Tiga Sholat dalam 50 Menit di Norwegia

Mulia Nurhasan berjalan cepat dari Masjid Al-Nor menuju rumah tinggalnya di Tromso, utara Norwegia. Hujan pada musim gugur mengiringi langkah kakinya. Suhu begitu dingin, tujuh derajat Celcius. Pada pukul 23.45 dia baru sampai di rumahnya setelah menunaikan Shalat Tarawih.

Mahasiswi Indonesia yang kuliah di University of Tromso, Norwegia, ini sangat larut tiba di rumah. Maklum, waktu Isya pukul 21.30. Setengah jam kemudian, pukul 22.00 Tarawih baru dimulai. Tarawih ditunaikan delapan rakaat, tetapi menghabiskan bacaan Alquran hingga satu juz. Tarawih pun usai pada pukul 23.15. ”Mereka yang tinggal jauh di ujung kota dan jauh dari masjid tak menunggu sampai Witir usai,” tutur Mulia kepada Republika melalui surat elektroniknya.

Menurut Mulia, mereka yang menunggu hingga Witir berakhir bisa ketinggalan bus terakhir. Ia masih bisa menunaikan Witir karena jarak rumah tinggalnya dengan masjid hanya 1,5 km. Ia bisa pulang tanpa khawatir ketinggalan bus. Isya dan Tarawih di Tromso untuk ukuran orang Indonesia terlalu malam. Ini karena matahari terbenam pukul 20.00, sedangkan fajar menampakkan diri pukul 03.00. ”Pada hari pertama Ramadhan kami berpuasa dari pukul 03.15 hingga 19.44,” ungkapnya.

Mulia mengungkapkan sejumlah cendekiawan di masjid tempat ia biasa shalat mulai berinisiatif mendiskusikan kemungkinan yang akan terjadi pada Ramadhan tahun-tahun mendatang. Bila Ramadhan jatuh pada musim panas, matahari tak akan tenggelam selama 2,5 bulan.

Bila sebaliknya, saat Ramadhan jatuh pada musim dingin, masalah juga akan muncul. Matahari tak menampakkan diri selama 2,5 bulan. Apakah kemudian Muslim di wilayah utara itu tak berpuasa sebulan tanpa berbuka atau sebaliknya tak berpuasa sebulan penuh saat musim dingin?

Mulia mengaku beberapa tahun sebelum menempuh studi di Tromso membaca pertanyaan seorang pembaca Republika kepada Ustadz Quraish Shihab. Penanya yang tinggal di wilayah Skandinavia meminta penjelasan kapan harus berbuka saat matahari sama sekali tak terbenam di tempat tinggalnya.

Ustadz Quraish, kata Mulia, saat itu memberikan jawaban agar penanya mengikuti jadwal puasa ke daerah terdekat yang masih memiliki malam. ”Saat itu saya bertanya, adakah daerah seperti itu? Namun, bertahun-tahun kemudian saya mengalaminya sendiri,” ujarnya.

Menurut Mulia, tiga hari sebelum Ramadhan sebenarnya inisiatif pembicaraan masalah itu diawali oleh Umaer Naseer dan umat Islam di Tromso. Naseer warga Norwegia berdarah Pakistan yang selama ini tertarik pada astrologi. Terutama yang terkait dengan jadwal beribadah Islam.

Ketertarikan Naseer muncul sejak mahasiswa PhD Jurusan Mikrobiologi dan Kontrol Infeksi di University Hospital of Northern Norway ini pindah dari Trondheim ke Tromso delapan tahun silam. Dalam pertemuan tersebut, Naseer dan komunitas Muslim Tromso bertemu membahas jadwal puasa Ramadhan di Kutub Utara. ”Saya duduk mendengarkan selama hampir dua jam, terpana. Ternyata begitu kompleksnya masalah ini, lebih dari yang saya bayangkan,” ungkapnya.

Sebenarnya, ungkap Mulia, pihak masjid pernah mendapatkan jawaban yang hampir sama seperti jawaban yang pernah dilontarkan Ustadz Quraish Shihab. Namun, Oslo yang selama ini menjadi patokan bagi masyarakat Muslim di Tromso memiliki tiga jadwal puasa yang berbeda.

Menurut Naseer, jadwal tersebut tak disusun berdasarkan astrologi. Apalagi, diketahui fakta lain bahwa kota terdekat yang mesti menjadi panutan bukanlah Oslo, melainkan Mo i Rana, sebuah wilayah yang arahnya sedikit ke selatan dari lingkaran Kutub Utara.

Berdasarkan kenyataan ini maka masyarakat Muslim di Tromso tak bisa mengikuti lagi jadwal Oslo seperti sebelumnya. Ada pilihan kedua mengemuka dalam pertemuan itu, yaitu membekukan waktu terakhir tempat Muslim di Tromso masih mengalami terbenam dan terbitnya matahari.

Namun, pilihan ini dinilai tidak praktis karena masyarakat Muslim di Tromso akan menjalani Shalat Maghrib, Isya, dan Shubuh dalam kurun waktu 50 menit saja selama 2,5 bulan berturut-turut. Apalagi, pada saat Ramadhan Muslim harus menjalani puasa selama hampir 24 jam.

Mulia menyatakan jadwal shalat yang ada sekarang ini berawal dari usaha Naseer pribadi dalam mencari kebenaran dan mempelajari astronomi penjadwalan shalat pada 2002. Seorang kawan kemudian melihat jadwal itu dan menganjurkannya digunakan sebagai jadwal bersama di Tromso.

Meski awalnya Naseer menolak anjuran tersebut karena ia bukan ulama, pihak masjid menyetujuinya. Ternyata sebelumnya masyarakat Muslim di Tromso belum memiliki jadwal shalat bersama. Sebagian shalat dan berpuasa berdasarkan jadwal di Oslo atau Trondheim.

