Niat Puasa Syawal 6 Hari

Puasa enam hari Syawal merupakan amalan sunnah yang memiliki keutamaan besar, yaitu pahalanya setara dengan berpuasa setahun penuh. Keutamaan ini hanya diperoleh bagi yang telah berpuasa Ramadhan secara penuh. Nah berikut niat puasa Syawal 6 hari.

Simak penjelasan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarah al-Minhaj, Jilid III, halaman 209;

( و ) صوم ( ستة من شوال ) لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم { من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر } وقوله { صيام رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة } أي كصيامها فرضا وإلا فلا يختص ذلك بصوم رمضان وستة من شوال لأن الحسنة بعشرة أمثالها ، وقضية كلام التنبيه وكثيرين أن من لم يصم رمضان لعذر أو سفر أو صبا أو جنون أو كفر لا يسن له صوم ستة من شوال

Artinya; “Dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang sahih: “Siapa yang berpuasa Ramadhan dan kemudian dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka (pahala) bagaikan berpuasa setahun penuh.” Dan sabdanya: “Puasa Ramadhan itu (setara) dengan sepuluh bulan, dan puasa enam hari (setara) dengan dua bulan, maka (jumlahnya) menjadi puasa setahun.” Maksudnya, seperti berpuasa setahun penuh secara wajib.

Namun, hal ini tidak hanya khusus untuk puasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawal. Karena setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Berdasarkan penjelasan kitab “At-Tanbih” dan banyak ulama lainnya, bagi orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur, bepergian, masih anak-anak, gila, atau kafir, tidak disunnahkan untuk mereka berpuasa enam hari di bulan Syawal,”.

Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda bahwa pahala orang yang melakukan puasa Ramadhan dan enam hari di bulan Syawal sama dengan pahala puasa sepanjang tahun. Nabi bersabda;

حدثنا أبو معاوية ثنا سعد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن أبي أيوب الأنصاري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال فذلك صيام الدهر

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, Telah menceritakan kepada kami Sa’ad bin Sa’id, dari ‘Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dilanjutkan enam hari dibulan Syawwal, terhitung puasa sepanjang masa,”. (HR. Ahmad No. 23580).

Niat Puasa Syawal 6 Hari

Puasa Syawal, termasuk dalam kategori puasa sunnah, memiliki keutamaan yang setara dengan berpuasa selama setahun penuh. Namun, berbeda dengan puasa wajib Ramadhan, niat puasa Syawal tidak harus dilakukan di malam hari atau sebelum terbit fajar.

Sejatinya, niat puasa Syawal dapat dilakukan ketika siang hari, selama matahari belum tergelincir di siang hari. Hal ini memberikan kemudahan bagi umat Islam yang ingin melaksanakan puasa Syawal, karena mereka tidak perlu terburu-buru untuk berniat di malam hari.

Meskipun demikian, dianjurkan untuk melakukan niat puasa Syawal di awal waktu, yaitu sebelum terbit fajar. Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW untuk melakukan segala amalan kebaikan di awal waktu.

Nah, bagi yang ingin menjalankan puasa sunnah Syawal, niat bisa dilafalkan pada malam hari sebelum berpuasa. Berikut lafal niat puasa Syawal untuk malam hari:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah ta’ala.”

Sementara itu, bagi orang yang baru bisa melaksanakan niat siang hari, berikut lafadznya:

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلّٰهِ تَعَالَى



Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ

Artinya; “Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah ta’ala”.

BINCANG SYARIAH

Apakah Boleh Puasa Tanggal 11 Muharram?

Apakah boleh puasa tanggal 11 Muharram? Tema ini perlu dibahas lantaran masih adanya perdebatan antar ulama terkait kesunnahan berpuasa di tanggal 11 Muharram. 

Perdebatan ini muncul dari perintah Nabi untuk berbeda dengan kaum Yahudi waktu itu yang juga berpuasa pada tanggal sepuluh. Beliau kemudian menganjurkan kepada umat Islam agar supaya berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya.

