Janji Allah Melalui Salat Tahajud Bagi Hamba-Nya

Jangan malas untuk mengerjakan salat tahajud, karena janji Allah itu benar. Allah akan mengangkat kedudukan kita ke maqam dan derajat terpuji tatkala kita bergegas melaksanakan salah satu ibadah utama, yakni salat tahajud. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79)

Wahai jiwa-jiwa perindu ampunan Allah Azza Wajalla, Zat Sang Maha Pengampun

Ketahuilah bahwa pada tiap malam, Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Barangsiapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaannya. Dan barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku, aku ampuni dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wahai jiwa-jiwa yang tidur, bangunlah …

Jangan sia-siakan malammu hanya dengan tidur! Bangunlah sesaat dan mulai melawan diri untuk bangun dari kenyamanan tempat tidur! Bangunlah sesaat dan kerjakan sedikitnya 2 rakaat salat malam! Karena ada banyak manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalam proses dan nilainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6)

Wahai jiwa-jiwa yang malas, bangkitlah …

Tetaplah bangun, walaupun susah payah untuk menjalankannya. Bangun dengan susah payah dan meniatkan untuk melaksanakan salat tahajud menjadi satu kemuliaan yang amat besar. Karena ini mampu menghidupkan hati yang mati, membangkitkan semangat diri dalam mengawali aktivitas pagi, mendekatkan diri pada Ilahi, menghapus dosa yang telah terjadi, serta menjadi wasilah mustajabnya doa-doa. “Doa yang dipanjatkan di waktu tahajud adalah ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran.” (Imam Asy-Syafi’i)

Wahai jiwa-jiwa yang gelisah, bersegeralah …

Setiap kali di awal hari, Allah menanti dan menunggumu, percayalah. Setumpuk kesedihan hidup, setumpuk pedihmu, segudang keinginan dan harapan, dan segala keluh kesah akan terjawab di heningnya malam dengan suara alam penuh syahdu, waktu sepertiga malam. Hampiri malam-malammu dengan keheningan dalam hati, dengan iman dalam diri, iman yang tulus dari lubuk hati mengharap rida pada sang pencipta. Lakukanlah salat, seolah-olah ini adalah malam terakhir kali bagi diri. Apalagi salat tahajud, yakni salat sunah tebaik setelah salat fardu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.”  (HR. Muslim, no. 1163)

Salat malam merupakan sarana dan wasilah bagi hamba dalam mengatasi masalah diri dan hati, terutama menghapus dosa yang sudah teramat banyak dalam diri. Bukan hanya cukup sampai di sini, ketenangan dalam salat malam yang syahdu juga menjadi wasilah dalam menenangkan hati, membersihkan jiwa yang gundah gulana, dan taqarrub yang paling efektif.

Salat malam juga menjadi pengobatan diri paling mujarab. Obat bagi segala macam penyakit hati, berbagai macam kegundahan diri, kegelisahan, kesedihan, kemarahan, keterasingan, keputusasaan, dan masalah berat kerohanian lainya. Ia adalah ruang wasilah bahkan tiket untuk meraih jalan keberkahan yang menghantarkan kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia; serta yang paling utama adalah tiket dalam memudahkan kita meraih surga-Nya dan keridaan serta kemuliaan di sisi-Nya. Selain mendapatkan kedudukan dan derajat yang mulia di akhirat kelak, orang-orang yang berkenan dengan ikhlas menjalankan salat tahajud, maka akan Allah limpahkan keridaan dan keberkahan kedudukan yang mulia di atas bumi.

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ

“Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada salat malamnya.” (HR. Hakim, hasan)

Sahabatku yang dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla …

Bila kita memahami dan mengetahui keutamaaan dari melaksanakan dan menjalankan salat sunah lail atau tahajud, pasti dengan kesadaran dan mengandalkan logika sederhana, kita tidak akan rela jika harus meninggalkan salat malam. Tidak ada satu pun jamuan dan hidangan terindah yang diadakan, kecuali di sepertiga malam terakhir. Sebagai umpama, bilamana kita dijamu dan disambut oleh pejabat, penguasa negeri, atau bahkan orang penting dan nomor satu di negeri kita, sudah pasti kita senang dan bahagia. Nah, ini apalagi yang langsung menjamu adalah bukan hanya penguasa negeri melainkan Penguasa langit dan bumi langsung yang menjamu. MasyaAllah.

Maka, sudah sepatutnya diri ini mengkhususkan untuk menyediakan sebagian dari malam kita untuk Sang Pemilik hidup kita. Karena salat malam adalah lapangan, bandara bagi setiap insan yang memiliki mimpi-mimpi dan cita-cita yang tinggi. Dan di waktu sepertiga malam adalah waktu istimewa dan terbaik, dambaan bagi ahli ibadah dalam mencari bekal yang terbaik guna mengarungi setiap hambatan dan ujian lautan hidup. Nabi shallallahu ’alaihi wassallam berpesan bahwasanya salat malam merupakan salat para nabi dan rasul, juga menjadi bagian terindah bagi kebiasaan setiap orang yang saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﻘِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺩَﺃْﺏُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻭَﻫُﻮَ ﻗُﺮْﺑَﺔٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﻜَﻔِّﺮَﺓٌ ﻟِﻠﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ، ﻣَﻨْﻬَﺎﺓٌ ﻋَﻦِ ﺍْﻹِﺛْﻢِ

Lakukanlah salat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan, dan mencegah dari perbuatan dosa. (HR. Tirmidzi, hadis hasan)

Banyak orang yang membicarakan tentang Allah, tetapi sedikit sekali yang mau berbicara kepada Allah. Bawa serta tahajud dan doamu ke dalam hidupmu dan berbicaralah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَـﺔً، ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُـﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ .

Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam. (HR. Muslim)

Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan kita, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga Allah senantiasa menjaga agar kita semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi serta menjadi manusia yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dan dimudahkan serta dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas dalam diri.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89723-janji-allah-melalui-salat-tahajud-bagi-hamba-nya.html

Konsep Hulul dan Wahdat asy-Syuhud Al-Hallaj

Tasawuf, atau sufisme, merupakan dimensi mendalam dalam Islam yang berfokus pada pengembangan spiritualitas dan hubungan pribadi dengan Allah. Dalam perjalanan spiritualnya, para sufi mengembangkan konsep-konsep yang kompleks, termasuk Hulul dan Wahdat al-Wujud, yang memainkan peran kunci dalam pemahaman mereka tentang hubungan antara pencipta dan ciptaan. Nah berikut penjelasan konsep hulul dan wahdat asy-syuhud Al-Hallaj.

