Habib dan Keturunan Nabi Muhammad, Tetap Wajib Bertaqwa dan Belajar Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang habib dan keturunan Nabi Muhammad, tetap wajib bertaqwa dan belajar islam.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz ana mau bertanya, banyak seseorang dan termasuk teman-teman saya bahwa mengatakan saya sayyid atau habib yang merupakan keturunan Rasulullah, tapi saya sendiri tidak tahu apa itu benar atau tidak, cara menyikapinnya bagaimana Ustadz?
Agar tidak terjadi kesalahpahaman?
Syukron Ustadz, Mohon Penjelasannya.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Status seseorang sebagai sayid atau keturunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemuliaan. Karena itu artinya ia menisbatkan dirinya kepada manusia paling mulia. Dan kaum muslimin diperintahkan untuk menghormati mereka, mencintai serta menolong mereka, disebutkan dalam salah satu fatwa :

ومن حقوق آل البيت محبتهم ونصرتهم وإكرامهم، والصلاة عليهم في التشهد الأخير، كما أمر به صلى الله عليه وسلم، فيقول المصلي: اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد

“Dan diantara hak-hak ahlil bait nabi adalah mencintai mereka, menolong serta memuliakan mereka. Serta bershalawat kepada mereka saat tasyahud akhir sebagaimana diperintahkan oleh nabi. Maka seorang yang shalat membaca :
Ya Allah limpahkanlah shalawat bagi nabi Muhammad dan keluarganya.”

(Fatawa Islamweb no. 2685).

Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu anhua menyatakan :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri.”
(HR. Bukhari : 3712, Muslim : 1759).

Imam Syafi’i pula menyatakan :

يـــــا أهل بيت رســول الله حُبكم ….. فرضٌ من الله في القرآنِ أنزله
يكفيكم من عظيم الفخـــر أنكم ….. من لم يصل عليكم لا صلاة له

“Wahai ahli bait Rasulullah, mencintai kalian
adalah kewajiban yang ditetapkan Allah di dalam al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukup bagi kalian dari kebanggaan terbesar yang ada
bahwa orang yang tidak bershalawat kepada kalian (di dalam shalat), maka tidaklah sah shalatnya.”
(I’anatut Thalibin : 1/200).

Akan tetapi penisbatan atau klaim sebagai keturunan nabi ini banyak disalahgunakan oleh manusia. Untuk mendapatkan simpati kaum muslimin dengan cara-cara mungkar. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sekte Ubaidiyin yang mengklaim secara dusta bahwa mereka adalah keturunan Fatimah radhiyallahu anha, padahal hakikatnya mereka adalah orang-orang zindiq yang kental bernuansa majusi.

Dan karena memang sangat sulit sekali pembuktian atas hal tersebut. Namun yang mesti kita fahami bersama, bahwa kemuliaan nasab itu tidak menjamin keselamatan seseorang di dunia dan akhirat. Bukankah Anak Nuh juga putra dari seorang nabi?
Dan masih banyak sekali contoh yang lain dalam masalah ini. Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.”
(QS al-Hujurat : 13)

Allah ta’ala juga berfirman :

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
(QS. Al Mu’minun: 101).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا

“Wahai Bani Abdi Manaf, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Bani ‘Abdi al-Muthallib, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Ummu Zubair bin ‘Awwam, bibi Rasulullah, wahai Fathimah bintu Muhammad, selamatkan diri kalian dari adzab Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian”
(HR. Bukhari : 3527).

Maka yang terpenting bagi setiap orang Islam apakah dia orang biasa maupun sayyid adalah berlomba dalam kebaikan, mempelajari sunnah-sunnah nabi, mengamalkan serta mendakwahkannya kepada manusia dan bersabar di atas jalan dakwah ini.

Menjadi pengusung dakwah tauhid, menjaga kewibawaan dakwah tauhid serta berupaya untuk meredam berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan yang menodai tauhid serta sunnah. Karena itulah bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya.

Semoga bermanfaat,
Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله
Senin, 02 Rabiul Awwal 1442 H/ 19 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Sikap Kepada Habib dan Status Habib di Indonesia

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang sikap kepada habib dan status habib di indonesia.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ustadz, saya mau tanya bagaimana hukumnya mengenai status habaib atau para habib di Indonesia? Apakah benar nasabnya sampai ke rasulullah? Jika benar bagaimana menyikapi nya? Jika salah bagaimana pula menyikapi nya?
Jazakallah khairan

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari media sosial bimbingan islam)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Selamat datang di Media Sosial Bimbingan Islam, semoga Allah selalu membimbing kita di dalam jalan keridhoan-Nya.

1-Habaib di Indonesia

Habaib adalah jama’ dari habib, secara bahasa artinya orang yang mencintai dan orang yang dicintai.
Adapun istilah habib di Indonesia, menurut Ismail Fajrie Alatas, bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah seluruh keturunan Alawiyin dari Hadhramaut, Yaman. Yaitu keturunan ‘Ali bin Ubaidillah bin Ahmad Isa, keturunan ke 10 dari Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, rodhiyallohu ‘anuma, yang tersebar di Hadhramaut itu sendiri, Asia Tenggara, dan Pesisir Swahili di Afrika Timur.
(Lihat: Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56. Lihat juga: Melacak Asal Usul Habib di https://ganaislamika.com/tentang-gana/)

2-Apakah Nasab Habib Sampai Kepada Rasulullah?

Dengan keterangan di atas, maka istilah habib ini ditujukan untuk sebagian keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Namun keturunan Nabi tidak terbatas dari jalur keturunan ‘Ali bin Ubaidillah bin Ahmad Isa, bahkan juga dari jalur-jalur lain yang memang bersambung dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam.

Tetapi pengakuan seseorang, bahwa dia adalah seorang habib, bisa benar atau bisa dusta. Karena sejak zaman dahulu, ada sebagian orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, namun kenyataannya tidak demikian.