Adapun hadist yang menerangkan kesunnahan puasa pada tanggal 9 dan 10 atau hari Tasuah. Di dalam literatur kitab fikih banyak sekali penjelasan mengenai hukum kesunnahan berpuasa di tanggal 11 Muharram. Namun, kesunnahan ini berlaku kepada orang yang tidak sempat untuk berpuasa pada hari tasuah atau tanggal 9. Hal ini sebagaimana keterangan yang termaktub dalam kitab Fathul Mu`in;

‌والحكمة: ‌مخالفة ‌اليهود، ومن ثم سن لمن لم يصمه: صوم الحادي عشر، بل إن صامه، لخبر فيه.

Artinya; “Adapun hikmahnya adalah berbeda dengan umat Yahudi, maka dari itu disunnahkan untuk berpuasa tanggal 11 sekalipun berpuasa juga di tanggal  9, sebagaimana berdasarkan hadist.”

Keterangan serupa juga dijumpai di dalam kitab I`anatut Thalibin;

(و) لذا يسنّ صوم (الحادي عشر منه)؛ لحصول الاحتياط به كالتاسع، 

Artinya; “Oleh karena itu disunnahkan juga puasa tanggal 11 karena mewujudkan kehati-hatian sebagaimana tanggal  9.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka disimpulkan bahwa jawaban apakah boleh puasa tanggal 11 Muharram? Ulama mengatakan hukum berpuasa pada tanggal 11 juga disunnahkan, sebagaimana berpuasa pada tanggal 9 hari Tasu`ah karena tujuan dari berpuasa pada dua tanggal tersebut sebagai pembeda dengan puasa umat Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 atau hari Asyura

Sebagaimana hadist riwayat Imam Ahmad;

صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا اليهود، وصوموا قبله يوما، وبعده يوما

Artinya; “Berpuasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan umat Yahudi, dan berpuasalah sebelum hari Asyura dan setelahnya.” (HR. Ahmad).

Dan untuk anggapan bahwa hadist anjuran puasa di tanggal 11 merupakan hadist Dhaif</span></i><span style="font-weight: 400;">  bisa ditentang dengan ijma’ ulama bahwa boleh mengamalkan hadist </span><i><span style="font-weight: 400;">dhaif</span></i><span style="font-weight: 400;"> dalam </span><i><span style="font-weight: 400;">Fadhail amal atau untuk keutamaan amal.

Demikian penjelasan mengenai apakah boleh Puasa tanggal 11 Muharram?. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Hadits: Puasa Asyura di Bulan Muharram adalah Sebaik-baik Puasa

Muharram disebut syahrullah yaitu bulan Allah, karena di dalamnya ada puasa Asyura

DARI Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda, tentang kemuliaan bulan Muharram yang dijuluki “sahrullah” (bulan Allah), yang di dalamnya ada puasa Asyura.

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163).

Muharram disebut syahrullah yaitu bulan Allah, itu menunjukkan kemuliaan bulan tersebut. Ath-Thibiy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan puasa di syahrullah yaitu puasa Asyura. Sedangkan Al-Qori mengatakan bahwa hadits di atas yang dimaksudkan adalah seluruh bulan Muharram. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 2: 532).

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling afdhol untuk berpuasa. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 50). Sedang Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).” (lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa di bulan Muharram secara umum, termasuk di dalamnya adalah puasa Asyura.*

HIDAYATULLAH

Keutamaan Puasa Bulan Muharram 

Berikut ini keutamaan puasa bulan Muharram. Bulan Muharram disebut juga sebagai syahrullah (bulannya Allah). Hal ini menunjukkan betapa mulianya bulan Muharram. Karena mulianya bulan ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan beberapa hal sebagai kesunnahan. 

Salah satunya adalah berpuasa di bulan yang mulia tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang disebutkan oleh ash- Shan’ani di dalam kitab Fath al-Ghaffār al-Jāmi’ liahkām Sunnah Nabiyyinā al-Mukhtār juz. 2, hal. 909, No. 2818:

عن أبي هريرة أن النبي – صلى الله عليه وسلم – سئل أي الصيام بعد رمضان أفضل، قال: ‌شهر ‌الله المحرم

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya, puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullah bersabda, puasa pada bulan Allah, yakni Muharram”.