Ada pula yang mengikuti jadwal di negara masing-masing. Menurut Mulia, Umar Naseer dan pihak masjid akan terus berupaya melalui ijtihad untuk menentukan jadwal shalat dan puasa bagi umat Islam yang hidup di bagian utara dunia, seperti Muslim di Tromso.

Insya Allah, ujar Mulia, bila solusi terbaik dihasilkan akan membawa berkah bagi seluruh Muslim yang hidup mulai ketinggian 66 derajat garis Kutub Utara, yaitu mereka yang mengalami matahari bersinar 24 jam dan bulan tak tenggelam 24 jam setiap tahunnya. ”Dari utara dunia, saya, mahasiswa Indonesia dengan kontribusi terkecil bagi perkembangan isu ini, memohon doa dari Muslim Indonesia di bagian selatan bumi, agar kami selalu dikuatkan dalam menjalani setiap tantangan beribadah bulan Ramadhan,” harap Mulia. 

Oleh: Ferry Kisihandi

IHRAM



Bila Kelebihan Rakaat Pada Shalat

Pertanyaan

بسم اللّه الرحمن الر حيم

السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

Ustadz
Afwan, ana sedang shalat berjamaah dan menjadi imam.
Pada saat berdiri ana baru tersadar bahwa ini adalah rakaat yang ke-5, pada saat itu ana tetap lanjutkan dengan sempurna.

Bagaimanakah sebenarnya ketika kita menyadari kesalahan, apa kita langsung duduk tasyahud aja atau kita sempurnakan saja shalat menjadi 5 rakaat?

Apakah kondisi seperti ini juga tetap harus sujud syahwi? Apa sujud syahwinya justru akan menambah jumlah rakaatnya menjadi 6?

Ditunggu penjelasannya. Syukran

(Sahabat BiAS T06 G-57)

Jawaban

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Ia tidak meneruskan rakaat tambahan tersebut, namun langsung duduk seketika itu pula bagaimanapun posisinya. Imam Ibnu Utsaimin berkata :

وإن علم فيها ) أي : إنْ عَلِمَ بالزيادة في الرَّكعة التي زادها .
قوله : ( جلس في الحال ) أي : في حال علمه ، ولا يتأخَّر ، حتى لو ذَكَرَ في أثناء الرُّكوع أن هذه الرَّكعة خامسة يجلس .

“-Dan jika ia tahu dalam rakaat tersebut- maksudnya ia mengetahuinya pada rakaat tambahan tersebut.

Perkataan penulis, -ia duduk seketika itu pula- maksudnya ia duduk pada saat ia mulai tahu/sadar dan tidak menundanya, meskipun ia sadarnya sampai dengan saat rukuk, rakaat kelima ini ia duduk.” (Syarhul Mumti’ : 3/342).

Kemudian ia sujud syahwi.

Sujud ini disyari’atkan ketika kita ragu dengan jumlah rakaat, atau kurang jumlah rakaatnya atau kelebihan jumlah rakaatnya.

Pendapat yang rajih, ia boleh dilakukan sebelum salam maupun sesudah salam. Kedua-duanya pernah ada riwayat shahih yang menjelaskannya, dengan tanpa ada ketentuan jika kurang begini jika lebih begini, sebagaimana keterangan Syaikh Husain Al-Awayisyah dalam kitab Mausuah Fiqhiyyah Muyassarah.

Wallahu a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Batas Sholat Dhuha Waktunya Sampai Kapan?

Ikhwatal Iman Ahabbakumullah, saudara saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.. Banyak diantara kita yang telah melazimkan (membiasakan) sholat sunnah dhuha dalam aktivitas pagi harinya, tentu saja karena keutamaan besar yang ada dibaliknya.

Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang keutamaan sholat dhuha;

في الإنسانِ ثلاثُ مِئةٍ وسِتُّونَ مَفصِلًا؛ فعليه أن يتصدَّقَ عن كلِّ مَفصِلٍ منه بصدَقةٍ، قالوا: ومَن يُطِيقُ ذلك يا نبيَّ اللهِ ؟ قال: النُّخَاعةُ في المسجِدِ تدفِنُها، والشَّيءُ تُنحِّيهِ عن الطَّريقِ، فإنْ لم تجِدْ فركعَتا الضُّحَى تُجزِئُكَ

“Manusia memiliki 360 sendi, diwajibkan untuk bersedekah sedekah untuk setiap sendinya”
Para sahabat bertanya, ”Siapa yang mampu melakukan demikian, wahai Nabi Allah?”
Beliau menjawab, ”Menutup dahak yang ada di lantai masjid dengan tanah dan menghilangkan gangguan dari jalanan. Apabila engkau tidak mendapatinya, maka dua raka’at Sholat Dhuha sudah bisa mencukupimu”
[HR Abu Daud 5242]

Dalam hadits Qudsi juga disebutkan,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat roka’at sholat di awal siang (waktu Dhuha) maka itu akan mencukupimu di akhir siang”
[HR Abu Daud 1289, Tirmidzi 475, Darimi 1451, Ahmad 5/286]

Lalu bagaimana dengan Batasan Waktu Sholat Dhuha?