Bagaimanapun, dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi menawarkan kebenaran intuitif yang sering dicari oleh manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektualitas.

Misalnya, di saat pilihan rasional tidak menemukan jawaban sebagai solusi, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, dan di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan untuk menemukan kepuasan pencarian kebenaran.

Itu sebabnya, kajian tentang tasawuf kian digemari. Praktik sufisme yang dalam sejarahnya pernah dihujat lantaran terlalu mengagungkan sang mursyid, kini marak di berbagai tempat. Di antaranya, studi tentang tokoh sufi al-Hallaj, yang terkenal dengan konsep hulul dan wahdat asy-Syuhud.

Al-Hallaj adalah sosok kontroversial dan misterius. Ia benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yang dihukum mati pada tahun 922 M setelah menjalani pengadilan politis yang berujung pada eksekusinya: sebuah cause ce-lebre yang penuh warna dan penuh gejolak.

“Ana al-Haqq”, ucapan apokaliptiknya di tiang gantungan, merupakan label munajat utama spiritual al-Hallaj. Ekspresi personal yang tegas, tanpa ambiguitas dan apologi itu, membuahkan kutukan atas dirinya sekaligus menumbuhkan kejayaan kesyahidannya. Al-Hallaj adalah cerminan perjuangan hebat ulama sufi menghadapi ulama fiqh.

Syahdan. Kita tahu, tasawuf, sebagai metode intuitif-konstruktif menuju kebenaran hakiki, dalam dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam.

Perkembangan dan ketinggian posisi tasawuf melebihi berbagai kritikan pengamat dan penentang eksistensinya. Tasawuf eksis dengan berbagai persoalan yang melingkupinya dari zaman ke zaman.

Konsep Hulul dan Wahdat asy-Syuhud

Di antara ajaran tasawuf al-Hallaj yang paling terkenal adalah hulul. Kata hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Sementara itu, menurut istilah ilmu tasawuf, hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan firman Allah Swt. Dalam surah Al-Baqarah ayat 34, Allah Swt. berfirman:

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰٓئِكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْۤا اِلَّاۤ اِبْلِيْسَ ۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَ ۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 34).

Pada ayat di atas. Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Padahal, yang berhak diberi sujud hanya Allah Swt. Karena itu, al-Hallaj memahami kandungan ayat di atas bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.

Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan la pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak.

Dia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy Diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Dan ejawantah bentuk copy tersebut adalah Nabi Adam. Dengan demikian, pada diri Adam-lah, Allah muncul.

Teori di atas tampak pada syairnya yang berbunyi: “Maha Suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan makhluk-Nya dengan nyata. Dalam bentuk manusia a yang makan dan minum.”

Melalui syair di atas, al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri dan roh dan jasad, maka lahut tidak bisa bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaan-Nya hilang, seperti yang terjadi pada diri Nabi Isa As.

Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, al-Hallaj mengatakan:

“Barangsiapa mengira bahwa ketahanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan atau pun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”

Dalam syair lain, pemikiran al-Hallaj tentang hulul, kefanaan dalam Dzat Tuhan, serta kesatuan wujudnya dengan Tuhan adalah: “Akulah yang ingin dan Yang ingin adalah aku Kami adalah dua ruh yang tinggal di satu badan. Jika kamu melihat aku, berarti melihat-Nya Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami.”

Dalam dua buah bait syair di atas, dia mengemukakan bahwa dua sisi jurang telah tergabung, yakni jurang yang tak berbatas dengan jurang yang berbatas (antara Allah dan manusia). Karena itu, al-Hallaj dalam doktrinnya yang paling dramatik mengatakan, Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia.

Melalui maqamat (stasiun-stasiun), manusia mampu sampai ke tingkat fana’, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan.

Dengan demikian, manusia memungkinkan untuk meng-hulul-kan Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral, yaitu ruh.

Sesuai dengan ajarannya tersebut, maka ketika ia mengatakan statemen “Aku adalah Kebenaran”, bukan berarti bahwa al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi Tuhan-lah yang “mengambil tempat” dalam dirinya. Artinya, Tuhan mengucapkan kata-kata melalui diri al-Hallaj sebagai mediasi profinistiknya.

Sementara itu, hulul-nya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana’. Fana’ bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan, yaitu:

 Pertama, tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa. Kedua, tingkat memfanakan semua pikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah Swt. Ketiga, tingkat menghilangkan kekuatan pikir dan kesadaran.

Dari tingkat fana’ tersebut dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan wujud manusia menjadi sadar ketuhanan melebur dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan yang tiada dalam kesadaran manusia akan eksistensi dirinya yang larut dalam fana’, kecuali kesadaran akan eksistensi Tuhan.

Karena Tuhan adalah Wahid, Ahad, Wahid, dan Muwahhad maka pada dasarnya tidak ada yang meng-Esa-kan Allah kecuali Allah sendiri. Selama mengaku kediriannya dalam meng-Esa-kan Allah itu, selama itu pula ia belum bertauhid dan masih berada dalam syirik khafi.

Oleh karena Tuhan “melebur” dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya, maka tauhid sang hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang fana’ al-fana’ itu sendiri, di mana diri telah “berubah” kepada Dia, al-Haqq.

Membaca Teori Nur Muhammad Al-Hallaj 

Salah satu teorinya yang lain adalah adanya fenomena Nur Muhammad. Al-Hallaj memandang Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain.

Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini. Dan daripadanya, terpancar segala macam ilmu dan pengetahuan yang gha’ib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.

Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil, sebagai manifestasi kesempurnaan pada manusia. Dari sini, al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri, melainkan kepada diri Nabi Isa As.

Bagi al-Hallaj, Isa adalah al-Syahid ala Wujudillah, tempat tajalli dan terwujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.

Dari sini jelas, bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah riil, karena masih memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan.

Dengan demikian, hulul yang terjadi adalah sekedar kesadaran yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar terleburnya nasut ke dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam syairnya: “Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.”

Demikian penjelasan terkait konsep hulul dan Wahdat asy-Syuhud Al-Hallaj, yang kompleks dalam tasawuf Islam. Semoga bermanfaat.Wallahu a’lam bisshawaab. [Baca juga: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan Menurut Habib Ali Al-Jufri].

Referensi:

  1. Hamka. 1986. Tasawuf Perkembangannya dan Pemurniannya. Pustaka Panji Mas.
  2. Massignon, Louis. 2002. Al-Hallaj. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
  3. Syakur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  4. Syakur, Amin. 1994. Rasionalisme dalam Tasawuf. Semarang: IAIN Walisongo.

