Penegakkan Hukum di Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dewasa ini, kita bisa menyaksikan bersama ketika hukum ditegakkan di negeri ini. Ketika orang-orang yang memiliki harta, kekuasaan, dan jabatan melakukan suatu pelanggaran hukum, mereka pun diproses seperti warga negara biasa lainnya. Hal ini tentu patut kita syukuri. Memang demikianlah kewajiban penguasa (pemerintah), yaitu menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pejabat atau rakyat biasa. Kalau kita melihat sejarah, maka penegakkan hukum seperti ini telah dicontohkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi pemimpin negara.

Riba yang Pertama Kali Dihapus adalah Riba ‘Abbas bin Abdul Muthollib

Praktik-praktik riba banyak dilakukan oleh masyarakat musyrik jahiliyyah sampai datanglah firman Allah Ta’ala yang mengharamkan praktek riba,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Orang-orang yang terlanjur bertransaksi dengan sistem riba (misalnya dia memberikan pinjaman dengan bunga tertentu), maka wajib bagi orang tersebut untuk menggugurkan transaksi ribanya, tidak boleh lagi mengambil riba. Hal ini ditegaskan oleh lanjutan ayat di atas yaitu,

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan). Dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]: 275).

Maksudnya, riba yang terlanjur diambil sebelum turunnya larangan, maka itu untuknya (tidak perlu dikembalikan) karena Allah Ta’ala mengampuni apa yang telah lewat, namun setelah turunnya larangan ini dan seseorang masih memiliki perjanjian riba, maka dia tidak boleh lagi mengambil harta riba tersebut. Artinya, dia wajib menggugurkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengumumkan ketika haji wada’ (haji terakhir nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) bahwa riba jahiliyyah telah dihapus (dilarang) sampai hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

“Sesungguhnya seluruh riba jahiliyyah telah dihapus. Bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak boleh mendzalimi dan tidak pula didzalimi” (HR. Abu Dawud no. 3336. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka muncul pertanyaan pada masyarakat Arab jahiliyyah waktu itu,Apakah kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan praktik riba juga wajib menggugurkan riba?” Hal ini karena di antara kerabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ada yang melakukan praktik (transaksi) riba. Pertanyaan masyarakat Arab jahiliyyah itu dijawab dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi sendiri, pen.)Maka riba jahiliyyah dihapus seluruhnya”  (HR. Abu Dawud no. 1907. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali menerapkan aturan pada kerabatnya sendiri. Berbeda dengan penguasa pada hari ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga dapat berbuat semaunya sendiri.  Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan pertama kali adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri). Maka riba ‘Abbas dihapus seluruhnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907, Maktabah Asy-Syamilah).

Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan aturan haramnya riba dimulai dari paman beliau sendiri, yaitu ‘Abbas bin Abdul Muthallib.

Jika Fatimah binti Muhammad Mencuri, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Sendiri yang Akan Memotong Tangannya

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, ”Inilah keadilan”.  Inilah penegakkan hukum Allah, yaitu bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu. Rasulullah bersumpah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri –dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum tersebut karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga- maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.”

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).

Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.

Artikel Muslim.Or.Id

Adab Islami Mengkritik Pemerintah di Tengah Pandemi Wabah

Islam memberikan panduan tata cara bijak mengkritik pemerintah.

Momentum Ramadhan dengan berdiam diri di rumah digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan sampai menjadi momen untuk mencela keadaan, terlebih mencela kebijakan pemerintah di medsos. Sebab syariat menekankan tata krama yang baik dalam mengkritik pemerintah.

Salah satu tata kramanya adalah dengan tidak mencela atau mengkritik pemerintah dengan penyampaian yang disebarkan di khalayak umum (‘alaniyah). Hal demikian seperti disampaikan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِى سُلْطَانٍ فَلاَ يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلاَنِيَةً  

“Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka jangan disampaikan secara terbuka” (HR Hakim)

Mengkritik pemerintah melalui media sosial tentu tergolong larangan mengkritik secara terbuka dalam hadis di atas, sebab dapat diketahui masyarakat secara luas, hingga berakibat runtuhnya kewibawaan pemerintah, dan hal demikian jelas merupakan larangan dalam Agama Islam. 

Kritik yang baik adalah dengan disampaikan secara tertutup dan langsung tertuju pada kebijakan pemerintah, tanpa perlu mencela dan mencaci orang yang menerapkan kebijakan. Dengan begitu kritik dan masukan dapat dinilai secara maksimal oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan prinsip kemaslahatan masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah tentang larangan mudik di tengan pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini. Kebijakan demikian tentunya sudah berdasarkan pertimbangan dan penilaian yang sangat akurat dan terukur.

Mudik di tengah tersebarnya wabah selain merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat juga merupakan hal yang tidak etis dilakukan.

Imam As-sya’roni dalam kitabnya, Lathaif al-Minan menjelaskan pendapat gurunya, Syekh ‘Ali al-Khawwas dalam menerangkan orang yang tetap bepergian pada saat terjadinya wabah:

من ضحك أو جامع زوجته أو لبس ثوبا مبخرا أو ذهب إلى موضع التنزهات أيام نزول البلاء على المسلمين, فهو والبهائم سواء

“Orang yang tertawa, bersetubuh dengan istrinya, mengenakan baju yang dipenuhi wewangian, atau berkunjung ke tempat hiburan pada saat turunnya wabah pada umat Islam, maka dia dan binatang tidak ada bedanya” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 350)

Bersilaturrahmi pada keluarga di kampung sudah cukup dilakukan dengan cara video call atau dengan mengirimkan pesan dan pemberian hadiah kepada mereka, tanpa perlu menemui secara langsung.

Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mudik sudah selayaknya didukung dengan kesadaran penuh, tanpa perlu mencela dan mengkritik yang tidak ada manfaatnya.

