ada enam model pendidikan anak atau enam cara mendidik anak dalam Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. yaitu:

Pertama, metode dialog Qurani dan nabawi.

Metode dialog ini adalah pembicaraan diantara dua orang atau lebih melalui tanya jawab yang didalamnya ada kesatuan inti pembicaraan. Dialog ini berperan sebagai jembatan yang menghubungkan pemikiran antarmanusia.

Ada beberapa bentuk dialog dalam Alquran, yaitu khitabita’abuddi, deskriptif, naratif, argumentatif, dan nabawiyah.

Kedua, metode kisah Alquran dan nabawi.

Metode ini adalah cara mendidik anak melalui media cerita di mana pendidik, baik orang tua maupun guru, menceritakan tentang kisah-kisah teladan yang ada di dalam Alquran dan pada masa Islam generasi pertama.

Allah Swt. berfirman dalam Qur’an Surat Yusuf Ayat 3 sebagai berikut:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ ٱلْقَصَصِ بِمَآ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلْغَٰفِلِينَ

Naḥnu naquṣṣu ‘alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur`āna wa ing kunta ming qablihī laminal-gāfilīn

Artinya: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.”

Ketiga, metode keteladanan.

Keteladanan adalah salah satu metode yang efektif dalam mendidik anak. Tanpa keteladanan, baik guru maupun orang tua akan sulit mendapatkan ketaatan mutlak dari anak-anaknya.

Rasulullah Saw., sebagaimana dinyatakan dalam Alquran adalah suri tauladan dalam setiap detik kehidupan beliau. Beliau mengajar dengan memberi contoh atau teladan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, diceritakan bahwa: “Rasulullah Saw. senantiasa bangun untuk salat malam (tahajud) sehingga kedua mata dan kakinya bengkak. Lalu beliau ditanya: ‘Bukanlah Allah telah mengampuni segala dosamu yang telah lalu dan yang akan dating?’ Nabi menjawab: ‘Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?”.

Keempat, metode praktik dan perbuatan.

Metode praktik dan perbuatan adalah sebuah metode pendidikan dengan cara mengajari anak langsung tanpa memberikan teori yang bertele-tele. Metode ini bisa dipakai dalam mengajarkan adab-adab sehari-hari. Sebagai misal, dengan cara makan dan minum.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan: “Dari Ibnu ‘Abbas r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: ‘Akrabillah anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan adab yang baik’,” (H.R. Tabrani)

Kelima, metode ibrah dan mau’izzah.

Dalam pengajaran metode ini, anak diajak untuk bisa mengambil setiap pelajaran atau hikmah dari setiap peristiwa kehidupan yang dialami anak.

Keenam, metode targhib dan tarhib.

Istilah lain dari metode ini adalah reward and punishment. Metode ini membuat anak akan mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan dan perbuatan yang diambil.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa:

“Dahulu Rasulullah saw. membariskan ‘Abdullah, ‘Ubaidillah, dan sejumlah anak-anak pamannya, Al ‘Abbas ra. dalam satu barisan, kemudian beliau bersabda:

“Barang siapa yang paling dulu sampai kepadaku, maka dia akan mendapatkan anu dan anu.”

Mereka pun berlomba lari menuju ke tempat Nabi Muhammad Saw. berada. Setelah mereka sampai kepadanya, maka ada yang memeluk punggungnya dan ada pula yang memeluk dadanya dan Nabi Muhammad Saw. menciumi mereka semua serta menepati janjinya kepada mereka.” (H.R. Ahmad)

Dari enam metode atau cara mendidik anak dalam Islam, para orang tua dan guru bisa memilih salah satunya, atau melaksanakan keenam-enamnya dalam kasus dan contoh perbuatan yang berbeda.

Demikian penjelasan tentang metode mendidik anak dalam Islam agar anak tidak terjerumus dalam konten kekerasan yang ada di internet terutama di media sosial. Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Ini Teman dan Referensi Ibadah Ramadan Anda

Tak terasa bulan suci Ramadan sudah di depan mata. Teknologi berupa gawai dan aplikasi dapat bermanfaat dalam mendukung ibadah umat Islam di bulan Ramadan, terutama di tengah wabah virus Covid-19. Gratis dan tanpa iklan, aplikasi KESAN hadir untuk menemani dan menjadi referensi ibadah Ramadan dalam genggaman untuk segenap umat Islam.