BINCANG SYARIAH

Hasbara, Seni Tipuan “Israel” Menutupi Kejahatannya

Untuk menutupi citra yang buruk di panggung dunia sejak didirikan negara palsu tahun 1948, Zionis menggunakan hasbara, tipuan dan kebohongan melalui media sosial

KETIKA ZIONIS “Israel” melakukan agresi terbarunya terhadap Palestina, narasi yang dijajakan media arus utama Barat terus dibingkai secara implisit untuk mendukung narasi penjajah “Israel”.

Berkedok netralitas, pemberitaan media menyebut konflik yang membara di Yerusalem Timur yang diduduki sebagai “bentrokan” antara “kedua belah pihak”. Pemboman kejam “Israel” di Gaza yang menyebabkan kematian ratusan warga sipil dibenarkan sebagai tindakan “membela diri” sebagai tanggapan atas serangan roket tanpa pandang bulu dari Hamas dan penggunaan “perisai manusia”.

Entitas Zionis “Israel” sangat menyadari bahwa persepsi membentuk realita. Meski melakukan dugaan kejahatan perang tanpa hukuman, Zionis hanya bisa melakukannya jika ada mesin propaganda yang cukup kuat yang dapat digunakan untuk melawan kecaman publik dan solidaritas internasional terhadap Palestina. 

Hasbara, Mesin Propaganda “Israel”

Hasbara – bahasa Ibrani berarti penjelasan – adalah teknik diplomasi publik yang mengaitkan perang informasi dengan tujuan strategis negara “Israel” . Diplomasi publik secara strategis dipahami sebagai prioritas kebijakan luar negeri, di mana citra positif “Israel” dikembangkan di panggung dunia, terutama mengingat tantangan citra yang terus menerus dihadapi “Israel” sejak didirikan pada tahun 1948.

Meskipun berakar pada konsep-konsep agitprop dan sensor sebelumnya, hasbara tidak berusaha menyumbat pasokan informasi yang kontradiktif kepada para pemirsa. Sebaliknya, hasbara dengan sukarela menerima pasar opini yang terbuka.

Apa yang ingin dilakukan dalam konteks ini adalah untuk mempromosikan pendengaran selektif dengan membatasi penerimaan khalayak terhadap informasi, bukan membatasi alirannya.

Untuk mencapai misinya, hasbara menargetkan para diplomat, politisi, dan publik melalui media massa. Hal ini juga dilakukan melalui berbagai lembaga dan instansi pemerintah, serta di pusat-pusat penelitian, universitas, LSM dan perusahaan lobi.

“Israel” bahkan menawarkan beasiswa hasbara, beasiswa dan hibah untuk mendorong advokasi pro-“Israel”, sementara sejumlah individu dari jurnalis hingga blogger bekerja untuk membentuk citra positif negara tersebut.

Hasbara 2.0

Setelah perang Lebanon 2006 dan ‘Operasi Cast Lead‘ dua tahun kemudian, yang keduanya sangat merusak reputasi internasional “Israel”, terjadi pergeseran secara bertahap antara tahun 2008 dan 2012, menuju apa yang disebut oleh peneliti Miriyam Aouragh sebagai “Hasbara 2.0”: diplomasi digital yang memanfaatkan teknologi web 2.0 seperti media sosial dan YouTube.

Tak lama kemudian, inisiatif-inisiatif bergaya Hasbara dari Pasukan Penjajah Israel (IOF) disinkronisasikan ke dalam cabang online baru, dengan tim permanen yang beroperasi sebagai penghubung dengan Kementerian Urusan Strategis pada tahun 2008.

Pada tahun 2012, “Israel” mengumumkan perangnya melawan Gaza melalui Twitter. Selama ‘Operation Protective Edge’, ketika poin-poin pembicaraan yang disalurkan Israel membanjiri lanskap media AS dan Eropa, hasbara memanfaatkan saluran komunikasi yang lebih disaring dari media sosial.

Lebih jauh lagi, hasbara mengeksploitasi fungsi browser, algoritme mesin pencari, dan mekanisme otomatis lainnya yang mengendalikan konten apa yang disajikan kepada pemirsa.

Dalam prosesnya, “Israel” merancang sebuah narasi tentang dirinya sebagai korban tak berdosa dari terorisme Palestina, yang sesuai dengan hak kedaulatan untuk mempertahankan diri dari serangan eksistensial.

Hal ini demi menutupi fakta bahwa Israel sendiri yang memulai eskalasi, memiliki kekuatan udara lebih canggih untuk melawan musuh yang tidak memiliki kekuatan udara, dan menjatuhkan lebih dari seribu ton amunisi ke Gaza.

Pada tahun 2014, perang ‘Operation Protective Edge’ Israel di Gaza memicu penolakan yang jauh lebih besar terhadap narasi media, yang jelas-jelas meremehkan tingkat kemarahan global terhadap tindakan mereka di Gaza.

Ketika gambar-gambar kehancuran dan potongan tubuh warga sipil tak berdosa membanjiri media sosial, para pendukung hasbara dipaksa untuk melipatgandakan upaya mereka. Program humas  diatur dengan baik yang berusaha membingkai ulang kejahatan perang dengan poin-poin pembicaraan untuk menutupi penggunaan kekuatan yang tidak proporsional – yang bahkan akhirnya tidak efektif di Israel.

Strategi Lama

Jika sikap ini gagal, ada beberapa strategi lama mereka yang masih bisa digunakan kembali.

Salah satunya adalah memaksa publik untuk membuat pilihan antara Israel dan Hamas. Hari ini, kita terus melihat dikotomi ini dimainkan di segmen-segmen siaran internasional; dengan melakukan hal itu, “Israel” dibingkai sebagai aktor yang rasional dan tak berdosa yang diprovokasi oleh ancaman teroris yang tidak rasional, sehingga setiap kritik terhadap tindakan Zionis secara de facto merupakan pembiaran terhadap terorisme.

Meskipun sejumlah pemerintah Barat telah menetapkan Hamas sebagai organisasi teror, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, Norwegia dan Swiss, mereka masih mempertahankan hubungan diplomatik dengan kelompok tersebut.

Australia, Selandia Baru dan Inggris hanya menganggap sayap militernya sebagai organisasi teroris. Namun sejumlah negara lain di luar Barat tidak melabelinya sebagai organisasi teroris, dan PBB pada tahun 2018 menolak resolusi AS untuk mengutuknya sebagai organisasi teror.

