13 Amalan yang Biasa Dilakukan di Bulan Rajab

Amalan yang bisa dilakukan di bulan rajab.

Bulan Rajab termasuk bulan-bulan yang dihormati, atau dalam Alqur’an disebut sebagai Asyhurul Hurum. Pada tahun ini, tanggal 1 Rajab 1442 Hijriyah jatuh pada Sabtu 13 Februari 2021, sehingga umat Islam banyak yang mengerjakan amalan-amalan. 

Dalam buku “Masuk Neraka Gara-Gara Puasa Rajab?“, pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan, sudah menjadi kebiasaan sejak lama di tengah sebagian umat Islam untuk menghormati bulan 

Rajab ini dengan berbagai jenis peribadatan dan ritual, seperti shalat, puasa dan lainnya. Dia pun mengungkapkan 13 amalan yang biasa dilakukan umat Islam di bulan Rajab, yaitu:

1. Mengadakan shalat khusus pada malam pertama bulan Rajab.

2. Mengadakan shalat khusus pada malam Jum’at minggu pertama bulan.

3. Shalat khusus pada malam Nisfu Rajab (pertengahan atau tanggal 15 Rajab).

4. Shalat khusus pada malam 27 Rajab (malam Isra’ dan Mi’raj).

5. Puasa khusus pada tanggal 1 Rajab.

6. Puasa khusus hari Kamis minggu pertama bulan Rajab.

7. Puasa khusus pada hari Nisfu Rajab.

8. Puasa khusus pada tanggal 27 Rajab.

9. Puasa pada awal, pertengahan dan akhir bulan Rajab.

10. Berpuasa khusus sekurang-kurang-nya sehari pada bulan Rajab.

11. Mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab.

12. Umrah khusus di bulan Rajab.

13. Memperbanyakkan Istighfar khusus pada bulan Rajab.

Namun, menurut Ustaz Sarwat, tidak ada satu pun ulama yang berpendapat untuk mewajibkan semua amalan tersebut. Maka, diskusinya hanya sebatas apakah mengamalkan amalan-amalan ini punya landasan secara langsung dari praktik Rasulullah SAW atau pun para shahabat? 

Dan kalau tidak ada contoh atau perintah secara khusus dari Rasulullah, apakah jatuhnya jadi bid’ah yang diharamkan, ataukah tetap diperbolehkan atau malah tetap disunnahkan?. Dalam hal ini, Ustadz Sarwat menemukan bahwa ternyata para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat akan masalah ini.

Menurut dia, ada ulama yang cukup berpendapat bahwa hal ini tidak diperintahkan, tapi ada juga yang sampai membid’ahkannya. Lalu ada juga yang memakruhkan. Namun, ternyata sebagian ulama yang lain ada yang justru malah menyunnahkannya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berbenah Diri Menyambut Bulan Ramadhan

Allah Ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu (zaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS al-Qashash:68).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata, “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya), baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”[1].

Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Ta’ala utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu rukun Islam.

Sungguh Allah Ta’ala memuliakan bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya[2].

Bagaimana Seorang Muslim Menyambut Bulan Ramadhan?

Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung, di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3].

Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan ingin meraih ridha-Nya.

Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan kedatangan bulan yang penuh berkah ini[4].

Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya, “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)”[5].

Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala) tidak gembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira ketika para setan dibelenggu?”[6].

Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta’ala. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”[7].

Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah Ta’ala, agar di akhirat kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta’ala dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah[8].

Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.

Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[9].

Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat, tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”[10].

Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja[11].

Meraih Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa Ramadhan

Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai takwa kepada Allah Ta’ala[12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[13]. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah:183).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela”[14].

Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:

– Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).

– Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia mengetahui Allah maha mengawasi (perbuatan)nya.

– Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.

– Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.

– Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[16].

Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”[17].

Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[18]. Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas[19], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya[20].

Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS az-Zumar:10).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,“Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa”[21].

Penutup

Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang disyariatkan-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[22].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Sya’ban 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Menceritakan Masalah Rumah Tangga Ke Orangtua

Dalam banyak kasus, banyak di antara pasangan suami dan istri yang mengalami masalah keluarga dan kemudian dia menceritakan masalah keluarga tersebut kepada orangtuanya. Sebenarnya, bagaimana hukum menceritakan masalah rumah tangga kepada orang tua dalam Islam, apakah dibolehkan?

Menceritakan masalah rumah tangga kepada orangtua, jika orangtua tersebut bisa dipercaya dan dinilai bisa memberikan solusi, maka hukumnya boleh. Tidak masalah dalam Islam menceritakan masalah keluarga kepada orangtua jika hal itu dilakukan demi kebaikan bersama antara suami dan istri.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa pada saat Sayidah Fatimah, putri Rasulullah, dan Sayidina Ali mengalami kesulitan ekonomi, maka Sayidina Ali menyuruh Sayidah Fatimah untuk menceritakan masalah keluarganya kepada Rasulullah agar beliau berkenan membantu dan memberikan solusi. Ini menunjukkan bahwa menceritakan masalah keluarga kepada orangtua untuk kebaikan bersama hukumnya adalah boleh.

