Hartaku Untuk Surgaku

Allah ta’ala memberi tahu mengenai orang yang paling baiknya bicara. Dia berfirman:

(لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا)

Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ 114).

Inilah yang bermanfaat bagi manusia di dunia dan di akhirat.

Allah ta’ala memberi kita nikmat diantaranya adalah harta kita, yang mana tidak ada makhluk yang mendapatkan dan merasakan nikmat sebagaimana manusia, seperti; gajah dia tidak mampu untuk memproduksi sesuatu sebagaimana layaknya manusia. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَق َلَكُم ماَ فِي الأَرضِ جَمِيعا ً

Artinya: “Dialah yang menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini untuk kalian (manusia)“. (QS. Al Baqarah: 29).

Namun dibalik itu semua apabila tidak mampu menginfaqkan harta kita yang itu merupakan nikmat Allah maka bahayanya melebihi bahaya hewan / bahaya makhluk lain. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إِن َّلِكُل ِّأُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَ فِتٔنةُ أمَّتِي المَالُ

Artinya: “sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah ( ujian ) dan fitnah ummatku adalah harta“.

Banyak sekali orang yang hancur dikarenakan hartanya. Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُم لِيَصُدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan orang-orang kafir mereka menginfaqkan harta mereka untuk menghalang – halangi dan jalan Allah“.

Allah berfirman:

إِنَّمـَا أَمْوَالَكُم وَأَولَادُكُم فِتْنَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah ujian“.

Perlu diketahui bahwasannya apabila Allah memberi harta yang banyak kepada seseorang bukan berarti Allah telah memuliakannya dan bukan berarti dengan Allah menyempitkan rizqi seseorang berarti Allah telah menghinakannya. Namun sesungguhnya seseorang yang memiliki harta yang banyak dan sedikit dia mampu menjadi mulia apabila kita gunakan untuk infaq dijalan Allah.

Allah berfirman:

الذين ينفقون أموالهم با لليل والنهار سرا وعلانية فلهم أجرهم عند ربهم

Artinya: “Orang – orang yang menginfaqkan harta mereka pada malam hari dan siang hati dalam keadaan sembunyi – sembunyi dan terang – terangan maka baginyalah pahala disisi Rabb mereka” (QS. Al Baqoroh: 274).

Pada ayat diatas adalah isim maushul yang itu menunjukkan umum, yang berarti bukan hanya orang kaya saja. Inilah janjinya bagi orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah, dan inilah makna “hartaku untuk surgaku” .

Sesungguhnya harta yang Allah berikan kepada kita baik sedikit maupun banyak maka akan ditanya oleh Allah ta’ala, oleh karena itu mari kita siapkan jawaban kita. Allah ta’ala berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Artinya : “Dan kamu benar -benar akan ditanya tentang nikmat yang diberikan kepadamu” (QS. At-Takathur 8).

Harta adalah amanah yang dititipkan Allah kita oleh karena itu jangan sampai kita abaikan karena itu semuanya akan ditanya. Kenapa kita harus menginfaqkan harta kita di jalan Allah yang menuju ke Surga? Banyak sekali jawabannya, diantaranya:

Pertama: Karena perintah Allah ta’ala, Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ

Artinya: “Dan carilah dengan apa -apa yang Allah berikan kepadamu negeri akhirat” (QS. Al-Qasas 77).

Kedua: Harta yang kita nikmati di dunia ini sedikit sekali sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya : Berkata Bani adam “Ini hartaku, ini hartaku“. Lalu Rosululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kamu tidak memiliki harta apapun kecuali shodaqoh yang telah engkau keluarkan atau makanan yang telah engkau makan, atau pakaian yang telah engkau pakai yang telah usang, maka itulah milikmu”.

Ketiga: Orang yang meninggal tidak akan dikubur bersama hartanya, semuanya harus ditinggal. Namun yang dibawanya adalah amalnya.

Keempat: Surga itu dibeli dengan infaq. Allah ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Dan itulah surga yang engkau warisi dengan sebab aoa yang telah engkau amalkan” (QS. Az-Zukhruf 72).

Yaitu amal sholih, termasuk kedalamnya adalah kedermawanan orang yang berinfaq. Lihatlah Abu Tholhah, saat beliau mendengar nabi membacakan ayat :

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya : “Kalian tidak akan mendapatkan surga sampai kalian menginfaqkan apa-apa yang kalian cintai” (Surat Ali-Imran 92).

Datanglah Abu Tholhah dan berkata: ” Wahai Nabi, aku mempunyai tanah di Buwairuhah, tanah yang paling bagus, berapun harganya dia takkan dijual, silahkan gunakan lebun ini untuk di jalan Allah”. Lalu apa yang dikatakan Nabi kepadanya? Beliau berkata: “Bagikanlah kepada keluargamu yang terdekat yang miskin“.

Kelima: Hidup kita di dunia ini sangatlah sebentar , sedangkan akherat adalah kekal. Allah berfirman :

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ

Artinya: “Katakanlah, kenikmatan dunia adalah sedikit dan akherat adalah lebih baik bagi orang yang bertaqwa” (Surat An-Nisa’ 77).