Imam Adz-Dzahabi (wafat th 748 H), menjelaskan tentang pimpinan kelompok Syadziliyyah, yaitu Abul Hasan Asy-Sydziliy (wafat th 656 H),
“Di dalam sebagian buku-buku karyanya tentang Tashowwuf, dia menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Tholib, lalu dia menyebutkan nasabnya: Ibnu Yusya’ bin Warod bin Baththol bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Al-Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhu”.
Lalu imam Adz-Dzahabi berkata, “Nasab ini majhul (tidak dikenal), tidak sah dan tidak tsabit (shahih; benar)”.
(Lihat Tarikhul Islam, 48/273-274)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh (wafat th 1420 H) berkata: “Adapun metode menetapkan nasab syarif (nasab keturunan keluarga Nabi), itu diketahui dengan banyak perkara:

Pertama: Pernyataan Ahli Sejarah terpercaya bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait (keluarga Nabi), dan diketahui bahwa seseorang yang terkenal berasal dari keluarga yang dinyatakan Ahli Sejarah terpercaya bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait.

Kedua: Bahwa orang yang mengaku bahwa dia berasal dari Ahlul Bait memiliki dokumen (surat keterangan) yang benar dari sebagian hakim-hakim yang diakui, atau dari ulama yang terpercaya, bahwa dia berasal dari Ahlul Bait.

Ketiga: Terkenal di kalangan penduduk suatu daerah bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait.

Keempat: Adanya bukti yang nyata (saksi yang adil), tidak kurang dari dua orang yang bersaksi atas hal itu, persaksiannya itu berdasarkan sesuatu yang bisa dijadikan sandaran, seperti sejarah yang dipercaya atau dokumen-dokumen yang dapat diterima, atau riwayat dari orang-orang yang diterima.

Adapun sekedar pengakuan yang tidak ada pembenarannya, maka tidak layak dijadikan sandaran, baik dalam masalah ini atau lainnya”.
(Fatawa islamiyah, 4/531)

3-Sikap Kepada Ahlul Bait Nabi

Perlu diketahui bahwa dzuriyah Nabi (keturunan Nabi) shallallahu ‘alaihi wassallam tidak terbatas dengan yang disebut dengan habib atau habaib. Sebab putri Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam yang mempunyai keturunan bukan hanya Fatimah rodhiyallohu ‘anha. Demikian pula putra Fatimah rodhiyallohu ‘anha bukan hanya Al-Husain bin Ali Fatimah rodhiyallohu ‘anhuma.

Demikian juga Ahlul Bait Nabi, atau keluarga Nabi, bukan hanya keturunan Nabi, bahkan Ahlul Bait Nabi mencakup para istri Nabi, keturunan Nabi, keluarga Bani Hasyim dan keluarga Bani Muthalib, yang haram menerima zakat.
Jika memang seseorang terbukti sebagai seorang muslim atau mukmin, dan dia termasuk keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, maka ada hak-hak bagi mereka, antara lain:

1. Hak dicintai, dijaga, dan dibela oleh kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (wafat 728 H) berkata:

وَيُحِبُّونَ أَهْلَ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتولونهم وَيَحْفَظُونَ فِيهِمْ وَصِيَّةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُ قَالَ يَوْمَ غَدِيرِ خُمٍّ: أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي

“Mereka (Ahlus Sunnah) mencintai Ahlul Bait Rosululloh shallallahu ‘alaihi wassallam, memberikan wala’ (kecintaan; dukungan), menjaga wasiat Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam tentang Ahlul Bait, yang mana beliau bersabda pada hari Ghodir Khum: “Aku ingatkan kamu kepada Alloh tentang Ahlul Bait-ku, aku ingatkan kamu kepada Alloh tentang Ahlul Bait-ku”.
(Majmu’ Fatawa, 3/154)

2. Hak diakui kemuliaan nasabnya.

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Dari Watsilah bin Al-Asqo’, dia berkata: Aku mendengar Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak-anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraisy dari (anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih Bani Haasyim dari anak-anak Quraisy, dan telah memilihku dari Bani Haasyim”
(HR. Muslim no. 2276; dll)

Dan hak-hak lain yang dijelaskan oleh para Ulama Ahlus Sunnah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian, jika ada orang yang berdusta dengan mengaku sebagai keturunan Nabi, tentu dia menanggung dosa yang sangat besar, dan tidak ada kemuliaan baginya. Bahkan pelakunya diancam dengan laknat yang besar. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits yang shahih:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ”

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menisbatkan kepada selain bapaknya, atau mengaku mantan budak kepada orang yang tidak memerdekakannya, maka dia akan menerima laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia”.
(HR. Ibnu Majah, no. 2609. Dishahihkan oleh syaikh Albani)

4- Kemuliaan Dengan Taqwa Bukan Nasab

Kemudian yang perlu diingatkan di sini, bahwa kemuliaan adalah dengan ketaqwaan kepada Allah, karena sesungguhnya semua manusia berasal dari manusia yang sama, yaitu Nabi Adam dan ibu Hawa ‘alaihimas salam. Alloh Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat/49: 13)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah mengumumkan kepada para kerabat beliau bahwa beliau tidak mampu menolak siksa Alloh terhadap mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau? Di dalam sebuah hadits yang shohih disebutkan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{ قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

Dari Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Ketika turun firman Alloh {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat} (QS. 26:214), Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berkata: “Wahai jama’ah Quroisy –atau kalimat semacamnya- belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muth-tholib, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shofiyyah bibi Rosululloh, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun”.
(HR. Bukhori, no: 2753; Muslim, no: 206; dan lainnya)

Oleh karena itu, kemuliaan nasab tidak boleh menjadi sebab kesombongan dan kebanggan, kemudian merendahkan orang lain. Namun itu adalah kenikmatan yang harus disyukuri dengan ketaatan.

Wallahu ta’ala a’lam

Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
Jum’at, 04 Rabiul Akhir 1442 H/ 20 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Hukum Puasa Sunnah pada Hari Sabtu

Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu. Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan berikut bisa menjawab keraguan yang ada.

Larangan Puasa Hari Sabtu

Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.[1] Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh (telah dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu

Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad.