KESAN (Kedaulatan Santri) adalah aplikasi Islami karya anak negeri terlengkap, gratis, dan bebas iklan yang didesain khusus untuk menemani para santri, purna santri, dan segenap umat Islam setiap saat.

“Selain ada fitur Al-Qur’an dan pengingat shalat wajib dan sunnah, KESAN juga menyiapkan 70 lebih doa dan zikir Ramadan, hadis dan fikih Ramadan, kajian online mingguan, serta kitab-kitab klasik seputar Ramadan. Ada juga artikel Islami harian yang ditulis oleh para ustadz guna menambah wawasan keagamaan para pengguna,” Hamdan Hamedan, CEO KESAN.

Hamdan menjelaskan bahwa KESAN berupaya hadir untuk menunjang ibadah umat Islam di bulan Ramadan di tengah wabah Covid-19 yang mungkin membatasi mobilitas mereka dalam beribadah dan menuntut ilmu agama.

“Tujuannya agar umat Islam terbantu kebutuhan ibadahnya sekaligus dapat terus menambah pengetahuan agama lewat smartphone mereka. 12 fitur penunjang ibadah dan ilmu yang ada di KESAN, insyaAllah bermanfaat bagi umat Islam,” pungkas Hamdan.

Penyanyi lagu religi Veve Zulfikar pun mengapresiasi hadirnya aplikasi KESAN. “Aplikasi KESAN, praktis banget. Aku bisa baca Al-Qur’an dan ratusan shalawat cukup dari satu aplikasi. Ada fitur Kitab Kuning dan klasik juga, jadi bisa baca-baca kitab selama Ramadan di rumah,” ujar Veve.

Aplikasi KESAN telah diunduh lebih dari 50 ribu kali oleh para pengguna baik di dalam maupun luar negeri. Aplikasi KESAN dapat diunduh gratis di Google PlayApple Store, atau di website KESAN.

BINCANG SYARIAH


Jangan lupa untuk mendownload dan instal apliaksi Cek Porsi klik di sini atau Aplikasi Ebook2 Islami di sini!

Pelajaran Indah dari Surat Al-Insan

Pelajaran Indah dari Surat Al-Insan

Share on facebookShare on whatsappShare on twitterShare on googleShare on telegram

Pelajaran Indah dari Surat Al-Insan

khazanahalquran.com – Kali ini kita akan mengutip beberapa pelajaran indah dari Surat Al-Insan.

(1) Manusia diciptakan untuk di uji. Allah Swt berfirman ;

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS.al-Insan:2)

Dan Allah telah memberikan berbagai sarana untuk bisa dimanfaatkan dalam menjalani ujian di dunia ini.

فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

“karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat…”

(2) Dalam Surat ini disebutkan sifat dan tanda dari orang-orang baik (al-abrar) yang layak mendapatkan kenikmatan surga.

Dan diantara sifat mereka yaitu :

a. Menepati janji atau nadzar.

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ

“Mereka menunaikan nazar…”

b. Takut kepada Allah dan kepada siksaan-Nya di hari kiamat.

وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana…” (QS.al-Insan:7)

إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا

“Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan…” (QS.al-Insan:10)

c. Memberi makanan yang ia sukai kepada orang miskin, anak yatim ataupun tawanan.

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS.al-Insan:8)

d. Adil dan bijak walaupun kepada orang kafir. Ayat di atas mencontohkan untuk berbuat kebaikan walau kepada tawanan (orang yang sebelumnya memusuhi Islam dan kalah).

e. Ikhlas hanya untuk Allah Swt. Dia tidak berharap apapun dari amal perbuatannya kecuali Ridho Allah. Ia tidak mengharapkan pujian ataupun balasan dari manusia atas kebaikannya.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS.al-Insan:9)

f. Sabar dan tabah dalam menjalani berbagai ujian di dunia.

وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا

“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS.al-Insan:12)

Itulah beberapa pelajaran indah yang dapat kita kutip dari Surat Al-Insan.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAHALQURAN.COM

Alasan Rasulullah Larang Dekati Dukun

Rasulullah melarang umat Islam tidak mendekati dukun

Praktik perdukunan sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw dan beliau melarang para sahabat untuk mendekati para dukun yang mengaku memiliki ilmu gaib. Apa alasan beliau?

Larangan Rasulullah agar umat Islam tidak mendekati dukun ini telah dijelaskan oleh Fuad Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah Saw.

Fuad menceritakan, ketika Rasulullah Saw memimpin shalat berjamaah di masjid, tiba-tiba seorang makmum bersin dan Muawiyah ibn Al-Hikam yang berada persis di sebelahnya menjawab, “Yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu).”

Orang-orang yang sedang sholat pun berpaling kepadanya dengan pandangan menyalahkannya. Muawiyah berkata, “Kenapa kalian melihatku seperti itu?”

Orang-orang kemudian memukulkan tangan mereka ke paha sebagai isyarat agar Muawiyah tak bicara. Maka, ia  pun diam hingga sholat selesai.

Setelah Sholat, Rasulullah Saw menghadap kepada jamaah dan berkata, “Ketika sholat, jangan sampai keluar satu ucapan pun. Dalam sholat hanya ada tasbih, takbir, dan bacaan Alqur’an.”

Muawiyah yang merasa bersalah kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, aku baru saja lepas dari keadaan jahiliah dan memasuki Islam. Dan sesungguhnya, banyak di antara kami yang biasa mendatangi dukun yang mengaku memiliki ilmu gaib.”

“Jangan dekati mereka!” ucap Rasulullah

Muawiyah melanjutkan, “Di antara kami juga ada orang suka ber-tahayyur (menganggap sial dengan sesuatu, seperti dengan suara burung dll)”

Rasulullah menjelaskan, “Itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam dada mereka. Jangan sampai semua itu menghalangi dari tujuan mereka, karena semua itu tidak berpengaruh, tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Sudah Tahu Tahapan Pengharaman Khamar?

Pengharaman khamar itu datang secara bertahap. Pengharamannya tidak langsung tegas diharamkan.

Pelajaran penting yang bisa kita petik adalah syariat itu datang secara bertahap. Lihat Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 355.

Dalil-dalil yang menunjukkan haramnya khamar

Dalil pertama:

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ , إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91).

Dalam ayat ini dari beberapa sisi kita dapat melihat keharaman khamar:

  • Khamar dalam ayat tersebut dikaitkan dengan penyembahan pada berhala.
  • Allah menyebut khamar dengan rijsun (jelek).
  • Khamar termasuk perbuatan setan. Setan pastilah datang dengan membawa kejelekan dan hal yang kotor.
  • Kita diperintahkan untuk menjauhi khamar.
  • Seseorang yang menjauhinya akan mendapatkan keberuntungan. Jika seseorang mendekati khamar, malah termasuk orang yang merugi.
  • Khamar dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian.
  • Allah menutup dengan mengatakan “fahal antum muntahuun”, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:385.

Dalil kedua:

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta untuk diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan Ibnu Majah, no. 3380. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil ketiga:

Ijmak atau kesepakatan para ulama umat Islam menyatakan bahwa khamar itu haram. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:15.

Tahapan dalam pengharaman khamar

Pertama: Awalnya khamar dibolehkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 67).

Kedua: Turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamar karena mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219).

Ketiga: Turun ayat untuk melarang khamar pada satu waktu, dibolehkan pada waktu lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43).

Keempat: Terakhir, khamar diharamkan secara tegas.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).

Penjelasan tahapan dalam pengharaman khamar disarikan dari Tafsir Az-Zahrawain dan Tafsir As-Sa’di.

Silakan unduh bahasan lengkap tentang khamar dalam buku PDF:

Miras Biang Kerusakan

Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi semua yang membaca. Semoga Allah menjauhkan kita dari minuman yang menjadi biang kerusakan, moga keluarga kita pun dijauhi.