Dan solusi agar kita dapat berinfaq adalah, dengan hidup sederhana. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

انظر إلى من هو أسفل منكم ولا تنظر إلى من هو فوقكم

Artinya: “Lihatlah kepada yang dibawah kalian dan jangan lihat kepada yang di atas kalian (dalam urusan dunia)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda, pada hadits yang diriwayatkan oleh muslim dari sahabat Abu Hurairah:

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به وولد صالح يدعو له

Artinya: “Apabila anak Adam telah meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu *shodaqoh jariyah*, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendo’akannya“.

Syaikh Bin Baz mengatakan yang dimaksud shodaqoh jariyah adalah : Yang terus menerus bermanfaat seperti waqaf masjid, atau bangunan yang disewakan lalu hasilnya dishodaqohkan atau kebun / sawah yang disedekahkan.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصدقة لاتنقص المال

Artinya: “Shodaqoh itu tidak mengurangi harta“.

Dan sebaliknya apabila ada orang kaya atau pengusaha yang bangkrut maka sesungguhnya itu adalah karena akibat dosanya sendiri, sebagaimana Allah berfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Artinya: “Dan tidaklah musibah itu menimpamu kecuali karena perbuatan yang telah kalian perbuat, dan Allah telah banyak mengampuni kalian” (QS. Ash-Shura 30).

***

Penulis: Ust. Aunur Rofiq Ghufron, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29468-hartaku-untuk-surgaku.html

Ancaman Terhadap Pembagian Waris yang Menyelisihi Syari’at

Hukum waris pada jaman jahiliyyah

Pada jaman jahiliyyah, wanita dan anak-anak kecil tidak boleh mendapatkan harta warisan. Harta warisan hanya bagi laki-laki dewasa yang sudah mahir menunggang kuda dan memainkan senjata.

Lalu datanglah syariat Islam yang menghapus dan membatalkan hukum jahiliyyah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 7)

Berbeda 180 derajat dari ketentuan hukum jahiliyyah jaman dahulu adalah hukum yang ditetapkan oleh orang-orang jaman sekarang. Yaitu mereka memberikan hak warisan bagi perempuan, namun dengan bagian yang sama dengan kaum lelaki. Dengan alasan kesetaraan gender, kesamaan hak asasi manusia, lalu mereka pun melampaui batas dengan melanggar ketentuan syariat dalam hukum waris.

Padahal, Allah Ta’ala dengan tegas menyatakan,

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Juga dalam firman-Nya,

وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 176)

Oleh karena itu, ketentuan waris dalam Islam adalah sesuai dengan hak perempuan. Hak tersebut tidak dinihilkan sama sekali, sebagaimana hukum waris era jahiliyyah jaman dulu. Namun, tidak juga diberikan dengan melampaui batas dengan disamakan haknya dengan kaum lelaki, sebagaimana hukum waris yang dianut orang-orang yang bodoh pada jaman ini.

Pembagian hukum waris dalam Islam itu didasarkan atas ilmu dan hikmah

Sebagian orang melontarkan klaim-klaim dan tuduhan dusta terhadap hukum Allah yang berkaitan dengan masalah warisan. Mereka menuduh bahwa hukum waris dalam Islam itu tidak adil, mengkebiri hak-hak kaum perempuan, bias gender, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.

Kalau mereka mau membuka Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa hukum waris dalam Islam itu ditetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala yang mengetahui apa yang maslahat untuk umatnya.

Hal ini bisa kita renungkan ketika Allah Ta’ala selesai menyebutkan tentang hukum waris dan bagian masing-masing ahli waris, Allah Ta’ala tutup dengan firman-Nya,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Dalam ayat di atas, terdapat faidah luar biasa ketika Allah menyebutkan dua sifat Allah yang mulia, setelah menyebutkan ketentuan hukum waris, yaitu sifat al-‘ilmu (Maha mengetahui) dan al-hikmah (Maha bijaksana).

Maksudnya, karena Allah Ta’ala Maha mengetahui dan Maha bijaksana, Allah Ta’ala mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah Ta’ala pun meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, patuhilah perintah Allah ketika membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena pembagian itu berdasarkan ilmu Allah Ta’ala dan hikmah-Nya.

Seandainya pembagian waris ini diserahkan kepada pemikiran dan ijtihad (logika atau hasil olah pikir) manusia sendiri, maka pembagian itu akan dilandasi dengan kebodohan dan hawa nafsu, serta tidak ada hikmah di dalamnya. Sehingga justru akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela hukum Allah Ta’ala, atau mengatakan, “Seandainya hukumnya begini atau begitu”, maka dia telah mencela ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Dan sebagaimana Allah menyebutkan ilmu dan hikmah setelah menyebutkan hukum syariat-Nya, Allah Ta’ala juga menyebutkannya dalam ayat-ayat yang berisi tentang ancaman. Hal ini untuk menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa syariat dan balasan-Nya berkaitan dengan hikmah-Nya dan tidak keluar dari ilmu-Nya. (Lihat Al-Qawa’idul Hisaan, hal. 51-57)

Oleh karena itu, Allah Ta’ala mensifati bahwa hukum Allah itulah hukum yang paling baik. Dan Allah Ta’ala sifati hukum selain hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50)

Maka, renungkanlah wahai para pencari kebenaran.