Hadis dimaksud disebutkan oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir, dari Suwaid bin Ghaflah, dia bercerita bahwa suatu ketika Fatimah dan Ali mengalami paceklik. Lalu Ali menyuruh Fatimah untuk mendatangi Rasulullah dan menceritakan masalah tersebut kepada beliau. Setelah Fatimah mendatangi dan menemui Rasulullah, Fatimah berkata;

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ الْمَلَائِكَةُ طَعَامُهَا التَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ وَالْحَمْدُ فَمَا طَعَامُنَا ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ :وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ نَبِيًّا مَا اقْتَبَسَ فِي آلِ مُحَمَّدٍ نَارٌ مُنْذُ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ، وَلَقَدْ أَتَيْنَا أَعْنُزًا فَإِنْ شِئْتِ أَمَرْنَا لَكِ بِخَمْسَةِ أَعْنُزٍ ، وَإِنْ شِئْتِ عَلَّمْتُكِ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ آنِفًا ، فَقَالَتْ : عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ عَلَّمَكَهُنَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، قَالَ قُولِي : يَا أَوَّلَ الْأَوَّلِينَ ، وَيَا آخِرَ الْآخِرِينَ ، وَيَا ذَا الْقُوَّةِ الْمَتِينَ ، وَيَا رَاحِمَ الْمَسَاكِينَ ، وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ فَفَعَلْتُ ، قَالَ : فَانْصَرَفَتْ حَتَّى دَخَلَتْ عَلَى عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، فَقَالَ : مَا وَرَاءَكِ ؟ قَالَتْ : ذَهَبْتُ مِنْ عِنْدِكَ إِلَى الدُّنْيَا وَأَتَيْتُكَ بِالْآخِرَةِ ، فَقَالَ : خَيْرٌ أَيَّامُكِ خَيْرٌ أَيَّامُكِ

Wahai Rasulullah, makanan para malaikat hanya membaca tahlil, tasbih dan tahmid, namun bagaimana dengan makanan kami? Maka Nabi Saw berkata; Demi Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi, api tidak pernah menyala di keluarga Muhammad selama tiga puluh hari. Kami hanya memiliki lima ekor kambing, jika kamu mau, kami akan menyuruh kamu membawa lima ekor kambing, dan jika kamu mau, aku ajarkan kamu beberapa kalimat yang telah diajarkan kepadaku oleh malaikat Jibril barusan. Fatimah berkata; Ajari aku kalimat yang diajarkan Malaikat Jibril kepada engkau. Kemudian Nabi Saw berkata, ‘Ucapkanlah; ‘Yaa awwalal awwaliin wa yaa aakhirol aakhiriina wa yaa dzal quwwatil matiin wa roohimal masakiin wa yaa arhamar roohimiin. Kemudian aku lakukan. Aisyah kemudian pergi menemui Sayidina Ali dan ia bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang engkau dapat? Aisyah menjawab, ‘Aku pergi dari sisimu untuk dunia dan aku sekarang kembali kepadamu dengan akhirat.’ Sayidina Ali berkata, ‘Sungguh baik harimu, sungguh baik harimu.

BINCANG SYARIAH

Jangan Malas Jalan ke Masjid untuk Sholat, Ini Pahalanya

Terdapat pahala melimpah jalan kaki ke masjid untuk sholat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Orang yang hatinya berdekatan dengan masjid pasti akan selalu melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. 

Oleh karena itu, bekas telapak kaki seseorang yang berjalan ke masjid untuk beribadah tak akan sia-sia. Imam As-Suyuthi dalam kitab Asbabun Nuzul menceritakan tentang hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dengan sanad hasan, dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih, yakni dari Abu Sa’id Al-Khudri. 

إن بني سلمة شكوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد منازلهم من المسجد ، فنزلت : ( ونكتب ما قدموا وآثارهم ) ، فأقاموا في مكانهم  

Dia berkata: “Bahwa Bani Salamah yang bertempat tinggal di pinggiran Kota Madinah ingin berpindah ke dekat Masjid Nabawi.” Peristiwa ini kemudian menjadi sebab turunnya surat Yasin ayat 12, Allah berfirman: 

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ “Inna nahnu nuhyyil-mauta wa naktubu maa qaddamuu wa aatsarahum, wa kulla syaiin ahshainaahu fii imaamin mubinin.” 

Yang artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (lauh mahfuzh).” Sejak saat itu, mereka tidak jadi pindah dekat Masjid Nabawi. Kemudian, Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA:

  كلُّ خطوةٍ يخطوها أحدُكم إلى الصلاةِ يُكْتَبُ لَهُ [ بها ] حسنةٌ ويُمْحَى عنه بِها سَيِّئَةٌ  “Kullu khuthwaatin yakhthuuha ila as-shalaati yuktabu lahu biha hasanatun wa yumha anhu biha sayyi-atun.” 

Yang artinya: “Setiap langkah menuju tempat sholat (masjid) akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad.

Rasulullah dalam hadis serupa riwayat At-Thabarani dari Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya bekas telapak kaki kalian menuju masjid dicatat Allah, sebaiknya kalian jangan pindah dari tempat kalian,”.