Dari Ummu Salamah, ia berkata,

كان أكثر صومه السبت و الأحد و يقول : هما يوما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.[2]

Kedua: Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berpuasa pada hari Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الجمعة إلا بيوم قبله أو يوم بعده .

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.”[4] Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.

Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.[5]

Dari hadits yang begitu banyak (mutawatir), Al Atsrom membolehkan berpuasa pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.[6]

Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini syadz, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.[7]

Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikutkan dengan hari sebelumnya.[8]

Kesimpulan:

  1. Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.
  2. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.[9]

Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.

Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.

Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.

Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.

Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .

Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-[11]

Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu

Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai Ketua.[12]

Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

MUSLIM orid


[1] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 960. Mengenai perselisihan pendapat mengenai hadits ini akan kami singgung insya Allah.

[2] Shahih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir, no. 8934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 1986.

[4] HR. Ibnu Majah no. 1723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/73-75, ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql.

[6] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/75.

[7] Idem

[8] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/76.

[9] Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.

[10] HR. Bukhari no. 1986.

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

[12] Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 11747, juz 10, hal. 397, Mawqi’ Al Ifta’

Pahala Hilang Karena Maksiat Saat Sendiri, Apakah Bisa Kembali?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang pahala hilang karena maksiat saat sendiri, apakah bisa kembali?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

UStadz, mau tanya.. ada hadist yang menyatakan bahwa jika  kita melakukan maksiat di kala sepi… maka terhapus semua pahala.. nah yang saya tanyakan adalah.. apakah pahala itu Allah kembalikan jika hambanya bertobat dan berdoa di sepertiga malam (tahajud)?
Karena sebagai hamba.. bisa kalah dengan syahwatnya di kala sepi..
Mohon jawabanya.. karena ini sangat membingungkan saya.. jazakumullah khoir..

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Jika hadits yang anda maksud adalah hadits yang berasal dari riwayat sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pernah bersabda,

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan.”

Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.”

Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”
(HR. Ibnu Majah, no. 4245. Dan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Maka maksud hadits di atas tidak terlepas dari 3 penjelasan para ahli ilmu;

1. Yang dimaksud mereka menerjang larangan Allah Ta’ala dikala sepi yaitu orang-orang yang memiliki sifat kemunafikan, inilah yang menunjukkan keadaan orang-orang munafik, walaupun kemunafikan yang ia perbuat adalah kemunafikan dari sisi amal, bukan i’tiqad (keyakinan), hanya saja mereka menyembunyikan keburukan mereka dari hadapan manusia agar tidak diingkari. Mereka pun pada akhirnya mengakui hal tersebut kelak pada hari kiamat, karena Allah Yang Maha Kuasa mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang ada di dalam hati mereka.

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “إذَا خَلوا بِمَحَارِمِ الله” tidak hanya berarti bahwa pelaku dalam hadits Tsauban melakukan apa yang dilarang Allah tatkala bersendirian di rumah!

Namun dapat diartikan bahwa mereka terkadang melakukan hal tersebut bersama dengan kawan-kawan dan orang yang semisal dengannya. Dengan demikian, dalam hadits ini terkandung penjelasan perihal mereka bersama-sama bersembunyi dari pandangan manusia, bersepakat secara rahasia, saling memaklumi keadaan untuk melakukan apa yang dilarang Allah Ta’ala, bukan berarti bahwa setiap dari mereka menyendiri di rumah masing-masing menerjang larangan Allah.

3. Mereka yang disebutkan dalam hadits ini disifati dengan kalimat “ينتهكون محارم الله” (menerjang larangan Allah). Sifat ini menunjukkan akan penghalalan mereka terhadap larangan Allah Ta’ala tersebut atau menunjukkan bahwa mereka sangat melampaui batas dalam melakukannya dalam kondisi tersebut. Melampaui batas karena mereka merasa aman dari makar dan siksa Allah Yang Maha Kuasa, serta absennya perhatian mereka bahwa sebenarnya Allah Yang Maha Tahu pasti mengetahui perbuatan mereka. Oleh karena itu, mereka berhak memperoleh hukuman berupa gugurnya amalan shalih yang telah dikerjakan oleh mereka.

Poin Penting!!!

Poinnya adalah terdapat perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dengan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan bagi pelakunya.

Ada orang yang melakukan maksiat sembunyi-sembunyi namun penuh penyesalan. Orang tersebut bukanlah orang yang merobek tabir untuk menerjang yang haram. Karena asalnya orang semacam itu mengagungkan syari’at Allah Ta’ala. Namun ia terkalahkan dengan syahwatnya.
Adapun yang bermaksiat lainnya, ia melakukan maksiat dalam keadaan berani, congkak, sombong tanpa tunduk dan rendah diri kepada peraturan Allah Yang Maha Tinggi, Itulah yang membuat amalannya terhapus.
(lihat penjelasannya dalam Syarh Zaad Al-Mustaqni’, no. pelajaran 332, oleh Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi)

Maka jika anda terus menerus istighfar dan bertaubat, setiap berbuat salah selalu berusaha kembali kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun di tengah malam dengan shalat tahajud mengharap kasih sayang dan ampunan Nya Yang Maha Luas, maka Allah Yang Maha Mulia akan mendatangkan pahala yang berlimpah, menghapus dosa, pahala amalan yang telah dilakukan dengan ikhlas akan kembali, karena Dia lah Yang Maha Pengasih Dan Penyayang bagi para hamba Nya.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufiqNya, agar kita dapat menjauhi dosa dan maksiat di kala sepi dan kala terang-terangan. Aamiin Ya Rabbana.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 04 Rabiul Akhir 1442 H / 19 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Hakikat Pasrah yang Salah

Beberapa waktu lalu, seorang jurnalis independen sekaligus pembuat film, menulis pada journal terbitan Moskow, NEO (New Eastern Outlook) tentang ‘rasa muaknya’ terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya, dan penduduk Jakarta pada khususnya.  Di dalam artikelnya yang memuat empat ribu karakter lebih, Andre Vltchek mengungkapkan sebaris kalimat yang saya tidak sanggup membacanya, “…poor are used to being poor, obedient and ‘entrusting their fate into God’s hands’, in the Indonesian language called pasrah…”

‘Masyarakat miskin sudah terbiasa menjadi miskin, mereka patuh dan meletakkan keyakinan mereka pada Tuhan, atau dalam bahasa Indonesia disebut pasrah.’ Demikian artinya. Artikel yang ditulis Vltchek bukan artikel jurnalis sekali jadi. Dia juga bukan jurnalis kemarin hari. Selain sudah ‘bertualang’ ke berbagai negara dan situasi konflik, Vltchek juga termasuk salah satu jurnalis yang akrab dengan almarhum Gus Dur.