Sudah selayaknya kita apresiasi dan kita hargai keputusan pemerintah dalam rangka kewajiban taat kepada imam yang merupakan ajaran dalam syariat Islam. Patutlah kita mencontoh adab Imam as-Sya’roni dalam menghormati kebijakan pemerintah dengan senantiasa husnudzan bahwa kebijakan yang dipilih pemerintah adalah kebijakan yang paling baik dan ideal daripada pandangan pribadi dirinya atau rakyat secara umum. Berikut penjelasan beliau:

ومما من الله تبارك وتعالى به علي أدبي مع قضاة هذا الزمان كبارا وصغارا ولا أقول بيطلان أحكامهم في العقود والوثائق كما يقع فيه بعضهم بل أرى عقودهم وأنكحتهم صحيحة أدبا مع أئمة الدين القائلين بصحتها وأدبا مع السلطان الذي ولى أولئك الحكام ولعلمي بأنه أتم نظرا مني ومن أمثالي بل ربما كان أتم نظرا من جميع رعيته وصاحب هذا المشهد لا ينكر على امامه في تولية احد او عزله ولا يذمه أبدا من ورائه كما يفعله بعضهم وقد قال العلماء رضي الله تعالى عنهم لو ولى السلطان قاضيا فاسقا نفذ قضاؤه للضرورة

“Sebagian anugerah yang Allah berikan kepadaku adalah tata kramaku kepada hakim pada zaman ini, baik yang sudah tua ataupun masih muda. Aku tidak mengatakan putusan mereka dalam akad dan perjanjian adalah putusan yang batal, seperti yang dilakukan sebagian orang. Bahkan aku berpandangan bahwa akad dan pernikahan yang mereka lakukan sah, dengan bertujuan menjaga adab terhadap para imam yang berpandangan tentang keabsahannya, dan menjaga adab pada pemerintah yang telah mengangkat hakim tersebut, dan juga karena aku tahu bahwa pemerintah lebih sempurna dalam menentukan kebijakan dibanding aku dan orang-orang yang selevel denganku, bahkan kebijakan pemerintah bisa jadi lebih sempurna dibanding semua (pandangan) rakyat.

Pemilik kesaksian ini (Imam asy-Sya’roni) tidak akan mengkritik terhadap pemerintah atas pengangkatan atau pemecatan seseorang, dan aku selamanya tidak akan mencela pemerintah di balik hadapan mereka, seperti yang dilakukan sebagian orang. Para ulama’ sungguh telah berkata: “Jika Sultan mengangkat hakim yang fasik, maka keputusan hukumnya tetap berlaku (sah) karena darurat” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 275). Wallahua’lam bishawab.

Gus Ubaidillah Amin Moch, Stafsus Menteri Agama RI 

KHAZANAH REPUBLIKA




Penjelasan Hadits: “Allah Menciptakan Adam dalam Bentuk-Nya”

Terdapat sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah dalam bentuk-Nya. Bagaimana maksud hadits ini? Simak penjelasan ringkas berikut.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَلَقَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ آدَمَ علَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِراعًا

“Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya. Tinggi beliau 60 hasta” (HR. Bukhari no.6227, Muslim no. 2841).

Dalam riwayat Muslim:

إذا قاتَلَ أحَدُكُمْ أخاهُ، فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ، فإنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ علَى صُورَتِهِ

“Jika kalian saling berkelahi dengan saudaranya, maka jangan pukul wajah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” (HR. Muslim no. 2612).

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ خلق آدمَ على صورةِ الرَّحمنِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk ar Rahman” (HR. Ad Daruquthni. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [5/217] mengatakan: sanadnya dan perawinya tsiqah).

Apakah maksud “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya”? Apakah hadits ini menyamakan Allah dengan Nabi Adam ‘alahissalam? Bukankah Allah ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11).

Dan tidak boleh mengatakan bahwa dhamir “hi” dalam kata صُورَتِهِ di sini kembali kepada selain Allah. Ini adalah tahrif dan merupakan madzhab Jahmiyah. Syaikh Hamud bin Abdillah At Tuwaijiri mengatakan:

والقول بأن الضمير فيه عائد إلى غير الله تعالى هو قول الجهمية ومن تبعهم على قولهم الباطل من علماء أهل السنة في المائة الثالثة فما بعدها

“Pendapat yang mengatakan bahwa dhamir dalam hadits tersebut kembali kepada selain Allah, ini adalah pendapat Jahmiyah dan juga sebagian ulama Ahlussunnah yang mengikuti pendapat batil Jahmiyah dalam hal ini, di tahun 300 an Hijriyah dan setelahnya” (Aqidatu Ahlil Iman fi Khalqi Adama ‘ala Shuratir Rahman, 1/6).

Masalah ini dijelaskan dengan ringkas dan baik oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan:

“Jawaban umumnya, kita katakan, tidak mungkin hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11). Jika bisa dikompromikan, maka wajib dikompromikan. Jika tidak mampu mengkompromikan, maka cukup katakan:

آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ  رَبِّنَا

“Kami beriman kepada dalil tersebut, semuanya datang dari Rabb kami” (QS. Ali Imran: 7).

Dan kita meyakini bahwa Allah itu tidak ada yang semisal dengan-Nya. Dengan demikian anda akan selamat di hadapan Allah ‘azza wa jalla.

Yang satu adalah kalamullah, yang satu lagi adalah sabda Rasul-Nya. Maka semuanya benar, tidak mungkin saling mendustakan satu sama lain. Karena semuanya dalam bentuk khabar, bukan dalam bentuk penyebutan hukum yang bisa di-nasakh (dihapus). Dan saya katakan, ayat tersebut menafikan adanya yang semisal dengan Allah, sedangkan hadits menetapkan adanya shurah (bentuk). Maka cukup katakan: “sesungguhnya Allah tidak semisal dengan satu apapun dan Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya, yang satu adalah kalamullah dan yang satu lagi adalah sabda Rasul-Nya, semuanya benar dan kami mengimaninya”. Dan juga katakan: “semuanya datang dari Rabb kami”. Kemudian setelah itu diam (tidak menambah apa-apa lagi), inilah maksimal yang bisa kita katakan (jika tidak mampu mengkompromikannya).

Adapun jawaban secara detailnya:

Pertama:

Kita katakan, yang mengatakan bahwa “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan beliau juga yang menyampaikan wahyu (yang artinya) “Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11). Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mungkin berpaling dari apa yang beliau sampaikan.

Dan juga orang yang bersabda “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” adalah orang yang sama yang juga bersabda:

إن أول زمرة تدخل الجنة على صورة القمر

“sesungguhnya rombongan pertama orang yang masuk surga kelak, mereka dalam bentuk bulan” (HR. Bukhari no.3254, Muslim no.2834).

Maka apakah dari sini anda meyakini bahwa orang-orang yang pertama kali masuk surga itu berbentuk seperti bulan dalam semua sisinya? Ataukah anda meyakini bahwa mereka tetap dalam bentuk manusia, namun dari sisi bersinarnya mereka, bagusnya mereka, indahnya mereka, cerahnya wajah mereka, sama seperti bulan?

