Waktu Terbaik untuk Shalat Subuh

Sebagaimana kita ketahui, waktu shalat Subuh dimulai ketika terbit fajar shadiq. Namun jumhur ulama mengatakan, yang paling utama untuk melaksanakan shalat Subuh adalah waktu ghalas. Sebagaimana hadis dari ‘Aisyah Radhiallahu’ anha,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ بغَلَسٍ، فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ المُؤْمِنِينَ لا يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ – أوْ لا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا

“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Subuh ketika ghalas. Ketika itu para wanita kaum Mukminin keluar shalat Subuh ketika ghalas dalam keadaan tidak ada yang mengenal mereka, atau mereka saling tidak mengenal satu sama lain (karena masih gelap)” (HR. Bukhari no. 873).

Dan juga sebagaimana dalam hadis dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu ’anhu, beliau berkata,

كان يُصَلِّي الظُّهرَ حينَ تزولُ الشَّمسُ والعصرَ والشَّمسُ حيَّةٌ والمَغرِبَ حينَ تغيبُ الشَّمسُ والعِشاءَ ربَّما عجَّلها وربَّما أخَّرها وكان النَّاسُ إذا جاؤوا عجَّلها وإذا لم يجيئوا أخَّرها وكانوا يُصَلُّونَ الصُّبحَ بغَلَسٍ

“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Zuhur ketika matahari zawal (bergeser dari tegak lurus), dan biasa shalat Asar ketika matahari masih terang benderang, dan biasa shalat Magrib ketika matahari tenggelam. Untuk shalat Isya, terkadang beliau segerakan, terkadang beliau akhirkan. Jika orang-orang sudah berdatangan, maka beliau segerakan. Jika orang-orang belum berdatangan, maka beliau akhirkan salat Isya. Dan mereka biasa shalat Subuh ketika ghalas” (HR. Ibnu Hibban no. 1528, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban).

Definisi Al-Ghalas

Yang dimaksud dengan waktu ghalas adalah waktu ketika fajar sudah terbit, masih agak gelap, namun sudah ada cahaya. Dalam Mu’jam Al-Wasith disebutkan,

الغَلَس ظلمة آخر الليل إذا اختلطت بضوء الصباح

“Al-ghalas adalah kegelapan di akhir malam, ketika sudah bercampur dengan cahaya di waktu subuh.”

Dan waktu ghalas itu ketika cahaya fajar sudah menyebar di ufuk. Dalam Lisanul ‘Arab dijelaskan,

قال أَبو منصور: الغَلَس أَول الصُّبح حتى يَنْتَشِر في الآفاق، وكذلك الغَبَس، وهما سواد مختلط ببياض وحُمْرَة مثل الصبح

“Abu Manshur mengatakan: al-ghalas adalah awal waktu Subuh hingga cahaya fajar menyebar di ufuk. Demikian juga al-ghabas. Keduanya adalah bercampurnya cahaya putih dan kemerah-merahan di waktu Subuh.”

Isykal dalam hadis Raafi’ bin Khadij

Jika definisi al-ghalas telah dipahami dari penjelasan di atas, kita dapat mengkompromikan hadis-hadis yang telah disebutkan dengan hadis lain dari Raafi’ bin Khadij Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أسفِروا بالفجرِ فإنَّه أعظَمُ للأجرِ

“Tunggulah sampai terang ketika ingin salat fajar (salat Subuh), karena ketika itu pahalanya lebih besar” (HR. Tirmidzi no. 154, An-Nasa-i no. 548, Ahmad no. 17318, disahihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 258).