Karena banyak dari kita yang tahu tentang keutamaan Sholat Dhuha tapi masih bingung kapan Start dan Finish nya. Sholat Dhuha ini diawali dengan meningginya matahari, sebagaimana sholat isyroq atau waktu syuruq yang kita kenal. Dikatakan demikian karena memang sholat Isyroq adalah sholat dhuha yang disegerakan, Syeikh Binbaz rohimahullah mengatakan;

Start Waktu Sholat Dhuha

صلاة الإشراق هي صلاة الضحى في أول وقتها

“Sholat Isyroq adalah sholat dhuha di awal waktu”
(Majmu’ Fatawa Syeikh Binbaz 11/401)

Syeikh Utsaimin rohimahullah memberikan perincian lebih tatkala membahas tentang awal dan akhir sholat dhuha;

حوالي اثنتي عشرة دقيقة، ولنجعله ربع ساعة خمس عشرة دقيقة؛ لأنه أحوط فإذا مضى خمس عشرة دقيقة من طلوع الشَّمس، فإنه يزول وقت النَّهي، ويدخل وقت صلاة الضُّحى

“Kurang lebih 12 menit, dan kita jadikan seperempat jam (15 menit) karena hal itu lebih berhati-hati, sehingga ketika berlalu 15 menit dari terbit matahari (meningginya matahari) maka sejatinya telah hilang waktu larangan dan masuk waktu dholat dhuha”

Adapun batas akhir dari sholat dhuha menurut beliau;

قبل زوال الشَّمس بزمنٍ قليل حوالي عشر دقائق

“Sesaat sebelum tergelincirnya matahari, sekitar 10 menit (sebelumnya)”
(Asy-Syarhul Mumti’ 4/87-88)

Maka semua waktu ini adalah waktu untuk sholat dhuha, dan ketahuilah bahwa diantara rentang waktu ini ada waktu terbaik untuk mendirikan sholat dhuha yakni ketika matahari mulai “memanas”, Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda

صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan ketika anak unta mulai beranjak karena kepanasan”
[HR Muslim 1237]

Imam Nawawi rohimahullah menjelaskan hadits diatas

وَالْأَوَّابُ الْمُطِيعُ وَقِيلَ الرَّاجِعُ إِلَى الطَّاعَةِ وَفِيهِ فَضِيلَةُ الصَّلَاةِ هَذَا الْوَقْتَ قَالَ أَصْحَابُنَا هُوَ أَفْضَلُ وَقْتِ صَلَاةِ الضُّحَى وَإِنْ كَانَتْ تَجُوزُ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ إِلَى الزَّوَالِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Al-Awwab artinya orang taat, juga dikatakan orang yang kembali pada ketaatan. Dan inilah waktu utama (afdhol) untuk sholat, para ‘ulama kami (syafi’iyyah) juga mengatakan bahwa inilah waktu terbaik untuk melaksanakan sholat dhuha, walaupun dibolehkan pula jika dilaksanakan pada rentang waktu antara matahari terbit hingga waktu zawal”
(Syarh Shahih Muslim 6/30)

Semoga Allah beri kemudahan bagi kita semua untuk menjadikan sholat dhuha sebagai rutinitas pagi hari kita

Wallahu A’lam Bisshowab.

Ditulis oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Jum’at, 16 Muharram 1441 H/ 04 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Yang Kau Kira Buruk, Bisa Saja Itu Penuh Kebaikan!

Allah Swt Berfirman :

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٌ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.Al-Baqarah:216)

Alangkah indahnya bila kita letakkan ayat ini sebagai pegangan hidup kita ketika menghadapi hal-hal yang tidak kita sukai. Perlu disadari bahwa sebenarnya kita tidak tahu mana yang sebenarnya baik untuk kita. Apakah sesuatu yang kita senangi atau malah sesuatu yang kita benci.

Karenanya sebagai seorang yang beriman, kita tidak boleh menilai suatu kejadian dari dhohirnya saja tanpa melihat hikmah dibalik kejadian tersebut.

Kisah Nabi Khidir as dan Nabi Musa as memberikan kepada kita banyak sekali pelajaran tentang hal ini. Bagaimana seorang Khidir as melakukan sesuatu yang janggal dalam pandangan Nabi Musa as yaitu dengan melubangi kapal orang, membunuh anak kecil dan membangun tembok di sebuah desa yang buruk perlakuan warga setempatnya.

Namun ketika dijelaskan hikmah dibalik semua itu, perbuatan Khidir as yang tampak buruk dan aneh sebenarnya adalah perbuatan baik.

Begitu pula dalam kehidupan kita. Ketika kita menghadapi sesuatu yang tidak kita sukai, cobalah ingat kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa as. Bukankah Allah Swt Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita? Bukankah Dia Yang Maha Bijaksana?

Berapa banyak sesuatu yang kita kira buruk ternyata memiliki efek yang sangat indah bagi kehidupan kita. Maka obatilah segala kepedihan dan kesedihan di hatimu dengan keindahan Firman-Nya :

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٌ لَّكُمۡۖ

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu.”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Selama Allah Mengetahui, Janganlah Khawatir!

Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Baqarah :

وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِير

“Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Baqarah:110)

وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ

Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.” (QS.Al-Baqarah:197)

وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيم

“Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqarah:215)

Ayat-ayat ini dan masih banyak lagi ayat lainnya selalu menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia tidak akan terlepas dari pengetahuan dan pantauan Allah Swt. Dia lah nanti yang akan memberi ganjaran dan memberi balasan atas semua yang diperbuat oleh manusia.

Oleh karenanya, kita tidak layak untuk :

1. Putus asa apabila tidak ada seorang pun yang melihat apa yang telah kita lakukan.

2. Jangan bersedih apabila tidak ada yang menghargai apa yang telah kita lakukan.

Cukuplah Allah Swt yang mengetahui setiap perbuatanmu dan cukup Dia-lah yang akan membalasnya dan menghargainya.

يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ

“(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan.” (QS.Ali ‘Imran:30)

Kebaikanmu, kepedulianmu, ke-ramahanmu kepada orang lain, baktimu kepada sesama, semua itu janganlah kau berharap balasan dari mereka. Karena andai kau tidak mendapatkan balasannya di dunia, sungguh Allah telah menyiapkan ganjaran yang jauh lebih besar di akhirat.

وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيۡرٗا وَأَعۡظَمَ أَجۡرٗاۚ

Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. (QS.Al-Muzzammil:20)

Maka jangan bosan dan jangan malas untuk berbuat baik karena tidak ada manusia yang meng-apresiasi kebaikanmu, bahkan walau mereka mengingkari kebaikan yang telah kau lakukan sekalipun.

Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berpesan :

لَا يُزَهِّدَنَّكَ فِي الْمَعْرُوفِ مَنْ لَا يَشْكُرُه لَكَ

“Jangan sampai orang yang tidak meng-apresiasimu membuatmu kendor dalam berbuat kebaikan.”

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Pahala Diam dan Bicara

Diam hanyalah pada perkara maksiat dan berbicara pada perkara taat.

Seperti dikutip Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, Nabi SAW bersabda, “Diamnya seorang ulama adalah aib, dan bicaranya adalah hiasan. Sedangkan bicaranya orang bodoh adalah aib, dan diamnya adalah hiasan.”  Dengan kata lain, diam tidak selalu jadi hiasan, dan bicara tidak selalu jadi aib. Tergantung siapa yang diam dan bicara.

Syekh Nawawi Banten menulis dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits bahwa manusia itu sering kali diam dan sering kali juga bicara. Ketika berbicara, ada kalanya mengenai persoalan yang baik, maka ia beruntung. Namun, manakala ia berbicara tentang masalah yang buruk, maka manusia merugi. Jadi berbicara mengenai masalah yang baik beroleh pahala.

Namun, lanjut Syekh Nawawi Banten, apabila manusia diam, ada kalanya ia diam dalam seuatu perkara yang buruk, maka ia beruntung (mendapat pahala). Namun, kalau diam dari persoalan yang baik yang wajib diutarakan, maka sesungguhnya ia telah merugi (mendapat dosa). Maka bagi manusia dalam diam dan bicara, mestinya mendapat pahala.

Nabi SAW bersabda, “Perlindungan diri itu ada sepuluh bagian, yang sembilan terdapat dalam diam.” (HR Dailami). Menurut Syekh Nawawi Banten, diam yang dapat menjadi perlindungan diri (dari bahaya) adalah diam dari segala perkara yang tidak berpahala. Atau bahkan lebih jauh dapat menimbulkan angkara murka di dunia dan di akhirat.

Seperti dikutip oleh Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Siraj al-Munir, Syekh al-Manawi berkata bahwa sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk memilih perlindungan diri (dengan cara diam). Bagi yang tidak mampu atau terpaksa karena berada di suatu komunitas atau dalam rangka mencari rezeki, maka tetap orang itu harus memilih banyak diam.

Allah SWT berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS al-Nisaa/4: 114).

Berdasar ayat ini, bagi kaum Muslim, diam dan bicara dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata. Namun, menurut Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, apabila semua itu dilakukan karena riya, harga diri, dan demi gengsi, maka diam dan bicaranya itu menjadi bencana besar yang akan merugikan dirinya (di dunia dan di akhirat).

Karena pentingnya persoalan ini, terutama bagi manusia modern di era media sosial yang serba terkoneksi, Nabi SAW bersabda seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Seluruh perkataan manusia berbahaya dan tidak bermanfaat baginya, kecuali perkataan yang mengandung amar ma’ruf nahi munkar atau berzikir dengan menyebut nama Allah.” 

Secara presentase, banyak bicara itu lebih besar kelirunya. Nabi SAW mewanti-wanti, “Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak kelirunya. Barangsiapa yang banyak kelirunya, maka banyak dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR Thabrani).  Untuk itu, mari bicara dengan ilmu dan argumentasi yang tak terbantah.

Namun, untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan keliru saat bicara, misalnya, saat ditanya mengenai persoalan yang memang orang itu tidak tahu ilmunya, hendaklah dijawab dengan tiga kata, “Aku tidak tahu.” Umar bin Khattab berkata, seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Diam itu merupakan anak kunci (bagi) mulut.”

Kesimpulannya, diam hanyalah pada perkara maksiat dan berbicara pada perkara taat. Jadi, kalau bicara dalam perkara taat kepada Allah SWT adalah emas, maka diam dari maksiat kepada Allah SWT adalah mutiara. Semoga diam dan bicara kita yang naik ke langit hingga menembus tujuh petalanya bernilai pahala, indah seperti emas dan mutiara.

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Wakaf Dengan Uang yang Akan Dibelikan Tanah

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Bismillah, ustadz mau tanya.
Dalam sebuah poster penggalangan dana untuk wakaf sebuah sekolah disitu tertulis titip wakaf yang nilainya tertulis disitu harga permeter tanah tersebut. Apakah maksud dari titip wakaf tersebut ustadz, apakah diperbolehkan dalam Islam?
Mohon penjelasannya, Jazakallahu khoyron.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Titip wakaf hanya sebuah pilihan diksi kalimat, pada hakikatnya ia adalah wakaf dengan uang, kemudian uang yang terkumpul ini dibelikan sesuatu atau benda yang bersifat permanen. Seperti untuk beli Mushaf al-Quran, atau sepenggal tanah atau bagian kecil dari bangunan masjid, dan semisalnya yang mengandung kemanfaatan untuk umat serta bersifat permanen.

Bagaimana hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat tentang wakaf jenis ini, pendapat terpilih dan terkuat tentang wakaf dengan uang tunai adalah boleh. Alasannya karena memiliki maksud yang sama serta manfaatnya bersifat permanen (tidak mudah habis/hilang).

Ibnu Abidin rahimahullah pernah mengatakan dalam hasyiyahnya,

وإن الدراهم لا تتعين بالتعيين، فهي وإن كانت لا ينتفع بها مع بقاء عينها لكن بدلها قائم مقامها لعدم تعينها، فكأنها باقية ولا شك في كونها من المنقول

“Dinar tidak mungkin tetap, maka walaupun ia tidak bisa dimanfaatkan dengan cara mempertahankan zatnya, akan tetapi penggantinya (badal) menempati posisinya, karena dia tidak bisa dipertahankan. Seolah dia tetap. Dan semua tahu bahwa uang termasuk barang mudah berubah.”
(lihat Hasyiah Ibnu Abdin, 4/364).