Jika anda meyakini kemungkinan yang pertama, berarti anda meyakini bahwa penduduk surga tidak punya mata, tidak punya hidung, tidak punya mulut? Kalau demikian maka mereka masuk surga dalam bentuk seperti batu! Namun jika  anda meyakini kemungkinan yang kedua, maka hilanglah isykal (kebingungan). Dan jelaslah bahwa ketika sesuatu dikatakan ‘ala shurati sya’in (berbentuk sesuatu yang lain), bukan berarti dua hal ini semisal dalam segala sisinya.

Jika anda tidak terima dengan jawaban ini, dan anda belum bisa memahaminya, dan anda mengatakan: “saya tidak paham penjelasan anda, saya tetap merasa hadits tersebut menyamakan Allah dengan makhluk”. Maka, baiklah, ada jawaban yang kedua.

Kedua:

Bentuk idhafah صورته (bentuk-Nya) dalam hadits tersebut, merupakan idhafah (penyandaran) makhluk kepada Khaliq-nya (yaitu Allah). Maka lafadz على صورته (dalam bentuk-Nya) ini semisal dengan firman Allah ‘azza wa jalla tentang Nabi Adam :

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي

“Aku tiupkan ruh-Ku pada Adam” (QS. Shad: 72).

Tentu tidak mungkin Allah memberikan sebagian dari ruh Allah kepada Adam. Namun maksudnya, Allah meniupkan ruh yang Allah ‘azza wa jalla ciptakan, kepada Adam. Namun Allah idhafah-kan dengan diri-Nya dalam rangka pemuliaan kepada Adam. Sebagaimana jika kita menyebut kata: ibaadullah (hamba Allah). Kata “hamba Allah” di sini mencakup orang kafir, orang muslim, orang mukmin, para syuhada, para ash shiddiq dan para Nabi. Namun kalau kita berkata: “Muhammad hamba Allah”, maka ini idhafah yang khusus, tidak sebagaimana yang penyebutan hamba sebelumnya.

Maka lafaz “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” maknanya adalah: Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang merupakan ciptaan Allah. Sebagaimana dalam ayat:

لَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ

“Telah kami ciptakan kalian, kemudian kami bentuk kalian, kemudian kami katakan kepada Malaikat: sujudlah kepada Adam” (QS. Al A’raf: 11).

Yang dibentuk oleh Allah dalam ayat ini adalah Nabi Adam. Maka bisa kita katakan “Adam dalam bentuk-Nya”, yaitu:  dalam bentuk yang merupakan ciptaan Allah. Dalam bentuk yang Allah siapkan sebagai bentuk yang terbaik di antara para makhluk. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh telah kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS. At Tin: 4).

Maka menyadarkan shurah dengan nama Allah (sehingga menjadi kata “bentuk-Nya”), ini dalam rangka pemuliaan. Seakan-akan Allah ‘azza wa jalla ingin memberikan peringatan pada perihal bentuk shurah tersebut. Karena sebab (pemuliaan) itulah, dilarang memukul wajah (sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar), yang ini akan menghinakan wajah secara fisik. Juga tidak boleh mencela wajah dengan berkata: qabbahallahu wajhak (semoga Allah memburukkan wajahmu), yang ini akan menghinakan wajah secara maknawi. Karena bentuk manusia adalah bentuk yang Allah buat dan Allah sandarkan kepada diri-Nya dalam rangka memuliakanya, maka tidak boleh menghinakannya secara fisik maupun maknawi.

Kemudian, jawaban yang kedua ini, apakah termasuk tahrif (mengubah makna) ataukah lahu nazhir (memiliki sisi pandang yang masih ditoleransi secara bahasa)? Kita katakan, ia lahu nazhir. Sebagaimana kata baitullah (rumah Allah), naaqatullah (unta Allah), abdullah (hamba Allah). Karena bentuk dari Adam itu bukan bagian dari diri Allah. Dan semua yang Allah sandarkan para dirinya (semisal: baitullahnaaqatullahabdullah), bukan bagian dari diri Allah. Dan mereka semua adalah makhluk. Dengan demikian, telah hilangkan kerancuan.

Namun jika ada yang bertanya: “mana jawaban yang paling selamat dari dua jawaban di atas?”. Kita katakan, jawaban yang pertama lebih selamat. Karena selama kita bisa memaknai lafaz dalil sebagaimana makna zhahirnya dalam bahasa Arab, dan dapat diterima oleh akal, maka wajib untuk memaknainya demikian. Dan kita telah jelaskan bahwa lafaz shurah dikatakan seperti shurah yang lain, tidak berarti keduanya semisal. Sehingga ini jawaban yang lebih selamat yaitu kita makna secara zhahirnya.

(Syarah Al Aqidah Al Wasithiyyah, 1/108 – 110).

Dari penjelasan beliau di atas, makna “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya” ada dua kemungkinan makna:

  1. Bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah ta’ala dalam bentuk Allah secara hakiki. Namun, bukan berarti sama dalam keseluruhan sisinya. Karena dalam bahasa Arab, ketika sesuatu dikatakan ‘ala shurati sya’in (berbentuk sesuatu yang lain), bukan berarti dua hal ini semisal dalam segala sisinya. Jadi tetap saja, Allah tidak sama dengan Nabi Adam ‘alaihissalam, dan Alalh tidak semisal dengan suatu apapun.
  2. Bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan oleh Allah ta’ala dalam suatu shurah (bentuk) yang merupakan ciptaan Allah.

Demikian semoga bisa dipahami. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (Bag 3)

Allah Swt mengabadikan kisah dua putra Adam as dalam Surat Al-Ma’idah, yaitu mulai ayat 27 sampai ayat 32. Dan dikisahkan dalam riwayat bahwa nama keduanya adalah Qobil dan Habil. Qobil adalah seorang pembunuh dan Habil adalah yang dibunuh.

Pada awalnya, Qobil dan Habil diperintahkan untuk berkurban oleh Allah Swt. Singkatnya, kurban dari Habil diterima dan kurban dari Qobil di tolak oleh Allah Swt.

Rasa cemburu, iri dan dengki mulai merasuki jiwa Qobil. Terjadi dialog antar kakak beradik itu hingga muncul sebuah perkataan dari lisan Qobil seperti yang diceritakan dalam Firman-Nya :

قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ

Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!”