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa bulan Muharram adalah waktu yang paling utama untuk melakukan puasa sunnah. Menurut Imam as-Suyuthi di dalam kitab Syarah al-Suyūthi ‘ala Muslim juz. 3, hal. 252, puasa di bulan muharram menjadi puasa (sunnah) yang paling utama karena Muharram adalah awal permulaan tahun. 

Sehingga ketika seseorang membuka lembaran barunya di awal tahun dengan berpuasa maka ia telah membuka awal tahunnya dengan pekerjaan yang paling afdhal. Karena puasa adalah paling utamanya amal.

Selain dari keutamaan yang disebutkan di dalam hadits tersebut, ada pula keutamaan lain ketika seseorang melakukan puasa di bulan Muharram. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, pada bulan Muharram ada satu hari di mana dosa diampuni. Sebagaimana sabda Rasulullah yang disebutkan oleh Ibn Syaibah di dalam kitab al-Kitāb al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al-Atsār juz. 2, hal. 300, No. 9223:

«إِنْ كُنْتَ صَائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ فَإِنَّهُ شَهْرُ اللَّهِ، وَفِيهِ يَوْمٌ تَابَ فِيهِ قَوْمٌ، وَيُتَابُ فِيهِ عَلَى آخَرِينَ»

“Jika kamu melakukan puasa sebulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah di bulan Muharram. Karena sesungguhnya Muharram adalah bulannya Allah. Dan pada bulan tersebut terdapat satu hari di mana Allah telah menerima taubatnya satu kaum dan akan menerima taubat kaum yang lain”.

Kedua, puasa di bulan Muharram setara dengan berpuasa 30 hari pada selain asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Sebagaimana hadis yang dikutip oleh Syekh Ali al-Kalantany di dalam kitab Sīru al-Sālikīn fī Tharīqah al-Sādāt al-Shūfiyyah juz. 1 hal. 137:

صومُ يومٍ مِنْ شهر حرام افضل من ثلاثين من غَيرهِ وصوم يوم من رمضانَ افضلُ من ثلاثين من شهرٍ حرامٍ

“Puasa satu hari di bulan haram lebih mulia dari pada puasa 30 hari di selain bulan haram. Dan puasa satu hari di bulan Ramadan lebih utama daripada puasa 30 hari di bulan haram”.

Ketiga, Rasulullah SAW senantiasa melakukan puasa pada asyhurulhurum yang salah satunya adalah bulan Muharram. Sebagaimana riwayat dari Abu Dawud yang disebutkan di dalam kitab Fiqh al-Shiyām wa al-Hajj min Dalīl al-Thālib juz. 8, hal. 7:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصوم الأشهر الحرم

“Sesungguhnya Rasulullah SAW sering melakukan puasa pada asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab)”.

Demikianlah beberapa keutamaan yang ada di balik melakukan puasa pada bulan Muharram. Selain beberapa keutamaan ini tentu masih banyak keutamaan lain yang akan diberikan kepada orang yang melakukan puasa. Karena puasa sendiri adalah salah satu ibadah yang pahalanya Allah sendiri yang mengetahui kelipatan ganjarannya. 

Demikian penjelasan terkait keutamaan puasa Bulan Muharram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kapan Waktu yang Tepat untuk Puasa Syawal?

Puasa Syawal adalah puasa sunnah yang dilakukan pada bulan Syawal, yaitu bulan setelah Ramadlan. Lantas kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal?

Tak bisa dipungkiri, puasa Syawal merupakan puasa sunnah yang banyak digemari oleh umat muslim, dikarenakan mereka sudah terbiasa berpuasa di bulan sebelumnya. Hingga menganggap puasa ini sebagai puasa lanjutan dari puasa Ramadlan.

 عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه :

Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu menjadi penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya].

Pelaksanaan bisa dimulai dari setelah hari raya Idul Fitri, yaitu 2 Syawal. Dan berakhir pada akhir bulan Syawal. Berdasarkan hadits tersebut, puasa Syawal dilakukan selama enam hari. Enam hari tersebut dilakukan selama bulan Syawal, tidak berlaku pada bulan setelah Syawal.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut sehari setelah Idul Fitri.

Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan. Karena seperti itu pun disebut menjalankan puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan.