Maksud hadis ini bukan berarti menunggu pagi terang benderang, seperti pendapat sebagian ulama. Namun maksudnya adalah waktu antara antara gelapnya malam dan terangnya pagi. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah menjelaskan,

وليس معناه أنه يصلي بعد الغلس، لا، السنة بغلس كان النبي ﷺ يصلي بالغلس بعد ضياء الصبح لكن هناك بقية من بقية الليل، هذا هو السنة يكون بينهما، بين الظلمة وبين الصبح، فيه بعض الغلس، والحديث لا يخالف ذلك

“Hadis (Raafi’ bin Khadij) ini bukanlah maksudnya Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat subuh setelah ghalas, bukan demikian. Namun yang sunnah adalah mengerjakannya di waktu ghalas. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam biasa shalat Subuh ketika ghalas, yaitu setelah muncul cahaya di waktu subuh. Namun ketika itu masih ada sisa-sisa kegelapan malam. Inilah yang disunnahkan, di antara keduanya. Antara kegelapan malam dan terangnya subuh. Sehingga hadits tersebut tidak saling bertentangan” (Mauqi’ Ibnu Baaz no. 12826).

Sehingga tidak tepat praktik sebagian kaum Muslimim yang sengaja menunda shalat Subuh hingga pagi sudah terang benderang, berdalil dengan hadis Raafi’ bin Khadij Radhiallahu ‘anhu.

Bukan berarti meninggalkan salat berjamaah

Waktu ghalas adalah waktu yang utama untuk shalat subuh. Namun bukan berarti para laki-laki kaum Muslimin meninggalkan shalat berjamaah di masjid-masjid agar bisa salat di waktu ghalas. Karena shalat berjamaah di masjid itu hukumnya wajib bagi laki-laki. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ’anhuNabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

“Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam. Lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jamaah, lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224 dan Muslim no. 651).

Tidak mungkin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk menghukum orang yang tidak datang ke masjid, andaikan hukum shalat berjamaah di masjid tidak wajib. Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan,

ومن تأمل السنة حق التأمل تبين له أن فعلها في المساجد فرض على الأعيان ، إلا لعارض يجوز معه ترك الجمعة والجماعة ، فترك حضور المسجد لغير عذر : كترك أصل الجماعة لغير عذر، وبهذا تتفق جميع الأحاديث والآثار….

“Barangsiapa yang mentadabburi As-Sunnah dengan sebenar-benarnya, akan jelas baginya bahwa melaksanakan shalat jamaah di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain. Kecuali ada penghalang yang menghalangi untuk membolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan salat jamaah. Meninggalkan hadir shalat di masjid tanpa uzur itu seperti meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur. Dengan pendapat inilah akan bersesuaian semua hadts dan atsar” (Kitabus Shalah, hal. 416).

Jika imam di masjid menunda pelaksanaan shalat Subuh hingga waktu ghalas, maka ini yang lebih utama. Namun, jika imam di masjid melaksanakan shalat Subuh di awal waktu, sebelum waktu ghalas, maka wajib tetap shalat berjamaah bersama imam di masjid. Karena shalat berjamaah hukumnya wajib, sedangkan hukum shalat Subuh di waktu ghalas sekedar anjuran dan keutamaan saja. Sehingga perkara yang wajib tetap didahulukan daripada perkara sunnah (anjuran).

Adapun orang-orang yang tidak wajib untuk shalat di masjid, seperti para wanita, orang yang sedang sakit, musafir dan semisalnya, dianjurkan bagi mereka untuk menunggu waktu ghalas dalam melaksanakan shalat Subuh.

Wallahu a’lam

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

Artikel: Muslim.or.id

Pahala Bangun Pagi

Bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan.

Pagi adalah masa awal sebuah hari. Bagi orang Indonesia waktu pagi terbentang mulai tengah malam hingga matahari terbit. Dalam Islam waktu pagi identik dengan waktu Subuh. Kata “Subuh” itu sendiri berarti pagi. Kata “Pagi” dalam Alquran diulang hingga sembilan belas kali. Terkait ini, tentu bangun pagi juga memiliki keistimewaan tersendiri.

Nabi SAW memberi informasi, “Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang di antara kalian pada saat tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepaslah lagi satu ikatan.

Kemudian jika dia mengerjakan shalat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah pahala bagi yang bangun pagi. Pertama, terlepas dari belenggu setan. Kedua, merasa semangat dan bergembira.

Sementara bagi orang yang meneruskan tidurnya akan mendapatkan kerugian. Pertama dia akan suram mukanya dan tidak bergairah. Kedua, tidak shalat Subuh. Padahal shalat Subuh disaksikan oleh para malaikat. Allah SWT berfirman, “Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat)” (QS. al-Isra’/17: 78).