Habil menjawab :

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS.Al-Ma’idah:27)

إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-Ma’idah:28)

إِنِّيٓ أُرِيدُ أَن تَبُوٓأَ بِإِثۡمِي وَإِثۡمِكَ فَتَكُونَ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلنَّارِۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُاْ ٱلظَّٰلِمِينَ

”Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zhalim.” (QS.Al-Ma’idah:29)

Itulah dialog singkat yang terjadi antara Qobil dan Habil. Dan dari sini kita bisa mengambil pelajaran dari dua perbedaan karater dan sifat yang dimiliki oleh dua putra Nabi Adam as ini.

1. Sifat Qobil :

Dia memilih membunuh saudaranya karena rasa iri yang menguasai dirinya disebabkan oleh kurbannya yang tidak diterima oleh Allah Swt. Padahal Habil tidak ada sangkut pautnya dengan diterima atau tidaknya kurban Qobil. Karena tolok ukur diterimanya kurban tersebut adalah ketakwaan kepada Allah Swt.

2. Qobil hendak membunuh jiwa yang tak bersalah dan ia ingin berbuat kerusakan di bumi ini. Dendam dalam hatinya telah membutakan mata dan hatinya. Dan ia tidak akan puas sebelum menuntaskan dendamnya kepada saudaranya sendiri.

3. Qobil tidak mau mendengar sedikit pun nasihat dari saudaranya yang mengingatkan agar jangan sampai ia melakukan hal-hal keji semacam ini. Dia telah bertekad untuk membunuh saudaranya, setan telah menguasai hatinya sehingga susah sekali ia untuk kembali.

فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi.” (QS.Al-Ma’idah:30)

2. Sifat Habil

1. Sifat dari Habil tergambar jelas dalam keilmuan dan ketakwaannya.

Ketakwaan Habil tergambar dalam Firman-Nya :

قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS.Al-Ma’idah:27)

2. Dan keilmuan Habil tergambar dalam Firman-Nya :

إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Al-Ma’idah:28)

Karena dalam ayat lain Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْ

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (oramg berilmu).” (QS.Fathir:28)

2. Keburukan tidak dibalas oleh keburukan.
Habil tidak membalas ancaman dari saudaranya dengan ancaman serupa. Karena ia tidak akan membunuh saudaranya sendiri, seperti apa yang akan dilakukan Qobil terhadapnya. Apalagi hanya karena masalah sepele.
Habil adalah sosok yang sangat tenang dalam menghadapi masalah. Ia tidak mudah emosi dan tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu.
Dan semua keindahan sikap ini muncul karena didasari dengan keimanannya kepada Allah Swt. Dia selalu menginginkan kedamaian ditengah umat manusia.

Dan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah dua putra Nabi Adam as adalah :

1. Jika Qobil adalah wujud nyata dari kejamnya kedengkian dan kekafiran, maka Habil adalah gambaran nyata dari indahnya toleransi dan perdamaian. Kisah ini menggambarkan dua perseteruan yang akan terus ada hingga Hari Kiamat.

2. Qobil berani membunuh nyawa saudaranya yang tak berdosa sementara Habil melihat perbuatan itu adalah kekejian yang dahsyat sehingga ia tidak akan pernah menyentuhnya.

3. Qobil tidak memiliki alasan yang diterima atas kekejamannya, padahal Habil sealu menasehatinya dan membimbingnya untuk keluar dari pengaruh setan yang menjerumuskan.

4. Karena Al-Qur’an telah memvonis Qobil sebagai orang yang rugi dan menyesal. Maka bisa kita pastikan bahwa Habil adalah termasuk dari mereka yang selamat, sukses dan beruntung. Walaupun ia harus dikorbankan di alam dunia ini. Karena itu cerita ini di akhiri dengan firman Allah Swt bahwa membunuh satu nyawa di bumi ini sama seperti membunuh seluruh manusia.

مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا

“Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS.Al-Ma’idah:32)

Itulah pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Qobil dan Habil. Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Berhubungan Intim Saat Istri Sedang Haidh, Bolehkah?

1. Pengertian haidh

Secara bahasa haidh berarti mengalir. (lihat lisanul arab: 7/142).

Adapun secara istilah haidh berarti darah yang keluar dari Rahim wanita dalam kondisi sehat, bukan saat melahirkan maupun kodisi sakit. Sifat darah tersebut biasanya berwarna pekat, dan berbau. (fiqh islamy wa adillatuhu : 1/610).

2. Persamaan hukum antara haidh dan nifas.

Darah haidh merupakan darah yang keluar setelah melahirkan, adapun darah yang keluar bersamaan dengan anak ataupun sebelumnya tidak dinamakan darah nifas. (Fathul qarib mujib : 1/61).

Semua hal yang terlarang ketika haidh juga terlarang ketika nifas, karena hukum nifas sama seperti hukum haidh kecuali dalam beberapa permasalahan yang dibahas ulama dalam kitab-kitab fikih. (lihat : raudhatut thalibin : 1/136). Dan orang arab terkadang mengatakan haidh dengan lafazh nifas, sebagaimana sabda rasulullah ﷺ kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ما لَكِ أنُفِسْتِ؟. قُلْتُ: نَعَمْ، قالَ: «إنَّ هَذا أمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلى بَناتِ آدَمَ، فاقْضِي ما يَقْضِي الحاجُّ، غَيْرَ أنْ لاَ تَطُوفِي بِالبَيْتِ

“Apakah engkau sedang haidh?” aku (Aisyah) pun berkata: iya. Lalu rasulullah ﷺ bersabda: “sesungguhnya hal tersebut merupakan ketetapan Allah untuk keturunan wanita Adam, lakukanlah semua yang dilakukan orang yang berhaji, tapi jangan berthawaf”
(HR. Bukhari : 294).

3. Hukum bersenggama dengan istri tatkala haidh.

Allah ﷻ melarang kaum muslimin untuk berhubungan biologis dengan istri-istri mereka di saat haidh atau nifas. Allah ﷻ berfirman:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ ۝

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah sesuatu yang kotor”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(QS. Albaqarah : 222).