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.
  2. Shahih Fiqh As-Sunnah.Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-
  3. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  4. Tafsir Az-Zahrawain. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obekan.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Jumat pagi, 19 Syakban 1442 H, 2 April 2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Ngaji Aqidah Sampai Kapan?

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang muslim tentu mengharapkan surga dan takut akan azab neraka. Dia beribadah kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dia melaksanakan aturan-aturan Allah dalam menjalani kehidupannya di alam dunia. Dia menyadari bahwa kelak ada hari pembalasan atas amal dan perbuatannya.

Allah berfirman,

ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ 

Artinya:

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2).

Hidup ini penuh dengan cobaan dan ujian. Apakah ia berupa kesenangan maupun kesulitan dan kesusahan. Meskipun demikian pada hakikatnya nikmat yang Allah berikan sangatlah banyak, tetapi pada saat yang sama ternyata teramat sedikit di antara hamba Allah yang pandai mensyukurinya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak bisa menghadapi ujian berupa nikmat dan kelapangan.

Allah berfirman,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِینَ أَعۡمَـٰلًا  ٱلَّذِینَ ضَلَّ سَعۡیُهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ یَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ یُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

Artinya:

“Katakanlah, maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104) .

Banyak orang menyangka bahwa dirinya menemukan kesuksesan dengan harta, jabatan dan kemewahan dunia yang lainnya. Padahal kebahagiaan hakiki hanya bisa diraih dengan iman dan amal saleh. Dengan keikhlasan dan mengikuti tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan dengan membuat-buat ajaran baru dan melenceng dari aturan.

Dengan demikian setiap muslim membutuhkan panduan dan landasan yang benar dalam membangun hidup dan kehidupannya. Hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani. Hidup bukan sekedar mencari uang dan mencicipi berbagai menu masakan kesukaan. Hidup ini memiliki arti dan tujuan yang mulia.

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Artinya:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Melakukan ibadah kepada Allah mengandung makna dan cakupan yang sangat luas. Ia berkaitan dengan hati, lisan, dan perbuatan anggota badan. Sebagaimana halnya iman terdiri dari keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan. Ibadah kepada Allah merupakan kebutuhan hamba kepada Rabbnya. Tanpa ibadah itu maka manusia akan kehilangan jati diri dan kemuliaannya. Dia hanya akan hidup seperti binatang ternak. Bahkan bisa jadi lebih tersesat darinya. Ruh dari ibadah itu adalah kecintaan kepada Allah. Kecintaan yang disertai dengan pengagungan. Oleh sebab itu, seorang muslim tunduk dan merendahkan dirinya kepada Allah.

Banyak orang beranggapan bahwa mempelajari aqidah atau tauhid itu sesuatu yang tidak menarik atau mungkin dianggap membosankan. Mereka pun lebih senang membicarakan topik-topik kekinian yang bersifat wah dan serba mentereng. Sibuk dengan berita politik, sibuk dengan perbincangan pengamat ekonomi dan larut dengan obrolan budayawan. Hari demi hari hanya berpindah dari satu isu menuju isu berikutnya. Belajar agama pun seadanya. Apa yang disajikan di media maka itulah yang dia cerna dan dia jadikan pedoman. Kitab Allah dan Sunnah Rasul pun seolah terkesampingkan. Karena beralasan kita cukup mengikuti para ulama. Akhirnya al-Qur’an jarang dibaca, jarang direnungkan, dan apalagi untuk didakwahkan dan diamalkan dalam keseharian.

Dulu saat kita kecil kita sering membaca atau mendengar para guru atau ustaz membaca hadis bahwa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُخَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَه

Artinya:

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Dengan mudahnya kita mengikuti kegiatan TPA, menghafalkan doa-doa dan pernak-pernik ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru dan pengajar TPA. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saat lulus SD atau lulus SMP dan tamat SMA kegiatan mempelajari al-Qur’an seolah tidak lagi penting. Mungkin ada yang beranggapan yang penting sudah bisa baca huruf hijaiyah. Atau mungkin ada yang beranggapan bahwa belajar agama itu tidak usah dalam-dalam khawatir nanti malah jadi ekstrim dan jadi teroris… Subhanallah!