Dengan begitu, sudah barang tentu apa yang dia amati dari sepak terjang negeri kita ini bukanlah suatu hal baru. Dia sudah melewati seluk beluk masyarakat Indonesia sampai ke akar-akarnya. Beberapa pembaca buku-buku ‘langka’ juga pasti sudah mengenal salah satu karyanya, “Indonesia, Archipelago of Fear” dan saya yakin akan mengerti bagaimana masyarakat kita dipandang dan dijelantrahkan sedemikian rupa di dalamnya.

Namun, bukan tentang Vltchek yang ingin saya paparkan, Saudara. Melainkan tentang pandangan dia sebagai orang ‘luar’ Indonesia yang bertahun-tahun menggeluti kenyataan ini di dalam masyarakat kita, menilai bahwa sikap pasrah sebagai salah satu pemicu masyarakat kita enggan melangkah lebih baik.

Dijelaskan bahwa kondisi masyarakat kita yang miskin, tinggal di daerah kumuh, air-air kita yang tidak bersih, lingkungan kita yang tidak ramah anak. Semua itu seakan-akan menjadi suatu hal wajar dan lumrah bahkan dinikmati seperti halnya barang bermanfaat. Setiap investigasi dan turun lapangan, Vltchek tidak menemukan adanya sikap marah dari bangsa Indonesia yang miskin dan terus terkikis kaum kapitalis. Justru sebaliknya, malah menghamba, memuja.

Sepatutnya, bangsa ini muak dengan kondisi yang mereka terima. Bagaimana tidak, sumber daya kita sejak dahulu sekali telah dan masih dieksploitasi negara lain. Dari mana setiap hari kita dapatkan minuman bersih dan higienis jika bukan dari merek luar yang menancapkan kuku kuat-kuat di bumi Indonesia? Generasi milenial yang semakin bangga pada produk-produk murah milik perusahaan kapitalis, menganggap segala sesuatu yang populer, murah dan terjangkau sebagai suatu kemajuan. Memajang segala gaya hidup ‘kekinian’ di akun-akun media sosial mereka. Sementara dalam waktu yang sama mereka pun tahu betapa banyak warga miskin yang hidup di lingkungan kotor dan tidak layak tinggal bersebelahan berseiringan dengan mereka.

Warga miskin ini yang kemudian mengandalkan nasihat-nasihat pendahulu tentang “pasrah” sebagai acuan bahwa bagaimanapun kondisi kehidupan mereka harus dijalani dengan sikap ‘nrimo’ (atau dalam bahasa Indonesia, menerima ikhlas). Suatu sikap yang saya yakin, tidaklah tepat jika diaplikasikan dalam kondisi hidup tidak layak. Pasrah yang diwariskan dalam budaya kita bukanlah pasrah pada kebodohan dan ketertinggalan. Pasrah yang diajarkan Islam berabad-abad lalu di bumi Indonesia bukanlah pasrah pada ketidaktahuan dan keserakahan.

Pasrahnya Manusia Jawa

Manusia Jawa memang mengambil anasir tumbuhan (tuwuhan) sebagai contoh yang patut ditiru. Salah satu sifat tumbuhan dikatakan, jejeg ngadeg mapan kang dadi papane (artinya, tegak berdiri di tempat yang menjadi tempatnya). Ungkapan tersebut lekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari cara mereka berpakaian, berlaku hidup sampai pada prinsip-prinsipnya. Manusia Jawa pun lebih memilih untuk tinggal di mana mereka berasal dan tumbuh, seperti akar-akar tumbuhan yang menjalar dan menghujam ke dalam tanah.

Manusia Jawa memang bersikeras untuk hidup di dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Iman Budhi Santosa dalam Suta Naya Dhadhap Waru (2017:12) “…mengapa mereka diajak hidup enak-kepenak justru mopo? Mengapa akhirnya ngotot ingin pulang kampung? Ibarat memilih tidur meringkuk beralaskan tikar. Kehujanan jika musim hujan dan kepanasan jika musim kemarau. Makan seadanya dengan sayur hasil tanamannya sendiri, bertani mengolah sepetak tanah dengan wulu-wetu yang tidak seberapa…”

Memilih untuk hidup di dalam prinsipnya, namun bukan berarti keras kepala melainkan sadar betul bahwa dia harus pula memberikan kontribusi pada apa yang selama ini telah menghidupinya. Dalam perjuangan manusia Jawa menjalani hidup sederhana mereka tersirat budaya pasrah atau yang dikenal sebagai narima ing pandum (Ibid, 2017:x), menerima secara tulus dan ikhlas atas kodrat yang diberikan di alam semesta sebagaimana tumbuhan. Namun bukan berarti suatu konsep pasrah yang juga akan rela jika dihadapkan dengan tekanan, penistaan, dan ketidakseimbangan kehidupan.