Keutamaan orang yang berjalan kaki menuju masjid juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan   Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda: كُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ “Wa kullu khuthwatin yakhthuha ila as-shalaati shadaqatun.” Yang artinya: “Setiap langah berjalan untuk menunaikan sholat adalah sedekah.”   

KHAZANAH REPUBLIKA

Tidak Boleh Sembarangan Mengkafirkan Seseorang

Di antara akidah ahlussunnah waljama’ah adalah membedakan antara takfīr muṭlaq dan takfīr mu’ayyan.

Pertama: al-Takfīr al-Muṭlaq (التكفير المطلق), yaitu menjatuhkan vonis kekufuran kepada suatu keyakinan, ucapan, atau perbuatan yang merupakan pembatal keislaman, atau menjatuhkan vonis kafir kepada pelakunya secara umum tanpa menunjuk pada orang tertentu.

Contoh:

  • Menyembah berhala adalah kekufuran.
  • Membenci syariat Allah dan tuntunan Nabi-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah kekufuran.
  • Barangsiapa yang meyakini bahwa shalat itu tidak wajib atau zina itu tidak haram adalah kafir.

Kedua: al-Takfīr al-Mu’ayyan (التكفير المعين), yaitu menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang tertentu karena dia telah melakukan suatu pembatal keislaman.

Contoh:

  • Si Fulan itu kafir.

Takfīr mu’ayyan tidak boleh diarahkan kepada seseorang kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-penghalang dari pengkafirannya. Oleh karena itu, yang hanya boleh melakukan takfīr mu’ayyan adalah para ulama’ besar atau mufti yang telah mengetahui apakah si Fulan yang melakukan pembatal keislaman tersebut telah terpenuhi syarat atau hilang penghalang dari kekafirannya.

Adapun tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah mempelajari apa saja yang merupakan pembatal keislaman sehingga kita bisa menghindarinya dan memperingatkan orang lain darinya. Dengan kata lain, tugas kita adalah seputar takfīr muṭlaq, bukan takfīr mu’ayyan.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar tidak sembarangan mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan.

Dari Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.

Artinya:

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya.” [Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhariy (no. 6104) dan Muslim (no. 60). al-Bukhariy juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu (no. 6103).]

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya” bukan bermakna si penuding itu telah kafir dengan ucapannya. Akan tetapi, ini termasuk dalam bab memberikan ancaman yang keras kepada orang yang melakukan sebuah dosa yang besar di mata syariat.

Adapun jika Fulan tersebut telah tegas kekafirannya dalam dalil secara mu’ayyan, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafirannya. Contoh: Fir’aun, Abu Jahl, Abu Lahb, Abu Thalib, dll. Demikian pula orang-orang yang memang beragama selain Islam, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafiran mereka.

Penulis:Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Rahmat Allah dalam Al-Qur’an (Bag 2)

Melanjutkan kajian kita sebelumnya, kita akan menyebutkan kembali ayat-ayat yang berbicara tentang Rahmat Allah dalam Al-Qur’an.

(7). Al-Qur’an memandang manusia yang diselamatkan dari adzab di Hari Kiamat adalah mereka yang mendapat Rahmat Allah sehingga terbebas dari siksa-Nya.

مَّن يُصۡرَفۡ عَنۡهُ يَوۡمَئِذٖ فَقَدۡ رَحِمَهُۥۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡمُبِينُ

“Barangsiapa dijauhkan dari azab atas dirinya pada hari itu, maka sungguh, Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah kemenangan yang nyata.” (QS.Al-An’am:16)

(8). Al-Qur’an menjelaskan jikalau tanpa Rahmat Allah pasti manusia akan merugi. Karena Rahmat Ilahi adalah yang menjaga hamba dari kejatuhan ke dalam api neraka.

فَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَكُنتُم مِّنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Maka sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, pasti kamu termasuk orang yang rugi.” (QS.Al-Baqarah:64)

(9). Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa Allah Swt menetapkan sifat rahmat atas diri-Nya.

Barangsiapa yang berbuat dosa karena kebodohan kemudian bertaubat kepada Allah maka Allah akan mengampuninya dan menerima taubatnya.

Karena Rahmat Allah meliputi para pendosa yang ingin kembali kepada-Nya.

وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡۖ كَتَبَ رَبُّكُمۡ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَ أَنَّهُۥ مَنۡ عَمِلَ مِنكُمۡ سُوٓءَۢا بِجَهَٰلَةٖ ثُمَّ تَابَ مِنۢ بَعۡدِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَأَنَّهُۥ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang-siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.Al-An’am:54)

(10). Rahmat Allah selalu meliputi orang-orang yang berbuat baik karena Rahmat-Nya sangat dekat dengan mereka.

إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Al-A’raf:56)

(11). Al-Qur’an juga memandang Rahmat Allah adalah penyebab dari selamatnya orang-orang tertindas dari kejahatan orang-orang yang dzalim.

