Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca Muslim.Or.Id sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Jumadats Tsaniyyah 1436 H di sore hari ba’da Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc (Pengasuh Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html

Ayat Sajdah dalam Alquran, Bagaimana Cara Mengenalinya?

Ayat sajdah dalam Alquran terdapat pada 15 ayat dan surah yang berbeda.

Alquran menggambarkan keagungan Allah SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada yang patut disekutukan dengan-Nya. Bahkan, terdapat sejumlah ayat yang secara tegas memerintahkan untuk menyembah dan bersujud kepada Allah. Ayat-ayat demikian dinamakan dengan ‘ayat sajdah’.

Dalam mushaf Alquran, biasanya tertulis pada pinggiran musfah kata bahasa Arab “sajdah”. Ayat Sajdah adalah ayat-ayat Alquran yang menunjukkan perintah bersujud atau menceritakan orang-orang yang sujud dengan nuansa anjuran agar yang mendengar ayat tersebut mengikuti mereka. 

H Sakib Machmud dalam bukunya berjudul “Mutiara Juz ‘Amma” menyebutkan, bahwa orang yang membaca ayat sajdah ini disunahkan untuk melakukan sujud baik di dalam atau di luar shalat. 

Selain yang membaca, orang yang mendengar ayat sajdah pun disunahkan sujud, seperti sujud di waktu shalat sesudah i’tidal. Sujud karena bacaan ayat sajdah ini disebut dengan sujud tilawah.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam membaca ayat sajdah kemudian dia sujud, maka setan akan menjauh sambil menangis dan berkata, “Oh celaka!” Dalam riwayat Abu Kuraib: “Oh, Celakanya aku. Anak Adam diperintahkan untuk sujud dan dia bersujud, maka dia mendapatkan surga. Sedangkan aku diperintahkan untuk sujud tetapi aku menolak, maka aku mendapatkan neraka.”

Menurut riwayat al-Bukhari, surah an-Najm adalah permulaan surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah. Sementara menurut riwayat Ibnu Ishaq, surat an-Najm adalah permulaan surat yang dibacakan Nabi Muhammad SAW dengan terang-terangan dan dinyaringkan bacaannya di hadapan orang ramai.  

Berdasarkan riwayat, ketika surah an-Najm telah diturunkan kepada Nabi SAW, suatu hari Nabi SAW membacakan seluruh surat itu di Masjid al-Haram, yang kebetulan didengarkan kaum Muslimin dan musyrikin.  

Kemudian, saat bacaan Nabi sampai di ayat yang terakhir, beliau bersujud. Ayat tersebut berbunyi: 

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا 

“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (an-Najm:62)

Kaum Muslimin dan musyrikin yang ada di sana lantas bersujud mengikuti Nabi SAW. Kecuali, hanya seorang musyrik yang tidak ikut bersujud. 

Namun, dia mengambil segenggam tanah di tapak tangannya, lalu bersujudlah ia di atas tapak tangan itu. Menurut riwayat, nama seorang Musyrik itu adalah Umayyah bin Khalaf, seorang dari golongan pemuka musyrikin yang sangat memusuhi dakwah Nabi saw.

Dalam buku berjudul “Kelengkapan Tarik Nabi Muhammad Edisi Istimewa Jilid 6” disebutkan, bahwa kaum musyrik bersujud lantaran mereka tertarik akan ketajaman tata bahasa dan keindahan susunan kata yang baru dibaca Nabi SAW, dan bukanlah karena hendak mengikuti sujud Nabi. Sebab, kala itu, mereka belum mau beriman kepada ayat-ayat Allah.

Mengutip Jannah Firdaus Mediapro dalam bukunya berjudul “Risalah Tuntunan Fiqh Lengkap Kaum Wanita Muslimah Edisi Bahasa Indonesia” menyebutkan, bahwa ayat-ayat sajdah di dalam Alquran terdapat pada 15 tempat. Empat imam madzhab sepakat bahwa ayat sajdah ada 10 ayat  di antaranya: 

  1. إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (QS al-Araaf: 206) 
  2. وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ  (QS ar-Ra’du: 15)  
  3. وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (QS an-Nahl: 29) 
  4. قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا  (QS al-Isra’: 107)   
  5. (QS Maryam: 58) أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا 
  6. (QS al-Hajj: 18) أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ 
  7. وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَٰنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (QS al-Furqan: 60)
  8. أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ (QS an-Naml: 25)
  9. إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (QS as-Sajdah: 15)
  10. وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ  (QS Fushilat 37)

Sementara itu Ibn Ishaaq bin Rahawaih berpendapat, jumlah ayat sajdah adalah 15, yakni 10 di atas ditambah lima ayat lain. Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya. Ayat tersebut di antaranya: 

  • فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا (QS an-Najm 62)  
  • وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ (QS al-Insyiqaq: 21) 
  • كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (QS al-Alaq: 19)  
  • (QS Shad: 24) الَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ       

Sementara 1 ayat yang masih diperselisihan dan tidak ada hadits marfu’ (hadis yang sampai pada Nabi SAW) yang menjelaskannya. Akan tetapi, banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajdah, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  (QS al-Hajj: 77) 