Maksud dari tidak mendekati wanita saat haidh adalah tidak berhubungan biologis dengannya, dan hal ini merupakan kesepakatan ulama kaum muslimin dan merupakan dosa besar. Imam Nawawi berkata:

“Ketahuilah bahwa mendatangi istri saat haidh itu bermacam-macam, salah satunya adalah dengan berhubungan biologis, dan perbuatan ini haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sesuai dengan nash quran dan hadits yang shahih.”

Kemudian beliau berkata:

“jika suaminya dengan sengaja bersenggama dengannya dan ia tahu istrinya sedang haidh begitu pula dengan keharaman perbuatan tersebut, tidak pula dalam keadaan terpaksa, maka dia sejatinya telah melakukan dosa besar, imam Syafii dengan jelas mengatakan perbuatan tersebut adalah dosa besar”.
(Syarah shohih Muslim : 3/204).

4. Solusi bagi suami jika istri sedang haidh.

Islam adalah agama yang datang dari Allah ﷻ Rabbul ‘alamin, sehingga syariat-syariat yang terkandung di dalamnya sesuai dengan fitrah manusia. Begitu pula dalam masalah ini, ketika seorang istri sedang haidh maka suami tidaklah secara muthlak harus meninggalkan istrinya, dia masih bisa melepaskan syahwat dengan istrinya, begitu pula istri bisa melepaskan syahwatnya dengan suaminya selama mereka berdua tidak melakukan hubungan biologis (jima’).

Sepasang suami istri tetap bisa bercumbu tatkala istri sedang haidh dengan cara menjauhi area antara pusar dan lutut istri, dan ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
(lihat Ahkamul haidh dan istihadhah hal. 20).

Adapun hukum bersenang-senang dengan istri pada area bawah pusar dan di atas lutut menjadi perbincangan dikalangan para ulama, mayoritas ulama membolehkannya walaupun tanpa penghalang kain dengan syarat selama tidak melakukan jima’ (senggama). Mereka berdalil dengan hadits:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلّا النِّكاحَ

“Lakukanlah semuanya selain jima’ (senggama)”
(HR. Muslim no. 302).

Sedangkan mayoritas ulama membolehkan seorang suami melepaskan syahwat dengan istrinya pada area antara lutut dan pusar tersebut dengan syarat ditutupi dengan kain. Dan ini adalah pendapat yang lebih selamat, lebih terjaga dan sesuai dengan sunnah rasulullah ﷺ. Ibunda kaum mukimin ‘Aisyah berkata:

كانَ يَأْمُرُنِي، فَأتَّزِرُ، فَيُباشِرُنِي وأنا حائِضٌ

“Dahulu rasulullah ﷺ menyuruhku untuk memakai sarung, lalu beliaupun menggauliku sedangkan aku sedangkan haidh”
(HR. Bukhari no. 300).

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Senin, 01 Rabiul Akhir 1442 H / 16 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Dua Nabi Ini Penasaran Proses Kebangkitan Setelah Mati

Proses kebangkitan setelah kematian membuat penasaran dua Nabi.

Dialektika kebangkitan manusia dari alam kubur sudah ada sejak sebelum Islam datang. Bahkan nabi-nabi terdahulu juga memohon penjelasan pada Allah tentang proses bangkitnya manusia dari kematian. 

Seperti kisah seorang nabi ketika melewati negeri yang telah porak poranda. Ada riwayat yang menyebut nabi itu bernama Uzair atau Hizqial atau seorang nabi dari Bani Israil. Sementara ada riwayat yang menyebutkan wilayah yang porak poranda itu adalah Baitul Maqdis yang telah dihancurkan oleh Nebukadnezar (Bukhtunashshar al Babili). 

Dikisahkan ketika melewati negeri yang porak poranda itu, nabi itu bertanya tentang bagaimana Allah bisa membangkitkan kembali penduduk negeri yang telah mati itu. Setelah itu Allah pun mematikan nabi itu bersama keledainya. Selang seratus tahun kemudian, Allah membangkitkan nabi itu bersama keledainya. Maka menjadi jelaslah persoalan kebangkitan bagi nabi itu.  Kisah ini merupakan penjelasan dari surat Al Baqarah ayat 259.

أَوْ كَٱلَّذِى مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْىِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِا۟ئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُۥ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِا۟ئَةَ عَامٍ فَٱنظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَٱنظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَٱنظُرْ إِلَى ٱلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al Baqarah ayat 259)

Begitu pun dengan pernyataan Nabi Ibrahim yang bertanya-tanya tentang cara Allah membangkitkan orang yang telah wafat. Meski yakin akan datangnya hari kebangkitan, tetapi nabi Ibrahim tetap ingin mengetahui secara lebih detail proses kebangkitan agar hatinya lebih tentram. 

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Baqarah ayat 260).

Dalam buku Kiamat dalam Perspektif Al-Quran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dengan LIPI dijelaskan dua kisah tersebut menggambarkan betapa persoalan kebangkitan manusia di hari akhir masih memunculkan pertanyaan, meski bagi seorang nabi sekalipun.

“Tentu bukan karena mereka tidak percaya, melainkan karena keingintahuan mereka mengenai detail prosesnya. Kedua nabi tersebut sudah percaya dalam tataran ‘ilmul yaqin, tapi belum pada tataran ‘ainul yaqin,” dijelaskan dalam buku tersebut.

Ini seperti dianalogikan dengan keyakinan akan eksistensi Ka’bah. Semua umat Islam pasti meyakini eksistensinya, meski belum tentu mereka pernah melihatnya. Keyakinan akan eksistensi Ka’bah tentu akan bertambah kadarnya bila dibarengi dengan melihat wujud aslinya dengan mata kepala sendiri. Begitupun dengan nabi Uzair dan nabi Ibrahim, keduanya bertanya untuk meneguhkan iman mereka. Dan sebagaimana dikatakan nabi Ibrahim yakni agar menenangkan hatinya.

“Jika kedua nabi saja masih penasaran maka wajarlah jika persoalan kebangkitan banyak dipertanyakan oleh orang kaum Quraisy. Untuk itu Al Quran menjelaskan bahwa keberadaan merupakan keniscayaan,” dijelaskan dalam buku itu.

Menjelaskan tentang kebangkitan manusia, Al Quran mengemukakan dua hal. Yakni pertama melalui analogi berpikir yang sehat. Kedua, melalui analogi fenomena yang ada di alam semesta. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Ketika Alami Musibah dan Kegundahan, Nabi Lakukan Ini…

MANUSIA tidak akan bisa lepas dari ujian maupun musibah. Namun patut kita renungkan bahwa selalu ada himah di balik setiap musibah. Bisa jadi musibah adalah suatu kesedihan, namun terkadang pula ia adalah ketenteraman. Barangsiapa mengimaninya maka ia akan bersabar di atasnya namun barangsiapa mencelanya maka ia akan menjadi malapetaka dalam kehidupan.