Begitupun dengan Syaikh Muhammad bin rasyid Al-Ghafily yang menyebutkan senada dengan keterangan di atas. Beliau menyebutkan bahwa yang lebih utama adalah memulai puasa Syawal sehari setelah Idul Fithri.

Ini demi kesempurnaan dan menggapai keutamaan. Hal ini supaya mendapatkan keutamaan puasa segera mungkin sebagaimana disebutkan dalam dalil sebelumnya. Namun, sah-sah saja puasa Syawal tidak dilakukan di awal-awal bulan Syawal karena menimbang mashalat yang lebih besar.

Allah Ta’ala pun berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dari berbagai keterangan di atas, para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan jika permulaan waktu untuk puasa Syawal adalah pada tanggal 2 Syawal, yaitu hari setelah perayaan Idul Fitri. Tidak harus di tanggal 2 Syawal, melainkan ini merupakan hari pertama diperbolehkannya melaksanakan puasa sunnah Syawal.

Adapun batas akhirnya adalah pada akhir bulan Syawal. Jadi bagi siapa yang belum bisa melakukan lansung dari setelah hari raya Idu Fitri, ia masih ada kesempatan berpuasa hingga akhir bulan Syawal.

Demikian penjelasan kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Aturan Berpuasa di Bulan Syaban

Puasa Syaban melatih diri terbiasa menahan lapar, haus, dan mengendalikan nafsu.

Rasulullah ﷺ senantiasa memperbanyak puasa selama di bulan Sya’ban. Namun tidak dianjurkan seseorang berpuasa selama sebulan penuh selama Sya’ban.

“Puasa di bulan Syaban. Apakah setiap hari? Tidak boleh, Rasulullah ﷺ tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Jadi silahkan berpuasa Senin-Kamis, puasa 15 hari lanjut full,” kata Pendakwah lulusan Universitas Islam Madinah, Ustadz Syafiq Riza Basalamah melalui siaran Youtube resminya. 

Ustadz Syafiq melanjutkan, hanya saja hukumnya makruh bagi orang yang berpuasa setelah 15 Sya’ban. Padahal dia tidak pernah berpuasa sebelumnya. Ustadz Syafiq mengatakan, diusahakan berpuasa di awal Sya’ban, namun apabila ingin berpuasa setelah tanggal 15 dibolehkan, hanya saja sebagian ulama memakruhkan hal itu.

“Yang tidak boleh berpuasa pada hari yang diragukan, umpamanya ini hari tanggal 29, besok 30 orang ribut ada yang mengatakan besok 1 Ramadhan, lalu berpuasa dengan harapan kalau besok Ramadhan ana puasa ramadhan, kalau gak sunnah. Ini hari yang diragukan, dperselisihkan. Kalau biasa puasa hari Senin puasa mau hari ini tanggal 29, 30, ana Senin biasa puasa, silahkan puasa, karena puasa Seninnya,” ucap Ustadz Syafiq.

Adapun Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,

وما رأَيتُ رسولَ اللهِ استكمَلَ صيامَ شهرٍ قطُّ إلَّا رَمَضانَ، وما رأيتُه أكثرَ صيامًا منه في شعبانَ

“Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah ﷺ berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah mengetahui beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hikmah memperbanyak puasa

Hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dijelaskan dalam hadits yang lain. Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu Anhu berkata:

قلتُ يا رسولَ اللهِ لم أرَك تصومُ من شهر من الشُّهورِ ما تصومُ من شعبانَ قال ذاك شهرٌ يغفَلُ النَّاسُ عنه بين رجبَ ورمضانَ وهو شهرٌ تُرفعُ فيه الأعمالُ إلى ربِّ العالمين فأُحِبُّ أن يُرفعَ عملي وأنا صائمٌ

“Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa di bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban (karena seringnya)?’ Beliau menjawab, ‘Bulan itu banyak manusia lalai, yaitu antara Rajab dan Ramadhan, bulan diangkat amal-amal kepada Rabb semesta alam, dan saya ingin untuk diangkat amalku dalam keadaan puasa.’” (HR Nasai dan Ahmad).