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, bukankah kita telah menyaksikan bersama bahwa sekian banyak bentuk penyimpangan itu sesungguhnya adalah buah dan dampak dari kebodohan tentang agama. Tidakkah kita lihat orang-orang yang terjebak oleh paham ekstrim dan suka mengkafirkan; mereka sesat juga karena tidak paham agama dengan benar. Orang yang suka bom bunuh diri dan merusak tempat-tempat umum; itu juga akibat tidak mengerti ajaran agama dengan benar. Sebaliknya orang yang tenggelam dengan hawa nafsu dan kemungkaran itu juga pada dasarnya tidak mengerti agama dengan benar. Bukankah segala bentuk kerusakan di alam semesta ini akarnya adalah kebodohan hamba kepada Rabbnya, dan ketidakpahaman manusia tentang hidayah….

Allah berfirman,

فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

Artinya:

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123).

Ahli tafsir ternama dan sahabat nabi yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak pula celaka di akhirat.”

Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهٖ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Artinya:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam adalah agama yang sempurna. Dia mengajarkan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Cara yang diterima oleh Allah.

Allah berfirman,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

Artinya:

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya:

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim).

Ibadah kepada Allah tidak cukup bermodalkan niat baik, tetapi ia juga harus dilakukan dengan cara yang benar/sesuai dengan tuntunan. Oleh sebab itu, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada umat manusia.

Di sinilah kita mengetahui letak pentingnya aqidah bagi seorang muslim. Karena dengan aqidah yang kuat seorang muslim akan bertahan dalam menghadapi segala bentuk cobaan dan godaan. Dengan aqidah yang benar seorang muslim akan mewujudkan tujuan hidupnya dalam menghamba kepada Allah dengan lurus. Allah berfirman

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

Artinya:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Dengan aqidah yang benar maka seorang muslim menjauhkan diri dari segala bentuk syirik dan kekafiran. Karena hal itu akan menghapuskan amal-amal kebaikan dan sebab kesengsaraan abadi di akhirat.

Allah berfirman,

وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

Artinya:

“Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Tidak boleh kita menyepelekan syirik. Karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja imamnya ahli tauhid dan bapaknya para nabi berdoa kepada Allah untuk dijauhkan darinya.

Allah berfirman (menceritakan isi doa beliau),

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنࣰا وَٱجۡنُبۡنِی وَبَنِیَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ

Artinya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.’.” (Ibrahim : 35).

Kalau beliau saja khawatir dirinya tertimpa syirik maka bagaimana lagi dengan kita yang baru saja mengenal tauhid dan belum lama mengerti ilmu agama?!

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya takut apabila dirinya terjerumus dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq). Hal ini menunjukkan kedalaman ilmu dan ketawadhu’an para sahabat. Mereka tidak merasa aman dari bahaya kemunafikan.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang mukmin akan memadukan dalam dirinya antara perbuatan baik/ihsan dan merasa takut. Adapun orang kafir/fajir akan memadukan dalam dirinya antara berbuat buruk/dosa dengan merasa aman.”

Sebagian salaf mengatakan, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali apabila dia telah berjumpa dengan Allah (di surga).” Oleh sebab itu, seorang muslim senantiasa butuh belajar aqidah tauhid dan mengokohkan aqidah itu di dalam hatinya. Karena fitnah yang datang menyambar-nyambar; sedangkan hati manusia itu berbolak-balik. Ya Allah teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu… Ya Allah palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu…

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

MUSLIMor.id

Kaya

ISTILAH Istilah “ghoniyyun” (غَنِيٌّ) atau “ghinaa” (غِنَى) biasanya diterjemahkan “kaya”. Terjemah ini tidak persis tepat, karena “kaya” dalam bahasa Indonesia berarti mempunyai banyak harta, sementara dalam Bahasa Arab berbeda.

Makna asli “ghoniyyun” atau “ghina” adalah cukup dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan kepada selainnya. Ini sebetulnya lebih bersifat psikis atau sikap mental, bukan fenomena fisik-material. Wanita yang sangat cantik disebut “ghoniyah” (غانية), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak memerlukan perhiasan. Suara nyanyian yang sangat merdu disebut “ghinaa’” (غناء), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak butuh apa-apa lagi untuk memperindahnya.