KHAZANAH REPUBLIKA


Meneladani Asma Allah al-Hakim dan al-Hakam

SAUDARAKU, kali ini kita akan mengkaji asma Allah al-Hakim, Allah yang Maha Bijaksana dan al-Hakam, Allah SWT yang memutuskan perkara. Al-Hakim dapat ditemukan di dalam surah al-Anam [3]: 18, “Dan Dialah Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” Dan dalam al-Baqarah[2]: 228, “Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kebijaksanaan pasti berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Orang yang bijaksana biasanya luas sekali pengetahuannya. Kalau sedikit pengetahuannya, maka sulit menjadi bijaksana. Karena kata-kata bijak itu biasanya mengambil dari kata-kata terbaik dari yang baik. Jadi, kalau pengetahuan tentang kebaikannya sedikit, susah untuk mengambil kebaikan.

Dalam suarh an-Nisa[4]: 26 disebutkan, “dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Semakin kita memahami seseorang, memahami duduk perkara, memahami aturan, ilmu kita luas tentang aturan, serta ilmu kita lengkap tentang informasi dan data yang kita ketahui. Keputusan kita, Insya Allah akan paling baik.

Allah SWT tahu persis siapa kita, karena yang menciptakan kita adalah Allah. Yang mendesain kita adalah Allah. Bukan hanya hardware, tapi software-nya juga. Jadi perasaan-perasaan kita ini, Allah yang menciptakan.

Allah tahu keperluan kita karena Dia menciptakan keperluan kita, semuanya. Oleh Allah yang Maha Bijaksana diatur keinginannya juga. Sebagai contoh, tidak semua ingin punya mobil Ferrari. Saudara pasti belum ingin. Pertama, tidak tahu mobilnya. Yang kedua, juga tidak terbayang mau disimpan di mana, sedangkan rumah di gang. Sekali digas, bisa geger otak! Jadi begitulah, Allah Maha Bijaksana.

Nah, sekarang tentang al-Hakam. Dalam al-Anam[3]: 114, “maka patutkah aku mencari Hakim, selain kepada Allah? Dan Dialah Allah, Hakim sebaik-baiknya.” Jadi saudaraku sekalian, jangan takut dengan pengadilan dunia. Pengadilan dunia itu susah adil, benar?

Rasulullah saw bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia tahu mana yang benar. Maka, ia di neraka. Yang kedua hakim yang bodoh, lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Yang ketiga hakim yang menghakimi, yang memutuskan dengan benar, maka ia masuk surga.”

Nah, saudara sekalian, hati-hati kalau saudara jadi hakim. Jangan sampai bisa kebeli oleh uang. Jangan kalah oleh tekanan. Karena keputusan itu akan berdampak, bagi dirinya sendiri dunia akhirat. Dia akan memikul sesuatu yang amat besar di akhirat nanti.

Hakim itu menjadi adil kalau, satu, memiliki fakta yang sangat lengkap tak terbantahkan, benar? Dan yang kedua, memang mengetahui hukum yang seadil-adilnya. Ada fakta, ada aturannya. Dan tiada yang paling mengetahui seseorang yang akan diadili selain Allah. Karena Allah Maha Tahu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Tahu isi hati, Maha Menyaksikan segala yang dilakukan, tidak ada yang tersembunyi lagi.

Nah, Allah Maha Tahu apa pun yang kita lakukan; yang terang-terangan, yang sembunyi-sembunyi. Yang rame-rame, yang sendiri-sendiri. Tidak bisa berkelit. Semuanya akan bersaksi. Nanti kita dengar bagaimana kulit ini bisa bersaksi, lihat surat Fushilat[41]: 22, “Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu. Tetapi, engkau mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.”

Rasulullah pun menunjukan kebijaksanaan dalam mengambil sikap. Salah satu contoh bijaksananya Rasulullah terlihat dalam sebuah riwayat. Ada seorang yang menamai dirinya Abul Hakam. Karena al-Hakam itu nama Allah, jadi tidak boleh menamainya dengan nama bapak Hakam. Tapi Rasul tidak marah, ketika ada orang datang yang bernama Abul Hakam.

“Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam dan hukum segalanya kepada-Nya dikembalikan. Mengapa kamu mempunyai nama kunyah, nama panggilan Abul Hakam?” begitu Rasulullah bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Ketika kaumku berselisih, mereka datang kepadaku. Lalu aku mengambil keputusan yang membuat kedua belah pihak rida.” Lalu

Rasulullah memuji, “Alangkah bagusnya hal ini, sebutkan saja, siapa nama anak-anakmua?” Ia menjawab, “Suraih, Muslim, dan Abdullah.” Beliau bertanya, “Siapa di antara mereka yang paling tua?” Ia menjawab, “Suraih.” Lalu beliau bersabda, “Kalau begitu, engkau adalah Abu Suraih.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan Imam Bukhari dalam kitab al-Adab)

Jadi, jangan menghakimi orang karena perbedaan. Jangan mudah memvonis orang, tanpa ilmu yang luas, tanpa mengendalikan emosi, tanpa niat yang lurus, tapi posisinya kita berkhidmat, melayani terus, karena Allah yang Maha Adil juga menutupi aib kita.