Mungkin taktik yang paling umum adalah mengaitkan setiap kritik terhadap kebijakan Zionis, baik itu pelanggaran hak asasi manusia atau penjajahan atas tanah Palestina, dengan anti-Semitisme.

Salah satu ancaman strategis dalam beberapa tahun terakhir adalah berkembangnya gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Para pejabat Zionis telah berusaha mencap mereka yang mendukung BDS sebagai anti-Semit dan mengklaim bahwa gerakan ini terkait dengan terorisme, sementara sejumlah negara bagian Amerika Serikat mulai mengadopsi undang-undang anti-BDS.

Di dunia maya, hal ini telah diterjemahkan dengan mendorong perusahaan-perusahaan media sosial terkemuka untuk mengadopsi definisi kerja Aliansi Peringatan Holocaust Internasional tentang anti-Semitisme, yang memperluas potensi tuduhan anti-Semitisme menjadi kritik terhadap “Israel”.

Mempersenjatai isu-isu keadilan sosial dan penggunaan bahasa yang ‘woke’ merupakan strategi lain yang sering digunakan. Sebagai contoh, narasi tentang bagaimana Israel adalah “satu-satunya negara demokrasi” di Timur Tengah diulang-ulang tanpa henti; mengindikasikan bahwa Israel adalah satu-satunya negara yang menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum di wilayah yang mengalami kemunduran dan permusuhan.

“Pinkwashing” – secara sinis mengeksploitasi hak-hak LGBTQ+ untuk memperkuat lapisan progresif dan menyembunyikan kejahatan Israel – telah ditambahkan ke dalam daftar hasbara, bersama dengan dukungan terhadap hak-hak hewan hingga pendudukan “veganwash”.

Pada akhirnya, wacana ini dimaksudkan untuk beroperasi dalam penjajaran terhadap Palestina yang “terbelakang”  untuk semakin merendahkan martabat mereka di antara khalayak Barat dan melunakkan kritik terhadap kejahatan Israel.* Artikal diambil dari TRTWorld

HIDAYATULLAH

Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan Menurut Habib Ali Al-Jufri

Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan adalah sebuah konsep dari Habib Ali al-Jufri. Habib Ali al-Jufri memulai dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah beragama. Fitrah ini merupakan naluri yang mendorong manusia untuk mencari kebenaran dan makna hidup. 

Sebagaimana tulisan sebelumnya bahwa bukan hanya menyuarakan pentingnya lebih mendahulukan kemanusiaan dari keberagamaan, namun memahami konsep tersebut juga menjadi lebih penting dari hanya sekedarr menyuarakannya.

Konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan ternyata sudah jauh terbentuk sejak di era Rasulullah Saw, sosok beliau yang sangat rahmatan lil alamin tentu tidak mengherankan jika memang beliau sangat menjunjung tinggi rasa pentingnya kemanusiaan, peristiwa-peristiwa bersejarah tentang perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani di masa itu sudah menjadi bukti bahwa beliau memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap kesejahteraan manusia.

Berikut ini adalah hadits yang oleh Habib Ali Al-Jufri dijadikan dasar atau dalil bahwa sikap kemanusiaan lebih didahulukan dari pada keberagamaan. Hadits ini termaktub dalam kitab Sunan Abu Dawud;

فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ وَوَجَدْتُ قُرَيْشًا عَلَيْهِ جُرَءَاءُ فَتَلَطَّفْتُ حَتَّى دَخَلْتُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ قُلْتُ مَنْ أَنْتَ فَقَالَ أَنَا نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ قُلْتُ مَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ قُلْتُ فَبِمَ أَرْسَلَكَ قَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ ‌وَتُحْقَنَ ‌الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيَعْبُدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ به شيء قلت نعم ما أَرْسَلَكَ فَأَشْهَدُ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُ بِكَ أَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ مَاذَا تَرَى قَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهِيَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتَ بِأَنِّي خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَائْتِنِي.

Artinya; “Aku (`Amr bin `Abasah As-Sulami) bertanya tentang dia (Rasulullah Saw) lalu aku mendapatinya dalam keadaan bersembunyi dan aku mendapati orang Quraisy memusuhinya, lalu aku berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga aku berhasil menemuinya dan mengucap salam, kemudian aku bertanya Siapa kamu?” 

Dia menjawab, “Aku seorang nabi.” Aku bertanya, “Dan apakah nabi itu?” Dia bertanya, “Utusan Allah.” Aku berkata, “Siapa yang mengutus kamu?” Allah berfirman, Aku bertanya, “Untuk apa dia mengutus kamu?” Beliau bersabda, “Agar kamu menyambung silaturahmi, melindungi darah, mengamankan jalan, menghancurkan berhala, dan menyembah Allah semata yang tidak ada sekutu baginya sesuatu pun. 

Aku berkata “Sangat bagus risalah yang karenanya engkau diutus, Maka aku bersaksi sesungguhnya aku sungguh beriman kepadamu dan aku mempercayaimu, apakah aku harus tinggal bersama mu atau bagaimana pendapatmu?

Lalu beliau bersabda “kamu telah melihat kebencian manusia atas apa yang aku bawa, maka tinggallah kamu bersama keluargamu, jika suatu hari kamu mendengar aku telah keluar dari persembunyianku, maka datanglah kepadaku.” (HR. Imam Ahmad).

Menurut Habib Ali berdasarkan hadist di atas dapat dipahami bahwa cara Rasulullah Saw menjelaskan risalah yang dibawanya, beliau terlebih dahulu menjelaskan tiga hal mendasar.

Pertama, beliau menjelaskan pentingnya silaturahmi. Habib Ali memaknai hal ini sebagai jaminan Rasulullah terhadap keamanan masyarakat.

Kedua, melindungi darah. Hal ini dimaknai oleh Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan manusia.

Ketiga, mengamankan jalan. Yang menurut Habib Ali bahwa Rasulullah memberi jaminan keamanan publik.

Setelah menyampaikan tiga hal penting itu baru Rasulullah Saw menjawab tujuan risalah mengenai religiositas, yaitu menghancurkan berhala yang ini merupakan bagian amar ma`ruf nahi munkar dan juga sikap kukuh untuk menyembah Allah Swt semata, yang ini adalah wilayah dakwah.

Dari jawaban Rasulullah Saw tersebut dapat kami pahami bahwa dengan adanya jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik, maka barulah kita bisa menjalankan agama dengan khusyuk, aman dan nyaman. Karena hati yang adem akan membuat sikap keberagamaan kita juga adem.