Alhasil, makna “ghinaa” dan “ghoniyyun” bukan kaya sebagaimana dimengerti dalam bahasa Indonesia. Makna yang lebih tepat adalah mandiri, tidak menjadi beban dan kerepotan orang lain, merdeka.

Orang yang “ghoniy” bisa jadi tidak berharta banyak, tapi ia tidak membebani siapa pun bahkan bisa berkontribusi untuk orang lain. Sebaliknya, ada orang berharta banyak namun sebenarnya tidak “ghoniy”, sehingga pelit dan tidak memiliki sumbangsih bagi umat.

Maka, di antara nama-nama Allah adalah “al-ghoniyyu” (الغني), yakni Dzat yang mandiri, cukup dengan diri-Nya, tidak butuh kepada selain-Nya. Bahkan, Dia bisa mencukupi yang lain. Sebaliknya, ketika manusia “merasa tidak butuh kepada Allah”, ia menjadi tercela. Perasaan ini akan mengantarkannya kepada tindakan-tindakan liar, tak terkendali, melampaui batas kewajaran.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ . أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ

Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas; karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Qs al-‘Alaq: 6-7)

Dalam surah ‘Abasa: 5, istilah serupa juga digunakan dan merujuk kepada sikap sombong, tidak membutuhkan hidayah, atau merasa sudah benar. Meski banyaknya harta juga bisa berkontribusi pada munculnya sikap tertipu (ghurur) tsb, namun kata ini — dalam ayat-ayat ini — sesungguhnya lebih menunjuk kepada sikap mental ketika berhadapan dengan bimbingan agama.

Untuk itu pula, ketika Rasulullah dan para ulama memperingatkan kita dari bahaya “al-maal” (المال), titik tekannya ada pada potensi ketertipuan itu, bukan pada manfaat harta yang sudah dimaklumi. Sebenarnya, jiwa kita memang teramat rapuh ketika berhadapan dengan pesona harta, wanita, dan tahta.

Lawan dari “ghoniy” adalah “faqir” (فقير), artinya membutuhkan. Oleh karena itu, dalam Al-Quran dinyatakan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Artinya: “Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Qs Fathir: 15)

Kekayaan berupa banyaknya harta memang bisa menjadikan seseorang merasa cukup dengan dirinya sendiri. Namun, banyaknya harta yang diiringi ketamakan, sebenarnya adalah hakikat kefakiran itu sendiri.

Faktanya, harta itu tidak bisa menutupi rasa butuhnya yang terus menganga, tidak terpuaskan, sehingga terus-menerus mengejar tambahan. Demikianlah, karena makna dasar “faqir” sesungguhnya adalah “adanya celah terbuka yang membutuhkan penambal”.

Maka, jangan meminta dan berharap menjadi “orang kaya”, sebab ini hanya tampilan fisik-material. Jadilah “ghoniyyun“, orang-orang mandiri, bisa mencukupi diri sendiri, tidak menjadi beban orang lain, dan bahkan berkontribusi untuk umat. Betapa banyak orang kaya, tapi hatinya faqir, tidak ghoniy. Ia terus-menerus haus dan tidak kunjung puas. Jiwanya dikepung hasrat tak terperi, sementara tubuhnya lelah mengejar angan-angan kosong. Tangannya rapat menggenggam, tidak mau berinfak, sebab hatinya masih merasa kurang.