Kalau melihat orang yang bodoh, kurang ilmu, mereka lagi ditipu untuk kurang belajar. Semangat kita adalah memberi tahu. Kalau melihat orang yang berbuat maksiat. Kita harus merasa dia sedang diculik. Kita bantu supaya dia tahu dosanya, bisa tobat, bisa kembali ke jalan yang benar. Itulah semangat yang hendaknya ditanamkan, agar kita tidak menghakimi orang dengan kebodohan dan nafsu semata.

Kalau kita bikin salah, maunya diapain oleh orang lain? Dimaafkan atau dimaki-maki? Mau diungkit-ungkit atau ditutupi? Mau dimaafkan sesudah minta maaf, atau sesebelum minta maaf? Perlu disebut-sebut gak kesalahan kita? Kalau kita ingin seperti itu kepada orang lain, kita perlakukan orang lain juga seperti itu. Maafkan sebelum meminta maaf, jangan suka diungkit-ungkit, dan jangan suka dipepet-pepet. Mau tidak didoakan oleh orang lain? Nah, kita juga mendoakan orang. Itulah sikap bijaksana. Insya Allah kembali kepada kita. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Ikhlas, Kunci Diterimanya Amal

SAUDARAKU, apa yang paling berbahaya dalam hidup? Itu adalah amal kita yang tidak diterima oleh Allah. Seorang ulama mengatakan, baiknya hati tergantung baiknya amal. Baiknya amal tergantung keikhlasan.

Mengapa banyak orang yang beramal kelihatannya, tapi hatinya tidak begitu baik? Dia salat, dia saum, dan dia sedekah, tapi tetap sombong, dengki, dan ujub. Dia baca Quran, dia banyak amalnya, dia menolong orang, dan dia dakwah. Tapi kenapa hatinya tidak berubah?

Penyebabnya adalah niatnya yang bisa merusak amal. Amal merusak hati. Jadi diterimanya amal itu, sebelum ittiba’ kepada Rasulullah, adalah ikhlas. “Sesungguhnya amal itu tergantung niat….”(HR. Bukhari dan Muslim)

Menjadi hal yang luar biasa pentingnya bagi kita untuk sangat serius berpikir tentang keikhlasan. Karena kita banyak ilmu belum tentu jadi amal. Sudah banyak amal tapi tidak membersihkan hati. Apa sebabnya? Niatnya.

Mengapa belajar susah menempel ilmu? Karena niatnya. Dan Allah tahu persis. Hati kita tidak bisa dibohongi. “Dan rahasiakanlah perkataanmu dan nyatakanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.al-Mulk [67]: 13)

“Dan sunggguh Kami telah menciptakan manusia. Dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Ingatlah ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. Qaaf [50]: 16)

Jadi, yang terpenting di antara yang penting adalah benar-benar paham ilmu ikhlas. Lalu, kita bermujahadah ikhlas. Kita kadang sibuk beramal, tapi kita tidak sibuk memperhatikan niat kita.

Kalau ingin tahu apa yang akan dimujahadahkan dalan hidup kita sekarang? Itu adalah belajar ikhlas. Ikhlas itu dalam amal. Ada niat untuk amal. Misalkan, niat salat tahiyatul masjid, niat salat subuh dua rakaat, yang membedakan niat. Tapi niatnya beramal harus lillahitaala.

Hebatnya keikhlasan

Sekarang siapa yang paling menipu kita? Siapa musuh kita? Inna syaiton lawum aduwum; sesungguhnya setan adalah musuhmu. Kita tidak bisa melihat setan. Tapi setan bisa melihat kita. Kita banyak urusan. Tapi setan tidak banyak urusan, selain menipu kita dengan fokus. Kita lawan dia, tidak ada teman, karena temen juga lagi ditipu. Sedang dia keroyokan. Level mana pun dia punya tim. Tim tipu-tipu.

Kita hafal Quran, dia akan mengeluarkan tim yang hafal Quran untuk menipu kita. Kita belajar agama memakai dalil. Setan juga memakai dalil untuk melumpuhkan kita, tapi setan tidak mempan, lawan siapa?

Allah SWT berfirman,”Iblis menjawab, demi kemulian-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (hamba-Mu yang ikhlas) di antara mereka.”(QS. Shad [38]: 82-83)

Wama umiru illa liyabudullaha mukhlisina lahuddin. Allah tidak memerintahkan kita mengabdi kepada Allah, kecuali dengan khalis; murni. Tapi, sekarang yang mengambil posisi Allah di hati kita tiada lain makhluk. Makhluk mana yang dominan? Manusia. Jadi rahasianya ikhlas adalah putus harapan dari manusia.

Latihan pertama sekarang, tidak usah ingin dipuji. Apa untungnya ingin dipuji orang? Selanjutnya jangan ingin dikagumi. Ingin dikagumi ini lebih berat lagi, karena kekaguman itu dengan kekhususan. Kemampuan khusus. Banyak orang hidup demi kekaguman.