Demikian penjelasan mengenai dalil hadits kemanusiaan sebelum keberagamaan. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam

BINCANG SYARIAH

Operasional Haji Dimulai 12 Mei 2024

Jamaah haji 2024 mulai diberangkatkan pada 12 Mei.

Kementerian Agama menyatakan masa operasional pemberangkatan jamaah calon haji 1445 Hijriah/2024 Masehi akan berlangsung selama 30 hari mulai dari 12 Mei hingga 14 Juni 2024.

“Masa operasional pemberangkatan akan melibatkan berbagai kementerian dan pihak. Waktu masa operasionalnya 30 hari. Kita akan memulainya pada 12 Mei sampai 14 Juni 2024,” ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief dalam rapat kerja Panja Haji di Jakarta, Rabu.

Hilman mengatakan pemberangkatan jamaah calon haji ke Tanah Suci dibagi dalam dua gelombang. Untuk gelombang pertama akan diberangkatkan mulai 12 sampai 23 Mei 2024. Gelombang pertama ini akan diberangkatkan dengan tujuan Madinah.

Sementara untuk pemberangkatan haji gelombang dua dengan tujuan Jeddah akan berlangsung selama 18 hari mulai 24 Mei hingga 10 Juni 2024.

Demikian pula dengan masa operasional kepulangan yang akan berlangsung selama 30 hari, mulai dari 22 Juni sampai 21 Juli 2024.

Gelombang pertama masa kepulangan dari Jeddah ke Indonesia akan berlangsung selama 12 hari mulai 22 Juni hingga 3 Juli 2024. Gelombang kedua dari Madinah selama 18 hari mulai 4 Juli sampai 21 Juli 2024.

“Jadi selesai operasional haji kira-kira minggu ke-4 bulan Juli,” ujar Hilman.

Di sisi lain, Kemenag juga telah menyiapkan 14 embarkasi yang akan digunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji 2024.

Adapun rinciannya yakni Banda Aceh (BTJ) 13 kelompok terbang atau Kloter, Kualanamu (KNO) 23 Kloter, Padang (PDG) 18 Kloter, Batam (BTH) 33 Kloter, Palembang (PLM) 25 Kloter, Jakarta Pondok Gede (JKG) 68 Kloter, Jakarta Bekasi (JKS) 75 Kloter.

Lalu Solo (SOC) 105 Kloter, Surabaya (SUB) 115 Kloter, Banjarmasin (BDJ) 17 Kloter, Balikpapan (BPN) 18 Kloter, Ujungpanjang (UPG) 45 Kloter, Lombok (LOP) 13 Kloter, dan Kertajati (KJT) 30 Kloter.

“Jadi totalnya 598 Kloter. Saat ini jumlah Kloter yang tercantum akan sangat ditentukan dengan jenis pesawat yang tersedia di maskapai. Rata-rata ada di atas 400 (kursi),” katanya

IHRAM

Sama-Sama Biaya Haji, Apa Bedanya BPIH dan Bipih?

Dalam penyelenggaraan ibadah haji ada banyak istilah.

Dalam penyelenggaraan ibadah haji ada banyak istilah yang terkadang belum sepenuhnya dipahami masyarakat, termasuk jamaah haji sendiri. Terkait biaya haji, misalnya, dikenal istilah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), dan nilai manfaat.

Staf Khusus Menag bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mengatakan penjelasan istilah ini bisa dilihat dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan, BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pasal 44 menyebutkan bahwa BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji. Nilai manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Sementara, dana efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji.

“Kalau kemarin Kemenag mengusulkan biaya haji 2024 rata-rata sebesar Rp 105 juta, maka itu adalah BPIH. Sedangkan yang harus dibayar langsung oleh jamaah itu namanya Bipih,” ujar Wibowo di Kabupaten Bogor, Jumat (17/11/2023).

Dia pun mencontohkan BPIH 2023. Saat itu, Kemenag mengusulkan BPIH 1444 H dengan rata-rata sebesar Rp 98.893.909,11. Setelah dibahas Panja BPIH, dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dan Pemerintah, disepakati rata-rata BPIH 2023 sebesar Rp 90.050.637,26.

Komposisi BPIH saat itu terdiri atas Bipih yang dibayar jamaah pada 2023 rata-rata sebesar Rp 49.812.700,26 (55,3 persen), dan nilai manfaat sebesar rata-rata Rp 40.237.937 (44,7 persen).

Berapa biaya haji 2024?

Lantas berapa Bipih 2024 yang harus dibayar jamaah?

Wibowo menjelaskan itu belum ditetapkan. Sebab, saat ini panitia kerja (Panja) yang dibentuk Pemerintah dan Komisi VIII masih mengkaji usulan Kemenag sebesar Rp 105 juta.

“Panja melakukan kajian setiap komponen usulan Kemenag, termasuk mempertimbangkan nilai kurs dolar dan riyal terhadap rupiah,” ucap Wibowo.

“Panja BPIH juga akan mengecek harga layanan di dalam negeri dan Saudi, mulai transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Kemenag juga mengusulkan tambahan layanan makanan di Makkah pada tahun 2024 hingga 84 kali,” kata Wibowo.

Hasil kerja Panja, lanjut Wibowo, selanjutnya akan dibawa ke Rapat Kerja Kemenag dan Komisi VIII untuk disepakati. Setelah BPIH 2024 disepakati, baru akan dibahas komposisi Bipih yang harus dibayar jamaah dan nilai manfaat.

“Dana nilai manfaat dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. Besaran Bipih yang dibayar jamaah, sangat tergantung juga pada besaran nilai manfaat yang bisa disiapkan BPKH,” jelas Wibowo.

Di tempat yang sama, Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie menegaskan BPIH berbeda dengan Bipih. Menurut dia, usulan Rp 105 juta tahun ini adalah BPIH dan itu bukan dana yang harus dibayar jamaah.

“Dana yang dibayar jamaah namanya Bipih dan itu hanya salah satu komponen BPIH. Jumlahnya berapa, belum ditetapkan,” kata Anna.

IHRAM

4 Hal yang Harus Diketahui Sebelum Berutang

Ada satu fenomena yang sedang marak terjadi dan amat disayangkan di zaman sekarang, yaitu bermudah-mudahannya seseorang dalam perkara utang dan mengambil pinjaman. Sebagian dari mereka mengambil utang bukan karena butuh dan tidak dalam kondisi mendesak. Mereka berutang karena ingin bergaya, mengambil pinjaman berbunga untuk membeli hape baru. Sebagiannya lagi mengambil kredit motor hanya karena gengsi.