وَلَمَّا جَآءَ أَمۡرُنَا نَجَّيۡنَا هُودٗا وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥ بِرَحۡمَةٖ مِّنَّا وَنَجَّيۡنَٰهُم مِّنۡ عَذَابٍ غَلِيظٖ

Dan ketika azab Kami datang, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat Kami. Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (QS.Hud:58)

فَأَنجَيۡنَٰهُ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥ فِي ٱلۡفُلۡكِ وَأَغۡرَقۡنَا ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَآۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمًا عَمِينَ

“Lalu Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal. Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS.Al-A’raf:64)

(12). Al-Qur’an memandang tumbuhnya kehidupan di tanah setelah sekian lama kering dan mati kemudian tumbuh kembali tumbuhan dan pepohonan diatasnya adalah bentuk dari Rahmat Allah Swt.

فَٱنظُرۡ إِلَىٰٓ ءَاثَٰرِ رَحۡمَتِ ٱللَّهِ كَيۡفَ يُحۡيِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah mati (kering). Sungguh, itu berarti Dia pasti (berkuasa) menghidupkan yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Ar-Rum:50)

(13). Al-Qur’an memandang putus asa terhadap Rahmat Allah adalah sebuah kekufuran. Dan itu juga termasuk sifat-sifat dari orang kafir dan orang yang sesat.

وَلَا تَاْيۡـَٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيۡـَٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS.Yusuf:87)

قَالَ وَمَن يَقۡنَطُ مِن رَّحۡمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ

Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (QS.Al-Hijr:56)

(14). Al-Qur’an memandang Rahmat Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Rahmat Allah tidak layak dibandingkan dengan semua kekayaan yang dikumpulkan oleh manusia selama hidupnya.

وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ

“Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS.Az-Zukhruf:32)

Itulah beberapa ayat yang menceritakan tentang Rahmat Allah yang begitu luas. Semoga kita tidak pernah dijauhkan dari Rahmat-Nya.

KHAZANAH ALQURAN

Waktu Terbaik untuk Shalat Subuh

Sebagaimana kita ketahui, waktu shalat Subuh dimulai ketika terbit fajar shadiq. Namun jumhur ulama mengatakan, yang paling utama untuk melaksanakan shalat Subuh adalah waktu ghalas. Sebagaimana hadis dari ‘Aisyah Radhiallahu’ anha,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ بغَلَسٍ، فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ المُؤْمِنِينَ لا يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ – أوْ لا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا

“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Subuh ketika ghalas. Ketika itu para wanita kaum Mukminin keluar shalat Subuh ketika ghalas dalam keadaan tidak ada yang mengenal mereka, atau mereka saling tidak mengenal satu sama lain (karena masih gelap)” (HR. Bukhari no. 873).

Dan juga sebagaimana dalam hadis dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu ’anhu, beliau berkata,

كان يُصَلِّي الظُّهرَ حينَ تزولُ الشَّمسُ والعصرَ والشَّمسُ حيَّةٌ والمَغرِبَ حينَ تغيبُ الشَّمسُ والعِشاءَ ربَّما عجَّلها وربَّما أخَّرها وكان النَّاسُ إذا جاؤوا عجَّلها وإذا لم يجيئوا أخَّرها وكانوا يُصَلُّونَ الصُّبحَ بغَلَسٍ

“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Zuhur ketika matahari zawal (bergeser dari tegak lurus), dan biasa shalat Asar ketika matahari masih terang benderang, dan biasa shalat Magrib ketika matahari tenggelam. Untuk shalat Isya, terkadang beliau segerakan, terkadang beliau akhirkan. Jika orang-orang sudah berdatangan, maka beliau segerakan. Jika orang-orang belum berdatangan, maka beliau akhirkan salat Isya. Dan mereka biasa shalat Subuh ketika ghalas” (HR. Ibnu Hibban no. 1528, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban).

Definisi Al-Ghalas

Yang dimaksud dengan waktu ghalas adalah waktu ketika fajar sudah terbit, masih agak gelap, namun sudah ada cahaya. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan,

الغَلَس ظلمة آخر الليل إذا اختلطت بضوء الصباح

“Al-ghalas adalah kegelapan di akhir malam, ketika sudah bercampur dengan cahaya di waktu subuh.”

Dan waktu ghalas itu ketika cahaya fajar sudah menyebar di ufuk. Dalam Lisanul ‘Arab dijelaskan,

قال أَبو منصور: الغَلَس أَول الصُّبح حتى يَنْتَشِر في الآفاق، وكذلك الغَبَس، وهما سواد مختلط ببياض وحُمْرَة مثل الصبح

“Abu Manshur mengatakan: al-ghalas adalah awal waktu Subuh hingga cahaya fajar menyebar di ufuk. Demikian juga al-ghabas. Keduanya adalah bercampurnya cahaya putih dan kemerah-merahan di waktu Subuh.”

Isykal dalam hadis Raafi’ bin Khadij

Jika definisi al-ghalas telah dipahami dari penjelasan di atas, kita dapat mengkompromikan hadis-hadis yang telah disebutkan dengan hadis lain dari Raafi’ bin Khadij Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أسفِروا بالفجرِ فإنَّه أعظَمُ للأجرِ

“Tunggulah sampai terang ketika ingin salat fajar (salat Subuh), karena ketika itu pahalanya lebih besar” (HR. Tirmidzi no. 154, An-Nasa-i no. 548, Ahmad no. 17318, disahihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 258).