Umat Islam harus “ghoniy”, ini ucapan yang benar. Tapi, kalau “umat Islam harus kaya”, ini hanya tipu daya syetan yang sangat halus dan menggelincirkan; apalagi jika “istaghna”, merasa tidak butuh kepada Allah dan cukup dengan kekuatannya sendiri. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar, pengasuh Pesantren Hidayatullah Arrahmah Malang

HIDAYATULLAH

Teror Bunuh Diri dan Jalan Pintas Spiritual

Istilah jalan pintas spiritual (spiritual bypass) mula-mula diperkenalkan oleh John Welwood pada 1984, yang mengacu kepada penyalahgunaan spiritualitas sebagai pelarian dari masalah psikologi yang tengah dihadapi seseorang. Jadi, jalan pintas spiritual ini merupakan bentuk pengalihan yang membuat seseorang menghindari berhadapan langsung dengan rasa sakit, kesulitan hidup, dan kebutuhan untuk tumbuh. Banyak manusia tidak cukup toleran untuk menghadapi, masuk ke dalam, dan memroses luka. Sebagian mereka memilih mematikan rasa sebagai solusi yang tampak lebih mudah.

Jalan pintas spiritual bisa diejahwantakan dengan berbagai cara: hasrat berlebihan untuk mengendalikan dan menghakimi orang lain (sindrom “dasar bid’ah, sesat, kafir, riba, penghuni neraka!”), kurang memiliki tanggung jawab personal, represi emosi, obsesi terhadap ritual, dan narsisisme spiritual (bisikan ego “saya sudah mendapat hidayah” atau “saya sudah syar’i”, ungkapan untuk memberikan perasaan ekslusif).

Jalan spiritual yang salim melibatkan kesadaran dan penerimaan terhadap realitas saat ini. Sebaliknya, para pelakon jalan pintas akan menyangkal sejumlah pengalamannya sendiri. Misalnya, pelakon jalan pintas mungkin terobsesi dengan ritual karena sebelumnya sangat lama tenggelam dalam gaya hidup duniawiyah yang profan. Jadi, orang ini menggunakan ritual sebagai wahana menghukum dirinya (bawah sadar), bukan sebagai latihan atau suluk untuk meningkatkan level kesadaran transendental, kebijaksanaan, serta memperluas kasih. Dia menolak menerima realitas kehidupan hura-hura sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Kenarsisan Spiritual

Terkait kasus teror bunuh diri di Makassar dan Jakarta baru-baru ini yang tak merenggut nyawa siapa pun kecuali pelakunya, tentu ada banyak sudut pandang untuk menjelaskan motif pelaku. Saya sendiri lebih leluasa untuk membahasnya dari sisi perilaku dan latar keluarga, dengan melihatnya sebagai jalan pintas spiritual tadi. Tulisan ini berangkat dari informasi dari media, termasuk surat wasiat dari pelaku (Lukman dan Zakiah).  Sebetulnya, untuk melihat lebih dalam, kita membutuhkan data lebih detil terkait riwayat pelaku, termasuk genogramnya.

Yang pertama perlu dicermati adalah lelakon jalan pintas spiritual tak bisa dilakukan kecuali dengan merepresi emosi (misalnya dengan mengatakan, “Tak bahagia di dunia fana tak mengapa, yang penting happy di dunia lain”) atau dengan menghindari pemrosesan luka (menyangkal dengan kalimat, “Saya baik-baik saja kok.”).

Selain itu, pelakon juga biasanya menyalahgunakan narsisisme spiritual, yang dilakukan untuk memberikan rasa aman. “Sejak migrasi ke jalan Tuhan, kesulitan datang bertubi-tubi; aku menangis bukan karena sedih, tapi karena melihat bukti cintaNya dengan didatangkannya berbagai ujian ini.”

Yang sebetulnya terjadi, bisa saja, adalah dia berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa Dia seperti orang tua kejam, yang mengatakan, “Papa itu marah karena sayang sama kamu!” Jadi, sayang tapi marah-marah, cinta tapi menyulitkan; di mana logikanya?

Ketika seseorang mendaku agama atau spiritualitas sebagai bagian terpenting dari kehidupan dirinya, kita perlu selanjutnya melihat apakah ada perasaan yang direpresi atau kenarsisan. Jika keduanya terkonfirmasi ada pada orang tersebut, gejala dia melakukan jalan pintas spiritual patut menjadi perhatian.