Dan inilah yang menjadi keputusan Majma’ al Fiqh al-Islamy ad-Dauly no. 140 tahun 2004,

وقف النقود جائز شرعاً، لأن المقصد الشرعي من الوقف وهو حبس الأصل وتسبيل المنفعة متحقق فيها ؛ ولأن النقود لا تتعين بالتعيين وإنما تقوم أبدالها مقامها.

“Wakaf uang tunai boleh secara syariat, karena tujuan syariat dalam wakaf bisa diwujudkan, yaitu ‘mempertahankan harta pokok dan mendayagunakan manfaatnya’. Dan keberadaan uang tunai tidak tetap zatnya, namun dijadikan benda lain yang menggantikan posisinya.

يجوز وقف النقود للقرض الحسن، وللاستثمار إما بطريق مباشر، أو بمشاركة عدد من الواقفين في صندوق واحد، أو عن طريق إصدار أسهم نقدية وقفية تشجيعاً على الوقف، وتحقيقاً للمشاركة الجماعية فيه

Boleh wakaf dalam bentuk uang untuk diberikan dalam bentuk utang (al-Qardh al-Hasan), atau diinvestasikan, baik secara langsung atau melalui kerja sama sejumlah pemberi wakaf, di kotak donasi yang sama. Atau dengan menerbitkan saham tunai untuk wakaf sebagai motivasi untuk wakaf, dan mewujudkan kerja sama masyarakat di dalamnya.”

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 20 Muharram 1442 H / 08 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM


Bagimu Pemuda Malas, Nan Enggan Bekerja

Pada sebuah kesempatan, Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah ditanya, “Ada seorang pemuda, ia mampu bekerja tapi enggan bekerja. Apa pendapat anda?”

Beliau menjawab:

Pendapatku sama dengan pendapat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

أرى الشاب فيعجبني فأسأل عن عمله فيقولون لا يعمل فيسقط من عيني

Aku melihat seorang pemuda, ia membuatku kagum. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak bekerja. Seketika itu pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إن أطيب كسب الرجل من يده

Pendapatan yang terbaik dari seseorang adalah hasil jerih payah tangannya

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki yang kulit tangannya kasar, beliau bersabda,

هذه يد يحبها الله ورسوله

Tangan ini dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya

Beliau juga bersabda,

إذا قامت القيامة وفي يد أحدكم فسيلة فليغرسها

Jika qiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki cangkokan tanaman, tanamlah!

Beliau juga bersabda,

كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يعول

Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya

Jika seseorang duduk di masjid menyibukkan diri dalam urusan agama, menuntut ilmu agama atau beribadah namun menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya, ia adalah seorang pendosa. Ia tidak paham bahwa bekerja untuk menjaga iffah dirinya, istrinya dan anak-anaknya adalah ibadah. Terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الساعي على الأرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل الله

Petugas pengantar shadaqah untuk janda dan orang miskin bagaikan mujahid di jalan Allah

Al Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman, membawakan sebuah riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu:

يا معشر القراء (أي العباد) ارفعوا رؤوسكم، ما أوضح الطريق، فاستبقوا الخيرات، ولا تكونوا كلاً على المسلمين

Wahai para pembaca Qur’an (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepada kalian, sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin

Dan janganlah menjadi beban bagi orang lain. Muhammad bin Tsaur menceritakan, suatu ketika Sufyan Ats Tsauri melewati kami yang sedang berbincang di masjidil haram. Ia bertanya: ‘Kalian sedang membicarakan apa?’. Kami berkata: ‘Kami sedang berbincang tentang mengapa kita perlu bekerja?’. Beliau berkata:

اطلبوا من فضل الله ولا تكونوا عيالاً على المسلمين

Carilah rezeki dari Allah dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin”.

Pada kesempatan lain, Sufyan Ats Tsauri sedang sibuk mengurus hartanya. Lalu datanglah seorang penuntut ilmu menanyakan sebuah permasalahan kepadanya, padahal beliau sedang sibuk berjual-beli. Orang tadi pun lalu memaparkan pertanyaannya. Sufyan Ats Tsauri lalu berkata: ‘Wahai anda, tolong diam, karena konsentrasiku sedang tertuju pada dirhamku, dan ia bisa saja hilang (rugi)’. Beliau pun biasa mengatakan,

لو هذه الضيعة لتمندل لي الملوك

Jika dirham-dirham ini hilang, sungguh para raja akan memanjakan diriku

Ayyub As Sikhtiani berkata:

الزم سوقك فإنك لا تزال كريماً مالم تحتج إلى أحد

Konsistenlah pada usaha dagangmu, karena engkau akan tetap mulia selama tidak bergantung pada orang lain

Agama kita tidak mengajak untuk miskin. Ali radhiallahu ‘anhu berkata:

لو كان الفقر رجلاً لقتلته

Andaikan kefaqiran itu berwujud seorang manusia, sungguh akan aku bunuh ia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdoa,

اللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر

Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekafiran dan kefaqiran

Maka wajib bagi setiap muslim untuk bekerja, berusaha, bersungguh-sungguh dan tidak menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya. Orang yang hanya duduk diam, ia bukanlah mutawakkil (orang yang tawakal), melainkan ia adalah mutawaakil (orang yang pura-pura tawakkal). Ini adalah kemalasan.

Manusia diciptakan di dunia agar mereka dapat bekerja, berusaha dan bersungguh-sungguh. Para nabi pun bekerja, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pun berdagang. Orang yang berpendirian bahwa duduk diam tanpa bekerja adalah tawakkal, kemungkinan pertama ia memiliki pemahaman agama yang salah, atau  kemungkinan kedua ia adalah orang malas yang gemar mempercayakan urusannya pada orang lain.