Narima ing pandum dalam falsafah dan budaya Jawa merupakan sikap pasrah atas pemberian Tuhan dengan cara mensyukuri dan mengelola ‘amanat’ dengan baik. Sebagai bukti diceritakan dalam Suta Naya Dhadhap Waru (2017:14), “Sebagai masyarakat agraris sesungguhnya mayoritas orang Jawa memiliki kepedulian tinggi terhadap alam lingkungan.” Manusia Jawa pada hakikatnya mewujudkan sikap pasrah dengan sangat perilaku yang tepat; mengurus dan melestarikan apa yang sudah diterima. Zaman dulu, sungai-sungai dan selokan dilarang untuk dijadikan tempat buang air (BAK dan BAB) terlebih buang sampah. Air sendiri memiliki tempat tinggi dalam filosofi budaya Jawa. Selain dijuluki ‘sang sumber kehidupan’, air yang dalam cerita pewayangan dinamakan tirta dan adapula hikayat tentang tirta amerta (air yang menyebabkan tidak mati) sesungguhnya bermakna air sebagai sumber kehidupan adalah air yang bersih dan terhindar dari segala macam bakteri, virus penyebab berbagai penyakit.

Pasrah menurut budaya Jawa dengan demikian bukanlah suatu sikap rela atas keburukan hidup. Hidup yang buruk semestinya diubah menjadi baik. Sikap pasrah yang tepat menurut budaya Jawa adalah sikap menerima dengan ikhlas atas pemberian (amanat) dari Tuhan terkait alam semesta ini dengan jalan merawatnya. Bukan membiarkan lingkungan terpapar polusi, bukan pula membiasakan diri tinggal dalam kesengsaraan.

Sikap Pasrah dalam Islam

Sebagaimana budaya Jawa menginterpretasikan sikap pasrah, Islam telah berabad-abad lalu melalui Rasulullah saw. memaknai definisi pasrah dalam kehidupan sehari-hari. Islam mengenal pasrah dalam bahasa Arab ‘tawakkal’. Di dalam Alquran, menurut Quraish Shihab, kata ‘tawakkal’ diambil dari wazan ‘wakala-yakilu-waklan’ yang bermakna mewakilkan. Manusia menyerahkan (memasrahkan) urusannya kepada Allah Swt.

Namun, karena Allah Swt adalah Zat Yang Maha Esa, perwakilan yang dimaksud bukanlah bermakna lahiriah layaknya seorang manusia melepas atau mewakilkan urusannnya pada manusia lain. Jika demikian adanya, tentu urusan kita sudah diselesaikan oleh yang mewakilkan kita tanpa perlu keterlibatan kita di dalamnya. Adapun tawakkal dalam Islam, adalah suatu sikap pasrah pada Tuhan dengan catatan; manusia dituntut untuk berusaha lebih dulu sampai batas kemampuan yang dimilikinya.

Jika kita telusuri, sebagaimana konsep pasrah menurut budaya Jawa dan ajaran Islam, sudah semestinya kita sadar bahwa lingkungan sudah seharusnya segera diperbaiki. Baik itu lingkungan di sekitar kita maupun yang meliputi kehidupan saudara-saudara kita di pemukiman kumuh. Jika di India dan negara belahan lain saja, warga pemukiman kumuh sudah jengah dan marah atas lingkungan mereka yang kotor dan tidak layak tinggal, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia sadar untuk membenahi juga lingkungannya.

Tindakan berbenah bisa kita mulai dari diri sendiri dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi pemakaian bahan plastik serta bercocok tanam untuk menyejahterakan bumi. Sikap pasrah jelas tidak sesuai diimplementasikan dalam kondisi lingkungan tidak layak hidup. Manusia Indonesia, apapun suku bangsanya haruslah bergotong royong memperjuangkan apa yang dimiliki sebagai suatu kehormatan. Kita tidak perlu berorasi tentang gentingnya kapitalisasi di negara ini. Dengan membangkitkan daya juang dan wujud nyata manusia Indonesia di setiap keluarga untuk hidup layak, dengan sendirinya kita telah berdikari!

BINCANG SYARIAH

Makna Lafaz Allah Menurut Ulama dan Perbedaannya dengan Lafaz al-Ilah

 Setiap muslim memiliki kewajiban mengenal tuhannya dengan baik yakni Allah SWT. Dalam literatur arab, terdapat  dua kata yang sering dipakai untuk menyebut kata “tuhan” yakni lafal Allah dan al-Ilah. Salah satu upaya untuk lebih mengenal Allah adalah dengan cara mengetahui makna lafal Allah tersebut serta perbedaannya dengan lafal yang mirip  dengannya yaitu al-Ilah (tuhan).

Syekh Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitabnya Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an (j. 1 h. 31) menuturkan kalau ulama tafsir memaknai lafal Allah dengan berbeda-beda akan tetapi memiliki substansi yang sama.

Imam al-Qurthubi menyebut makna lafaz Allah sebagai sebuah nama yang sangat agung dan suci; nama bagi sebuah entitas (keberwujudan) yang hakiki; nama yang memiliki seluruh sifat ilahiyah (ketuhanan); yang tunggal memiliki wujud  yang hakiki; tiada Tuhan melainkan hanya Dia; serta satu-satunya nama yang berhak disembah.

al-Imam Ibnu Katsir mengatakan  bahwa lafal Allah adalah sebuah nama bagi tuhan yaag maha memberi berkah  dan tinggi. Nama yang sangat agung dimana memiliki seluruh sifat-sifat keagungan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Hasyr [59]: 23,

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ

Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia,  Maharaja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala.

Melalui ayat ini, nama Allah menempati tempatnya seluruh sifat-sifat  yang mulia tersebut.

(Syekh Muhammad Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jus 1 hal 17)

Mengutip buku The Foreign Vocabulary of The Qur’an (h. 66) karya Arthur Jeffery, Profesor Bahasa-Bahasa Semit di School of Oriental Studies Kairo, of Semitic Languages School of Oriental Studies Cairo, ia mencatat kalau Imam Ar-Razi dalam kitab Mafaatih al-Ghoyb memberi informasi perihal orang-orang muslim di zaman awal yang berpendapat lafal Allah berasal dari bahasa Syiria atau Ibrani.