Hikmah lainnya adalah untuk persiapan bagi bulan Ramadhan agar hati dan badan siap untuk menyambutnya dengan kesegaran guna menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

ISLAM DIGEST

Istri Hendak Puasa Dzulhijjah 9 Hari, Apakah Harus Izin Suami?

Istri Hendak Puasa Dzulhijjah 9 Hari, Apakah Harus Izin Suami Dulu? Pasalnya, Ketika memasuki bulan Dzulhijjah, banyak di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang berstatus sebagai suami atau istri.

Mereka berpuasa terkadang tidak hanya di hari Tarwiyah dan hari Arafah saja, melainkan selama 9 hari sejak awal Dzulhijjah. Jika andaikan seorang istri hendak berpuasa Dzulhijjah selama 9 hari, apakah dia harus minta izin suami terlebih dahulu?

Hukum Istri Hendak Puasa Dzulhijjah 9 Hari

Menurut ulama Syafi’iyah, ketika seorang istri hendak melakukan puasa sunnah yang hanya terjadi sekali dalam setahun, misalnya puasa Dzulhijjah, maka dia boleh melakukannya tanpa harus minta izin suaminya terlebih dahulu.

Tidak masalah baginya melakukan puasa Dzulhijjah hingga 9 hari meskipun tanpa minta izin pada suaminya terlebih dahulu. Puasanya tetap dinilai sah dan tidak haram. Hal ini karena puasa 9 hari bulan Dzulhijjah tidak termasuk puasa sunnah yang harus minta izin suami terlebih dulu saat istri hendak melakukannya.

Menurut ulama Syafiiyah, puasa sunnah 9 hari bulan Dzulhijjah hanya terjadi sekali dalam setahun sehingga jika seorang istri hendak melakukannya, maka dia tidak perlu minta izin pada suaminya.

Meski tidak harus minta izin suami terlebih dahulu. Namun jika ada larangan jelas dari suaminya agar jangan berpuasa Dzulhijjah 9 hari kerena terlalu lama misalnya, maka seorang istri harus mengikuti perintah suaminya. Ini karena mengikuti perintah suami termasuk bagian ibadah yang juga bernilai pahala dalam Islam.

Ini sebagaimana dalam kitab Hasyiatul Jamal berikut;

أما ما لا يتكرر كعرفة وعاشوراء فلها صومها إلا إن منعها

Hukum Istri Hendak Puasa Sunnah yang Tak Berulang-ulang

Adapun puasa sunnah yang tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah dan Asyura, maka istri boleh mempuasainya kecuali jika suaminya melarangnya.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juga disebutkan sebagai berikut;

 ولو صامت المرأة بغير إذن زوجها صح مع الحرمة عند جمهور الفقهاء ، والكراهة التحريمية عند الحنفية ، إلا أن الشافعية خصوا الحرمة بما يتكرر صومه ، أما ما لا يتكرر صومه كعرفة وعاشوراء وستة من شوال فلها صومها بغير إذنه ، إلا إن منعها

Jika seorang istri menjalankan puasa tanpa izin suaminya, maka puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat kebanyakan ulama fiqih.

Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Hanya saja ulama Syafi’iyah mengkhususkan keharaman jika puasa tersebut terjadi berulang kali.

Adapun jika puasa tersebut tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal. Maka dia boleh melakukannya tanpa izin suaminya, kecuali jika memang suaminya melarangnya.

Demikian penjelasan hukum istri hendak puasa Dzulhijjah 9 hari, apakah harus izin suami dulu? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Berapa Hari Kita Disunnahkan Puasa Rajab?

Kesunnahan puasa di bulan rajab telah dirumuskan oleh para dalam beberapa kitab fiqih klasik. Semuanya hampir sepakat mengenai anjuran berpuasa sunnah di bulan rajab dengan berdasarkan dalil-dalil dan argumen yang Sharih (jelas) dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pada tulisan sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa kesunahan puasa Rajab ditetapkan berdasarkan beberapa hadis Nabi. Yang di antaranya adalah hadis riwayat Abi Dawud sebagai berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Diriwayatkan dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/ kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘Siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku Al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’ Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa). Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya’. (HR Abu Dawud).