Maksud hadis ini bukan berarti menunggu pagi terang benderang, seperti pendapat sebagian ulama. Namun maksudnya adalah waktu antara antara gelapnya malam dan terangnya pagi. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah menjelaskan,

وليس معناه أنه يصلي بعد الغلس، لا، السنة بغلس كان النبي ﷺ يصلي بالغلس بعد ضياء الصبح لكن هناك بقية من بقية الليل، هذا هو السنة يكون بينهما، بين الظلمة وبين الصبح، فيه بعض الغلس، والحديث لا يخالف ذلك

“Hadis (Raafi’ bin Khadij) ini bukanlah maksudnya Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat subuh setelah ghalas, bukan demikian. Namun yang sunnah adalah mengerjakannya di waktu ghalas. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Subuh ketika ghalas, yaitu setelah muncul cahaya di waktu subuh. Namun ketika itu masih ada sisa-sisa kegelapan malam. Inilah yang disunnahkan, di antara keduanya. Antara kegelapan malam dan terangnya subuh. Sehingga hadits tersebut tidak saling bertentangan” (Mauqi’ Ibnu Baaz no. 12826).

Sehingga tidak tepat praktik sebagian kaum Muslimim yang sengaja menunda shalat Subuh hingga pagi sudah terang benderang, berdalil dengan hadis Raafi’ bin Khadij Radhiallahu ‘anhu.

Bukan berarti meninggalkan salat berjamaah

Waktu ghalas adalah waktu yang utama untuk shalat subuh. Namun bukan berarti para laki-laki kaum Muslimin meninggalkan shalat berjamaah di masjid-masjid agar bisa salat di waktu ghalas. Karena shalat berjamaah di masjid itu hukumnya wajib bagi laki-laki. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ’anhuNabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

“Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam. Lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jamaah, lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224 dan Muslim no. 651).

Tidak mungkin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk menghukum orang yang tidak datang ke masjid, andaikan hukum shalat berjamaah di masjid tidak wajib. Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan,

ومن تأمل السنة حق التأمل تبين له أن فعلها في المساجد فرض على الأعيان ، إلا لعارض يجوز معه ترك الجمعة والجماعة ، فترك حضور المسجد لغير عذر : كترك أصل الجماعة لغير عذر، وبهذا تتفق جميع الأحاديث والآثار….

“Barangsiapa yang mentadabburi As-Sunnah dengan sebenar-benarnya, akan jelas baginya bahwa melaksanakan shalat jamaah di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain. Kecuali ada penghalang yang menghalangi untuk membolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan salat jamaah. Meninggalkan hadir shalat di masjid tanpa uzur itu seperti meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur. Dengan pendapat inilah akan bersesuaian semua hadts dan atsar” (Kitabus Shalah, hal. 416).

Jika imam di masjid menunda pelaksanaan shalat Subuh hingga waktu ghalas, maka ini yang lebih utama. Namun, jika imam di masjid melaksanakan shalat Subuh di awal waktu, sebelum waktu ghalas, maka wajib tetap shalat berjamaah bersama imam di masjid. Karena shalat berjamaah hukumnya wajib, sedangkan hukum shalat Subuh di waktu ghalas sekedar anjuran dan keutamaan saja. Sehingga perkara yang wajib tetap didahulukan daripada perkara sunnah (anjuran).

Adapun orang-orang yang tidak wajib untuk shalat di masjid, seperti para wanita, orang yang sedang sakit, musafir dan semisalnya, dianjurkan bagi mereka untuk menunggu waktu ghalas dalam melaksanakan shalat Subuh.

Wallahu a’lam

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

Artikel: Muslim.or.id

Arab Saudi: Abai Protokol Kesehatan Alasan Masjid Ditutup

Arab Saudi memastikan penyebab masjid kembali ditutup

Menteri Urusan Panggilan dan Bimbingan Islam Sheikh Abdullatif Al-Sheikh menegaskan, jamaah yang datang ke masjid untuk sholat, bukanlah alasan diberlakukannya penutupan masjid. Kebijakan itu dilakukan karena adanya kelalaian jamaah maupun pengurus masjid dalam menerapkan protokol kesehatan.

Menteri meminta semua orang untuk bekerja sama dengan pihak berwenang dalam upaya membendung penyebaran pandemi. Dia mendesak orang-orang untuk mengikuti protokol untuk memastikan keamanan semua.

Sejauh ini kementerian telah menutup sebanyak 22 masjid pada Selasa dan Rabu di sejumlah wilayah Kerajaan menyusul laporan kasus virus corona yang dikonfirmasi di antara jamaah dan karyawan masjid.

Kementerian meminta jamaah untuk mematuhi semua tindakan pencegahan yang disetujui oleh otoritas yang kompeten seperti memakai masker, membawa sajadah, dan menjaga jarak fisik untuk melindungi mereka dan jamaah lainnya dari infeksi.  

Kementerian meminta kerja sama warga dan penduduk dengan melaporkan setiap pelanggaran atau kelalaian dalam menerapkan tindakan pencegahan dengan menghubungi nomor bebas pulsa 1933.

Kementerian mengatakan bahwa jangka waktu penutupan sterilisasi akan berkisar antara 24 jam dan 48 jam.  Cabang kementerian di daerah dan departemen masjid di provinsi akan melakukan pekerjaan sterilisasi melalui perusahaan nasional khusus sterilisasi dan itu dalam koordinasi antara departemen masjid, urusan kesehatan, dan walikota daerah.