Apa lagi yang membuat tidak ikhlas? Senang dengan apa yang ada di tangan orang lain. Uang harta, jabatan, dan pemberian. Itu membuat kita hina. Jangan lakukan demi orang memberi sesuatu kepada kita, baik ucapan terima kasih, pengharapan, kekaguman, maupun kedudukan di sisi orang.

Tanya, saya mencari apa di hadapan makhluk ini? Mulailah kita tanya, apakah ini yang saya cari dalam hidup saya? Terus kalau orang suka, orang kagum ke kita, mau apa? Sedangkan yang membagi pahala adalah Allah, sedang yang menentukan surga dan neraka adalah Allah. Siapa dia, mengapa kita menuhankan penilaian orang? Mengapa kita ingin dikagumi, mau apa?

Wah, kalau gitu kita jadi tidak berbuat apa-apa? Berbuatlah apa-apa, bahkan lebih hebat. Karena kita berbuat bukan demi penilaian orang. Orang yang sibuk demi penilaian orang tidak akan menikmati amalnya. Dia tidak akan istiqamah.

Ali bin Ali Thalib berkata, “Semua kepahitan sudah kurasakan, dan tidak ada yang lebih pahit daripada berharap kepada manusia.” Makin berharap, makin pedih. Ayo latihan, jangan berharap kepada makhluk. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Kondisi Madinah Sebelum Kedatangan Nabi Muhammad

Nabi Muhammad mengganti nama Yastrib dengan Madinah.

Sebelum bergulirnya waktu mengantarkan Madinah dengan kejayaan Islamnya, sejarah panjang membungkus Kota Nabi tersebut. Dalam buku al-Madinah al-Munawwarah fi al- Tarikh: Dirasah Syamilah karya Abdussalam Hasyim Hafidz, Kota Madinah sebelum Islam diisi oleh penduduk yang berasal dari tragedi yang menimpa pada masa Nabi Nuh AS. Diceritakan bahwa sebagian umat Nabi Nuh itu tenggelam terbawa banjir besar, termasuk putra Nabi Nuh, Kan’an.

Sebagian yang selamat ikut serta dalam bahtera kapal Nabi Nuh selama 1 tahun 10 hari. Setelah selamat, terdapat salah seorang pengikut Nabi Nuh bernama Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail melancong ke sebuah tempat. Kejadian ini bertepat pada tahun 2600 SM dan nama tempat yang dilanconginya itu pun dikenal dengan nama Yatsrib.

Dinamai Yatsrib karena merujuk pada orang pertama yang mendatangi tempat tersebut. Yatsrib kemudian dikenal sebagai nama kota yang pada zaman hijrah Rasulullah diganti namanya menjadi Madinah.  Kendati demikian, nama Yatsrib yang diabadikan menjadi sebuah kota semakin populer dan dikenal banyak orang-orang Arab pada masa itu maupun masa seterusnya.

Selain para pengikut Nabi Nuh, Kota Madinah sebelum Islam juga pernah diisi sejumlah kekuatan politik, salah satunya dari Dinasti Amalekit. Meski kekuasaan dinasti ini berpusat di Mesir, mereka sesungguhnya mempunyai kekuatan yang tersebar di berbagai wilayah Arab lainnya, antara lain Suriah, Yaman, Makkah, dan juga Yatsrib.

Kekuasaan Dinasti Amalekit ini mendiami Kota Yatsrib setelah pengikut Nabi Nuh bermigrasi ke Juhfah. Adapun para klan dari Dinasti Amalekit yang mendiami Yatsrib antara lain bani Sa’ad, bani Haf, bani Mathar, bani al-Azraq, hingga bani Ghaffar. Dinasti Amalekit yang memiliki kultur dan corak kebudayaan Mesir yang kental turut sedikit banyak memengaruhi kebudayaan Kota Yatsrib.

Sejumlah sejarawan mengatakan, nama Yatsrib sendiri merupakan serapan dari bahasa Mesir kuno, yakni Etropis. Nama Yatsrib juga sering diidentikan dengan nama Theba. Namun, argumen tersebut ditolak dengan kuat karena sebelum Dinasti Amalekit datang, terdapat pengikut Nabi Nuh yang lebih dulu tinggal di sana. Ini pun diperkuat dengan adanya salah se orang pengikut yang bernama Yatsrib.

Dalam kesehariannya, kaum Amalekit di Yatsrib digambarkan gemar bercocok tanam, membangun rumah, dan membangun bentengbenteng pertahanan. Adapun bahasa yang digunakan oleh mereka adalah bahasa Arab badui dengan dialek al- Mudhdhari.

Dinasti Amalekit menduduki wilayah Yatsrib dalam masa yang cukup lama, yakni hingga tahun kedua Masehi. Hingga akhirnya pada zaman Nabi Musa AS, kekuasaan Dinasti Amalekit berakhir dan digantikan oleh para pengikut Nabi Musa, yaitu kaum Yahudi.

Eksistensi Nabi Musa dan kaum Yahudi selain di Mesir juga merambah ke wilayah Arab lainnya. Selain Yatsrib, wilayah lainnya yang ikut dirambah adalah Palestina. Menurut Yasin Ghadhbar pada 1994, adapun kaum Yahudi yang dimaksud adalah semua yang memeluk ajaran Nabi Musa, termasuk di dalamnya bani Israil yang merupakan anak-anak keturunan Nabi Yakub.