Ancaman terhadap orang-orang yang mengubah-ubah ketentuan warisan

Melaksanakan ketentuan hukum waris sebagaimana yang telah Allah Ta’ala tetapkan adalah sebuah kewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah kami kutip sebelumnya,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

“(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 12)

Oleh karena itu, tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ؛ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang besar.

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)

Asy-Syaukani rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,

وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: تِلْكَ إِلَى الْأَحْكَامِ الْمُتَقَدِّمَةِ، وَسَمَّاهَا حُدُودًا: لِكَوْنِهَا لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا، وَلَا يَحِلُّ تَعَدِّيهَا وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فِي قِسْمَةِ الْمَوَارِيثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، كَمَا يُفِيدُهُ عُمُومُ اللَّفْظِ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ

“Isyarat dalam firman Allah Ta’ala, (تِلْكَ) merujuk kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum waris). Dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh dilampaui atau tidak boleh dilewati. “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-nya”, yaitu dalam pembagian harta waris dan aturan-aturan syariat lainnya -sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh cakupan makna ayat yang bersifat umum-, “niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (Fathul Qaadir, 1: 501)

Kemudian beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

مَنْ فَرَّ مِنْ مِيرَاثِ وَارِثِهِ، قَطَعَ اللَّهُ مِيرَاثَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang lari dengan membawa warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari surga pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah no. 2703) [1]

Barangsiapa yang mengutak-atik pembagian waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat, sehingga dia mewariskan harta kepada orang yang seharusnya tidak berhak menerimanya; atau dia mencegah (menahan) pembagian sebagian atau seluruh harta waris kepada orang yang seharusnya berhak menerimanya; atau dia menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, sebagaimana dijumpai dalam undang-undang sekuler buatan manusia yang bertentangan dengan hukum syariat bahwa bagian perempuan itu setengah dari bagian lelaki; maka orang tersebut telah kafir dan berhak berada di neraka selamanya, kecuali dia bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum meninggal dunia. (Lihat Al-Mulakhkhas Fiqhiyhal. 335) [2]

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 1 Ramadhan 1440/6 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46661-ancaman-terhadap-pembagian-waris-yang-menyelisihi-syariat.html

Alasan Jatah Warisan Laki-Laki Lebih Banyak Menurut Islam

Laki-laki mengemban tanggung jawab besar.

Bukti keislaman seorang hamba dapat dilihat dari sejauh mana ketaatannya dalam menjalankan syariat Islam. Allah SWT telah menyeru hamba-hamba yang beriman untuk menjalankan syariat Islam secara total. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al- Baqarah: 208). 

Semua yang Allah perintahkan atau larang adalah ujian bagi hamba-hamba-Nya, apakah taat kepada-Nya ataukah kufur. Begitu juga konsekuensi dari taatnya seorang ham ba kepada-Nya adalah dengan meng imani seluruh ayat yang Allah firmankan dan apa yang Rasulullah SAW sabdakan, dengan tidak mengimani sebagian ayat dan mengufuri sebagian yang lain.  

Allah SWT berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS al-Baqarah [2]: 85). 

Terlebih khusus dalam mengimani ayat-ayat waris, di antaranya firman Allah SWT, “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS an-Nisa [4]: 11). 

Muhammad Sayyid Thonthowi, dalam Tafsir al- Washit, mengatakan Allah SWT telah menjadikan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, karena tanggung jawab anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, seperti menafkahi dirinya, anakanaknya, istrinya, dan kerabat yang berada di bawah tanggungannya. Sedangkan anak perempuan tidak demikian. 

Sesungguhnya agama Islam telah memuliakan hak perempuan, yaitu dengan memberinya bagian dalam kewarisan. Padahal, pada masa jahiliyah, perempuan tidak mendapatkan hak waris. 

Pada surat yang sama, di ayat 13 dan 14, Allah SWT memberikan penghargaan kepada hamba yang taat pada hukum waris Islam dan mengancamnya dengan neraka bagi orang yang tidak menjalankan syari’at waris (QS an-Nisa [4]: 13-14).

sumber : Harian Republika


Ingin Terhindar dari Kemiskinan dan Dilimpahi Keberkahan? Lakukan Amalan Ini

SIAPA yang mau menjadi fakir, pasti tidak ada? Setiap orang ingin jauh dari kefakiran dan berharap hidupnya dilimpahi keberkahan dari Allah SWT. Namun, bagaimana caranya?

Menurut Syekh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki dalam kitabnya Madza fi Sya’ban, amalan ini mampu menjauhkan dari kefakiran dan bahkan mendatangkan keberkahan. Amalan tersebut adalah membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. (Allahummu shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad).

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Samurah bin Jundub yang dinukilkan Abu Na’im al-Ashfahani mengisahkan, suatu ketika seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya mengenai amalan apa yang paling disukai Allah.

“Perkataan jujur dan menyampaikan amanat,” jawab Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Shalat malam dan puasa ketika musim panas,” jawab Rasul.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Banyak berzikir dan membaca shalawat untukku karena ini akan menghindarkan kefakiran darinya,” ungkap Rasulullah.