Fenomena ini muncul bukan tanpa sebab. Maraknya pinjaman-pinjaman online yang menggunakan iklan menggiurkan, banyaknya beragam bentuk kredit ribawi yang menjanjikan benefit menguntungkan bagi nasabahnya, dan beragam produk keuangan lainnya, kesemuanya itu memiliki andil besar di dalam terjadinya fenomena ini. Kesemuanya itu pada akhirnya membuat masyarakat di zaman sekarang memiliki kebiasaan yang amat memprihatinkan, yaitu bermudah-mudahan di dalam berutang.

Saudaraku, berikut ini adalah beberapa hal yang harus kita ketahui bersama sebelum mengambil pinjaman uang atau berutang:

Pertama: Hukum asal utang adalah boleh

Utang merupakan salah satu perkara yang Allah Ta’ala perbolehkan. Hanya saja ada syarat-syarat dan adab-adab yang harus dipenuhi agar hak-hak orang yang berutang dan mengutangi terjaga. Karena utang seringkali membawa malapetaka, baik di dunia dan di akhirat.

Pentingnya perkara utang ini, sampai-sampai Allah Ta’ala turunkan satu ayat Al-Qur’an terpanjang yang membahasnya. Di antara potongan ayat tersebut Allah Ta’ala berfirman,

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا تَدَايَنۡتُمۡ بِدَيۡنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكۡتُبُوۡهُ ​ؕ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِ وَلَا يَاۡبَ كَاتِبٌ اَنۡ يَّكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ​ فَلۡيَكۡتُبۡ ​ۚ وَلۡيُمۡلِلِ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ وَلۡيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡـــًٔا ​ؕ فَاِنۡ كَانَ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ سَفِيۡهًا اَوۡ ضَعِيۡفًا اَوۡ لَا يَسۡتَطِيۡعُ اَنۡ يُّمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهٗ بِالۡعَدۡلِ​ؕ وَاسۡتَشۡهِدُوۡا شَهِيۡدَيۡنِ مِنۡ رِّجَالِكُمۡ​ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُوۡنَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ وَّامۡرَاَتٰنِ مِمَّنۡ تَرۡضَوۡنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنۡ تَضِلَّ اِحۡدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحۡدٰٮهُمَا الۡاُخۡرٰى​ؕ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang lain mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah: 282)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat perhatian terhadap perkara utang ini. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وهم يُسلِفونَ في الثِّمارِ السَّنةَ والسنتين فقال: من أسلفَ في شيءٍ فليُسلِفْ في كيلٍ معلومٍ ووزنٍ معلومٍ إلى أجَلٍ معلومٍ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktikkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Maka, beliau bersabda, ‘Siapa yang mempraktikkan salaf dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setuju dengan sistem akad di dalam hadis tersebut yang sejatinya berbentuk utang. Namun, beliau memberikan batasan-batasan yang harus dipenuhi tatkala melaksanakannya. Wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mau belajar dan perhatian terhadap syarat-syarat utang dan adab-adabnya serta menjauhkan diri dari praktik jual beli dan muamalah yang dilarang oleh syariat.

Kedua: Jangan mudah-mudahan di dalam berutang

Kebanyakan masyarakat di zaman sekarang terlalu bermudah-mudahan di dalam berutang, menunda-nunda di dalam melunasinya, dan bahkan berutang dengan nilai yang tidak mampu mereka bayar.

Orang-orang terdahulu berutang karena keperluan atau kebutuhan yang mendesak, untuk memenuhi kebutuhan pangan anak misalnya, atau memperbaiki rumah yang rusak, lahan pertanian yang rusak, atau sekedar untuk membeli barang sebagai modal dagangannya, dan semua itu tentu sebatas kebutuhannya saja.

Zaman sekarang, orang berutang untuk flexing dan bermewah-mewahan. Membangun rumah mewah, membeli mobil mahal, atau bahkan untuk mengadakan pesta resepsi mewah yang berlebih-lebihan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللَّهِ أَنْ يَلْقَاهُ بِهَا عَبْدٌ بَعْدَ الْكَبَائِرِ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا أَنْ يَمُوتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَا يَدَعُ لَهُ قَضَاءً

“Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah yang akan dibawa seorang hamba saat berjumpa dengan-Nya setelah dosa-dosa besar yang telah Allah larang adalah seseorang yang meninggal dalam keadaan menanggung utang yang tidak mampu ia lunasi.” (HR. Abu Dawud no. 3342)

Bukankah seharusnya seorang muslim takut mendengar ancaman ini?! Sungguh sebuah ancaman yang keras bagi siapa pun yang bermudah-mudahan di dalam berutang, lalu tidak mampu melunasinya hingga ia meninggal dunia.

Iya, berutang tidaklah terlarang dan tidak diharamkan, hanya saja Islam membolehkan hal tersebut saat terdesak dan butuh saja! Bukan untuk bergaya apalagi menuruti hawa nafsu belaka.

Ketiga: Nabi senantiasa berlindung kepada Allah Ta’ala dari utang

Utang merupakan salah satu perkara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berdoa kepada Allah agar terhindar darinya. Di antaranya doa beliau,

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الكَسَلِ والهَرَمِ، والمَأْثَمِ والمَغْرَمِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas dan kepikunan. Dan dari berbuat dosa serta sulitnya utang.” (HR. Bukhari no. 6368 dan Muslim no. 589)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdoa,

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْزِ والكَسَلِ، والبُخْلِ، والجُبْنِ، وضَلَعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَةِ الرِّجالِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari terlilit utang dan pemaksaan dari orang lain). (HR. Bukhari no. 6363)

Keempat: Memiliki utang dan tidak bisa melunasinya sampai meninggal dunia sangatlah berbahaya

Banyak sekali hadis yang menjelaskan kepada kita akan bahaya berutang dan tidak bisa melunasinya hingga meninggal dunia. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada awal-awal Islam, menahan diri dari mensalatkan jenazah seseorang yang mempunyai utang, lalu tidak dapat melunasinya. Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أُتِيَ بجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: لَا، فَصَلَّى عليه، ثُمَّ أُتِيَ بجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: نَعَمْ، قالَ: صَلُّوا علَى صَاحِبِكُمْ، قالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يا رَسولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عليه.

