Faidah Belajar Ilmu Nahwu

Bismillah …

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah tersembunyi bagi kita begitu besar keutamaan menimba ilmu agama. Dan di antara ilmu yang penting dipahami oleh setiap penimba ilmu adalah ilmu kaidah bahasa Arab, terkhusus lagi ilmu nahwu.

Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang mengatur keadaan akhir kata dalam bahasa Arab, perubahannya, dan kedudukan kata di dalam setiap kalimat.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Ilmu nahwu adalah ilmu yang mulia. Ilmu yang menjadi wasilah (perantara). Dengan sebab ilmu ini, akan mengantarkan kepada dua hal yang penting.

Pertama, untuk memahami Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak hal yang bisa dipahami dari keduanya atau banyak hal di dalamnya yang hanya bisa dipahami dengan mengetahui nahwu.

Kedua, untuk meluruskan lisan (bahasa) sebagaimana ucapan bahasa Arab yang semestinya. Bahasa Arab ini merupakan bahasa dari Kalam Allah ‘azza wa jalla (Al-Qur’an) atau bahasa yang dengan itu kalam Allah ‘azza wa jalla diturunkan. Oleh sebab itulah, memahami nahwu adalah perkara yang sangat penting.” (Lihat Syarh Al-Ajurrumiyah, hal. 5)

Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Seorang yang hendak berijtihad, dia harus mengetahui ilmu yang menjadi syarat wajib untuk bisa memahami ucapan yaitu ilmu bahasa (Arab) dan ilmu nahwu. Adapun bahasa (Arab), hal ini karena sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah menggunakan bahasa Arab. Sehingga tidak bisa dipahami dalil-dalilnya -secara langsung- oleh orang yang tidak paham (bodoh) tentang bahasa (Arab). Adapun nahwu, maka sesungguhnya makna-makna itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan i’rob (perubahan akhir kata). Oleh sebab itu, sudah seharusnya untuk mengetahui ilmu nahwu dan i’rob.” (Lihat Syarh Al-Waraqat, hal. 256-257)

Bukan itu saja, seorang yang hendak berijtihad juga harus memahami ilmu ushul fiqih. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “[Di antara syarat ijtihad] yang kelima adalah mengetahui bahasa (Arab) dan ushul fiqih yang berkaitan dengan penunjukan lafal. Misalnya lafal yang (menunjukkan makna) umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, dsb. Agar ia bisa menetapkan hukum sesuai dengan konsekuensi dari penunjukan-penunjukan tersebut.” (Lihat Syarh Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 516)

Banyak hal di dalam ilmu Al-Qur’an, ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, ilmu tauhid, ilmu hadits, dan yang lainnya yang hanya akan bisa dipahami dengan gamblang dan jelas apabila seorang telah memahami kaidah bahasa Arab dan ilmu nahwu pada khususnya.

Lebih luas lagi, para ulama menjelaskan bahwa salah satu sebab terjadinya penyimpangan dan bid’ah dalam agama ini adalah “bodoh mengenai sumber-sumber hukum dan sarana-sarana untuk memahaminya”. Dan termasuk dalam sarana untuk memahami sumber hukum -yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah- adalah ilmu tentang bahasa Arab dan uslub (gaya bahasanya). (Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ oleh Syaikh Ali al-Halabi, hal. 44-45)

Sebagaimana diketahui, bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah berbahasa arab. Hal ini menunjukkan bahwa memahami maksud Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bergantung pada pemahaman tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab yang bisa menegakkan urusan agamanya. Sehingga dia bisa bersyahadat dan membaca Kitab Allah dengan baik. (Lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 378)

Setelah membaca ini semuanya, kiranya tidak salah apabila kita perlu kembali menggalakkan gerakan untuk memahamkan ilmu bahasa Arab ini kepada segenap kaum muslimin, di desa ataupun di kota, dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Bukanlah suatu hal yang berlebihan, sebab inilah bahasa kitab suci kita, bahasa syari’at kita, bahasa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan bahasa inilah kita berdoa, berdzikir, dan mengucapkan bacaan-bacaan sholat kita …

Ketika kursus bahasa Inggris sedemikian diminati, kursus bahasa ini dan itu sedemikian laris, maka sudah semestinya pelajaran bahasa Arab lebih digalakkan di masjid-masjid kaum muslimin. Sebuah tempat yang sangat mulia bagi majelis ilmu agama … Sebuah tempat yang paling Allah cintai di atas muka bumi ini. Sehingga ilmu syar’i akan tumbuh berkembang menghiasi hati para pemuda harapan negeri …

‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu pernah berpesan, “Pelajarilah bahasa arab, karena sesungguhnya ia adalah bagian dari agama kalian.”