Kepada orang yang demikian kami nasehatkan, perbaikilah niat anda dan carilah penghasilan yang halal, bertaqwalah kepada Allah dan tetap berada dalam ketaatan. Bersemangatlah untuk menghadiri perkumpulan penuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu dengan tanpa menelantarkan orang yang menjadi tanggungan anda. Orang yang inginnya meminta-meminta dari orang lain, Allah akan membukakan baginya pintu kefaqiran. Orang yang bekerja, dialah orang yang kaya. Karena kekayaan hakiki bukanlah harta, melainkan kekayaan jiwa. Orang yang kaya jiwanya tidak gemar meminta-minta kepada orang lain.

Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufiq agar menjalankan apa yang Allah cintai dan ridhai.

[Diterjemahkan oleh Yulian Purnama dari Fatawa Syaikh Masyhur Hasan Salman, fatwa no.94]

*) Beliau adalah seorang ulama di masa ini yang berasal dari negeri Palestina, dan merupakan salah seorang murid dari Asy Syaikh Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Beliau dikenal sebagai seorang muhaqqiq (peneliti), pakar hadits dan pakar fiqih.

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Kedudukan Ilmu dan Ulama Hadits

Keutamaan Ulama Hadits

al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi’i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 63)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat salah seorang As-habul Hadits seolah-olah aku sedang melihat salah seorang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan balasan terbaik untuk mereka. Mereka telah menjaga dalil (hadits) untuk kita. Oleh sebab itu kita sangat berhutang budi kepada mereka.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 63 dan Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 118)

Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada di dunia ini seorang ahli bid’ah kecuali dia pasti membenci ahli hadits. Maka apabila seorang membuat ajaran bid’ah niscaya akan dicabut manisnya hadits dari dalam hatinya.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 124)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Para malaikat adalah para penjaga langit sedangkan ashabul hadits adalah para penjaga bumi.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 31)

Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan: Aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu [agama].” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 118)

Kemuliaan Ilmu Hadits

Adalah Malik bin Anas, apabila beliau ingin berangkat untuk mengajarkan hadits maka beliau pun berwudhu sebagaimana wudhu untuk sholat. Beliau mengenakan pakaiannya yang terbaik dan memakai peci. Dan beliau pun menyisir jenggotnya. Tatkala hal itu ditanyakan kepadanya, beliau menjawab, “Aku ingin memuliakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah oleh Imam Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, hal. 87-88)

Waki’ rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada [ilmu] hadits.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)

Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Mak-hul asy-Syami rahimahullah berkata, “al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-Sunnah, daripada kebutuhan as-Sunnah terhadap al-Qur’an.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 15; kitab ini dihadiahkan kepada kami oleh al-Ustadz M. Abduh Tuasikal hafizhahullah )

asy-Syarif Hatim bin ‘Arif al-‘Auni hafizhahullah mengatakan, “Oleh sebab itu benarlah jika dikatakan bahwa orang yang sedang mempelajari as-Sunnah (hadits) sebagai orang yang sedang mempelajari al-Qur’an. Dan tidaklah salah jika dikatakan kepada orang yang membaca as-Sunnah, bahwa dia sedang membaca tafsir al-Qur’an!!” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 15)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat manusia daripada hadits.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 32)

Ikhlas dalam Belajar Hadits

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd, hal. 69)

Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Fitnah/cobaan yang timbul oleh hadits lebih dahsyat daripada fitnah yang ditimbulkan dari emas dan perak.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 33)

Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Fitnah yang timbul dari hadits lebih dahsyat daripada fitnah karena harta dan anak-anak.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/97])

ar-Rabi’ berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi’i- mengatakan, “Langit manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana kandungan hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A’immah al-Kibar, hal. 56)

Bertahap dan Terus Menerus

Ma’mar mengatakan: Aku pernah mendengar az-Zuhri mengatakan, “Barangsiapa yang menuntut ilmu secara instan maka ia akan hilang dengan cepat. Sesungguhnya ilmu hanya akan diperoleh dengan menekuni satu atau dua hadits, sedikit demi sedikit.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ulama hadits berpesan, tidak semestinya seorang penimba ilmu hadits mencukupkan diri mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahami kandungannya. Sebab hal itu akan membuang tenaganya dalam keadaan dia tidak mendapatkan apa-apa. Hendaknya dia menghafalkan hadits secara bertahap. Sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan siang dan malam.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/70])

Suatu saat Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dicela karena sedemikian sering mencari hadits. Beliau pun ditanya, “Sampai kapan kamu akan terus mendengar hadits?”. Beliau menjawab, “Sampai mati.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 58)

Tatkala begitu banyak orang yang menghadiri pelajaran hadits pada masa al-A’masy maka ada yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Muhammad, lihatlah mereka?! Betapa banyak jumlah mereka!!”. Maka beliau menjawab, “Janganlah kamu lihat kepada banyaknya jumlah mereka. Sepertiganya akan mati. Sepertiga lagi akan disibukkan dengan pekerjaan. Dan sepertiganya lagi, dari setiap seratus orang hanya akan ada satu orang yang berhasil -menjadi ulama-.” (lihat Nasha’ih Manhajiyah li Thalib ‘Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 28)

Waki’ rahimahullah berkata, “Apabila kamu ingin menghafalkan hadits, maka amalkanlah hadits itu.” (lihat mukadimah az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 91)

Tulisan ini disusun ulang di Kantor YPIA

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel: Muslim.or.id

Menyikapi Krisis Ekonomi di Masa Pandemi

Pandemi covid 19 yang tengah menimpa kita saat ini banyak merubah tatanan kehidupan, terlebih dalam masalah perekonomian. Banyak yang mengeluhkan pendapatan yang berkurang, barang dagangan yang kurang laku, ada yang di PHK diperusahaannya, barang-barang pokok mengalami kenaikan dan permasalahan lainnya yang serupa.