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam didatangkan kepadanya jenazah untuk disalatkan, maka Nabi bertanya, ‘Apakah dia memiliki utang?’ Mereka mengatakan, ‘Tidak.’ Maka, Nabi pun menyalatkannya. Lalu, didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bertanya kembali, ‘Apakah ia memiliki utang?’ Mereka mengatakan, ‘Ya.’ Nabi berkata, ‘Salatkanlah saudara kalian.’ Abu Qatadah berkata, ‘Aku yang menanggung utangnya, wahai Rasulullah.’ Maka, Nabi pun menyalatkannya.” (HR. Bukhari no. 2295)

Bahaya lainnya, orang yang bermudah-mudahan dalam berutang lalu tidak dapat melunasinya hingga meninggal dunia, maka bisa jadi ia tertahan dari masuk surga selama utangnya tersebut belum dilunasi. Sebagaimana Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.

كنَّا مع النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في جِنازةٍ، فقال: أهاهُنا مِن بَني فُلانٍ أحَدٌ؟ قالها ثلاثًا، فقام رَجُلٌ، فقال له النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: ما مَنَعَكَ في المَرَّتَينِ الأُوليَينِ أنْ تَكونَ أجَبتَني؟ أمَا إنِّي لم أُنوِّهْ بك إلَّا لخيرٍ؛ إنَّ فُلانًا لِرَجُلٍ منهم مات- إنَّه مَأسورٌ بدَينِه

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda, ‘Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?’ Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu, berdirilah seorang laki-laki. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama dan kedua? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan kebaikan. Sesungguhnya fulan (seorang laki-laki dari kalangan mereka yang sudah mati) tertawan (tertahan) karena utangnya.’” (HR. Abu Dawud no. 3341, An-Nasa’i no. 4685, dan Ahmad no. 20231)

Bahkan, apabila orang yang berutang itu meninggal dalam kondisi syahid sekalipun, maka semua dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, kecuali utangnya tersebut. Karena utang adalah hak yang berkaitan dengan manusia, maka harus ditunaikan dan diselesaikan terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886)

Penutup

Kebiasaan utang menggunakan kredit dan cicilan berbunga atau memanfaatkan paylater adalah fenomena yang sedang merebak di tengah masyarakat kita. Fenomena yang dianggap remeh, namun ternyata dapat membawa bencana bagi pelakunya.

Berutang di dalam Islam diperbolehkan hanya ketika dibutuhkan dan kondisi darurat saja. Orang yang berutang, maka juga diwajibkan untuk melunasinya. Karena utang yang tidak dilunasi sampai seseorang itu meninggal dunia, maka akan membawa malapetaka kepada pelakunya.

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim menahan dirinya dari banyak berutang. Jikapun ada kondisi yang mendesaknya sampai berutang, maka ia berutang sebatas kebutuhannya saja, sembari bertekad untuk melunasinya sesegera mungkin. Dengan cara seperti itu, Allah Ta’ala pasti akan menolongnya untuk melunasi utangnya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ.

Siapa saja yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan melunasinya, maka Allah akan melunasinya untuknya. Sebaliknya, siapa saja yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya dan menggelapkannya serta tidak berniat untuk melunasinya), maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari no. 2387)

Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89848-4-hal-yang-harus-diketahui-sebelum-berutang.html

Fatwa MUI Haram Pemimpin yang Ingkar Janji

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai masalah strategis kebangsaan [masail asasiyyah wathaniyah]. Berdasarkan fatwa MUI haram pemimpin yang ingkar janji, terlebih janji yang diucapkan saat kampanye. Dalam fatwa MUI tersebut tidak boleh mentaati pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang dilarang agama.

Nah berikut Keputusan Komisi A terkait Masalah Strategis Kebangsaan, Ijtima’ Ulama Fatwa Se-Indonesia tentang Kedudukan Pemimpin yang Tidak Menepati Janjinya.

  1. Pada dasarnya, jabatan merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta dan/atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai kapabilitas yang memadai dan/atau diketahui ada orang yang lebih kompeten. Dalam hal seseorang memiliki kompetensi, maka ia boleh mengusulkan diri dan berjuang untuk hal tersebut.
  2. Setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun ekskutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
  3. Dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
  4. Calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan suatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
  5. Calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin tersebut berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila ternyata terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
  6. Calon pemimpin publik yang menjanjikan memberi sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap).
  7. Pemimpin publik yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
  8. Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembaga terkait dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  9. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.
  10. MUI agar senantiasa memberikan taushiyah kepada para pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya.

Fatwa MUI ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi para pemimpin untuk selalu menepati janjinya kepada rakyat. Janji adalah amanah yang harus ditunaikan. Apabila seorang pemimpin mengingkari janjinya, maka ia telah melanggar amanah dan berbuat dosa.

Selain itu, fatwa ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran rakyat untuk menuntut pemimpin yang mengingkari janjinya. Rakyat memiliki hak untuk menuntut pemimpin yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, termasuk mengingkari janjinya.

Demikian penjelasan terkait fatwa MUI terkait haram pemimpin yang ingkar janji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Genosida di Gaza dan Paradoks Demokrasi Sekuler

Sementara hingga hari ini, 10 Nopember 2023, sudah lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia di Gaza di mana hampir separuhnya adalah anak-anak, sejumlah orang masih berdebat tentang apakah Hamas adalah organisasi teroris atau bukan. Seolah lupa bahwa Hamas telah memenangkan pemilihan umum Palestina yang diselenggarakan pada 2006, negara-negara Barat yang besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman tetap menganggap Hamas adalah teroris yang karena itu serangan terhadap mereka di Gaza adalah sah. Apakah ini merupakan sebuah contoh bagi demokrasi sekuler?

Palestina, seperti juga entitas politik lainnya, terdiri dari berbagai kelompok yang saling bersaing. Di antara yang paling berpengaruh adalah Fatah dan Hamas. Sementara Fatah bercorak sekuler, Hamas adalah gerakan Islam politik. Fatah setuju dengan solusi “dua negara”, sedangkan Hamas tidak percaya dengan itu. Bagi mereka, keberadaan negara Israel di tanah Palestina adalah penjajahan yang harus dilawan, termasuk dengan senjata. Satu-satunya solusi adalah intifadah.

Akan tetapi, Hamas menyepakati demokrasi. Mereka ikut pemilihan umum 2006. Dibanding dengan Fatah yang nepotis dan korup, Hamas dianggap lebih memberi harapan. Akhirnya, mereka memenangkan 76 kursi dari 132 kursi parlemen Palestina, sementara Fatah hanya mendapatkan 43 kursi saja.