Siapakah yang peduli dengan agamanya? Siapakah yang hendak menjaga kemuliaan agamanya? Siapakah yang ingin mencapai kejayaan dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam … ??

Kepada Allah Ta’ala semata kita memohon taufik dan pertolongan.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

MUSLIM.orid

Jangan Pernah Melayani Perdebatan di Dunia Maya

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan agar kita sebaiknya meninggalkan perdebatan di dunia maya atau sosial media. Beberapa pertimbangannya adalah sebagai berikut:

  1. Perintah agar kita meninggalkan debat, meskipun kita benar.
  2. Debat di dunia maya cukup sulit mencapai tujuan, yaitu untuk mencari kebenaran. Debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah, semisal pembahasan loncat-loncat dan tidak ada kesepakatan patokan ilmiah.
  3. Terkadang kita tidak mengenal lawat debat kita, bisa jadi dia adalah orang yang kurang berilmu dengan modal googling saja, belum lagi kalau lawan debat ternyata memakai akun palsu.
  4. Debat dapat mengeraskan hati dan membuat tersesat apabila debat menjadi hobi.
  5. Tidak jarang debat di dunia maya hanya berujung “saling ngotot” yang berujung saling mengolok-ngolok padahal sesama muslim itu bersaudara.

Berikut penjabarannya:

  1. Perintah agar kita meninggalkan debat, meskipun kita benar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, sementara dia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” (Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 138)

  1. Debat di dunia maya cukup sulit mencapai tujuan, yaitu untuk mencari kebenaran.

Debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah, semisal pembahasan loncat-loncat dan tidak ada kesepakatan patokan ilmiah. Setiap orang akan semaunya sendiri saja ketika berbicara dan setiap orang memiliki patokan dan prinsip ilmiah yang berbeda-beda.

Apabila kita berdebat dengan orang yang tidak tidak memiliki standar ilmiah yang benar, tentu akan sia-sia berdebat dengan orang tersebut. Agama Islam adalah agama yang ilimiah, berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih.

  1. Terkadang kita tidak mengenal lawat debat kita. Bisa jadi dia adalah orang yang kurang berilmu dengan modal googling saja, belum lagi kalau lawan debat ternyata memakai akun palsu.

Apabila lawan debat kita orang yang tidak berilmu atau bahkan orang yang (maaf) bodoh, tentu ini akan membuang-buang waktu saja.

Perhatikanlah syair dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berikut ini:

إذا نطق السفيه فلا تجبه .. فخير من إجابته السكوت

فإن كلمته فرجت عنه .. وإن خليته كمدا يموت

“Apabila orang dungu itu berbicara, maka tidak usah dijawab.

Sebaik-baik jawaban untuknya adalah diam.

Jika kamu menjawabnya, kamu memberi jalan untuknya.

Jika kamu biarkan, dia akan mati sambil marah.” (Diiwaan Asy-Syafi’i)

  1. Debat dapat mengeraskan hati dan membuat tersesat apabila debat itu menjadi hobi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah, kecuali orang yang suka berdebat. Kemudian beliau membaca (ayat), “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja.’” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  1. Tidak jarang debat di dunia maya hanya berujung “saling ngotot” yang berujung saling mengolok-ngolok, padahal sesama muslim itu bersaudara.

Perhatikan wasiat Nabi Sulaiman ‘alaihis salam kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ

“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan dia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman no. 8076, Al-Baihaqi)

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Al-Qur’an Ingin Membahagiakanmu, Bukan Menyulitkanmu!