“Tambahkan apa lagi wahai Rasul?”

“Jika seseorang dari kalian menjadi imam, hendaknya mempersingkat bacaan, karena bisa jadi (makmum) ada yang sudah tua, sakit, dan lemah,” pesan Rasul.

Dalam riwayat lainnya dari Sahal bin Sa’ad mengisahkan, suatu ketika datang seorang sahabat menghadap Rasulullah. Ia mengadukan kesempitan ekonomi dan kemiskinan yang menderanya.

Rasulullah berpesan kepadanya, ”Jika memasuki rumahmu, ucapkanlah salam ada atau tidak ada orang di dalam, kemudian bacalah shalawat lalu baca surah al-Ikhlas sekali.”

Sahabat tersebut lantas mempraktikkan amalan yang diberikan Rasulullah tersebut. Beberapa waktu kemudian, sang sahabat diberikan harta melimpah, bahkan ia akhirnya mampu berbagi dengan tetangga-tetangganya. []

Sumber: Republika.

ISLAMPOS


Tips Agar Terhindar dari Kemiskinan

DALAM banyak hadis, Rasulullah saw menyebut kiat agar Muslimin terhindar dari kemiskinan.

Rasulullah bersabda: “Bila kalian masuk rumah hendaknya mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Bila rumah itu kosong, hendaknya mengucapkan dan membaca surat Al Ikhlas, karena itu mencegah kemiskinan.”

Mengulang kalimat azan bersama muazin. Ada seorang sahabat mengadukan kemiskinan yang dialaminya, kemudian Rasulullah bersabda: “Tirukanlah kalimat-kalimat azan ketika muazin mengucapkannya.”

Membasuh muka denga air mawar.Rasulullah bersabda: “Sesiapa hendak keluar untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian ia membasuh mukanya dengan air mawar, maka hajatnya akan dipenuhi dan ia tidak akan ditimpa kemiskinan.”

Mencuci dua tangan sebelum dan sesudah makan.Rasulullah bersabda: “Mencuci tangan sebelum makan mencegah kemiskinan dan mencuci sesudahnya mencegah kesumpekan.”

Menyisir jenggot setelah berwudhu.Rasulullah bersabda: “Menyisir jenggot setelah berwudhu mencegah kemiskinan.”

Berperilaku hemat.Rasulullah bersabda: “Aku menjamin bahwa orang yang hemat tak akan jatuh miskin.”

Memakan makanan yang tercecer.Rasulullah bersabda: “Sesiapa memungut makanan yang tercecer , lalu memakannya, maka kemiskinan akan menjauh darinya dan anak-anaknya hingga tujuh turunan.”

Memaki cincin firuz dan akik. Rasulullah bersabda: “Orang yang memakai cincin firus tidak akan jatuh miskin. “Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda, bahwa cincin akik mencegah kemiskinan dan kemunafikan.

9. Membaca seratus kali setiap hari.Rasulullah Saw bersabda: “Sesiapa membaca seratus kali setiap hari, maka ia akan mendapat kekayaan, menolak kemiskinan, menutup pintu neraka dan membuka pintu surga.”

10. Membaca surat Al Bayyinah.Rasulullah Saw bersabda: “Siapa membaca surat Al Bayyinah, tak akan dimasuki keraguan dalam agamanya dan tak akan diuji Allah dengan kemiskinan.”

11. Menyisir rambut.Rasulullah bersabda: “Menyisir rambut mencegah kemiskinan dan menghilangkan penyakit.”

12. Membaca surat Al Waqiah setiap malam.Rasulullah bersabda: “Sesiapa membaca surat Al Waqiah setiap malam, tidak akan jatuh miskin selamanya.”

13. Menyapu rumah. Rasulullah bersabda: “Menyapu rumah menghilangkan kemiskinan.”

14. Menyalakan lampu sebelum gelap.Rasulullah bersabda: “Menyalakan lampu sebelum matahari tenggelam mencegah kemiskinan.”

15. Selalu menjaga wudhu. Rasulullah bersabda: “Wudhu sebelum dan sesudah makan mencegah kemiskinan dan menambah rezeki.”[ ]

Sumber: Buku Mutiara Tersembunyi Warisan Nabi

INILAH MOZAIK

Tahajudnya Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah orang yang paling takwa dan bersyukur.

Nabi SAW adalah orang yang paling takwa dan bersyukur. Ketika Aisyah RA bertanya, “Mengapa engkau berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Nabi menjawab, “Bukankah sudah semestinya aku senang menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Bukhari dan Muslim).

Terkait Tahajud Nabi SAW, dari Aisyah, ia berkata, “Di suatu malam aku merasa kehilangan Nabi dari tempat tidurnya, kemudian aku cari beliau dengan meraba-raba, ternyata tanganku menyentuh telapak kaki beliau dan beliau sedang sujud dan kedua telapak kaki beliau sedang ditegakkan. Ketika itu beliau sedang membaca doa: “Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dan kepada pengamunan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari azab- Mu, aku tidak dapat menghitung betapa banyak sanjungan yang disampaikan kepada-Mu, sebagaimana yang telah Engkau sanjung diri-Mu sendiri.” (HR Muslim).