Negara-negara Barat tidak mengakui kemenangan Hamas itu, sehingga Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah yang telah berkuasa sejak 2005 hingga hari ini pada dasarnya tidak mempunyai legitimasi di hadapan rakyatnya sendiri. Meski mempunyai otoritas untuk mengirim wakil-wakilnya dalam hubungan internasional, posisi Abbas di mata rakyatnya sangat lemah. Problematik ini mau diatasi dengan pemilihan umum, tetapi tidak pernah berhasil. Israel yang didukung oleh negara-negara Barat selalu mengintervensi rencana pemilihan umum dalam rangka memastikan keberlanjutan pendudukannya di Palestina. Pokoknya, bagi Israel, jangan sampai Hamas memenangan pemilihan umum.

Sementara itu, publik global terus menerus disuguhi gambaran tentang Hamas sebagai organisasi teroris. Kenyataan bahwa mereka adalah kelompok-kelompok pejuang yang mempertahankan jengkal terakhir tanah airnya tidak pernah diakui. Di bawah hegemoni jejaring media pro-Israel yang menggurita, cerita tentang Gaza sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia” tidak pernah dijadikan berita. Persepsi ini semakin mantap dalam bayang-bayang proyek global war on terror pasca peristiwa 11 September 2001. Hamas disamakan begitu saja dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Al-Qaida, dan Jamaah Islamiyah.

Kembali ke soal paradoks demokrasi, sejak awal negara-negara Barat memang alergi dengan Islam politik. Mereka mendorong Islam agar seperti Kristen yang mengalami sekularisasi. Pengalaman Eropa Barat yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan agama mesti diterapkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka tidak percaya, setidaknya curiga, keikutsertaan kalangan Islam politik dalam demokrasi. Jika mereka menang, maka itu harus dibatalkan. Alasannya bisa dicari kemudian.

Persis ketika demokrasi hanya ditempatkan dalam kerangka sempit politik sekuler, paradoks dimulai. Ironisnya itu hanya diberlakukan terutama kepada Islam, sebab demokrasi Israel di bawah Netanyahu atau demokrasi India di bawah Narendra Modi yang sangat teokratik tidak dipermasalahkan, setidaknya dibiarkan. Paling jauh fenomena Israel atau India kontemporer di mana Yahudi dan Hindu mendikte demokrasi hanya dinarasikan sebagai populisme kanan.

Tentu negara-negara Barat tidak berarti anti-Islam, sebab mereka menyayangi Islam moderat. Seperti Fatah di Palestina, faksi-faksi Islam moderat di mana-mana adalah sekutu Barat yang utama. Proyek moderasi akan didukung sebagai wujud nyata keterlibatan agama-agama dalam perdamaian dunia. Pertanyaan apakah hal itu sesuai dengan norma dan prosedur demokrasi atau sebaliknya bisa dicari argumentasinya nanti.

Kenyataannya, apa yang menimpa Hamas di Palestina pada pemilihan umum 2006 bukan hal yang baru pertama kali terjadi di negara Muslim. Sebelumnya, pada tahun 1991 di Aljazair, Front Islamique du Salut (FIS) juga memenangkan pemilihan umum, tetapi lalu dibatalkan oleh kekuatan militer. Yang lebih baru adalah kemenangan Mohamed Moorsi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir pada 2012. Setelah berapa bulan menduduki pemerintahan, dia dikudeta, bahkan lalu dipenjara hingga meninggal dunia di balik jeruji pada 2019. Seperti Hamas, FIS dan Ikhawanul Muslimin adalah organisasi Islam politik yang akan terus ditulis dalam literatur-literatur sekuler sebagai kekuatan-kekuatan yang mengancam demokrasi, meski memenangkan demokrasi.

Paradoks demokrasi sekuler, oleh karena itu, tidak akan mengakui adanya  genosida di Gaza yang hingga hari ini telah merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. Mungkin itu dilihat sebatas statistik seperti persentase persepsi atau opini publik dalam laporan survei menjelang pemilihan umum. Mungkin tidak ada yang menggetarkan dari jerit 160 anak yang meregang nyawa setiap jam di Gaza. Semuanya hanya dipandang angka-angka belaka.

ALIF

Apakah Berwudhu harus Cebok Dulu?

Apakah berwudhu harus cebok dulu? Pertanyaan ini jamak ditanyakan oleh masyarakat. Lantas bagaimana penjelasannya menurut ulama fikih?

Ketika seseorang membuang air besar atau kecil, dia diwajibkan untuk mensucikannya dengan menggunakan air, batu, atau benda lainnya yang suci dan bersih. Dalam fiqih, menyucikan kotoran setelah buang air besar atau kecil disebut dengan istinja’.

Dalam kaitannya dengan wudhu, apakah boleh melakukan wudhu sebelum istinja’? Apakah wudhu tersebut dinilai sah?

Dalam kitab Majmu Syarhul Muhadzdzab disebutkan, ketika seseorang buang air besar atau kecil, sebaiknya istinja’ terlebih dulu kemudian melakukan wudu. Namun jika melakukan sebaliknya, yaitu wudu terlebih dulu kemudian istinja’, maka wudhunya tetap dinilai sah.

ويستنجى قبل أن يتوضأ، فإن توضأ ثم استنجى صح الوضوء

“Sebaiknya melakukan istinja’ terlebih dulu sebelum berwudu. Namun jika melakukan wudu sebelum istinja’, maka wudunya tetap dinilai sah.”

Salah satu dasar mengapa wudhu sah meski belum melakukan istinja’, adalah karena tujuan utama wudu untuk menghilangkan hadas kecil. Sedangkan hilangnya hadas kecil dengan berwudu tetap berhasil meski tanpa didahului dengan menghilangkan najis.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus Saja berikut;

بخلافه في الوضوء لأن الوضوء لرفع الحدث وهو يحصل مع عدم ذلك

“Berbeda dalam perkara menghilangkan najis terlebih dulu dalam wudu, karena wudu adalah untuk menghilangkan hadas dan hilangnya hadas berhasil meski tanpa didahului dengan menghilangkan najis.”

Dari keterangan di atas, jawaban atas pertanyaan apakah berwudhu harus cebok dulu? Maka jawabannya adalah wudhu sebelum melakukan istinja’ hukumnya boleh dan dinilai sah. Meski demikian, alangkah sangat baik jika melakukan istinja’ terlebih dulu sebelum melakukan wudu sebagaimana anjuran dalam kitab Almajmu di atas.

BINCANG SYARIAH