Kendati demikian, dalam sejarahnya, pada tahun pertama hingga kedua Masehi itu juga, kaum Yahudi dari sejumlah wilayah Arab, seperti Mesir, Suriah, hingga Palestina, bermigrasi ke Yatsrib guna menghindari dominasi Kerajaan Romawi.

Beberapa klan dari kaum Yahudi yang bermigrasi ke Kota Yatsrib yakni bani Qaynuqa, bani Nadhir, bani Quraydha, dan bani Yahdal. Hingga tahun 70 Masehi, orang-orang Yahudi yang menetap di Yatsrib merupakan gabungan antara pengikut Nabi Musa yang telah mengalahkan Dinasti Amalekit dan orang-orang Yahudi yang eksodus dari Palestina.

Menariknya, meski bahasa ibu kaum Yahudi ini adalah bahasa Ibrani, mereka memelajari dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa seharihari di Yatsrib. Dalam tesis Philip K Hitty yang kemudian dibukukan dengan judul The History of Arabs, Arab bukanlah entitas agama tertentu. Arab adalah entitas kebudayaan yang mana mereka dipersatukan oleh bahasa, agama, dan tidak hanya oleh agama. Dengan demikian, Arab bukanlah monopoli agama tertentu.

Selain kaum Yahudi, suku Arab dari kaum Aws dan Khazraj juga datang ke Yatsrib. Hal ini dilatarbelakangi peristiwa banjir besar di Yaman. Dalam perjalanan sejarahnya, Kota Madinah sebelum Islam diwarnai oleh beragam perbedaan budaya dan agama.

Pada masa Rasulullah, perbedaan itu disatukan dalam sebuah perjanjian bernama Piagam Madinah yang menjamin kebebasan tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kepribadian Nabi Muhammad Salah Satu Mukjizat Alquran

Kepribadian Nabi Muhammad tak sebanding dengan manusia manapun.

Salah satu bukti mukjizat Alquran adalah kepribadian Nabi Muhammad SAW. Betapa tidak? Manusia paling sempurna yang Allah ciptakan itu merupakan figur yang tak pernah sebanding dengan manusia manapun yang pernah ada.

Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Mukjizat Alquran menjabarkan, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan guna mempermudah bukti-bukti kemukjizatan Alquran. Yakni melalui kepribadian Rasulullah SAW, memahami kondisi masyarakat pada saat turunnya Alquran, dan cara Alquran diturunkan.

Membuktikan kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mukjizat yang dipaparkannya, tapi juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, keseharian, akhlak, hingga air mukanya. Imam Al-Ghazali dalam konteks ini menekankan bahwa apabila seseorang merasa ragu seseorang itu nabi atau bukan, tidak mungkin keraguan itu berubah menjadi keyakinan, kecuali seseorang tersebut telah mengetahui keadaannya.

Baik dengan cara melihat langsung atau mendengar beritanya melalui sejumlah orang yang menurut adat, mereka mustahil melakukan kebohongan. Nabi Muhammad dikenal baik dari sikap, tutur, hingga penyampaian orang yang mengenalnya sebagai pribadi yang sangat baik.

Apakah Rasulullah merupakan sosok yang gila kedudukan? Menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan? Atau apakah Rasulullah mengaku tahu segala hal?

Sangat populer bagaimana tawaran tokoh-tokoh kaum musyrikin Makkah kepada Rasul. Rasulullah diiming-imingi harta, kedudukan, wanita dengan syarat bersedia menghentikan dakwahnya. Namun semua itu ditolak beliau.

Bahkan ketika menjawab tantangan itu, dalam hadis shahih Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Walau matahari diletakkan di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, tidak akan kutinggalkan miskinku sampai berhasil aku gugur mempertahankannya,”.

Kepribadian Rasul dikatakan mukjizat karena sejatinya sifat kenabian itu menyatu dalam sebuah raga manusia. Manusia yang nampak seperti manusia pada umumnya. Sikap seperti manusia biasa ini pun pernah terekam dalam hadis shahih.

Kala itu, Rasulullah mendengar seorang wanita dari penduduk Madinah bernama Ummu Ala berbicara. Dia berbicara di saat kematian sahabat Rasulullah bernama Utsman bin Mazh’un. Ummu Ala berkata: “Berbahagialah engkau, wahai Abu As-Saib (gelar Utsman bin Mazh’un). Kesaksianku atasmu adalah bahwa Allah telah menganugerahimu surga,”.

Mendengar hal ini, Rasulullah pun berkomentar: “Dari mana kah Anda tahu bahwa Allah memberinya anugerah (surga)?”. Lalu Ummu Ala pun menjawab: “Demi Tuhan, wahai Rasulullah, siapa lagi yang dianugerahkan Allah kalau bukan yang semacamnya?”

Mendengar hal itu, Rasul pun menjawab: “Memang telah datang kepadanya kematian, dan aku akan mengharap kebaikan untuknya. Tetapi demi Allah, aku sendiri pun tidak tahu meski aku adalah pesuruh Allah bagaimana aku diperlakukan kelak,”. Hadis ini merupakan hadis shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan An-Nasa’i.