Dari Aisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW biasa mengerjakan shalat malam setelah shalat Isya sampai fajar Subuh menyingsing.” (HR Ahmad).

Nabi SAW biasa memperpanjang waktu berdiri ketika shalat. Tatkala beliau ditanya tentang shalat yang bagaimanakah yang paling utama, beliau menjawab, “Yang paling lama berdirinya.” (HR Darimi).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah.” (HR Nasai). Nabi menunaikan shalatnya tanpa istirahat hingga delapan rakaat (empat salam), baru kemudian beliau duduk berzikir (HR Abu Dawud). Setelah berzikir beliau shalat dua rakaat sambil duduk (HR Abu Dawud). Setelah itu Nabi shalat Witir satu rakaat (HR Abu Dawud), dilanjutkan sujud selama kira-kira bacaan 50 ayat (HR Bukhari).

Nabi menunaikan Tahajud dengan bacaan pelan, tetapi masih dapat didengar dari kamar Aisyah (HR Abu Dawud). Tidak selamanya Nabi membaca pelan, terkadang membaca dengan jahr (keras) (HR Ibnu Majah). Untuk bacaan yang hukum nya panjang Nabi membacanya dengan mad yang jelas dan benar-benar panjang (HR Ibnu Majah).

Pada masa-masa akhir hidupnya terkadang Nabi SAW membaca surah di dalam Tahajud sambil duduk, setelah bacaan di dalam surah tersebut kurang dari 30 ayat atau 40 ayat Nabi berdiri menyempurnakannya (HR Ibnu Hiban).

Riwayat lain, Nabi jika membaca surah dalam shalat sambil duduk, rukuk dan sujudnya juga dikerjakan sambil duduk (HR Muslim). Jika di dalam bacaannya terdapat ayat yang menyebutkan rahmat Allah, Nabi berdoa memohon kepada-Nya, jika membaca ayat yang berisikan tentang azab, Nabi meminta perlindungan, dan jika Nabi membaca ayat yang menyebutkan tentang kesucian Allah, Nabi bertasbih (HR Ibnu Majah).

Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimin agar dapat meneladani shalat Tahajud Nabi SAW dan merasakan manisnya iman. Amin.

Oleh: Imam Nur Suharno

KHAZANAH REPUBLIKA


Qiyamul Lail dan Tahajud, Apakah Pengertian Keduanya Sama?

Qiyamul lail bermakna menghidupkan malam dengan ibadah.

Penggunaan qiyamul lail belakangan kerap dipakai untuk pelaksanaan shalat tahajud bersama. Lantas apakah sebenarnya qiyamul lail dan samakah pengertian qiyamul lail dengan shalat tahajud itu sendiri?

Sedangkan, qiyamul lail adalah menggunakan waktu malam atau sebagiannya meskipun sebentar untuk shalat, membaca Alquran atau berzikir kepada Allah SWT, dan tidak disyaratkan untuk menggunakan seluruh waktu malam. 

Dalam Ensiklopedi fikih Kuwait disebutkan bahwa maksud dari ‘qiyam’ adalah menyibukkan diri pada sebagian besar malam dengan ketaatan, tilawah Alquran, mendengar hadis, bertasbih atau bershalawat. 

Jadi, qiyamul lail berlaku umum untuk shalat atau ibadah lainnya yang dilakukan pada malam hari, baik sebelum tidur atau setelah tidur, termasuk shalat Tahajud. Sedangkan, Tahajud adalah khusus untuk shalat malam. Sebagian ulama mengatakan, Tahajud itu berlaku umum untuk seluruh shalat malam. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, Tahajud adalah shalat malam yang dilakukan setelah tidur terlebih dahulu. 

Dalam tafisrnya, Imam al-Qurthubi mengatakan, Tahajud adalah bangun setelah tidur (haajid), kemudian menjadi nama shalat karena seseorang bangun untuk mengerjakan shalat, maka Tahajud adalah mendirikan shalat usai tidur. Hal yang sama dikatakan oleh al-Aswad, al-Qamah, dan Abdurrahman bin al-Aswad.

KHAZANAH REPUBLIKA


Shalat Tahajud, Dilakukan Sebelum atau Setelah Tidur?

Shalat tahajud memiliki sejumlah keutamaan yang besar

Selain shalat wajib, Allah memberikan pahala melalui amalan shalat sunnah lainnya. Salah satu shalat sunnah yang paling utama karena keutamaannya yang luar biasa adalah shalat tahajud. 

Shalat tahajud memiliki sejumlah keutamaan yang besar lantaran dilaksanakan pada saat manusia tengah menikmati tidur lelapnya. Di tengah udara dingin malam, orang yang bertahajud juga harus berperang melawan nafsu dan bisikan syetan untuk meneruskan tidurnya.