Namun, mayoritas muslim mengklaim bahwa lafal Allah tersebut merupakan bahasa Arab murni, meski mereka berbeda pendapat tentang turunan kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa lafal Allah tidak memiliki derivasi (turunan kata) sehingga hanya murni memang dipakai untuk sebuah nama tidak yang lain, dalam bahasa Arab disebut alam murtajal

Ulama Kufah mengatakan bahwa lafal Allah berasal dari turunan kata al-Ilāha, sementara ulama Bashrah berpendapat lafal tersebut berasal dari turunan al-Lāh, dimana kata Lāh sendiri merupakan kata benda verbal dari laihun yang bermakna menjadi tinggi atau tertutup.

Demikian juga dengan kata ilāhun memiliki beberapa varian turunan kata. Pertama, kata Ilāh berasal dari derivasi kata alaha yang berarti menyembah. Kedua, berasal dari kata aliha yang bermakna bingung. Ketiga, berasal dari kata aliha ila yang berarti beralih ke perlindungan.

Setelah menjelaskan makna-makna dari lafal Allah di atas, sekarang kita beralih kepada perbedaan antara lafal Allah dan al-Ilah. Berikut ini perbedaan diantara kedua lafal tersebut yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Ali as-Shabuni,

Pertama, lafaz Allah adalah nama bagi  sebuah zat (entitas) yang disucikan, dimana tidak ada yang berserikat (serupa) dengannya. Sementara lafal al-Ilah adalah nama yang bisa ditujukan kepada Allah dan selain Allah.

Kedua, lafal Allah memiliki makna zat (entitas) yang disembah dengan kebenaran (al-haq). Sementara lafal al-Ilah memilki arti zat atau sesuatu yang disembah, baik dengan jalan yang benar atau tidak. contoh : patung yang disembah oleh orang Arab jahiliyah disebut Ālihatun bentuk jamak dari lafal Ilahun karena patung itu disembah dengan jalan yang batil.

BINCANG SYARIAH

Nasehat Bagi yang Sulit Jodoh (Bag. 1)

Bagi anda yang sudah ingin nikah namun sulit untuk menikah atau sulit untuk menemukan calon pasangan idaman, maka renungkan dan perhatikanlah beberapa nasehat ringkas berikut ini:

1. Luruskan niat, menikah untuk mencari ridha Allah

Karena menikah adalah ibadah dan perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menikah dalam firnan-Nya:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 32).

Dalam ayat di atas menggunakan kata وَأَنْكِحُوا (nikahkanlah) yang merupakan fi’il amr (kata perintah).

Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menikah, beliau bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

Dalam hadits di atas juga digunakan fi’il amr فَلْيَتَزَوَّجْ (menikahlah).

Maka jika niat sudah benar, apapun kekurangan yang ada pada calon pasanganmu, maka bersikap longgarlah, selama ia adalah orang yang mau diajak bersama-sama mencari ridha Allah.

2. Sulit jodoh itu adalah musibah, dan musibah terjadi karena maksiat, maka banyak-banyaklah bertaubat kepada Allah dari semua maksiat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30).

Akuilah semua dosa-dosa dan kesalahanmu selama ini, baik yang kecil-kecilan apalagi dosa yang besar. Tinggalkan itu semua dan sesalilah. Bertaubatlah kepada Allah. Semoga Allah angkat musibah darimu.

Jauhi juga maksiat-maksiat dalam proses mencari pasangan seperti:

  • pacaran
  • berdua-duaan
  • chatting dengan lawan jenis tanpa kebutuhan
  • flirting / rayu-merayu padahal belum halal
  • melihat-lihat foto para akhawat
  • berbohong dan menipu demi tampil baik di hadapan calon pasangan
  • merusak rumah tangga orang lain

dll

Karena ini hanya akan menambah musibahmu.

Orang yang banyak bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah, akan diberikan kemudahan dalam memperoleh keturunan dan jodoh tentunya. Karena tidaklah orang memiliki keturunan kecuali ia menikah terlebih dahulu. Allah ta’ala berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Aku mengatakan: beristighfarlah kepada Rabb kalian, karena ia Maha Pengampun. Ia akan mengirimkan hujan yang melimpah melalui langit kepada kalian. Dan Ia akan memberikan harta serta anak-anak kepada kalian, serta menumbuhkan kebun-kebun kalian dan mengalirkan sungai-sungai kalian” (QS. Nuh: 10 – 12).

3. Sulit jodoh adalah masalah. Allah menjanjikan jalan keluar dari masalah, bagi orang yang bertaqwa.

Allah ta’ala berfirman:

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia duga” (QS. Ath Thalaq: 2-3).

Dijelaskan dengan indah oleh Ibnu Abi Izz Al Hanafi rahimahullah:

فقد ضمن الله للمتقين أن يجعل لهم مخرجا مما يضيق على الناس، وأن يرزقهم من حيث لا يحتسبون، فإذا لم يحصل ذلك دل على أن في التقوى خللا، فليستغفر الله وليتب إليه

“Allah ta’ala menjamin bagi orang-orang bertaqwa bahwa Ia akan memberikan jalan keluar dari perkara yang menyulitkannya dalam hubungan terhadap manusia. Dan Allah menjamin bahwa Ia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Jika itu belum terjadi, maka ini menunjukkan bahwa dalam ketaqwaannya masih ada cacat. Maka hendaknya ia meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadanya” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah dengan ta’liq Syaikh Yasin Abul Abbas Al Adeni hal. 333-334).

Maka bagi yang punya masalah dan solusi belum kunjung datang, coba renungkan…

mungkin akidahmu belum lurus…

mungkin shalatmu belum benar…

mungkin belajar agamamu masih kurang semangat…

mungkin dzikirmu belum banyak…

mungkin menutup auratmu belum sempurna…

mungkin baktimu kepada orang tua masih kurang…

mungkin sedekahmu kurang banyak…

mungkin lisanmu masih suka offside…

mungkin semua yang kau lakukan di atas masih kurang ikhlas…

4. Utamakan sisi agama, perkara lain bersikap longgarlah!

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Dari Abu Hatim Al Muzanni radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no.1085. Al Albani berkata dalam Shahih At Tirmidzi bahwa hadits ini hasan lighairihi).