Senada dengan hadis tersebut, Alquran juga menegaskan hal yang serupa. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ahqaf ayat 9 berbunyi: “Qul ma kuntu bid’an mina-rusuli wa ma adri ma yuf’alu-biy wa la bikum, in attabi’u illa ma yuha ilayya wa ma ana illa nadzirun mubin,”. Yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), bahwa aku (Muhammad) bukanlah orang pertama dari rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan dilakukan terhadapku. Aku tidak lain kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain kecuali seorang pemberi peringatan yang jelas,”.

Untuk itulah, siapapun yang mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad SAW dan mengetahui keseharian serta kesederhanannya, pastilah dia tak akan menafikan segala macam tuduhan negatif yang ditujukan kepadanya. Meski secara fisik dan naluri, Rasulullah sama dengan manusia biasa, tetapi dalam kepribadian dan mentalnya, beliau bukanlah manusia biasa. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Fenomena Alam Saat Tanda Kenabian Nabi Muhammad Ditemukan

Di Bushra, Buhaira melihat tanda kenabian Nabi Muhammad.

Ketika Nabi Muhammad (saat itu belum diangkat menjadi nabi dan rasul) berdagang ke Bushra, wilayah antara Syam dengan Hijaz, beliau bertemu dengan seorang rahib Yahudi bernama Buhaira. Buhaira kala itu takjub melihat Nabi Muhammad dan mengatakan melihat kenabian di diri Rasul. Siapakah kiranya Buhaira ini?

Nama Buhaira dalam bahasa Suryani berarti lautan luas. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan, kata Buhaira/Bahira berasal dari bahasa Aram yang berarti terpilih. Jadi, nama itu sebenarnya adalah nama gelar baginya, sedangkan nama baptisnya adalah Segeus atau Gergeus.

Dalam kesusasteraan Byzantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib Yahudi beraliran Nastur. Dia menganut ajaran Arius dan Nustur, di mana sekter ini tidak menerima doktrin ketuhanan Yesus bahkan pantang menyebut Yesus sebagai Tuhan. Sekter ini percaya, baik itu Yesus maupun Maryam adalah manusia yang merupakan perwujudan dari kalimat luhur.

Dalam kitab Sirah Nabawiyyah karya Muhammad Ridha dijelaskan, Buhaira dikenal sebagai seorang pendeta yang menguasai ilmu falak dan perbintangan. 

Dia membangun biaranya di pinggir jalan utama menuju ke Syam dan selalu tinggal di dalamnya. Dia tinggal di sana khususnya pada musim lewat para pelancong dan kafilah dagang. Kemudian dia menyerukan kepada mereka untuk tidak menyembah berhala dan hanya mengesakan Allah. 

Buhaira juga memiliki seorang murid setia bernama Mudzhib. Di kemudian hari, Mudzhib ini pun menjadi guru dari Salman al-Farisi sebelum dia masuk Islam. 

Ketika bertemu dengan Rasulullah di Bushra, Buhaira melihat fenomena alam yang tak biasa yang mengikuti Muhammad. Awan bergerak memayungi ke manapun langkah Muhammad berarah. Lalu Buhaira menghampiri Rasulullah dan memeriksa sekujur tubuhnya.

Buhaira kemudian menemukan tanda kenabian itu di pundak beliau. Yakni di antara kedua penduknya, dan lalu Buhaira mencium antara kedua pundaknya. Buhaira pun berpesan pada, paman Nabi—Abu Thalib yang kala itu membawa Rasulullah untuk berdagang—untuk menjaga keponakannya itu. Sebab, keponakan Abu Thalib itu dikatakan bukanlah orang biasa. 

Di kemudian hari, Muhdzib pun berkata bahwa Buhaira gurunya mati di tangan orang Yahudi yang jahat. Buhaira terbunuh sebagai korban kelicikan beberapa orang Yahudi tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kontinyu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunnah

Salah satu perkara yang mungkin sulit dan bagi kita adalah menjaga kontinuitas amal, yaitu menjaga agar kita terus-menerus melakukan amal tersebut dan tidak hanya beramal di satu waktu, kemudian meninggalkannya. Bisa jadi kita semangat shalat malam di bulan Ramadhan, lalu setelah itu, kita pun meninggalkannya, menunggu bulan Ramadhan berikutnya. 