Menurut pengarang Tafsir Jalalain, malaikat yang menyaksikan shalat Subuh sangat banyak. Mereka adalah para malaikat yang berjaga pada malam hari dan para malaikat yang berjaga pada siang hari. Nabi SAW bersabda, “Para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul di waktu Subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam keluarga, bangun pagi harus menjadi budaya, di samping sebagai ajaran agama. Seorang ayah, harus mampu membangunkan anaknya untuk shalat Subuh. Suami isteri harus saling berpesan untuk saling membangunkan  apabila ada anggota keluarga  yang bangun kesiangan. Insya Allah keluarga yang bangun pagi akan mendapat pahala.

Nabi SAW bersabda ketika membangunkan Fatimah, puteri kesayangan beliau, ”Wahai anakku, bangunlah. Songsong rezeki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk pribadi  yang lalai. Sebab Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya di antara terbit fajar dengan terbit matahari.” (HR. Ahmad dan Baihaki). Inilah pahala bangun pagi, beroleh rezeki.

Selanjutnya orang yang bangun pagi akan didoakan oleh Nabi SAW. Hal ini terkuak dalam hadits yang ditulis oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Turmudzi dalam kitab induk hadits  mereka. Nabi SAW bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi”. Tentu ini adalah keberuntungan tiada tara bagi orang yang senantiasa bangun pagi.

Bangun pagi selain ditujukan untuk beribadah, harus juga didedikasikan untuk menolong sesama. Terkait hal ini, Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad mengutip hadits Nabi SAW, “Barangsiapa yang di awal pagi mendedikasikan diri menolong orang yang dizalimi dan memberi yang orang Islam perlukan, maka ia mendapat pahala seperti haji mabrur.” 

Dari semua informasi di atas, maka dapat dimengerti bahwa bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan. Sementara pada setiap kebaikan yang dilakukan ada pahala tersendiri yang dijanjikan. Yang dijanjikan itu pasti akan diberikan. Allah SAW tegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran/3: 9).

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat Subuh, Kunci Kemenangan

Doktor bidang dakwah dan Tsaqofah Islamiyah Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, Dr ‘Imad Ali Abdus-Sami Husain dalam bukunya Keajaiban Shalat Subuh mengungkapkan, shalat-shalat yang ada, secara umum memiliki banyak peran dalam mendatangkan kemenangan atas musuh.

”Dulu, Rasulullah SAW mengumandangkan seruan jihad kepada umat Islam setelah dilaksanakannya shalat,” ungkap Dr ‘Imad Ali Abdus-Sami Husain menerangkan.

Menurut dia, Rasulullah SAW memberangkatkan pasukan Islam dari masjid dan menyerahkan bendera juga di masjid. ”Maka, tidak ada seorang pun yang tidak ikut dalam shalat berjamaah,” ungkap Imad.

Ia lalu mengutip hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari, ”Apabila Rasulullah SAW hendak menyerbu suatu kaum, beliau menundanya hingga waktu tiba shalat Subuh. Jika beliau tidak memerangi di pagi hari, beliau tunggu hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah.’

Dalam hadis lain yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari, An-Nu’man bin Maqrin ra berkata, ”Aku ikut serta dalam perang bersama Rasulullah SAW. Biasanya, kalau beliau tidak memulai perang di pagi hari, beliau menunggu sampai jiwa-jiwa siap dan menunggu waktu shalat tiba.

Di antara kemengan yang paling populer yang ada kaitannya dengan shalat subuh, ungkap Dr Imad, adalah kemenangan atas kaum Yahudi pada Perang Khaibar.

Lantas, kenapa Rasulullah selalu memberangkatkan pasukan perangnya usai shalat Subuh? Menurut Dr Imad Ali Abdus-Sami Husain, karena Rasulullah SAW yakin waktu shalat adalah saat kemungkinan besar doa akan dikabulkan.

 

sumber: Republika Online (Foto: Hidayatulah.com)