Ketahuilah bahwa hal tersebut memberikan banyak pelajaran dan menyadarkan kita bahwa hanya Allah yang berkuasa dalam mengatur harga dan perekonomian, sehebat apapun strategi bisnis seseorang jika Allah ingin buat dia bangkrut maka dia akan bangkrut dengan cara Allah.

Poin inilah yang ingin dijelaskan rasulullah ﷺ kepada umatnya, tatkala para sahabat mengeluhkan naiknya harga barang, beliau ﷺ bersabda:

إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Sesungguhnya Allah lah yang mengatur harga barang, Dialah yang menyempitkan, melapangkan, dan memberikan rezeki. Sesungguhnya aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak seseorang pun dari kalian yang menuntutku untuk sebuah kezhaliman baik masalah darah maupun harta”.
(HR. Abu Dawud no. 3451, Tirmidzy no. 1314, Ibnu Majah : 2200).

Dalam tulisan ini kami mencoba untuk mengumpulkan hal-hal yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam menyikapi krisis ekonomi di masa pandemi.

1. Rezeki telah dijamin Allah

Apapun kondisi seorang hamba, kapanpun dan dimanapun dia berada, ketahuilah Allah ﷻ telah mengatur dan menjamin rezekinya. Allah ﷻ berfirman:

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak ada satu makhluk pun yang berjalan di atas bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam makhluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”
(QS. Hud : 6).

Allah juga berfirman:

وَكَأَيِّن مِّن دَآبَّةٍ لَّا تَحْمِلُ رِزْقَهَا ٱللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak makhluk yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al – Ankabut: 60).

Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa rezeki telah ditetapkan dan dijamin oleh Allah. Allah lah yang memudahkan sampainya rezeki kepada seorang makhluk, bukan karena kekuatan dirinya atau kehebatannya.

Lihatlah para janin yang masih dalam kandungan ibunya, begitu pula seorang bayi yang baru lahir ke dunia ini, dirinya belum memliki kekuatan untuk bekerja mencari penghasilan, tapi Allah antarkan rezekinya kepada dirinya lewat perantara orang tuanya.

Dalam sebuah hadits rasulullah ﷺ bersabda:

أيها الناس اتقوا الله وأجملوا في الطلب فإن نفسا لن تموت حتى تستوفي رزقها وإن أبطأ عنها ، فاتقوا الله وأجملوا في الطلب ، خذوا ما حل ودعوا ما حرم

“Wahai manusia sekalian, bertakwalah kepada Allah dan perindahlah cara meminta (kepada Allah dalam mencari rezeki), karena sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai dia mendapatkan semua rezekinya walaupun terlambat (dalam pandangannya), maka bertakwalah kalian kepada Allah dan perindahlah cara meminta (dalam mencari rezeki), ambilah cara yang halal dan tinggalkanlah yang haram.”
(HR. Ibnu Majah : 2144).

Hadits diatas menjelaskan bahwa rezeki kita semua telah dijamin oleh Allah, tidak ada satu orangpun yang tidak mendapatkan rezeki yang telah ditetapkan untuknya, dan dia tidak akan menemui ajalnya kecuali ketika dirinya telah menikmati semua rezekinya. Oleh karenanya, dalam hadits tersebut rasulullah ﷺ mengajak kita untuk lebih fokus dalam permasalahan ketakwaan bukan kepada rezeki, karena rezeki telah dijamin.

2. Penghalang rezeki bukan pandemi tapi maksiat.

Pandemi atau tidak pandemi tidak akan merubah keadaan bahwa Dzat yang memberikan rezeki adalah Allah. Allah lah pemberi rezeki baik di masa normal atau di masa pandemi. Sehingga satu-satunya hal yang bisa menghalangi rezeki adalah kedurhakaan kita kepada Ar-Rozzaq, Dzat yang memberikan rezeki. Sehingga Allah enggan memberikan rezekinya kepada kita.

Dalam sebuah hadits rasulullah ﷺ bersabda:

إن العبد ليحرم الرزق بالذنب يصيبه

“Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rezeki disebabkan dosa yang ia perbuat”
(HR. Ahmad no. 22491).

Hadits tersebut diperselisihkan ulama akan keshohihan sanadnya, namun jika ditinjau dari sisi makna, maka banyak penguat yang mendukungnya. Banyak dalil yang menunjukan bahwa ketakwaan adalah sebab utama mendatangkan rezeki, sehingga lawan dari ketakwaan yaitu kemaksiatan akan menjadi penghalang datangnya rezeki.

Allah berfirman:

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزفه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar bagi dari permasalahannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. Ath Thalaq : 2 – 3).

Begitu pula beristighfar serta bertaubat memohon ampun kepada Allah ﷻ dari dosa – dosa yang dilakukan merupakan sebab dibukakan pintu rezeki. Allah berfirman mengisahkan seruan nabi Nuh kepada kaumnya:

فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفارا. يرسل السماء عليكم مدرارا. ويمددكم بأموال وبنين ويجعل لكم جنات ويجعل لكم أنهارا

“Aku (Nuh) katakan : minta ampunlah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah maha pengampun. Nisacaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat kepada kalian. Dan Dia akan memberikan kepada kalian harta yang banyak dan anak-anak, dan Dia juga akan menjadikan kebun-kebun dan sungai-sungai untuk kalian.”
(QS. Nuh : 10 -12).