Dalam sebuah syair disebutkan, “Terkadang melalui cobaan, Allah memberikan kenikmatannya betapa pun besarnya cobaan tersebut. Namun terkadang melalui kenikmatan, Allah justru memberikan ujiannya terhadap kaum tertentu…”

Dalam Siyar a’lamin nubala’ (11/255) dikisahkan ketika cambukan keempat menghantam tubuh Imam Ahmad bin Hanbal, beliau ra mengucapkan:

Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami..” (QS. At-Taubah: 51).

Abu Ja’far Muhammad bin Badina al-Maushili mengatakan:

أنشدني ابن أعين في أحمد بن حنبل: أضحى ابن حنبل محنة مأمونة

Ibnu A’yan bersenandung kepadaku tentang Ahmad bin Hanbal: “Ibnu Hanbal telah mengubah ujian menjadi ketenteraman…” (Tarikh Dimasyq, 5/323)

Sebuah musibah akan menjadi sahabat bagi orang beriman, namun bagi mereka yang lalai musibah akan menjadi malapetaka penghancur segala kelezatan dalam hidupnya, ia adalah sebuah peringatan agar kita selalu teringat untuk menengadah ke langit. Allah SWT berfirman:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit..” (QS. Al-Baqarah: 144)

Dari Ummu Salamah ra, beliau menceritakan:

ما خرج النبي صلى الله عليه وسلم من بيتي قط إلا رفع طرفه إلى السماء

“Setiap kali Rasulullah SAW keluar dari rumahku, beliau mengarahkan pandangannya ke langit..” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 5094)

Langit yang begitu cerah hari ini seakan berkata wahai hamba Allah yang shalih ucapkanlah rasa syukurmu di pagi hari ini, di bulan ini, di tahun ini. Ceraikanlah segala kegundahan dalam hidup mintalah permohonan nan tulus kepadaNya. Dari Abu Hurairah ra, beliau mengatakan:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أهمه الأمر، رفع رأسه إلى السماء فقال: سبحان اللّه العظيم. وإذا اجتهد في الدعاء، قال: يا حيُّ يا قيومُ

“Apabila Rasulullah SAW mengalami kegundahan karena suatu hal, beliau memandang ke arah langit sambil berkata, ‘Subhanallahil Azhim’. Namun apabila beliau bersungguh-sungguh sekali dalam doanya, beliau mengucapkan, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum’.” (HR. At-Tirmidzi, Syaikh al-Albani mengatakan “Dha’if Jiddan” dalam adh-Dha’ifah no. 6345)

Ada beberapa cara guna mengobati penyakit musibah, salah satu resep paling mujarab adalah sebagaimana yg disampaikan oleh sang dokter hati Ibnu Qoyyim ra seraya berkata:

“Kiat untuk mengobati penyakit musibah adalah dengan menyadari bahwa kepahitan dunia itu sendiri adalah kemanisan untuk akhirat. Demikianlah Allah membolak-balikkan keduanya, kemanisan dunia justru akan menjadi kepahitan akhirat. Beralih dari kepahitan yang terbatas menuju kemanisan yang abadi itu lebih baik daripada kebalikannya…” (Zadul Ma’ad, 4/179]).

Dan surga adalah suatu kesudahan terindah bagi orang-orang beriman, dan seburuk-buruk kesudahan adalah jahannam. Betapa indah gambaran Rasulullah SAW mengenai sifat surga dan neraka seraya bersabda:

حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات

“Surga itu ditopang dengan hal-hal yang dibenci oleh nafsu, sementara Neraka itu ditopang dengan hal-hal yang disukai oleh syahwat..” (HR. Muslim)

Imam Ibnul Qayyim ra menjelaskan maksud hadits tersebut, beliau mengatakan:

وفي هذا المقام تفاوتت عقول الخلائق ، وظهرت حقائق الرجال فأكثرهم آثر الحلاوة المنقطعة على الحلاوة الدائمة التي لا تزول ، ولم يحتمل مرارة ساعة لحلاوة الأبد ، ولا ذل ساعة لعز الأبد ، ولا محنة ساعة لعافية الأبد ، فإن الحاضر عنده شهادة ، والمنتظر غيب ، والإيمان ضعيف ، وسلطان الشهوة حاكم ، فتولد من ذلك إيثار العاجلة ، ورفض الآخرة

“Untuk memahami konteks ini, akal manusia memang bertingkat-tingkat, dan demi memahaminya terkuaklah hakikat seorang manusia sejati. Kebanyakan orang lebih mendahulukan kenikmatan sementara daripada kebahagiaan abadi yang tak pernah terputus, sehingga mereka tidak mampu menahan kepahitan sejenak demi kenikmatan selamanya, menghinakan diri sebentar demi kemuliaan abadi, atau menahan cobaan sesaat demi keselamatan tak terbatas. Karena yang tampak oleh mata itulah yang ada menurut mereka, sementara yang akan datang hanyalah fatamorgana. Karena keimanan mereka sudah lemah dan syahwat sudah sedemikian menguasai diri mereka. Dari situlah lahir kecenderungan mendahulukan kehidupan dunia dan menolak kehidupan akhirat..” (Zadul Ma’ad, 4/179-180)

Apabila kita mendapati suatu takdir yang tidak kita sukai, maka pahamilah bahwa Allah telah menakdirkan hal tersebut sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi, dan tugas kita adalah beriman kepada takdir yang baik maupun takdir yang buruk, serta meyakini dengan sepenuhnya bahwa Allah azza wa jalla adalah Dzat yang Maha Adil dan tidak mungkin menzalimi hamba-hamba-Nya..