Menanggapi bagian akhir teks hadis di atas, Syaikh Abu Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud mengemukakan pendapat,

أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ

Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia, apa yang engkau kehendaki. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukkan bahwa Al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya Al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh As-Sindi. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz 6 hal. 58)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami, Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya Al-Bahili berpuasa di bulan-bulan mulia termasuk Rajab hendaknya tidak dilakukan secara terus-menerus. Namun, diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka (tidak berpuasa). Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Akan tetapi, petunjuk Nabi di atas bersifat kasuistik. Petunjuk Nabi berpuasa Rajab di atas diarahkan bagi orang yang keberatan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab. Sedangkan bagi seseorang yang kuat untuk berpuasa Rajab melebihi petunjuk Nabi di atas, maka hal tersebut adalah lebih baik baginya, karena dalam satu bulan penuh di bulan Rajab semuanya baik untuk dipuasai. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menegaskan,

 قال الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ لِأَنَّهُ كان يَشُقُّ عليه إكْثَارُ الصَّوْمِ كما ذَكَره في أَوَّلِ الحديث فَأَمَّا من لَا يَشُقّ عليه فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ

Ulama berpendapat, Nabi memerintahkan Al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits. Sedangkan bagi orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, juz 2 hal. 53)

Walhasil, berpuasa Rajab tidak ada batasan berapa hari yang baik untuk dipuasai. Namun menyesuaikan dengan batas kemampuan setiap orang. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu, dua minggu, atau bahkan satu bulan penuh.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam…

BINCANG MUSLIMAH

Hukum Puasa Sunnah pada Hari Sabtu

Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu. Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan berikut bisa menjawab keraguan yang ada.

Larangan Puasa Hari Sabtu

Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.[1] Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh (telah dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu

Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad.

Dari Ummu Salamah, ia berkata,

كان أكثر صومه السبت و الأحد و يقول : هما يوما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.[2]

Kedua: Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berpuasa pada hari Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الجمعة إلا بيوم قبله أو يوم بعده .

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.”[4] Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.

Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.[5]

Dari hadits yang begitu banyak (mutawatir), Al Atsrom membolehkan berpuasa pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.[6]

Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini syadz, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.[7]

Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikutkan dengan hari sebelumnya.[8]

Kesimpulan:

  1. Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.
  2. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.[9]

Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.

Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.

Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.

Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.

Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .

Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-[11]

Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu

Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai Ketua.[12]

Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

MUSLIM orid


[1] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 960. Mengenai perselisihan pendapat mengenai hadits ini akan kami singgung insya Allah.

[2] Shahih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir, no. 8934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 1986.

[4] HR. Ibnu Majah no. 1723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/73-75, ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql.

[6] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/75.

[7] Idem

[8] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/76.

[9] Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.

[10] HR. Bukhari no. 1986.

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

[12] Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 11747, juz 10, hal. 397, Mawqi’ Al Ifta’

Jadwal Puasa Sunnah Bulan Muharram, Ayo Panen Pahalanya!

Puasa di hari Asyura pada bulan Muharram bisa menggugurkan dosa selama satu tahun.

Bulan Muharram memiliki keistimewaan karena di dalamnya ada hari penting agar umat Muslim dianjurkan berpuasa yakni pada hari Asyura. Fadilah yang didapatkan bagi seorang Muslim yang Puasa Asyura sangat besar karena keutamaannya dapat menggugurkan dosa selama setahun.

Seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah RA, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Puasa di hari Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu,” (H.R. Abu Daud).

Berikut jadwal puasa sunnah di Bulan Muharram:

1. Kamis, 8 Muharram/ 27 Agustus : Puasa Kamis
2. Jumat, 9 Muharram/ 28 Agustus: Puasa Tasu’a
3. Sabtu, 10 Muharram/ 29 Agustus: Puasa ‘Asyura
4. Ahad, 11 Muharram/ 30 Agustus: Puasa Setelah ‘Asyura
5. Senin, 12 Muharram/ 31 Agustus: Puasa Senin
6. Selasa, 13 Muharram/ 1 September: Puasa Ayamul Bidh
7. Rabu, 14 Muharram/ 2 September: Puasa Ayamul Bidh
8. Kamis, 15 Muharram/ 3 September: Puasa Ayamul Bidh & Puasa Kamis.

KHAZANAH REPUBLIKA