Hendaknya masing-masing kita meletakkan perkara ini di depan matanya, ketika dia merasa sempit seharusnya dia lebih meningkatkan ketakwaannya kepada Allah bukan malah menggerutu dan kecewa akan ketetapan Allah dan berjalan lebih jauh lagi ke dalam kemaksiatan. Diriwayatkan bahwa dahulu ada seorang salaf yang berkata:

والله لا أبالي ولو أصبحت حبة الشعير بدينار! عليَّ أن أعبده كما أمرني، وعليه أن يرزقني كما وعدني

“Demi Allah, aku tidak peduli dengan kenaikan harga barang, walaupun harga sebiji gandum adalah 1 dinar (4,25 gr emas). Kewajibanku adalah berbibadah kepada Allah sesuai yang ia perintahkan, dan Dia pasti akan memberikan rezekiku sebagaimana yang telah Dia janjikan.”

Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ. مَآ أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ. إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan yang Sangat Kokoh.”
(QS. Adz – Dzariyat: 56 – 58).]

3. Tawakkal bukan berarti tidak berusaha.

Ketika hati telah meyakini bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang memberikan rezeki, maka tumbuhlah tawakkal dalam diri. Apa itu tawakkal?
Tawakkal adalah bersandarnya hati hanya kepada Allah di setiap keadaan (Lihat : https://binbaz.org.sa/fatwas/17306/حقيقة-التوكل-على-الله). Tawakkal merupakan ibadah hati yang harus dijalanan oleh setiap insan yang beriman.

Allah ﷻ berfirman:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

“Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”.
(QS. At – Taubah :51).

Namun, tawakkal bukan berarti bermalas-malasan dan tidak mengambil sebab dalam menggapai tujuan, bahkan para ulama menjelaskan bahwa mengambil sebab merupakan syarat sahnya tawakkal dalam hati. Karena orang yang bersandar kepada Allah maka dia akan melakukan sesuatu yang Allah perintahkan dan akan berjalan di atas ketetapan Allah. Allah ﷻ telah menetapkan perjalanan dunia ini dengan sebab-sebabnya. Oleh karenanya rasulullah ﷺ bersabda:

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجزن

“Bersemangatlah untuk meraih hal yang bermanfaat bagimu, dan minta tolonglah kepada Allah, jangan pernah merasa lemah”.
(HR. Muslim: 47).

Begitu pula tidak boleh bagi seseorang untuk bersandar kepada sebab dan menjadikan sebab segalanya. Orang-orang seperti ini tidak lagi bersandar kepada Allah dan mereka tidak meyakini bahwa Allah lah yang menggerakkan sebab-sebab itu terjadi.

Sehingga, ada dua kelompok orang yang salah dalam masalah tawakkal:
1.Orang yang merasa dirinya bertawakkal, lalu tidak mau mengambil sebab. Orang – orang ini adalah orang yang tertipu, dan mengingkari ayat-ayat Allah yang mengharuskan mengambil sebab.
2.Orang yang terlalu bergantung kepada sebab, sehingga lupa bahwa Allah lah yang menetapkan segala sesuatu. Orang yang seperti ini bisa jatuh kepada kesyirikan.]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

فعلى العبد أن يكون قلبه معتمداً على الله ، لا على سببٍ من الأسباب ، والله ييسر له من الأسباب ما يصلحه في الدنيا والآخرة

“Seorang hamba wajib menyandarkan hatinya hanya kepada Allah ﷻ, bukan kepada sebab. Allah yang memudahkannya menjalankan sebab yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.”
(Majmu’ fatawa: 8/528).

Sedangkan Ahlusunnah mengatakan bahwa kita harus mengikuti ketetapan Allah dan mengambil sebab yang Allah tetapkan akan tetapi hati tetap harus bergantung dan bersandar kepada Allah bukan kepada sebab.

Pembaca yang semoga dimuliakan Allah.
Tawakkal merupakan sebab mudahnya seseorang mencari rezki. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Kalaulah kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar – benarnya tawakkal, maka kalian akan diberikan rezeki seperti halnya seekor burung. Burung tersebut pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”
(HR. Tirmidzy : 2344).

Alhafizh Ibnu Hajar berkata:

حديث عمر هذا يدلُّ على أنَّ النَّاس إنَّما يُؤتون مِنْ قلَّة تحقيق التوكُّل ، ووقوفهم مع الأسباب الظاهرة بقلوبهم ومساكنتهم لها ، فلذلك يُتعبون أنفسَهم في الأسباب ، ويجتهدون فيها غاية الاجتهاد ، ولا يأتيهم إلاّ ما قُدِّر لهم ، فلو حَقَّقوا التوكُّلَ على الله بقلوبهم ، لساقَ الله إليهم أرزاقهم مع أدنى سببٍ ، كما يسوقُ إلى الطَّير أرزاقها بمجرَّدِ الغدوِّ والرواح ، وهو نوعٌ من الطَّلب والسَّعي ، لكنه سعيٌ يسيرٌ

“Hadits Umar ini menunjukkan bahwa manusia mendapatkan hukuman disebabkan kurangnya pengaplikasian tawakkal dalam diri. Dan mereka terlalu bergantung dan merasa tenang dengan sebab-sebab yang zhohir, sehingga mereka berletih-letih dalam mengambil sebab, dan mengerahkan segala sesuatu yang mereka miliki, namun mereka hanya mendapatkan apa yang telah ditetapkan untuk mereka.
Kalaulah mereka benar – benar mengaplikasikan tawakkal dalam hati mereka, maka Allah yang akan membawakan rezeki kepada mereka walaupun hanya dengan sebab yang remeh, sebagaimana Allah membawakan rezeki kepada seekor burung hanya dengan terbang di waktu pagi dan pulang di sore hari, itu memang sebuah usaha dalam mencari rezeki, namun usaha yang ringan.”
(Jami’ul Ulum walhikam : 2/321).

Ditulis oleh:
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
(Kontributor bimbinganislam.com)

BIMBINGAN ISLAM