Pada awal Surat Thoha, Allah Swt menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada hati Nabi Muhammad Saw tidak untuk memberatkan atau menyulitkan beliau dan umatnya, tapi Al-Qur’an diturunkan untuk mengantarkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

طه – مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ

“Tha Ha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS.Tha-Ha:1-2)

Seperti yang disebutkan pada bagian akhir Surat Thaha, sejak Nabi Adam as dan Iblis dikeluarkan dari surga, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara.

Orang yang bahagia menurut Al-Qur’an adalah orang yang beriman dan mengikuti petunjuk Allah Swt.

قَالَ ٱهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيعَۢاۖ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ

Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS.Tha-Ha:123)

Sementara orang-orang yang sengsara adalah mereka yang menentang dan berpaling dari mengingat Allah Swt.

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Tha-Ha:124)

Ibnu Abbas pernah menafsirkan arti kehidupan yang sempit adalah kesengsaraan.

Coba renungkan bagaimana awal dari Surat Thaha menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk mengajakmu pada kebahagiaan bukan membebani atau menyengsarakanmu, lalu di akhir surat ini di tekankan kembali tentang siapa sebenarnya yang sengsara dan siapa sebenarnya yang bahagia.

Kebahagiaan hanya akan di raih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Dan siapapun yang berpaling dari kebenaran pasti hidupnya akan sengsara.

Semoga bermanfaat

KHAZANAHALQURAN

Menurut Sahabat Salman al-Farisi, Ini Ciri Orang yang Shalat Malam Tapi Tidak Dapat Pahala

Salman Al Farisi adalah salah seorang sahabat Rasulullah. Salman al-Farisi dianggap oleh Rasulullah sebagai salah seorang ahli bait ‘keluarga’sekalipun Salman al-Farisi tidak memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Salman itu seorang pemuda yang berasal dari Negeri Persia.

Salman al-Farisi adalah salah seorang sahabat Rasulullah sangat rajin dan taat dalam beribadah. Dia mengahabiskan akhir malamnya dengan beribadah kepada Allah. Dikisahkan dari seorang sahabat yang bernama Thariq bin Syihab ketika dia tidur di rumah Salman al-Farisi untuk menyelidiki tahajudnya.

Pada akhir malam, Thariq bin Shihab melihat Salman bagun dari tidurnya dan kemudian ia melihat Salman mealaksanakan shalat. Setelah selesai dari melaksanakan shalat, Salman al-Farisi menasehati Thariq bin Shihab.

Salam berpesan, “Jagalah shalat lima waktu ini, karena ia merupakan pelebur dari berbagai dosa selama kamu tidak melakukan dosa besar. Kemudian Salman menjelaskan kepada Thariq bin Shihab tentang tinkatan-tingkatan manusia ketika melalui malam-malam mereka.”

Menurut Salman Al Farisi, manusia dalam menghabiskan malamnya terbagi ke dalam tiga tingkatan, sebagaimana yang tertera dalam kitab Hilyatul Auliya’:

Pertama, orang yang menanggung dosa tetapi tidak memiliki pahala pada malam harinya. Menurut Salman, orang dengan kategori ini adalah orang yang memanfaatkan gelapnya malam dan kelalaian manusia untuk shalat malam tetapi di samping itu dia juga menjerumuskan dirinya dalam melakukan kemaksiaan.

Orang itu menanggung dosa tetapi tidak mendapakan pahala. Dengan artian, dia tidak mendapatkan pahala dari shalat malamnya tersebut dikarenakan ia juga menenggelamkan dirinya kedalam kemaksiatan.

Kedua, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa. Menurut Salman al-Farisi, kategori orang ini adalah orang yang memanfaatkan gelapnya malam dan kelalaian manusia untuk bangun dan kemudian meaksanakan shalat.

Orang ini menghiasi malam-malamnya hanya unuk beribadah kepada Allah. Akan tetapi, dia tidak menjerumuskan dirinya kedalam kemaksiatan. Iniah orang yang mendapatkan pahala pada malam harinya dan tidak mendapatkan dosa.