Sumber: saudigazette 

IHRAM

Dajjal: Antara Sosok dan Simbol

DALAM Islam, persoalan dajjal selalu menjadi trending topik sepanjang zaman. Ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah meyakini bahwa dajjal itu bukanlah simbol, sifat laku dan kiasan belaka (majaaziy) sebagaimana pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum yang mengedepankan takwil lainnya.

Namun dajjal sosok makhluk yang sebenarnya ada (haqiiqiy) dengan segenap tanda-tandanya yang sangat jelas. Sekalipun dalam kenyataannya apa yang terjadi akhir-akhir ini hampir mendekati pada sifat-sifat tercela yang terjadi dalam hadits-hadits akhir zaman.

Sekedar menyebut contoh, munculnya buku: ‘Umru Ummatil Islaam wa Qurbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam (1996), Al-Qaulul Mubiin fil Asyraathis Shughraa Liyaumid Diin Istiqshaa-an wa Bayaanan Liwuquuihaa (1997) dan Raddus Sihaam ‘an Kitaabi ‘Umri Ummatil Islaam wa Qarbu Zhuhuuril Mahdi ‘Alaihis Salaam. Ketiganya merupakan karya Syaikh Amin Muhammad Jamaluddin dari Islamic Research Academy Universitas Al-Azhar yang ditanda tangani Syaikh Mamduh Mahir sebagai Dirut Bagian Penelitian, Penulisan dan Terjemah.

Kemunculan buku ini cukup menggemparkan, baik yang pro atau pun yang kontra. Selain itu, para ulama ushuluddiin kalangan Salaf, melarang adanya takwil yang terlampau jauh dalam perkara-perkara yang masih ghaib dan larangan merincikan apa yang tidak dirincikan Rasulullaah ﷺ. Di antara ulama kontemporer yang menguatkan pandangan tersebut adalah Syaikh Dr. Sulaiman Al-Asyqar (Kuwait) dan Syaikh Dr. Shalih Fauzan (Saudi Arabia).

Dajjal dalam Isyarat Al-Qur’an dan Hadits Nabi

Tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an, yang menyebutkan secara langsung kata dajjal. Akan tetapi, secara umum beberapa ayat menyebutkan; bahwa kata ba’dhu aayaati Rabbika dalam QS. Al-An’aam/ 6 :158 menunjukkan adanya tanda “akhir zaman”, berimannya ahlul kitab akan kemunculan Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam sebelum wafatnya dalam QS. An-Nisaa [4]: 159, atau QS. Az-Zukhruf [43]: 61 yang menyebutkan bahwa ‘Isa adalah pengetahuan hari kiamat. Demikian pula dengan QS. Ghafir [40]: 57 yang menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak mengetahui akan penciptaan-Nya yang lebih besar. Semua itu menunjukkan, bahwa dajjal pun diisyaratkan dalam Al-Qur’an.

Adapun data-data tekstual yang dapat dibaca pada sunnah Nabi terkait dajjal haqiqiy, di antaranya adalah:

Dajjal adalah manusia yang buta mata kanannya (a’war) sebagaimana dikabarkan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya (serupa dengan seseorang yang bernama ‘Abdul ‘Uzza bin Qathn bin ‘Amrin al-Khuza’iy). Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anh.

Kejahatannya merupakan kejahatan tingkat tinggi yang paling berat, hingga para Nabiyullaah sejak Adam ‘alaihis salaam sampai Nabi akhir zaman mewaspadakannya. Demikian menurut HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Anas bin Malik dan HR. Muslim dari ‘Imran bin Husain radhiyallaahu ‘anhum.

Tanda fisiknya terdiri dari: berambut sangat keriting dan gimbal (qathathun, ja’dun), matanya tidak bercahaya (thaafiyah), tidak tinggi (qashiir), tampak sombong (afhaj) dan antara dua matanya bertuliskan kaf fa ra. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Abu Dawud dari shahabat ‘Ubadah bin Shamith radhiyallaahu ‘anhum.

Senang demonstrasi “kesaktian” dengan sihir-sihir sesatnya; membawakan sungai air dan sungai api, menghidupkan tumbuhan bumi, menghidupkan orang mati, membuat paceklik bagi yang menolaknya. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah, HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an dan HR. Ibnu Majah dari shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal akan keluar dari celah antara Syam dan Iraq, tepatnya bumi bagian Timur bernama Khurasan dan diikuti oleh 70.000 Yahudi Ishfahan (keduanya ada di negeri Iran), para wanita dan anak-anak bodoh. Demikian menurut HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat Anas, HR. Ahmad dari Ibnu Umar, HR. Ahmad dari shahabat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal hidup di muka bumi dengan masa 40 hari; yang hari pertama serasa satu tahun, hari kedua serasa satu bulan, hari ketiga serasa sepekan dan berikutnya sama seperti hari-hari biasa, hingga akhirnya Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam (yang turun dekat menara putih Damaskus) dan membunuh dajjal di suatu tempat bernama Baab Ludd. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an radhiyallaahu ‘anhum.