Namun, Allah memberikan ganjaran pahala yang besar bagi hamba-Nya yang melaksanakan shalat tahajud. Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Ma’arif di Natar, Lampung, al-Habib Ahmad Ghazali Assegaf, mengatakan bahwa shalat tahajud memiliki banyak keutamaan. Rasulullah saw menegaskan tentang fadhilah shalat tahajud dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi, “Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”

Shalat tahajud merupakan jalan meraih ridha Allah swt, dikabulkannya do’a, dan mencegah dari berbuat dosa. Sebab, shalat tahajud ini adalah kebiasaan orang-orang yang shalih. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahli ra, yang berbunyi: “Hendaklah kalian mengerjakan qiyaamullail (shalat malam), sesungguhnya ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, mencegah perbuatan dosa, menghapus kejahatan atau dosa dan menangkal penyakit dari badab.” (Diriwayatkan At-Turmudzi, Al-Hakim).

“Jadi shalat malam ini tidak hanya berfaidah dari sisi Allah swt dan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga berfaidah untuk jasad dia secara fisik,” kata Habib Ahmad, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id. 

Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan shalat tahajud. Bahkan, dalam suatu hadits, beliau menyatakan bahwa orang yang melaksanakan tahajud diberi jaminan syurga baginya. 

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, beri makanlah, sambung tali kasih, salat malamlah saat orang pada terlelap, maka masuklah surga dengan selamat,” (HR. Al-Hakim, Ibnu Majah, At-Tirmizy).

Habib Ahmad mengatakan, shalat malam adalah shalat yang dilaksanakan setelah melakukan shalat Isya’ dan berakhir waktunya dengan masuknya waktu Subuh. Menurutnya, untuk melakukan shalat malam tidak disyaratkan untuk tidur terlebih dahulu. Karenanya, shalat malam boleh dilakukan sebelum tidur. 

Akan tetapi, ia menjelaskan, bahwa shalat malam akan lebih utama jika dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu dan itulah yang dimaksud dengan shalat tahajud. Dengan demikian, shalat tahajud adalah shalat yang dilakukan setelah tidur atau yang dilakukan di sepertiga malam setelah terjaga dari tidur. 

Oleh karena itulah, shalat tahajud termasuk bagian dari shalat malam. Namun, kata Habib Ahmad, tidak semua shalat malam adalah tahajud. Karena shalat malam bisa saja dilakukan sebelum orang tersebut tidur. 

Dalam hal ini, ia mengatakan ada kebiasaan dari sebagian orang-orang shalih yang melaksanakan shalat malam sebelum tidur. Meski demikian, ia menekankan akan lebih utama jika shalat malam tersebut dilaksanakan setelah tidur atau yang disebut shalat tahajud. 

Ada beberapa amalan yang dianjurkan saat hendak melaksanakan shalat tahajud dan setelahnya. Habib Ahmad menuturkan, saat hendak bangun malam untuk bertahajud, sebelum tidur Rasulullah saw memiliki kebiasaan melaksanakan shalat dua atau empat rakaat. Selanjutnya, Nabi saw tidur dalam keadaan suci karena memiliki wudhu setelah shalat. Rasulullah saw kemudian berniat untuk bangun di malam hari untuk bertahajud.

Ketika bangun di malam hari atau sepertiga malam, dianjurkan mengusap wajah terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa kantuk. Kemudian, membaca beberapa ayat terakhir (kurang lebih 10 ayat terakhir) dari surat Ali-Imran. Selanjutnya, mengambil wudhu dan melaksanakan shalat tahajud.

Habib Ahmad mengatakan, Rasulullah saw melaksanakan shalat tahajud dalam angka yang tidak tentu selama hidupnya. Umumnya, Nabi saw melaksanakan shalat dengan bilangan dua rakaat semampunya, kemudian ditutup dengan shalat witir.

“Terkadang beliau melaksanakan shalat langsung tanpa dijeda dengan salam setiap dua rakaat. Misalnya, shalat tahajud 10 rakaat dengan satu salam dan ditutup dengan satu kali witir,” lanjutnya.  

Setelah melaksanakan shalat tahajud, dianjurkan untuk membaca do’a tahajud dan do’a lain yang ingin dipanjatkannya sesuai hajatnya masing-masing. Selanjutnya, jika hendak melanjutkan tidur, Habib Ahmad mengatakan dianjurkan untuk terus berdzikir hingga matanya terlelap dalam dzikirnya.

Adapun jika ia ingin menanti waktu Subuh, dianjurkan untuk terus berdzikir hingga tiba waktunya Subuh. Menurut Habib Ahmad, Rasulullah saw jika setelah melaksanakan shalat tahajud di malam hari, beliau akan berbaring dengan sisi sebelah kanan sembari menunggu adzan Subuh. 

“Setelah Subuh, Nabi saw akan bangkit dan melaksanakan shalat 2 rakaat shalat sunat fajar, yaitu shalat sunnah qabliyah Subuh,” tambahnya.

KHAZANAH REPUBLIKA


Lima Fakta Poligami Rasulullah SAW yang Perlu Kamu Ketahui

Apa saja sih fakta poligami Nabi ini?

Para orientalis dan misionaris seringkali menyerang umat Islam melalui perkara poligami Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW memang diberikan pengkhususan mengenai poligami. Namun perlu diketahui, bahwa beliau berpoligami bukan karena “hawa nafsu”, beberapa pernikahan Nabi justru merupakan wahyu dari Allah, selain itu pernikahan Nabi juga mengandung hikmah yang luar biasa.