Ketiga, orang yang tidak mendapatkan pahala dan juga tidak mendapatkan dosa. Maksud golongan orang seperti ini menurut Salman al-Farisi adalah orang yang setelah melaksanakan shalat Isya kemudian ia tidur. Ia tidak bangun lagi di akhir malamnya untuk Qiyamullail dan juga tidak untuk berbuat maksiat. Iniah orang yang tidak berpahala pada malam harinya dan juga tidak menanggung dosa.

BINCANG SYARIAH

Awas, Zaman Penuh Fitnah Tuntut Ilmu yang Benar

ADA yang bertanya dan meminta nasihat kepada Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan; tentang zaman ini, di mana banyak fitnah di dalamnya, dan tersebarnya ahlul bida (orang yang membuat ajaran baru dalam agama).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawabnya. Pertama, aku nasihatkan kepada anda untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala memperbanyak doa agar Allah menguatkan kita di atas agama ini dan menjaga kita dari buruknya fitnah.

Kemudian, aku nasihatkan kepada anda untuk menuntut ilmu dari para ulama dengan bersemangat, karena sesungguhnya seseorang tidak akan terjaga dari fitnah -dengan izin Allah- kecuali dengan ilmu yang benar.

Adapun apabila engkau tidak memiliki ilmu yang benar, boleh jadi engkau berada dalam fitnah namun engkau tidak menyadarinya dan tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut adalah fitnah. Maka belajarlah (ilmu agama) dari para ulama, dan janganlah anda malas untuk menuntut ilmu, apapun yang terjadi. []

Apa yang Mesti Kita Perbuat agar Allah SWT Menolong Kita?

Allah SWT memberikan pertolongan jika hamba-Nya menolong agama-Nya

Segala yang ada di alam semesta, termasuk suasana dan keadaan di dalamnya ada di tangan Allah SWT. Tak ada satu lembar daun pun yang jatuh tanpa izin Allah SWT.  

“Maka usaha kita adalah bagaimana Allah menolong kita. Karena tanpa pertolongan Allah usaha apa saja yang kita buat tidak ada kekuatan apa-apa, tapi jika Allah sudah tolong kita tidak ada satu kekuatan apapun yang bisa menghalaunya. Yakinlah,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an dan Ilmu Hadist Barokah Madinah al-Minangkabawi, KH Zulkifli Ahmad Jundim Lc, saat menyampaikan tausiyah virtualnya, Jumat (4/12). 

Lalu apa yang mesti kita buat agar Allah SWT menolong kita? Jawabannya, kata KH Zulkifli, sudah disebutkan dalam Alquran 47 ayat 7: 

 إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

“Allah akan tolong kita bila kita mau bantu Agama Allah dengan mengajak manusia sebanyak banyak kembali kepada jalan Allah bukan kepada jalan setan,” katanya. 

Maka dari itu, kata KH Zulkifli, luangkanlah waktu dan fokuskanlah diri kita serta libatkan diri, harta, pikiran, dan waktu kita dalam usaha nubuwah dakwah illallaah dengan sungguh sungguh.

Jika tidak mau juga karena sibuk urusan dunia maka waktu kita juga akan habis tapi bukan dalam perkara agama yang diridhai Allah “Tingkatkan pengorbanan sampai nanti Allah ridha dan Allah turunkan nushrotullah, pertolonganya,” katanya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Suluk Al-Ghazali: Tasawuf Adalah Amal, Bukan Sekadar Ilmu

Sebelum meleburkan dirinya sebagai seorang salik (orang yang menempuh jalan tasawuf), al-Ghazali sudah mencoba mencari kebenaran hakiki melalui jalan ilmu kalam, filsafat, dan bathiniyah. Menurutnya, orang-orang yang mencari kebenaran dapat dikategorikan menjadi empat; mutakallimin (teolog), bathiniyah (Syi’ah Ismailiyah), falasifah (filsuf), dan sufiyah (sufi). Lantas di manakah posisi suluk al-Ghazali?

Empat jalan itu sudah pernah dilalui oleh al-Ghazali. Namun, di antara empat jalan itu, al-Ghazali berkesimpulan bahwa hanya jalan tasawuflah yang dapat mengantarkannya menuju kebenaran hakiki. Betapa tidak, ilmu tasawuf mengajarkan bagaimana cara menempuh halangan-halangan jiwa dari Tuhan, membersihkan diri dari akhlak dan sifat-sifat tercela. Sebab itu, seorang salik akan sampai kepada suatu fase di mana ia dapat mengosongkan hati dari selain Tuhan dan menghiasi jiwanya dengan berdzikir kepada-Nya.