Dajjal terus melakukan kerusakkan, hingga tidak ada satu kota pun yang tidak dimasukinya kecuali kota Makkah dan Madinah yang dijaga setiap celahnya oleh barisan malaikat. Selain itu, Madinah diguncang gempa sebanyak 3x hingga dikeluarkannya orang-orang kufur dan munafiq. Demikian menurut HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh).

Sebagaimana dinukilkan Imam An-Nawawi (Damascus, 631-676 H.), bahwa Qadhi ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh (Maghribi, 476-544 H.) menuturkan: “Hadits-hadits tentang dajjal merupakan hujjah ahlus sunnah tentang keshahihan adanya, ia merupakan sosok tertentu yang dengannya Allah menguji para hambaNya. Allah membekalinya dengan beragam kemampuan; menghidupkan mayat yang telah dibunuhnya, ia seolah-olah dapat menciptakan segala kemewahan dunia, sungai-sungai, surga dan neraka. Tunduknya segala kekayaan bumi, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan. Semua itu atas kehendak Allah, kemudian ia dilemahkan sehingga tidak mampu untuk membunuh seorang pun juga. Namun, tidak ada yang bisa membunuh dajjal dan menghentikannya, melainkan Nabiyullaah ‘Isa bin Maryam. Pemahaman ini mendapat penentangan dari kalangan Khawarij, Jahmiyyah dan sebahagian Mu’tazilah.” (Lihat: Syarah Shahih Muslim 18/ 58).

Para ulama klasik telah menunjukkan dalil-dalil itu secara panjang lebar beserta syarahnya, di antaranya Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam kitabnya Nihaayatul Fitan wal Malaahim sebagai pembahasan akhir dari kitab besarnya Al-Bidaayah wan Nihaayah. Seperti dinukilkan Sulaiman bin Muhammad Al-Luhaimid dalam risalahnya Tahdziirul Ajyaal min Fitnatil Masiihid Dajjaal (tanpa tahun), bahwa sebelum kemunculan dajjal ada peristiwa-peristiwa yang melintas sebelumnya; penaklukkan Konstantinopel, terjadinya tahun-tahun penuh tipu daya dan dunia dilanda kekeringan yang sangat dahsyat.

Dajjal; Sosok atau Simbol?

Pemaknaan terhadap sikap laku yang jahat atau perilaku moral yang semena-mena (kedustaan, kepongahan, ketidak adilan, intimidatif, peradaban yang buruk dan lain-lain) tidak bisa dilepaskan dari perilaku dajjal yang sesungguhnya, karena itulah Rasulullaah ﷺ mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ

“Akan ada pada akhir zaman dajjal-dajjal pembohong yang membawa kepada kalian perkataan-perkataan yang tidak pernah kalian dengar, tidak pula ayah-ayah kalian. Maka hati-hatilah kalian dan awasilah mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan jangan sampai kalian terfitnah.” (Lihat: Muqaddimah Shahiih Muslim, no. 16 dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Maka sangatlah wajar, sekaliber Ibnu Manzhur (pemilik kitab Lisaanul ‘Arab) mengatakan:

كُلُّ كَذَّاب فَهُوَ دَجَّال، وَجَمْعُهُ دَجَّالون، وَقِيلَ: سُمِّي بِذَلِكَ لأَنه يَسْتُرُ الْحَقَّ بِكَذِبِهِ.

“Setiap pendusta maka dia adalah dajjal, dan jamaknya adalah dajjaaluun (dajjal-dajjal). Dikatakan dengan penamaan demikian, karena dia menutupi kebenaran dengan kedustaannya.” (Lihat: Ibnu Manzhur 11/ 237).

Dalam definisi yang lebih lengkap disebutkan:

سمي الدجال دجالا لأنه يغطي الحق بالباطل، أو لأنه يغطي على الناس كفره بكذبه وتمويهه وتلبيسه عليهم. وسمي الدجال مسيحا، لأن إحدى عينيه ممسوحة، أو لأنه يمسح الأرض أربعين يوما

“Dinamakan dajjal itu dengan dajjal, karena kebatilan menutupi kebenaran, atau kekufurannya mengelabui orang banyak dengan kedustaan dan kepiawaian tipuannya. Dikatakan dajjal itu masih, karena salah satu matanya mamsuh (terusap, tertutup). Atau dikarenakan dajjal tersebut mengusap melewati bumi selama 40 hari.” (Lihat: ‘Audh bin ‘Ali bin ‘Abdillah, Mukhtashar Asyraatis Syaa’ah; As-Shughraa wal Kubraa, 1420: hlm. 36).