Berikut lima fakta poligami Rasulullah yang perlu kamu ketahui:

Rasulullah baru berpoligami setelah Khadijah wafat

Semasa hidup Khadijah, Rasulullah SAW tidak pernah menduakan Khadijah dan tidak menikahi perempuan lain selainnya. Usai Khadijah wafat, Rasulullah SAW tidak langsung menikah lagi, beliau sempat menduda selama setahun.

Rasulullah SAW sangat sedih atas kematian Khadijah, posisi Khadijah di hatinya belum juga dapat tergantikan. Orang-orang mulai membicarakan kesendirian Nabi, mereka berharap beliau mau menikah lagi, agar ada sosok istri yang menjadi pelipur lara, menemani beliau, serta membantu beliau mengurus anak-anaknya.

Hingga akhirnya datanglah Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi, ia membujuk Nabi agar mau menikah lagi, maka Khaulah menawarkan Aisyah binti Abu Bakr, beliau pun setuju. Beliau pun mengkhitbah Aisyah namun belum menggaulinya.

Namun Khaulah kembali bertanya-tanya “Jika Rasulullah SAW tidak langsung berumah tangga dengan Aisyah, lalu siapakah yang akan menemaninya?” Maka Khaulah kembali menawarkan agar Nabi menikahi Saudah. Khaulah pula lah yang menyampaikan lamaran Nabi kepada Saudah. Perlu diketahui bahwa Saudah merupakan seorang janda yang tak lagi belia. Ketika dinikahi Nabi, Saudah berusia 55 tahun.

Masa monogami Nabi lebih lama dari masa poligami

Rasulullah SAW baru berpoligami di usianya yang ke 51 tahun. Jika kita hitung, masa monogami beliau justru lebih lama dari masa poligami. Rasulullah SAW pertama kali menikah saat berusia 25 tahun. Beliau membangun rumah tangga dengan Khadijah selama 25 tahun dan selama itu pula beliau bermonogami.

Nabi berpoligami tidak di usia muda. Kalaulah benar anggapan bahwa Nabi berpoligami karena hawa nafsu belaka, tentu saja beliau akan berpoligami di masa muda, masa saat kondisi fisik begitu bugar dan prima.

Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah janda, kecuali Aisyah

Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah SAW merupakan janda, hanya Aisyah saja yang dinikahi dalam keadaan perawan. Janda-janda yang dinikahi Nabi pun tak lagi berusia muda. Beberapa dari mereka bahkan telah memiliki anak-anak dari suami yang terdahulu.

Mempererat hubungan antar kabilah

Dari masa ke masa, pernikahan dipercaya dapat merekatkan hubungan antar suku. Begitu pula yang terjadi pada pernikahan Rasulullah SAW. Misalnya coba kita ingat-ingat kisah pernikahan Nabi SAW dengan Shafiyah binti Huyay, seorang putri Yahudi yang akhirnya memeluk Islam. Ayah Shafiyah berasal dari kabilah Bani Nadhir, sedangkan ibundanya dari Bani Quraidzah. Padahal Bani Quraidzah merupakan suku Yahudi yang pernah mengkhianati umat Islam.

Selain Shafiyah, ada pula Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari kepala suku Bani Musthaliq. Juwairiyah menjadi tawanan pada perang Bani Musthaliq. Ia pun menghadap Nabi, meminta agar beliau bersedia membebaskannya apabila ia membayar (mukaatabah).

Ternyata Rasulullah SAW justru membebaskan Juwairiyah dan menikahinya. Karena pernikahannya, maka semua tawanan akhirnya dibebaskan dan kaum Bani Musthaliq berbondong-bondong masuk Islam.

Begitu pula dengan istri-istri Nabi lainnya, masing-masing memiliki hikmah tersendiri di balik pernikahan mereka dengan Nabi SAW.

Memudahkan dakwah Nabi

Keluarga perempuan Rasulullah SAW memiliki kontribusi besar dalam penyebaran ilmu-ilmu syar’i, terutama hadis-hadis Nabi SAW. Dalam penelitian yang penulis lakukan di Darus-Sunnah, mayoritas perawi perempuan yang meriwayatkan hadis-hadis perempuan dalam kitab as-sunan al-arba’ah merupakan kerabat Nabi, terutama istri-istri beliau SAW.

Para sahabat perempuan tentu saja tidak memiliki kesempatan menemani Nabi sebagaimana sahabat laki-laki seperti Abu Bakr dan Umar. Namun berbeda dengan istri-istri Nabi, mereka memiliki waktu dan kedekatan khusus dengan Rasulullah SAW. Bagi mereka, Rasulullah SAW bukan hanya seorang nabi, tapi juga seorang suami yang menyayangi, melindungi, dan memberi nafkah lahir batin.

Maka tak heran bila istri-istri Nabi merupakan orang yang paling mengerti sisi kehidupan Nabi di ranah domestik, bahkan hingga ke hubungan intim seperti mandi bersama. Melalui istri-istri Nabi, ilmu-ilmu syar’i tersebar. Bahkan para sahabat laki-laki juga sering bertanya dan belajar kepada para istri Nabi.