Al-Ghazali berkeyakinan bahwa jalan yang ditempuh kaum sufi adalah sempurna dengan adanya ilmu dan amal. Ia menyadari keadaan dirinya bahwa ilmu lebih mudah baginya daripada amal. Untuk itulah al-Ghazali mulai mempelajari kitab-kitab tasawuf terlebih dahulu. Sumber terpenting yang menjadi rujukan al-Ghazali dalam mempelajari ilmu tasawuf adalah kitab Qut al-Qulub karangan Abu Thalib al-Makki, kitab-kitab Haris al-Muhasibi, lembaran-lembaran kitab yang diriwayatkan dari al-Junaid, asy-Syibli, dan Abu Yazib al-Busthami, serta dari para sufi yang lain.

Mereka adalah para sufi terkenal dengan upaya mereka untuk melakukan rekonsiliasi terhadap ilmu tasawuf dan ajaran Islam Sunni dengan meletakkan yang pertama di dalam batas-batas yang kedua. Al-Ghazali tampak dipengaruhi secara mendalam oleh karya-karya mereka terutama Abu Thalib al-Makki melalui karyanya, Qut al-Qulub.

Lantaran itu, al-Ghazali sudah dapat mengetahui hakikat dan tujuan ilmu tasawuf. Meskipun demikian, ilmu tasawuf tidak hanya melulu mengenai teori dan ilmu saja. Dalam ilmu tasawuf, al-Ghazali menemukan ilmu-ilmu yang tidak hanya bisa diperoleh dengan cara belajar, melainkan dengan dzauq (rasa), keadaan, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwa. Ilmu ini disebut oleh al-Ghazali sebagai ilmu ilhami.

Orang yang mengetahui hakikat sehat tentu berbeda dengan orang yang mengalami sehat itu sendiri. Seorang dokter ketika sakit, dapat mengetahui apa itu sehat dan bagaimana cara supaya dirinya menjadi sehat. Hal demikian sama seperti orang yang semisal mengetahui hakikat zuhud (menjaga jarak dari kenikmatan dunia) dan cara menjadi seorang zahid, tapi ia tidak mengalami sendiri keadaan zuhud itu. Begitulah al-Ghazali memberikan perumpamaan orang yang hanya mengetahui ajaran dalam tasawuf, tapi ia tidak mengamalkan dan mengalaminya secara langsung jalan tasawuf itu.

Sampai di sini, al-Ghazali meyakini bahwa para sufi merupakan arbab ahwal (orang yang mengamalkan ilmunya), bukan ashab aqwal (orang yang hanya pandai berteori). Ia mengakui bahwa dirinya telah menguasai ilmu dan ajaran-ajaran dalam tasawuf. Namun ia masih belum mengalami keadaan-keadaan yang hanya bisa dialami melalui dzauq (rasa) dan suluk itu.

Membaca suluk al-ghazali, kita dapat mengetahui bahwa untuk menempuh jalan tasawuf haruslah diawali dengan mempelajari ajaran-ajarannya terlebih dahulu. Sebab sebelum mengetahuinya, bagaimana mungkin seorang salik yang ingin menempuh jalan tasawuf dapat mempraktekkan teori itu dan mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Namun yang inti dari ilmu tasawuf adalah amal. Dengan amal itu, seorang salik akan dapat sampai kepada tujuan dari ilmu tasawuf, yaitu ittihad (menyatu) dan hulul (lebur) di hadapan Tuhannya.

BINCANG SYARIAH

Memaafkan Itu Tidak Selalu Lebih Utama

Memaafkan orang lain memang merupakan akhlak yang mulia. Namun tidak selamanya memaafkan itu lebih baik dan lebih utama. Adakalanya yang lebih baik adalah memberi hukuman dan tidak memaafkan.

Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 134).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Baqarah: 237).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain adalah jika anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka anda memaafkannya. Karena Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain” (Makarimul Akhlak, hal. 25).

Maka, tidak ragu lagi memaafkan itu lebih utama secara umum. Dan membalas kezaliman dengan pemaafan itu merupakan bentuk membalas dengan kebaikan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat: 34).

Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan: “Maksudnya, jika engkau berbuat baik kepada orang yang menzalimimu, maka perbuatan baikmu tersebut akan mengantarkan kepada sikap bersahabat, cinta dan perendahan diri dari orang tersebut. Sampai orang tersebut seolah seperti hamim bagimu. Yaitu, sahabat dekat bagimu. Karena begitu sayangnya dan begitu baiknya ia kepadamu” (Tafsir Qur’anil Azhim, 7/181).

Maka, memaafkan orang lain, selain diganjar pahala yang besar oleh Allah, juga akan mengubah permusuhan menjadi persahabatan.

Namun, memaafkan itu tidak selamanya lebih baik dan utama. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syura: 40).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan.

Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

الإصلاح واجب والعفو مندوب, فإذا في العفو فوات الإصلاح فمعنى ذلك أننا قدمنا مندوبا على الواجب. هذا لا تأتي به الشريعة

“Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunnah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunnah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syari’at”

Sungguh benar apa yang beliau sebutkan, rahimahullah” (Makarimul Akhlak, hal. 27).

Maka terkadang, tidak memaafkan dan menjatuhkan hukuman itu lebih utama. Jika memang hukuman tersebut akan menjadi kebaikan bagi si pelaku, kebaikan bagi masyarakat atau kebaikan bagi agama.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

5 Keinginan Manusia dalam Al-Qur’an

Kali ini kita akan menyimak sebuah ayat yang terkumpul di dalamnya ambisi dan keinginan manusia, yaitu dalam Firman-Nya :

ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan.” (QS.Al-Hadid:20)

Dalam ayat ini disebutkan bahwa keinginan manusia bisa kita kumpulkan dalam 5 hal :

1. Permainan (اللعب)

Yaitu suatu perbuatan yang ingin memuaskan daya khayal manusia, seperti bermainnya anak-anak.

2. Perhiasan (الزينة)

Yaitu sesuatu yang manusia ingin berhias dengannya. Seperti pakaian, perhiasan dan barang-barang yang dimiliki manusia.

3. Kesenangan (اللهو)

Yaitu sesuatu yang dikejar oleh manusia untuk memenuhi hasratnya.

4. Berbangga diri (التفاخر)

Manusia memiliki kecenderungan untuk membanggakan harta, statusnya, jabatannya dan garis keturunan serta apa yang mereka miliki.

5. Menumpuk dan memperbanyak.

Dan yang terakhir adalah kecenderungan manusia untuk menumpuk dan memperbanyak harta serta keturunan mereka.

Dari ayat di atas kita dapat simpulkan bahwa ambisi manusia tidak terlepas dari 5 hal ini. Semua yang mereka lakukan seringkali di dorong oleh nafsu untuk bermain, mencari kesenangan, berhias diri, berbangga-bangga serta menumpuk harta.

Semoga bermanfat…

KHAZANAH ALQURAN

Alasan Mengapa Surat Al-Fatihah Diletakkan di Awal Alquran?

Alquran diletakkan di awal Alquran karena sejumlah keutamaannya

Jika diibaratkan sebuah istana, surat al-Fatihah adalah pintu gerbangnya. Kemegahan istana dapat dinilai melalui keindahan pintu gerbangnya.

Surat al-Fatihah, secara harfiah berarti pembukaan (the Opening, the Prologue), mengesankan adanya jalan terbuka bagi hamba siapapun yang hendak mendekati diri-Nya.  

Penempatan letak surat al- Fatihah sebagai awal atau permulaan Alquran tentu memiliki rahasia di mata Allah SWT. 

Menurut Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, surat al-Fatihah bukan hanya penempatannya yang pertama, melainkan surat ini paling awal diturunkan  Allah SWT. Hal ini tidak bertentangan dengan riwayat yang mengatakan ayat yang pertama turun ialah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq. Betul sebagai ayat yang pertama turun, tetapi sebagai surat pertama utuh turun sekaligus ialah surat al-Fatihah.