Ada banyak kasus dan peristiwa yang muncul di depan mata, baik berskala dunia atau pun lokal, bernuansa politik atau pun ideologi; mulai dari semakin pongahnya peradaban Barat, Eropa dan lain-lain dengan penuhanan materialisme (maaddiyah) yang dianutnya (memandang segala sesuatu dengan sebelah mata), sekularisme (ilmaaniyyah), atheisme (ilhaadiyyah), zionisme (shuhyuuniyyah), serta munculnya sekte-sekte yang dengan berterus terang memuja Iblis (Lucifer), kemunculan Nabi-nabi bayangan dan Imam Mahdi palsu di belahan Benua India, Afrika dan Negara-negara berperadaban Persia dengan sisa-sisa zoroaster-nya (mazdaqiyyah, majusiyyah). Mulai dari Mirza Ghulam Ahmad, Bahauddin al-Baab, hingga Sathya Sai Baba. Tidak terkecuali di Negara-negara Asia dan Asia Tenggara. (Lihat: Abu Fatiah al-Adnani, Dajjal Sudah Muncul dari Khurasan: 2006, Yusuf Burhanuddin, Kemunculan Dajjal Palsu: 2007 dan Hartono A. Jaiz, Nabi-nabi Palsu & Penyesat Ummat: 2008).

Semua itu menunjukkan, betapa fenomena kemunculan fitnah dajjal dengan beragam kerusakkan dan kemungkaran yang terjadi merupakan keniscayaan yang dialami ummat manusia zaman ini. Sebahagian kalangan menyebutnya dengan fitnatus shugraa. Adapun kemunculan dajjal (dalam makna sosok), mereka menyebutnya dengan fitnatul kubraa.

Penutup

Terlepas dari pemaknaan haqiiqiy atau pun majaaziy, berbeda dengan kalangan yang disebut-sebut menganut faham rasionalisme (‘aqlaaniyyah) semisal Syaikh Muhammad ‘Abduh (Al-Manaar [3] 317) yang diikuti pengikutnya Abu ‘Ubayyah bahwa dajjal itu “simbol kejahatan”, bukan Bani Adam. Ulama lain abad ini (Syaikh Nashir ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syaikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi) lebih condong bahwa dajjal membawa dua fitnah besar; fitnah sebagai sosok dan fitnah sebagai sistem atau simbol.

Sebagai kalimat akhir, dengan menelaah paparan sederhana ini, dengan segala keterbatasan ilmu, al-faqir berpandangan bahwa hakikat dajjal itu tidak sekedar bermakna simbol, melainkan bermakna sosok dan simbol sekaligus. Sekalipun demikian, dalam memaknai simbol tidak dibenarkan melakukan takwil-takwil yang tidak dikuatkan dalil syara’ yang bisa melahirkan sikap berlebihan (ghuluw), bahkan penyimpangan dalam beragama (inhiraafaat fid diin).

Dalam tugasnya sebagai Nabi akhir zaman, Rasulullaah ﷺ memberi ketauladanan kepada umatnya agar senantiasa memohon keselamatan dari fitnah dajjal ini (di antaranya membaca awal Surat Al-Kahfi dan do’a khusus terhindar dari fitnah dajjal). Lebih dari itu, banyak mengambil pelajaran dan merenungkan taujiih nabawiy agar diselamatkan dari berbagai fitnah yang semakin dahsyat ini dengan cara-cara berikut: mengokohkan ‘akidah, meminimalisir perpecahan, persengketaan dan mendorong umat akan pentingnya persatuan, mementingkan untuk tafaqquh fid diin, mengikatkan diri pada Al-Qur’an dan mengajak untuk melakukan hal yang sama, menjauhi sumber fitnah, shabar dan tetap istiqamah ketika terjadi fitnah, berlindung dari fitnah dan tawakkal pada Allah ‘azza wa jalla, serta selalu bertanya kepada ahli ilmu dalam menghadapi berbagai kesulitan.*/Teten Romly Qomaruddien


HIDAYATULLAH

Fatwa Ulama: Puasa Rajab

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

Soal:

Puasa sunnah Rajab itu dianjurkan pada awal bulan, tengahnya atau akhirnya?

Jawab:

Tidak ada hadits yang shahih yang khusus menyatakan adanya keutamaan puasa bulan Rajab selain hadits yang dikeluarkan oleh An Nasa-i dan Abu Daud, yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari hadits Usamah, ia berkata:

قلت : يا رسول الله ، لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان ، قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

“aku bertanya: wahai Rasulullah, belum pernah aku melihatmu puasa di bulan lain sebagaimana puasamu pada bulan Sya’ban. Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang banyak dilalaikan manusia antara Rajab dan Ramadhan’. Dan bulan itu adalah bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul ‘Alamin. Maka aku suka jika ketika aku sedang berpuasa

Terdapat juga hadits-hadits umum yang menganjurkan mengerjakan puasa tiga hari atau puasa ayyamul bidh setiap bulannya. Yaitu pada tanggal 13, 14, 15 (bulan Hijriah). Dan juga anjuran untuk memperbanyak puasa di bulan-bulan haram, juga puasa senin-kamis. Bulan Rajab termasuk dalam keumuman hadits-hadits tersebut. Jika anda bersemangat untuk berpuasa pada hari-hari tertentu (di bulan Rajab) maka puasalah pada ayyamul bidh yang tiga hari tadi, atau pada hari senin dan kamis, atau jika bukan (pada hari-hari tersebut pun boleh), perkaranya luas.

Adapun mengkhususkan hari tertentu sebagai hari puasa Rajab, kami tidak mengetahui ada dasarnya dari Syariat.

Wabillahi at taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala ahlihi washahbihi wasallam.

Sumber: http://www.alifta.com/Fatawa/fatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=335&PageNo=1&BookID=12

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id