Dua istri Nabi, Aisyah dan Ummu Salamah seringkali membuka majelis ilmu. Selain itu, Zainab, Shafiyyah, Maimunah, Hafshah dan lainnya juga turut meriwayatkan hadis. Dengan adanya ikatan pernikahan, Nabi SAW lebih leluasa mengajari para perempuan berbagai ilmu-ilmu agama.

ISLAMco

Sejarah Poligami yang Dipelintir dan Tidak Sesuai dengan Hukum Islam

Bagaimana sejarah poligami dalam Islam yang kerap disalahpahami

Sebagian orang berpendapat bahwa Islam mendukung praktik poligami. Pandangan ini dapat dimaklumi karena Al-Qur’an pada Surat An-Nisa ayat 3 secara harfiah menyatakan demikian:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Artinya, “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (Surat An-Nisa ayat 3).

Namun demikian, Islam sejatinya tidak memerintahkan poligami. Islam tidak mewajibkan dan tidak menganjurkan poligami. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama (ijma’) sebagaimana keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj berikut ini:

إنَّمَا لَمْ يَجِبْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ إذ الْوَاجِبُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالِاسْتِطَابَةِ وَلِقَوْلِهِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَلَا يَجِبُ الْعَدَدُ بِالْإِجْمَاعِ
Artinya, “Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya (secara kaidah), kewajiban tidak berkaitan dengan sebuah (seorang perempuan) pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib berdasarkan, ‘Dua, tiga, atau empat perempuan.’ Tidak ada kewajiban poligami berdasarkan ijma‘ ulama,” (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3, halaman 125).

Syekh Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Bangunan ideal rumah tangga itu adalah monogami. Menurutnya, poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini dapat dijalankan karena sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh poligami.

إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة

Artinya, “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’.

Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).

Logika para ulama ini dalam memahami perintah poligami dalam Surat An-Nisa ayat 3 bersandar pada aspek sejarah sosial bangsa Arab ketika itu atau asbabun nuzul ayat tersebut. Surat An-Nisa ayat 3 dipahami oleh ulama bukan sebagai perintah untuk poligami, tetapi sekadar membolehkannya.

Surat An-Nisa ayat 3 justru ingin membatasi jumlah istri masyarakat Arab dan masyarakat lainnya yang ketika itu tidak ada batasan. Surat An-Nisa ayat 3 membatasi jumlah maksimal istri hanya empat dari jumlah tak terhingga sebelumnya, bukan menganjurkan menambah istri dari satu hingga empat perempuan.

Dari faktor sosio-historis perkawinan bangsa Arab saat itu, Surat An-Nisa ayat 3 dimaknai oleh para ulama sebagai kebolehan, bukan perintah poligami sebagai keterangan Syekh M Khudhari berikut ini.

ولم يكن عند العرب حد يرجعون إليه في عدد الزوجات فربما تزوج أحدهم عشرا فوضع القرآن حدا وسطا فأباح التعدد لمن لم يخف أن يجور في معاملة نسائه قال تعالى في سورة النساء

Artinya, “Di kalangan masyarakat Arab zaman itu tidak ada batasan terkait bilangan istri. Seorang pria Arab zaman itu dapat beristri 10 perempuan sehingga Al-Qur’an menetapkan batasan moderat, lalu Al-Qur’an membolehkan poligami bagi mereka yang tidak khawatir berlaku zalim dalam memperlakukan istrinya sebagaimana firman Allah pada Surat An-Nisa ayat 3,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 42).

Syekh M Khudhari menambahkan bahwa dalam pandangan Allah sebagai pembuat syariat poligami bukan syiar fundamental Islam yang harus diamalkan.

وليس تعدد الزوجات من الشعائر الأساسية التي لا بد منها في نظر الشارع الإسلامي بل هو من المباحات التي يرجع أمرها إلى المكلف إن شاء فعل وإن شاء ترك ما لم يتعد حدود الله

Artinya, “Poligami bukan bagian dari syiar prinsipil yang harus dipraktikkan dalam pandangan Allah dan Rasulullah sebagai pembuat syariat Islam. Poligami bagian dari mubah yang pertimbangannya berpulang kepada individu mukalaf. Jika seseorang mau, ia dapat berpoligami. Jika ia memilih monogami, dia boleh mengabaikan poligami sejauh tidak melewati batas,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 43).

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Surat An-Nisa ayat 3 tidak dapat dijadikan dalil perintah poligami. Surat An-Nisa ayat 3 hanya mengizinkan poligami yang pada zamannya digunakan justru untuk mengurangi atau tepatnya membatasi jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas.

Oleh karena itu, jika sisi asbabun nuzul Surat An-Nisa ayat 3 berupa sosio-historis yang melingkupi zamannya, maka ayat ini kehilangan konteks dan semangat pembatasan jumlah istri masyarakat Arab yang tanpa batas. Tetapi sayangnya Surat An-Nisa ayat 3 ditumpangi oleh segelintir orang sebagai dalil anjuran poligami.

ISLAMco