Kandungan suraT al-Fatihah sangat dalam dan kom prehensif, mulai hal-hal yang bersifat langit (celestial) sampai ke hal-hal yang bersifat bumi (terestrial); dari hal-hal yang bersifat duniawi (worldly) sampai ke hal-hal yang bersifat ukhrawi (escatologis), janji dan ancaman, dan penghambaan diri kepada Allah SWT.

Meskipun hanya ada tujuh ayat dalam surat al-Fatihah, ketujuh ayat ini mencakup keseluruhan, baik urusan makrokosmos berupa alam semesta maupun urusan mikrokos mos, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, baik urusan Tuhan maupun urusan manusia dan alam lingkungan hidupnya. Semuanya dibicarakan secara komprehensif dan saling mendukung satu sama lain di antara ayat-ayatnya.

Ada ulama menyatakan bahwa sesungguhnya surat al-Fatihah sudah cukup untuk menuntun hambanya menemukan diri-Nya, tetapi Allah SWT menambahkan surah-surah lain. Makin banyak petunjuk (directions) menuju ke sebuah alamat, makin kecil kemungkinan seseorang salah alamat. Bandingkan dengan The Ten Com mandments, 10 Perintah Tuhan, yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim AS.

Kesepuluh perintah itu berisi pesan yang amat padat, yakni pengesaan Allah, penghormatan kepada orang tua, pemeliharaan har-hari suci Tuhan, larangan penyembahan berhala, penghujatan, pembunuhan, perzinaan, pencurian, ketidakjujuran, dan hasrat kepada hal-hal yang buruk. 

Bisa dibayangkan, 10 petunjuk diberikan kepada Nabi Ibrahim dan 6.666 ayat Alquran yang berikan ke pada Nabi. Ini semua melambangkan kasih sayang Tuhan terhadap kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama sampai ayat ketiga berbicara tentang urusan kehidupan di dunia. Allah menggambarkan kelembutan dan kasih sayang-Nya.

Diri-Nya sebagai pribadi (Allah) lebih ditekankan sebagai Mahapengasih (al-Rahman al-Rahim) dan diri-Nya sebagai Tuhan (ÑÈ) tetap lebih ditonjolkan sebagai Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Jadi, pengulangan kata ini sebetulnya tidak ada unsur kemubaziran kata (redundant).

Akan tetapi, ayat keempat dan seterusnya surat ini berbicara tentang hari kemudian, setelah hari kehidupan fisik manusia. Setelah manusia wafat, seolah-olah pintu kasih sayang Allah sudah tertutup, lalu diteruskan dengan ayat: مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ  Maaliki yaum al-din (Yang menguasai hari pembalasan (QS al-Fatihah [1]:4).

Seseorang yang membaca surat al-Fatihah diharapkan sudah menyingkirkan semua urusan dan kepentingan. Sedapat mungkin kita membayangkan kehadiran Allah SWT di hadapan kita. Inilah makna ayat: 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami me nyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS al-Fatihah [1]:5). 

Ayat ini menggunakan kata iyyaka (hanya Engkau), bukan iyyahu (hanya Dia). Ini artinya Allah SWT tampil sebagai pihak kedua yang diajak berbicara (mukhathab), bukan pihak ketiga yang dibicarakan. Wajar jika kita diminta fokus dan mengerah kan segenap pikiran dan konsentrasi kita kepada Allah SWT saat membaca ayat ini. 

Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya jika mulut kita membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, tetapi dalam ingatan kita sepatu atau kendaraan kita di luar. Seolah-olah yang kita sembah adalah sang sepatu atau kendaraan.

Surat al-Fatihah juga mengandung kekuatan inti atau puncak segala doa, yaitu: ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ ihdina alshirath al-muataqim (Tunjukilah kami jalan yang lurus/QS al-Fatihah: 6). Jika Allah SWT sudah menunjukkan jalan lurus dan sekaligus mengabulkan doa ini, mau minta apa lagi? Bukankah doa-doa lain hanya penegasan detail dari doa ini?   

Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar

KHAZANAH REPUBLIKA