Baik Lukman maupun Zakiah terkonfirmasi DO dari kampus. Lukman adalah anak yatim sejak usia 5 tahun dan dikenal penyabar—orang awam bisa saja tak bisa membedakan antara penyabar dan mati rasa. Sementara itu, Zakiah dikenal sebagai perempuan berkepribadian pendiam dan tertutup, lebih-lebih sejak tak lagi menyandang status mahasiswa—orang awam juga sangat mungkin tak dapat membedakan antara tertutup dan represi emosi. Zakiah beberapa kali memosting doktrin jihad ISIS di grup WA keluarga—dan tidak ada tindakan dari anggota keluarga, yang berarti dia diabaikan; apalah beratnya ketika kehadiran kita tak diharap lalu memilih pergi?

Sementara itu, di antara ciri penyalahgunaan narsisisme spiritual adalah delusi telah mencapai maqam tertentu secara spiritual (bandingkan dengan Robert Augustus Masters, 2010). Padahal, spiritualitas yang otentik tidak muluk-muluk, tak terburu-buru (bertahap), dan bukan pelarian dari masalah pribadi. Informasi yang kita terima dari media tentang latar belakang kedua peneror maut tersebut menunjukkan tanda-tanda kedua pelaku memiliki persoalan hidup yang tak mudah.

Pada kasus Lukman dan Zakiah, ciri-ciri kenarsisan spiritual sangat tampak. Mari kita lihat penggalan surat Lukman, pelaku bom bunuh diri di komplek gereja Katedral Makasar, “Ummy sekali lagi minta maaf ka, ku sayang sekali tapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan ki dan bisa ki kembali berkumpul di surga.” Identifikasi bom bunuh diri sebagai jalan Nabi terlalu silap untuk dinalar dan sama sekali bertolak belakang dengan berbagai riwayat yang sampai kepada para pelajar agama yang belajar secara tertib. Dari mana dia tahu Allah lebih suka dia mati daripada hidup bersama ibunya; atau, sebetulnya dia memilih mati hanya karena ingin segera lari dari kehidupannya yang sempit sejak kecil?

Tak berbeda dengan pesan Lukman, surat wasiat Zakiah Aini menyebutkan, ” … Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.” Dia juga menyebut jihad sebagai ekspresi tauhid tertinggi—bandingkan dengan konsep maqamat dan ahwal dalam tasauf yang sama sekali tak menyinggung jihad (dengan makna perang/membunuh) sebagai indikasi kualitas spiritual seseorang. Terlalu naif jika kita membayangkan gaya “berperang” dengan mondar-mandir menodongkan pistol dan tak menghasilkan apa-apa selain tewasnya diri sendiri sebagai jalan para nabi—equivalensi keliru sebab ketidakmampuan bernalar.

Zakiyah adalah bungsu dari enam bersaudara. Jika melihat relasinya di keluarga, sebagai mahasiswa DO pengangguran, dia tentu belum bisa memberikan apa-apa bagi keluarganya (terkait sistem memberi-menerima di keluarga, sila baca Hellinger 1998). Jalan pintas bagi situasi ini adalah fantasi memberi syafaat atau pertolongan masuk surga, seolah-olah dia tahu bahwa keluarganya bakal mencicipi neraka (mungkin karena mereka dianggap bersikap tak sesuai harapannya) sehingga membutuhkan bantuannya untuk membuka pintu firdaus. Gadis ini ingin menebus dengan sesuatu yang muluk, yang tak mungkin diberikan kakak-kakaknya—perlu ditelusur lebih lanjut tentang riwayat apakah dia sering dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain. Selanjutnya, baik Lukman atau Zakiah gagal membedakan antara ajaran agama dan tuntunan sekte.

Untuk menghindari spiritualitas gadungan seperti ini, jika menghadapi masalah, kita perlu memahami prosedurnya, yaitu: (1) jangan lari darinya, (2) kita tak bisa menentukan sepenuhnya bagaimana masalah akan teratasi, dan (3) kita harus siap mengalami apa pun konsekwensi dari tindakan/keputusan yang sudah kita ambil. Jika ketiga prosedur ini kita abaikan, masalah akan tetap ada di sana, dan semua bentuk pengalihan (spiritual, alkohol, sabu, cimeng, makanan, lem, pornografi, atau seks) hanya akan memberikan penyelesaian semu atau bahkan palsu.

BINCANG SYARIAH