Carilah pasangan yang shalih atau shalihah, yang mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mau tunduk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah yang utama. Andaipun ada kekurangan dalam hal lain:

  • kurang ganteng / cantik
  • kurang pintar
  • kurang kaya
  • kurang besar gajinya
  • kurang modis
  • kurang kurus
  • kurang gemuk

dan lainnya…

maka bersikap longgarlah. Sebab semua hal-hal ini pun kelak akan sirna juga. Namun apa yang diniatkan untuk Allah ta’ala, akan senantiasa abadi. Allah ta’ala berfirman:

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang ada pada kalian akan sirna. Dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi” (QS. An Nahl: 96).

Boleh saja mempertimbangkan hal-hal di atas, namun jangan jadikan patokan utama sehingga membuatmu menjauh dari calon pasangan yang shalih atau shalihah.

[Bersambung]

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (bag 4)

Antara orang yang terpesona dengan dunia dan orang yang mengharapkan pahala Allah.

Dalam salah satu kisah Al-Qur’an, Allah Swt menceritakan tentang Qarun (seorang konglomerat sombong yang merasa semua yang ia miliki adalah hasil dari kehebatannya sendiri).

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ

Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” (QS.Al-Qashash:78)

Dalam Surat Al-Qashas diceritakan bahwa suatu hari Qarun melakukan pawai dengan menampakkan kehebatan dan kekayaannya. Disaat itulah manusia yang memandang Qarun saat itu terbagi menjadi dua kelompok.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ

“Maka keluarlah dia (Karun) kepada kaumnya dengan kemegahannya.”

1. Kelompok yang silau dengan dunia.

Ketika melihat kekayaan Qarun, air liur mereka menetes dan mereka menyesal karena tidak memiliki seperti apa yang dimiliki oleh Qarun. Kekayaan Qarun bagi mereka adalah sebuah anugerah dan kemuliaan di sisi Allah Swt.

قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٖ

Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Karun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS.Al-Qashash:79)

Kelompok pertama ini terpesona oleh gemerlap dunia dan pikirannya hanya sibuk untuk mendambakan dunia.

2. Kelompok kedua adalah para ulama’ sejati yang tidak silau dengan dunia.

Yang dipikirkan dan yang diharapkan oleh kelompok kedua ini hanyalah keridhoan dan kerelaan Allah Swt. Dan mereka meyakini bahwa keridhoan dan kerelaan Allah hanya akan diraih oleh orang yang beriman dan beramal sholeh serta menghiasi diri dengan kesabaran.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ

Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Qashash:80)

Bagi mereka kenikmatan dunia tidak da artinya bila akhirnya kelak tidak mendapatkan pahala dan kerelaan Allah Swt.

Inilah dua kelompok yang berbeda ketika melihat gemilau kekayaan dunia. Di satu sisi hanya berharap dunia dan di sisi lain hanya mengharapkan kerelaan Allah Swt.

Ketika Allah menghancurkan semua kekayaan Qarun dengan sekejap mata, kelompok pertama baru menyadari bahwa dunia ini hanya sementara dan akan segera sirna. Semua adalah pemberian Allah dan kapanpun dengan mudah Allah akan mencabutnya.

فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٖ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُنتَصِرِينَ – وَأَصۡبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوۡاْ مَكَانَهُۥ بِٱلۡأَمۡسِ يَقُولُونَ وَيۡكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُۖ لَوۡلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا لَخَسَفَ بِنَاۖ وَيۡكَأَنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

Maka Kami benamkan dia (Karun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri. Dan orang-orang yang mendambakan kedudukannya (Karun) itu berkata, “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya).

Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS.Al-Qashash:81)

Dan akhir dari kisah Qarun dalam Surat Qashas ini, pada ayat 83 Allah mengakhiri kisah ini dengan Firman-Nya.

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Qashash:82-83)

Akhirat bukanlah tempat bagi mereka yang sombong dan berbuat durjana. Karena akhir yang baik hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa.

Dari kisah ini, kita bisa melihat dimana posisi kita. Apakah kita termasuk orang-orang yang silau dengan dunia dan hanya sibuk untuk mengejarnya ?

Memang kita tidak dilarang untuk mencari dunia, namun jangan sampai pikiran kita hanya disibukkan oleh dunia sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Jangan sampai kita menghalalkan segala cara untuk mengerjarnya.

Ingatlah bahwa pahala dan kerelaan Allah serta Surga-Nya jauh lebih baik dari semua kemilau keindahan dunia.

ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ

“Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Qashash:80)

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Waspada, 7 Dosa Sebab Pengharaman dari Masuk Surga

Setiap insan yang berakal pasti ingin selalu bahagia. Tak terkecuali bagi seorang muslim. Dia selalu berharap bahwa kebahagiaannya tidak hanya di dunia, tapi bersambung sampai kepada kehidupan akhirat yang abadi, alias masuk di surga Allah Ta’ala, yang luasnya seluas langit dan bumi.

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Ali Imran: 133)

Namun keinginan masuk surga saja ternyata belum cukup, setiap orang harus berusaha untuk bisa masuk ke dalamnya dan usaha itu harus dilakukan dengan perjuangan dan kesungguhan, dimulai sekarang dalam kehidupan di dunia ini.

Diantara usaha yang dapat dilakukan dalam kehidupan di dunia ini agar bisa masuk ke dalam surga adalah dilepaskan atau dibuangnya berbagai penghalang dan sebab tercegahnya menuju surga Allah Ta’ala Yang Maha Luas rahmat-Nya. Sebab pengharaman bagi seseorang dari masuk surga benar-benar harus disingkirkan. Maka dosa-dosa yang kami akan sebutkan ini, harus diwaspadai dan ditinggalkan, karena sangat jelas akan menyebabkan diharamkannya surga pagi para pelakunya, di antaranya;

1. Dosa Syirik

Dosa Syirik kepada Allah Ta’ala yaitu berkeyakinan, atau menganggap atau menjadikan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan), ini merupakan syirik besar sehingga pelakunya dinyatakan kafir, keluar dari Islam alias murtad dan seandainya sebelum itu dia melakukan amal yang shaleh, maka terhapuslah nilai amalnya itu, dan sia-sia belaka.