Motivasi dari syariat untuk menjaga kontinuitas amal

Kita dapati motivasi dari syariat agar kita menjaga kontinuitas (kesinambungan) suatu amalan. Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah Engkau seperti si fulan. Dulu dia rajin shalat malam, dan sekarang dia meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)

Demikian pula perkataan ummul mukminin, ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ العَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا. وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa (sunnah) lebih banyak dalam sebulan selain bulan Sya’ban, dimana beliau melaksanakan puasa bulan Sya’ban seluruhnya.” Beliau bersabda, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan bila beliau sudah biasa melaksanakan shalat (sunnat) beliau menjaga kesinambungannya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 741)

Beliau tidaklah mengkhususkan satu waktu untuk beribadah, hanya semangat di satu waktu, lalu tidak semangat beramal di waktu lainnya. Sebagaimana keadaan beliau tersebut ditanyakan oleh Alqamah kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْتَصُّ مِنَ الأَيَّامِ شَيْئًا؟ قَالَتْ: ” لاَ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وَأَيُّكُمْ يُطِيقُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيقُ

“Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu dalam beramal?” Dia menjawab, “Tidak. Beliau selalu beramal terus menerus tanpa putus. Siapakah dari kalian yang akan mampu sebagaimana yang mampu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 741)

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ العَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Amal yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amal yang dikerjakan secara kontinyu (berkesinambungan) oleh pelakunya.” (HR. Bukhari no. 6462 dan Muslim no. 741)

Meningkatkan derajat dan meraih pahala yang besar dengan rutin ibadah sunnah

Di antara faidah besar dari menjaga rutinitas dan kontinuitas (kesinambungan) ibadah adalah meningkatkan derajat seorang hamba di sisi Allah Ta’ala dan meraih pahala atau keutamaan yang besar. Sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الكِيرُ خَبَثَ الحَدِيدِ، وَالذَّهَبِ، وَالفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ المَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الجَنَّةُ

“Lakukanlah haji dan umrah dalam waktu yang berdekatan, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan menghapus dosa, sebagaimana al-kir (alat yang dipakai oleh pandai besai) menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Tidak ada balasan haji mabrur kecuali surga.” (HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2630. Ibnu Majah no. 2887, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Diriwayatkan dari ibunda Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” 

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha kemudian berkata, 

فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Maka aku tidak akan meninggalkan shalat dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam hadits di atas, kita bisa melihat bagaimanakah semangat salaf terdahulu dalam menjaga rutinitas amal sejak mendapatkan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kiat utama untuk menjaga kontinuitas amal

Dalam ibadah wajib, secara umum kita memiliki kewajiban yang sama dan tidak ada pilihan kecuali harus melaksanakan ibadah wajib tersebut. Kita sama-sama harus shalat lima waktu sehari semalam dan berpuasa di bulan Ramadhan. Meskipun dalam kondisi tertentu, ibadah wajib tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Laki-laki memiliki kewajiban shalat di masjid (menurut pendapat yang kami nilai paling kuat dalam masalah ini), sedangkan tidak untuk wanita. Demikian pula, kewajiban laki-laki sebagai kepala rumah tangga, tentu berbeda dengan kewajiban istri. Sehingga secara umum, mau tidak mau, kita harus melaksanakan ibadah wajib tersebut dan tidak ada pilihan lain. 

Berbeda halnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah itu beragam, ada shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, dan seterusnya. Di antara kita utama kita bisa kontinyu dalam ibadah sunnah adalah kita memilih ibadah sunnah yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, manakah yang jiwa kita merasa ringan melakukannya. Dan ini, tentu saja, berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lainnya. 

Ada orang yang kalau sedekah sunnah, dia rajin, karena memang berkecukupan dan dia punya jiwa sosial. Namun, ada orang yang agak berat sedekah sunnah, karena dia pas-pasan, namun kalau disuruh puasa menahan lapar, dia akan senang-senang saja. Ada orang yang agak berat kalau puasa rutin karena pekerja berat, namun dia senang membaca Al-Qur’an di waktu-waktu luangnya. Ada orang yang mungkin agak berat puasa sunnah rutin dan membaca Al-Qur’an, namun dia senang dan rajin mendengarkan pengajian. Dan demikian seterusnya. 

Kondisi ini sama persis dengan jalan-jalan meraih rizki. Ada orang yang berbakat jadi pedagang, namun tidak bisa menjadi petani. Ada orang yang pandai memasak, bisa buka warung, namun tidak bisa menjadi pekerja bangunan. Tentu kita tidak bisa memaksa seorang pekerja bangunan untuk beralih profesi menjadi juru masak di restoran. Jalan-jalan rizki masing-masing orang berbeda-beda, sebagaimana jalan ibadah sunnah setiap orang pun berbeda-beda. 

Oleh karena itu, sungguh indah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullahu Ta’ala ketika berdiskusi dengan seseorang yang menyibukkan dirinya dalam ibadah. 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْعُمَرِيَّ الْعَابِدَ كَتَبَ إِلَى مَالِكٍ يَحُضُّهُ إِلَى الِانْفِرَادِ وَالْعَمَلِ وَيَرْغَبُ بِهِ عَنِ الِاجْتِمَاعِ إِلَيْهِ فِي الْعِلْمِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Umarri Al-‘Aabid, seorang ahli ibadah, menulis surat kepada Imam Malik. Beliau menyarankan (memotivasi) Imam Malik untuk menyendiri (uzlah) dan sibuk beribadah dalam kesendirian. Dan dengan motivasi itu, dia ingin menggembosi semangat Imam Malik dari mengajarkan ilmu. Imam Malik pun membalas surat tersebut dengan mengatakan,

أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَسَّمَ الْأَعْمَالَ كَمَا قَسَّمَ الْأَرْزَاقَ فَرُبَّ رَجُلٍ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّوْمِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّدَقَةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصِّيَامِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَنَشْرُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ مِنْ أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرِّ وَقَدْ رَضِيتُ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ لِي فِيهِ مِنْ ذَلِكَ وَمَا أَظُنُّ مَا أَنَا فِيهِ بِدُونِ مَا أَنْتَ فِيهِ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ كِلَانَا عَلَى خَيْرٍ وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا أَنْ يَرْضَى بِمَا قُسِّمَ لَهُ

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membagi amal (ibadah) sebagaimana Allah membagi rizki (maksudnya, ada yang sumber rizkinya dari berdagang, menjadi petani, dan seterusnya, pen.). Ada orang yang dibukakan untuknya pintu shalat, namun tidak dibukakan pintu puasa. Sedangkan yang lain, dibukakan pintu sedekah, namun tidak dibukakan pintu puasa. Yang lain lagi, dibukakan pintu jihad, namun tidak dibukakan pintu shalat. Adapun menyebarkan ilmu dan mengajarkannya termasuk di antara amal kebaikan yang paling utama. Dan sungguh aku telah ridha dengan apa yang telah Allah Ta’ala bukakan untukku. Aku tidak menyangka amal yang Allah mudahkan untukku itu lebih rendah dari amal yang Engkau kerjakan. Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan. Dan wajib atas setiap kita untuk ridha terhadap amal yang telah dibagi untuknya.” (At-Tamhiid, 7/158 dan Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 114)

Demikianlah nasihat indah Imam Malik rahimahullah yang perlu diperhatikan. Dalam ibadah sunnah, janganlah kita meremehkan orang lain karena berbeda dengan kita. Termasuk dalam dakwah. Kita dapati sebagian ustadz sangat rajin dan gemar menulis, dan menghasilkan karya-karya tulisan yang banyak. Karena memang beliau sejak dulu rajin dan gemar menulis. Namun, ustadz yang lain, belum tentu sama, karena dia disibukkan dengan dakwah langsung di masyarakat, atau menjadi relawan kemanusiaan yang terjun langsung di daerah-daerah pedalaman yang belum tersentuh dakwah. 

Oleh karena itu, yang menjadi renungan bagi kita adalah, jiwa kita, mau memilih ke arah mana?

[Selesai]

***

Penulis:M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54143-kontinyu-dalam-menjaga-amal-ibadah-sunnah.html

7 Contoh Pembagian Waktu Shalat Malam Menurut Ulama

Para ulama membagi pelaksanaan shalat malam dalam tujuh bagian.

Menghidupkan malam sesungguhnya memiliki tujuh tingkatan waktu yang dapat diterapkan dalam aktivitas malam sehari-hari. Hal ini agar shalat malam tak luput dari prioritas penunjang para kaum Muslim.

Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam kitabnya yang dialihbahasakan menjadi Saripati Ihya Ulumiddin menjelaskan, menghidupkan malam adalah keadaan orang-orang kuat yang meluangkan diri semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. 

Menghidupkan ibadah dalam waktu malam menurut beliau dibaratkan seperti makanan dan kehidupan bagi hati mereka hamba-hamba Allah SWT yang saleh.

Pertama, adalah bangun malam untuk menghidupkan seluruh malam. Sebanyak 40 orang tabiin terkenal melakukan bangun malam sedemikian rupa untuk menghidupkan ibadah malamnya. Kedua, bangun setengah waktu malam.

Ketiga, bangun sepertiga waktu malam pada paruh terakhir malam. Keempat, bangun seperenam waktu malam pada paruh terakhir malam atau seperlimanya. Kelima, tidak mengikuti cara-cara di atas, tetapi dia tidur dan bangun malam di bagian malam yang tidak ditentukan.

Keenam, bangun malam seukuran empat rakaat atau dua rakaat. Ketujuh, ketika dia tidak bangun di tengah malam, seyogianyalah dia tidak melalaikan bangun sebelum shubuh pada waktu sahur dan jangan juga ia masuk di waktu shubuh dalam keadaan masih tidur.

Adapun bangun malamnya Rasulullah SAW dalam hal kadar, tidaklah berdasar pada satu tertib tertentu. Adakalanya Rasulullah SAW bangun separuh malam, atau sepertiganya, atau dua pertiganya, seperenamnya dengan berbeda-beda pada malam yang beliau lalui.

Hal ini juga ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surah al-Muzammil ayat 20, yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (bangun malam) kurang dari dua pertiga malam, seperduanya, atau sepertiganya,”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Keterlaluan, Banyak Harta tapi Tak Zakat Mal!

SEORANG muslim yang mampu dalam ekonomi wajib membayar sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya baik melalui panitia zakat maupun didistribusikan secara langsung / sendiri.

Hukum zakat adalah wajib bila mampu secara finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau yang disebut nisab. Sekarang kita akan lanjut membahas bagaimana perhitungan zakat. Berikut pembahasannya.

Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)

Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram

Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:

Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.

Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.

Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta : Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.

Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menimbun harta. Oleh karena itu hiduplah sederhana dan gunakan harta untuk diputar kembali dalam perekonomian secara halal. Jangan lupa perbanyak sedekah. [org]

INILAH MOZAIK