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas..” (QS. Az-Zumar: 10)

Kemenangan diraih dengan jerih payah, kalaulah tanpa adanya jerih payah maka tak akan ada prestasi yang diraih, maka hidup akan hampa ia bagaikan tetesan lilin terbakar meleleh menjadi kaku, atau ia laksana dupa terbakar menghasilkan debu tertiup angin tiada arti. Hidup akan indah saat tercium harum laksana wangi gaharu walau ia tak rupawan namun ia menyimpan aroma nan tersimpan dalam ketenangan. []

SUMBER: ALQURAN SUNNAH

ISLAMPOS

Seri Dua Contoh Yang Berbeda dalam Al-Qur’an (Bag 2)

2. Kisah putra Nabi Nuh as dan Nabi Ibrahim as.

Kisah putra Nabi Nuh as dan putra Nabi Ibrahim as di abadikan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an. Di satu sisi ada putra yang sangat berbakti dan di sisi lain ada putra yang sangat durhaka.

Kisah putra Nabi Ibrahim as yaitu Ismail terekam dalam Surat As-Shofat dari ayat 100-107.

Terdapat banyak perbedaan yang mencolok antara putra Nuh dengan
putra Ibrahim (Ismail), antara lain :

Ismail memiliki beberapa sifat, yaitu :

1. Sholeh.

Nabi Ibrahim as jauh sebelumnya telah memohon kepada Allah Swt agar di anugerahi keturunan yang Sholeh.

رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (QS.Ash-Shaffat:100)

2. Putra yang sangat penyabar.

Ismail adalah putra yang sangat penyabar. Karena kesabaran adalah gandengan dari keshalehan.

فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ

“Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” (QS.Ash-Shaffat:101)

3. Sangat patuh terhadap perintah Allah dan perintah ayahnya.

Ismail merespon perintah Allah yang bersumber dari mimpi ayahnya dengan sangat siap da lapang dada tanpa mempertanyakan atau menolak atau berdebat terlebih dahulu dengan ayahnya.

قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ

“(Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”

4. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhannya.

Spontan Ismail menjawab :

قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS.Ash-Shaffat:102)

Ismail dalam ayat ini masih menggunakan kata Insya Allah karena ia yakin bahwa kesabaran ini adalah pemberian Allah Swt yang luar biasa. Seorang takkan mungkin mampu bersabar tanpa bantuan dan pemberian Allah berupa ketenangan dalam hatinya.

5. Dia sangat beriman kepada Tuhannya dan sangat berbakti kepada ayahnya.

Dalam kisah ini kita tidak pernah mendengar ada keluh kesah dari sisi ayah ataupun anak. Semuanya hidup dalam penuh kesadaran dan kepasrahan kepada ketentuan Allah Swt.

Sementara Kan’an, putra Nabi Nuh as memiliki beberapa sifat berikut ini, seperti yang disebutkan dalam Surat Hud.

1. Panggilan Nabi Nuh as kepada putranya menunjukkan bahwa Kan’an tinggal di sebuah termpat yang jauh, tidak seperti pengikut Nuh yang selalu menyertai beliau.

وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِي مَعۡزِلٖ يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (QS.Hud:42)

2. Kan’an lebih memilih bergabung bersama orang-orang kafir dengan segala kesombonvan dan kecongkaannya saat menolak ajakan ayahnya.

يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

“Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (QS.Hud:42)

Tapi Nabi Nuh terus berusaha menyadarkan putranya.

قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَۚ

(Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” (QS.Hud:43)

Dan kedurhakaan inilah yang membuatnya tenggelam.

وَحَالَ بَيۡنَهُمَا ٱلۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡمُغۡرَقِينَ

“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.” (QS.Hud:43)

Dan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah :

Perbuatan Kan’an tidaklah benar.Tentu ia tidak beriman bukan karena satu sebab saja. Walaupun ada hubungan yang sangat dekat dengan Nabi saw.

Mari kita bandingkan antara dua putra Nabi ini :

1. Ismail adalah contoh sempurna bagi seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Ia rela mengorbankan dirinya demi meraih kerelaan Allah Swt.

Sementara Kan’an, sama-sama hidup di lingkungan kenabian namun ia menolak mentah-mentah ajakan dari ayahnya. Padahal itu adalah satu-satunya jalan keselamatan.

Ismail di ajak oleh ayahnya kepada kematian dan ia tidak menolak karena baktinya sementara Kan’an di ajak kepada kehidupan dan ia tetap menentang ayahnya. Itulah fenomena bakti dan durhaka yang di abadikan dalam Al-Qur’an.

2. Ismail adalah seorang yang meyakini yang Ghaib. Ia meyakini bahwa mimpi dari ayahnya adalah kebenaran dan perintah dari Allah Swt.

Sementara Kan’an menolak jalan keselamatan yang ada di depan matanya. Sungguh perbedaan yang sangat menyimpang. Karena ia tidak meyakini hari pembalasan.

3. Balasan bagi Ismail yang menjalankan perintah Allah adalah keselamatan dan digantikannya ia dengan kambing.

Sementara balasan bagi Kan’an adalah kesengsaraan hidup yang abadi. Karena ia telah menentang Sang Pencipta Alam ini.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Doakan Keburukan untuk Orang lain, Diijabah?

BAGAIMANA seharusnya kita bersikap ketika ada saudara kita mendoakan keburukan secara terang-terangan di hadapan kita? Bukankah doa itu akan tercatat? Lalu bagaimana dengan seseorang yang mendoakan keburukan untuk orang lain, apakah akan diijabah?

Pertama, tidak semua doa buruk yang diucapkan manusia, akan dikabulkan Allah.

Allah berfirman,

“Manusia berdoa untuk keburukan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa,” (QS. al-Isra: 11).

Ayat ini semisal dengan firman Allah di ayat lain,

“Kalau sekiranya Allah menyegerakan doa keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka…” (QS. Yunus: 11).

Para ahli tafisr, diantaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan yang lainnya mengatakan,

Bahwa ini doa buruk seseorang untuk dirinya, atau anaknya, ketika dia marah, yang sebenarnya dia sendiri tidak menyukai ketika doa itu dikabulkan. Andai Allah mengabulkan doa keburukan itu, akan banyak diantara mereka yang binasa. Namun dengan karunia-Nya, Allah tidak mengabulkan doa ini.

Kedua, ada doa buruk yang diperingatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita waspadai, yaitu doa buruk dari orang yang mendzalimi diri kita.

Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Takutlah kalian terhadap doa orang yang didzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah,” (HR. Bukhari 1496 & Muslim 130).

Orang yang didzalimi, diizinkan oleh syariat untuk mendoakan keburukan bagi orang yang mendzaliminya.

Allah befirman,

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. an-Nisa: 148).

Kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maksud dari ayat di atas adalah doa buruk dari orang yang didzalimi kepada orang yang mendzalimi. (Tafsir Ibn Katsir, 2/442)

Ketiga, mendoakan keburukan kepada orang lain, padahal orang yang didoakan tidak bersalah, termasuk tindakan kedzaliman. Karena hukum asal mendoakan keburukan kepada orang lain, mencela, menghina, adalah dilarang oleh Allah. Doa buruk dibolehkan ketika ada sebab, yaitu didzalimi orang lain.

Allah befirman,

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. an-Nisa: 148).

Oleh karena itu, jika Anda didoakan keburukan oleh orang lain, sementara kita tidak bersalah, Anda tidak mendzaliminya, gantungkan tawakkal kepada Allah. Selanjutnya lupakan, dan hiduplah dengan normal. Agar pikiran kita tidak terlalu terganggu dengan doa ini.

Anda juga bisa memohon kepada Allah kebalikannya. Misalnya, Anda didoakan semoga tidak bahagia, maka Anda segera berdoa, Ya Allah berikanlah aku kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga doa baik Anda lebih mustajab karena anda didzalimi. Allahu a’lam. []

Sumber: Konsultasi Syariah

ISLAMPOS






Keutamaan dan Keberkahan Waktu Pagi

Kebiasaan Salafus Shalih di Pagi Hari

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Waa’il radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud di pagi hari setelah shalat subuh. Kami mengucapkan salam di depan pintu, kemudian kami diizinkan untuk masuk. Kami pun menunggu sejenak. Kemudian keluarlah seorang budak perempuan dan berkata, “Mengapa kalian tidak masuk ?“ Kemudian kami masuk ke dalam rumah sementara ‘Abdullah bin Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir. Beliau berkata kepada kami, “Apa yang menghalangi kalian untuk segera masuk padahal sudah aku beri izin ?“ Kami menjawab, “Kami mengira sebagian anggota keluargamu sedang tidur.” Beliau berkata, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku adalah orang yang lalai?“

Kemudian beliau pun terus melanjutkan berdzikir hingga kira-kira matahari telah terbit. Beliau memerintahkan kepada budaknya, “Lihatlah apakah matahari sudah terbit?“ Budaknya pun melihat keluar. Apabila ternyata belum terbit, maka beliau melanjutkan berdzikir. Apabila beliau menyangka matahari telah terbit, beliau pun memerintahkan kembali kepada budaknya, “Lihatlah apakah matahari sudah terbit?” Budaknya pun kembali melihat keluar. Apabila matahari sudah terbit, maka beliau mengucapkan,

الحمد لله الذي أقالنا يومنا هذا، ولم يُهلكنا بذنوبنا

Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami pada pagi hari ini dan tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami. ” (HR. Muslim no. 822)

Kisah di atas menjadi renungan tentang berharganya waktu -terutama waktu subuh- bagi para salafus shalih, khususnya para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka pun bersemangat untuk mengisinya dengan kebaikan karena mengetahui tentang keutamaan yang ada di dalamnya.

Waktu kunjungan Abu Waail ke kediaman ‘Abdullah Ibnu Mas’ud adalah waktu yang berharga dan penuh berkah. Ini adalah waktu untuk berdzikir kepada Allah dan waktu untuk bersungguh-sungguh serta bersemangat berbuat kebaikan. Sayangnya, kebanyakan manusia mengabaikan dan meremehkannya dan tidak mengetahui keagungan yang ada di dalamnya sehingga akhirnya menyepelekannya, baik dengan tidur, bermalas-malasan, kegiatan sia-sia, atau kesibukan lain yang tidak penting.

Keberkahan Waktu Pagi

Bagi orang yang menjaga dzikir di waktu pagi akan menjadikan dirinya memiliki kekuatan dalam sepanjang harinya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

خضرت شيخ الإسلام ابن تيميه مرةً صلى الفجر، ثم جلس يذكر الله تعالى إلى قريب من انتصاف النهار، ثم التفت إليّ وقال: هذه غدوتي ، ولو لَم أتغذَّ هذا الغِذاء سقطت قوتي، أو كلاماً قريباً من هذا

“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah shalat subuh. Kemudian setelahnya beliau berdzikir kepada Allah hingga pertengahan siang. Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Ini adalah aktifitas sarapanku di pagi hari. Jika aku tidak sarapan dengan makanan ini (dzikir), maka kekuatanku akan hilang – atau ucapan yang semisal ini- ” (Al Waabilus Shayyib)

Dijelaskan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berdoa kepada Alah agar memberi keberkahan di waktu pagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللهم بارك لأمتي في بكورها

Ya Allah, berilah keberkahan bagi umatku di pagi harinya.

Di antara kebiasan Nabi adalah ketika mengutus pasukan, maka beliau mengutusnya di pagi hari. Sahabat Shakr radhiyallahu ‘anhu adalah seorang pedagang. Beliau biasa mengirim dagangannya sejak pagi hari sehingga dia menjadi kaya dan banyak harta. (HR. Abu Daud)

Dibenci Tidur di Pagi Hari

Memperhatikan pentingnya waktu ini dan agungnya keberkahan di dalamnya serta banyaknya kebaikan yang ada, maka para salafus shalih terdahulu membenci tidur dan menyia-nyiakan waktu pagi dengan bermalas-malasan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Termasuk perbuatan yang dibenci para salafus shalih adalah tidur antara subuh dan terbitnya matahari karena itu adalah waktu yang sangat berharga. Siapa yang melewati waktu tersebut akan mendapat keuntungan yang besar.  Sampai-sampai apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rezeki, waktunya pembagian, dan waktu datangnya keberkahan. Dari situlah bermulanya perjalanan hari dan semua hukum yang terjadi. Semestinya tidur di waktu itu akan menjadi tidur yang gelisah dan tidak nyenyak.”

Di antara atsar dari salaf mengenai pentingnya waktu pagi adalah yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau melihat anaknya tidur di waktu pagi. Beliau menegur dengan mengucapkan :

قُم، أتنام في الساعة التي تقسَّم فيه الأرزاق

Bangun! Apakah Engkau tidur pada waktu di mana rezeki sedang dibagikan?

Demkianlah beberapa penjelasan mengenai keutamaan pagi hari setelah subuh dan keberkahannya serta semangat para salafus shalih untuk beramal di waktu tersebut. Semoga bermanfaat.

Penulis: Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Sumber bacaan  : https://www.al-badr.net/ebook/112