Allah Ta’ala berfirman;

لقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِالله فَقَدْ حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih sendiri berkata: Hai bani israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolongpun”
(QS. Al Maidah/5: 72).

2. Dosa Bunuh Diri

Bunuh diri bagaimanapun caranya bukanlah solusi untuk menghadapi kemelut kehidupan dan bukan juga sebuah jalan pintas, perbuatan ini adalah dosa yang sangat besar dalam Islam, yang pelakunya mendapatkan ancaman terhalang dari surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكيناً فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات . قال الله تعالى : بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: “Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga”
(HR. Bukhari, no. 3463, Muslim, no. 113).

3. Dosa Memutus Silaturahim (Tali Persaudaraan Keluarga)

Para ulama sepakat bahwa menyambung silaturahim, hubungan kekerabatan adalah wajib hukumnya. Maka siapa saja yang memutus tali persaudaraan (hubungan rahim) mendapatkan ancaman dari terhalangnya masuk surga.

Dari sahabat mulia Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

وَإِنَّ هَذِهِ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ قَطَعَهَا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“… Dan sesungguhnya rahim itu diambil dari nama Allah ‘Ar Rahman’, barangsiapa yang memutuskan hubungan rahim (kekerabatan), maka Allah Mengharamkan surga baginya.” 
(HR. Ahmad, 1/ 190, no. 1651, Syaikh Syu’aib Al Arnaut berkata, Isnad haditsnya shahih)

4. Dosa Mengambil Harta Orang Lain Tanpa Hak

Mengambil harta orang lain tanpa hak banyak macamnya, semisal mencuri, makan harta anak yatim, meminjam harta dengan niat tidak dikembalikan dan lainnya, semuanya mendapatkan ancaman dari terhalang masuk surga.

Dari sahabat mulia Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ الله لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ الله قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).”
(HR. Muslim, 1/122)

5. Dosa Menisbatkan Diri Kepada Bukan Ayahnya

Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Misalkan saja, seorang anak hanya boleh menisbatkan diri kepada ayah kandung yang sah secara pernikahan syar’i, sebaliknya yang mencari jalan selain ini, maka baginya ancaman besar.

Dari sahabat mulia Sa’ad radhiallahu ‘anhu, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa yang menisbatkan diri kepada selain ayah kandungnya (secara syar’i), sedangkan dia tahu bahwa ayah itu bukan ayahnya, maka haram baginya mendapatkan surga”
(HR. Bukhari, no. 6766)

6. Dosa Membunuh Kafir Mu’ahad (non muslim yang memiliki akad perjanjian)

Kafir Mu’ahad yakni orang yang memiliki perjanjian (terikat perjanjian damai, perjanjian dagang atau selainnya) dengan kaum Muslimin yang berada atau bertugas di negeri kaum Muslimin tidak boleh disakiti, selama mereka menjalankan kewajiban dan perjanjiannya. Membunuh mereka akan menghalangi dari masuk surga.

Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad tanpa haknya, maka Allah Ta’ala mengharamkan surga baginya”
(HR. Abu Daud, no. 2760, Ahmad, no. 20377, dan lainnya, Isnadnya shahih menurut Syaikh Syu’aib Al Arnaut)

7. Dosa Penguasa Berbuat Curang Kepada Rakyatnya

Dari Ma’qil Bin Yasar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّة

“Tidaklah seorang penguasa (yang diberi amanah oleh Allah) yang memimpin bawahannya dari kaum muslimin, pada saat meninggal, ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya.”
(HR. Bukhari, no. 7150 & Muslim, no. 142)

Perbuatan dosa ini mencakup semua orang yang mempunyai kriteria seperti tersebut dalam hadits. Yaitu Allah Ta’ala memberinya wewenang untuk mengatur rakyat, baik itu kepemimpinan dalam skala besar (imamah uzhma; yaitu penguasa negara) ataupun dalam skala yang lebih kecil, semisal pemimpin perusahaan, kepala dusun, dll.

Catatan Penting

Aqidah kaum muslimin ahlus sunnah meyakini bahwa seorang muslim yang terjerumus dalam maksiat dan dosa besar, tidaklah keluar dari Islam (tidak kafir), akan tetapi dia adalah seorang muslim yang kurang keimanannya. Maka dia adalah seorang mukmin dengan keimanan yang ada dalam hatinya, namun dia adalah orang fasik dengan dosa besar yang ada pada dirinya.
Namun, semua itu harus memenuhi tiga syarat:

(1) dosa besar tersebut bukanlah dosa kemusyrikan atau kekafiran akbar;
(2) dia tidak meyakini halalnya perbuatan dosa tersebut; dan
(3) dia tidak melakukan pembatal Islam jenis yang lainnya.

Adapun urusan dia di akhirat, dia tergantung pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Yang Maha Kuasa menghendaki, Allah Yang Maha Pengampun akan mengampuninya. Namun jika Allah Ta’ala menghendaki, dia akan dihukum sampai bersih dari dosa-dosanya, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Mereka inilah yang disebut mantan penghuni neraka oleh penduduk surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بَعْدَ مَا مَسَّهُمْ مِنْهَا سَفْعٌ، فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، فَيُسَمِّيهِمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ: الْجَهَنَّمِيِّينَ

“Akan keluar dari neraka suatu kaum setelah mereka di bakar dalam neraka, kemudian mereka akan masuk ke dalam surga. Penduduk surga menamakan mereka dengan Jahannamiyyun {mantan penghuni neraka yang kemudian masuk surga}”
(HR. Bukhari, no. 6559).

Tidaklah kekal di neraka kecuali orang-orang yang kafir kepada Allah Ta’ala atau berbuat kemusyrikan syirik akbar (syirik besar).

Referensi: Risalah Prof. Fahmi Ahmad Al Qozzaz, ومن يحرم على الجنة؟,

Wallahu Ta’ala A’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Rabu, 03 Rabiul Akhir 1442 H / 18 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM