Darah Nifas

Pengertian
Darah nifas adalah darah yang keluar karena sebab kelahiran anak. Baik keluar saat melahirkan, sesudah atau sebelum kelahiran dua atau tiga hari disertai rasa sakit (kontraksi). (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Berapa lama masa nifas itu?
Syaikh Taqiyuddin berkata, “Masa nifas tidak memiliki batasan minimal dan maksimal. Andai ada wanita mendapati darah nifas lebih dari 40 hari, 60 atau 70 hari kemudian berhenti maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor. Jika demikian, maka nifasnya 40 hari karena 40 hari adalah keumuman masa nifas sebagaimana yang dinyatakan dalam banyak hadits.” (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Jika lebih dari 40 hari
Bagi wanita yang memiliki kebiasaan nifas berhenti setelah 40 hari atau ada tanda-tanda nifas akan berhenti dalam waktu dekat maka hendaknya ia menunggu sampai darah benar-benar berhenti. Namun jika pada hari ke-40 darah masih mengalir deras –tidak ada tanda berhenti, hendaknya ia mandi ketika genap 40 hari karena itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali jika bertepatan dengan masa haid (sehingga darah nifas bersambung dengan darah haid –pen.) maka hendaknya ia menunggu sampai masa haid selesai. (Risalah fid Dima’, hlm. 30)

Jika kurang dari 40 hari
Para ulama sepakat, sebagaimana dinukil At-Tirmidzi dalam Sunan-nya bahwasanya kapanpun wanita nifas melihat tanda suci, walaupun sebelum 40 hari, hendaknya ia mandi, shalat dan diperbolehkan jima’ dengan suaminya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1:216)

Hukum nifas
Hukum nifas sama dengan hukum haid pada seluruh perkara yang diperbolehkan, yang diharamkan, yang dimakruhkan, dan yang disunnahkan. Hanya saja berbeda dalam masalah iddah. Masa iddah dihitung dengan haid bukan dengan nifas. (Shahih Fiqih Sunnah, 1:216)
Wallaahu a’lam

Dinukil dari buku Panduan Praktis Wanita Haid karya Umi Farikha Abdul Mu’ti, cetakan ke-2, Penerbit wanitasalihah.com

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11393-darah-nifas.html

Pilih Qurban Sapi atau Kambing?

Ketika seorang akan melakukan ibadah qurban, terkadang ia bertanya apa jenis hewan qurban terbaik yang harus dia pilih. Apakah berqurban sapi atau kambing (khususnya di Indonesia, tidak ada unta). Jawaban secara umum adalah pendapat jumhur ulama yaitu qurban terbaik adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, kemudian unta untuk tujuh orang, kemudian sapi untuk tujuh orang.

Berqurban dengan unta lebih baik dari sapi dan kambing karena lebih mahal dan lebih banyak dagingnya bagi kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dalam suatu hadits disebutkan keutamaan orang yang datang ke masjid untuk shalat jumat. Yang lebih awal datang pahalanya lebih besar sebagaimana berqurban unta, kemudian yang datang setelahnya seperti berqurban sapi dan seterusnya. Sebagaimana hadits berikut:

مَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً

“Barangsiapa yang berangkat (shalat jum’at) pada jam pertama, maka seakan-akan dia mengurbankan unta; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-2, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-3, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing jantan; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-4, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-5, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur.” [HR. Bukhari & Muslim]

Berqurban untuk dengan kambing lebih baik daripada berqurban dengan unta atau sapi untuk tujuh orang. Ibnu Qudamah, berkata:

والشاة أفضل من شِرْكٌ (أي : الاشتراك) في بدنة ; لأن إراقة الدم مقصودة في الأضحية

“Berqurban dengan kambing lebih baik daripada unta berserikat tujuh orang, karena menumpahkan darah hewan dalah tujuan dari qurban.” [Al-Mughni 13/366]

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang terbaik qurban kambing dahulu, baru sapi, baru kemudian unta karena beradasarkan patokan rasa dan baiknya daging. Daging kambing paling lezat, kemudian sapi baru kemudian unta. Syaikh Ali Firkous menjelaskan,

وخالَفَ في ذلك المالكيةُ ورتَّبوا الأفضليةَ على علَّة طِيب اللحم، فكان أفضلُها: الضأنَ ثمَّ البقر ثمَّ الإبل، واستدلُّوا على ذلك بقوله تعالى: ﴿وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ ١٠٧﴾ [الصافَّات]، أي: بكبشٍ عظيمٍ

“Ulama Malikiyah berbeda dengan pendapat jumhur dengan mengurutkan berdasarkan lezat dan baiknya daging yaitu kambing (domba) kemudian sapi, kemudian unta. Mereka berdalil dengan ayat surat As-Shaffat 107: ‘Kami tebus dengan sembelihan yang besar’ yaitu kambing yang besar.” [ferkous.com/home/?q=fatwa-1162]

Mereka juga berdalil kambing adalah qurban terbaik karena ini yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Abu Ayyub berkata,

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِه

”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” [HR. Tirmidzi, shahih]

Akan tetapi ulama lain berpendapat bahwa perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ini agar tidak memberatkan umatnya, sehingga beliau memberi contoh tidak selalu memilih yang paling baik, tetapi mana yang memudahkan umatnya.

إنه صلى الله عليه وسلم قد يختار غير الأولى رفقاً بالأمة؛ لأنهم يتأسون به، ولا يحب صلى الله عليه وسلم أن يشق عليهم، وقد بين فضل البدنة على البقر والغنم كما سبق

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak memilih yang terbaik, karena rasa sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, karena manusia akan berusaha mengikuti perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak ingin memberatkan umatnya dan telah menjelaskan keunggulan unta dibandingkan sapi dan kambing sebagaimana hadits diatas.” [Fatwa AL-Lajnah Ad-Daimah 11/398]

Jadi untuk di Indonesia, kurban terbaik (urutannya) adalah sapi sendiri, kemudian kambing, kemudian sapi untuk bertujuh orang. Intinya semua qurban itu baik sesuai kemampuan masing-masing. Hal ini yang ditekankan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz setelah menjelas urutannya, beliau katakan bahwa semua baik,

فالمقصود أن الضحية بالغنم أفضل، ومن ضحى بالبقرة أو بالإبل -الناقة عن سبعة والبقرة عن سبعة- كله طيب

“Maksudnya bahwa qurban dengan kambing lebih baik yaitu dari sapi dan unta untuk tujuh orang. Semua qurban itu baik.” [binbaz.org.sa/fatwas/14498]

Demikian semoga bermanfaat

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50511-pilih-qurban-sapi-atau-kambing.html

Hukum Utang untuk Qurban

Apa hukum utang untuk bisa berqurban?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya:

Bagaimana dengan orang yang tidak mampu berqurban, apakah boleh mencari utang?

Beliau menjawab:

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالميْنَ إِنْ كَانَ لَهُ وَفَاءٌ فَاسْتَدَانَ مَا يُضَحِّي بِهِ فَحَسَنٌ وَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ

Alhamdulillah rabbil ‘alamin.

Jika orang tersebut punya kemampuan untuk melunasi, maka ia bisa mencari utang untuk bisa berqurban, itu baik. Namun hal ini tidaklah wajib baginya untuk melakukan seperti itu. Wallahu a’lam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 26:305)

Berarti masih dibolehkan berqurban dalam keadaan berutang, misal ia yakin utangnya bisa dibayar lunas dari gaji yang akan keluar di akhir bulan. Namun ingat, berqurban dengan berutang menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidaklah harus.

Semoga bermanfaat.


Disusun di atas awan bersama Citilink

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21024-hukum-utang-untuk-qurban.html

Patungan Qurban Sapi Tidak Sama, Apakah Sah?

Bagaimana jika patungan qurban yang boleh urunan dari tujuh orang tidak sama antara tujuh orang yang ada?

Misalnya, harga sapi 21 juta rupiah. Lima orang patungan tiga juta rupiah, sedangkan orang keenam patungan 3,5 juta rupiah. Yang ketujuh memberikan sokongan hanya 2,5 juta rupiah.

Bolehkah seperti di atas?

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah ditanya, “Bolehkah salah satu dari yang ikut dalam patungan qurban memberikan patungan kurang dari 1/7 untuk qurban sapi? Apakah itu berpengaruh pada shahibul qurban lainnya yang ikut patungan?”

Jawaban Syaikh hafizhahullah, “Boleh berserikat dalam sapi atau unta sebagai qurban dari tujuh orang. Tidak boleh salah satu dari yang ikut patungan tersebut kurang dari 1/7. Ini jika tujuannya berqurban. Kalau maksudnya cuma untuk menikmati daging (bukan untuk berqurban), maka boleh patungan semau yang berserikat.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam risalah Ahkam Al-Udhiyyah memberikan keterangan, “Kambing itu sah untuk satu orang. Sedangkan untuk sapi dan unta boleh urunan tujuh orang. Jika kambing jadinya berserikat dua orang atau lebih dalam kepemilikannya untuk dijadikan qurban, maka tidaklah sah. Tidak sah berserikat kecuali pada unta dan sapi untuk patungan tujuh orang saja. Karena ingatlah udhiyyah (qurban) adalah suatu bentuk ibadah dan qurbah (pendekatan diri) kepada Allah. Karena qurban adalah ibadah, maka hendaknya dijalani dengan cara yang disyariatkan yaitu mengikuti waktu, jumlah, dan cara yang ditetapkan syariat. Diringkas dari Rasail Fiqhiyyah, hlm. 58, 59.

Jika salah seorang dari yang patungan tujuh sapi atau unta kurang dari 1/7, maka tidaklah sah sebagai qurban. Namun hal ini tidak berpengaruh pada shahibul qurban yang lain yang dalam satu kelompok. Karena tidaklah masalah jika dalam patungan sapi, sebagian berniat untuk qurban, dan sebagian lagi cuma menginginkan dagingnya saja (artinya: niat tiap peserta tidak sama).” (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 111887)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (8:372) berkata, “Boleh berserikat dalam tujuh untuk qurban unta atau sapi. Bisa jadi yang berserikat adalah satu rumah atau berbeda rumah. Bisa juga dalam perserikatan tersebut ada sebagian yang berniat untuk mencari daging saja. Maka yang berniat untuk dijadikan qurban tetap sah, walau lainnya berniat untuk memperoleh dagingnya saja. Begitu pula termasuk jika niatannya untuk nadzar atau qurban sunnah. Inilah pendapat dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan juga pendapat dari Imam Ahmad serta jumhur (mayoritas) ulama.”

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (13:363) menyatakan tentang ada yang berniat qurban dan ada yang cuma cari dagingnya saja,

لِأَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ إِنَّمَا يُجْزِئُ عَنْهُ نَصِيْبُهُ , فَلاَ تَضُرُّهُ نِيَّةُ غَيْرِهِ

“Setiap orang dari mereka dianggap mendapat bagian yang ia niatkan dan tidak memudaratkan niat yang lain.”

Kesimpulan:

Kembali ke masalah patungan qurban sapi yang tidak sama, maka tidak termasuk qurban karena akhirnya jatah satu orang kurang dari 1/7. Hal ini bisa diatasi dengan cara shahibul qurban yang beri patungan lebih memberi kepada yang kurang (tambal sulam) atas keridhaannya.

Semoga Allah beri pemahaman.

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21059-patungan-qurban-sapi-tidak-sama-apakah-sah.html

Ancaman Jika Sengaja Menunda Ibadah Haji Padahal Mampu

Ajaib memang, ibadah haji bisa dilaksanakan bagi mereka yg mendapat taufik dan memiliki keikhlasan. Ada yang punya harta, tetapi tidak punya waktu dan kesehatan tubuh. Ada yang sehat dan punya waktu tetapi tidak punya harta. Ada yang punya waktu, uang dan kesehatan tetapi tidak segera menunaikan haji, baik karena menunda-nunda atau atau tidak ada keinginan sama sekali.

Ancaman jika sengaja menunda ibadah haji padahal mampu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الله , عَزَّ وَجَلَّ , يَقُولُ : إِنَّ عَبْدًا أَصْحَحْتُ لَهُ جِسْمَهُ ، وَأَوْسَعْتُ عَلَيْهِ فِي الْمَعِيشَةِ تَمْضِي عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لاَ يَفِدُ إِلَيَّ لَمَحْرُومٌ.

Sesungguhnya Allah Azaa wa jalla berfirman, “Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan badannya, Aku luaskan rezekinya, tetapi berlalu dari lima tahun dan dia tidak menghandiri undangan-Ku (naik haji, karena yang berhaji disebut tamu Allah, pent), maka sungguh dia orang yang benar-benar terhalangi (dari kebaikan)”1

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata,

ولهذا ثبت عن عمر بن الخطاب أنه قال: ((لقد هممت أن أبعث رجالاً إلى هذه الأمصار فينظروا كل من له جدة ولم يحج، فيضربوا عليهم الجزية، ما هم بمسلمين، ما هم بمسلمين

sesungguhnya saya berkeinginan bisa mengutus sekelompok orang ke daerah-daerah. Mereka mencari orang yang punya kemampuan tetapi tidak pergi haji, menjatuhkan jizyah (upeti) kpeada mereka. Mereka (Yang semacam ini) bukanlah muslim, mereka bukanlah muslim.”2

Dalam riwayat yang lain,

وفي رواية أنه قال: ليمت يهودياً أو نصرانياً – يقولها ثلاث مرات – رجل مات ولم يحج، ووجد لذلك سعة، وخُلِّيت سبيله

Hendaknya mereka mati dalam keadaan yahudi atau nashrani –dikatakan tiga kali- seorang yang mati kemudian (sengaja) tidak berhaji, (padahal) ia mendapat keluasan (rezeki) dan kemudahan jalan.”3

Bersegeralah menunaikan ibadah haji dan Umrah

Ibadah haji dan umrah diperintahkan agar segera ditunaikan. Bagaimana tidak, ibadah haji adalah salah satu rukun Islam. Yang namanya rukun, merupakan pendiri tegaknya sesuatu yang dibangun diatasnya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”.4

Maka sudah selayaknya bersegara dan berkeinginan kuat menunaikan ibadah haji dan umrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya”5

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”.6

Demikian semoga bermanfaat

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22592-ancaman-jika-sengaja-menunda-ibadah-haji-padahal-mampu.html

Hati-Hati Iklan “Badal Haji” yang Menipu

Hendaknya kaum muslimin berhati-hati dan tidak tergiur dengan iklan “badal haji” (menggantikan haji) yang menipu dan tidak bisa dipastikan keabsahan badal haji tersebut. Iklan badal haji ini umumnya bukan badan resmi yang berada di Saudi, mereka meminta sejumlah uang dari orang yang ingin “dibadal-hajikan” untuk biaya haji dan membayar hadyu (sembelihan), padahal faktanya mereka menipu dan melanggar beberapa kaidah “badal haji”.

“Badal haji” adalah menggantikan seseorang untuk berangkat haji karena tidak mampu lagi secara fisik maupun sudah meninggal. apabila ingin melakukan “badal haji”, perlu memperhatikan kaidah “badal haji”. Berikut berapa kaidah “badal haji” yang dilanggar oleh mereka:

1. “Badal Haji” hanya boleh dilakukan apabila orang tersebut tidak mampu secara fisik permanen saja atau sudah meninggal sedangkan syarat lainnya dia telah mampu semisal harta yang cukup. Jadi, apabila belum mampu secara harta, maak tidak boleh “dibadal-hajikan”. Faktanya iklan “badal haji” yang menipu ini tidak peduli dengan hal ini, mereka meminta sejumlah uang yang tidak terlalu banyak untuk dibayar kepada mereka, yaitu hanya untuk membayar hadyu (sembelihan) dan transportasi sekedarnya karena mereka sudah di Mekkah.

An-Nawawi berkata,

والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه

“Jumhur ulama berpendapat bahwa badal haji hanya boleh untuk orang yang sudah meninggal atau orang yang lemah fisik (cacat/sakit) yang sudah tidak bisa sembuh lagi.” [Syarh An-Nawawi Ala Muslim 8/27]

2. Yang melakukan ibadah badal haji (penggantinya) harus sudah berhaji terlebih dahulu untuk dirinya sendiri. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu tersebut, belum tentu anggotanya sudah berhaji semuanya. Meskipun mereka tinggal Saudi, tetapi tidak semua orang yang tinggal di Saudi mendapatkan jatah haji dan sudah berhaji.

Sebagaimana dalam satu hadits dijelaskan ada seseorang yang berhaji untuk orang lain, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya apakah dia sudah berhaji untuk dirinya atau belum. Orang tersebut menjawab belum, maka beliau memerintahkan agar berhaji untuk dirinya sendiri dahulu. Ibnu Abbas berkata,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang lelaki berkata,

لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَة

Ya Allah aku memenuhi panggilanmu untuk menghajikan Syubrumah”,

maka Nabi bertanya kepadanya“Siapakah Syubrumah?”,

lelaki itu berkata, “Kerabatku”,

Nabi berkata, “Engkau sudah pernah haji?”,

lelaki itu berkata, “Belum”,

Nabi berkata,

فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ احْجُجْ عَنْ شُبْرُمَةَ

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syburumah !” [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Dalam Fatwa Al-Lajnah AD-Daimah dijelaskan,

لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل حجه عن نفسه

“Tidak bolehseseorang menghajikan orang lain sebelum ia sendiri melakukan haji untuk dirinya.” [Fatwa Al-Lajnah 11/50]

3. “Badal haji” untuk satu orang saja, satu orang menggantikan satu orang. Faktanya “iklan badal haji” yang menipu ini melakukan badal haji untuk banyak orang sedangkan yang melakukan ibadah haji hanya satu orang saja. Foto satu orang melakukan haji dikirim ke beberapa orang yang mereka minta uangnya untuk “dibadal-hajikan”

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,

ولا يجوز للشخص أن يحج مرة واحدة ويجعلها لشخصين ، فالحج لا يجزئ إلا عن واحد

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan haji hanya sekali tetapi menggantikan untuk dua orang. Haji tidak sah kecuali untuk seseorang saja.” [Fatwa Al-Lajnah 11/58]

Demikian pemaparan singkat ini, semoga tidak ada lagi kaum muslimin yang tertipu oleh iklan badal haji yang tidak bertanggung jawab.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50516-hati-hati-iklan-badal-haji-yang-menipu.html

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya.

Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsamin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab:

لا.السنة أن يضحي رب البيت عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”. Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“.

Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5)[1].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan. Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat”

Baca Juga:

Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak.

Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan:

والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan: ‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’”

Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga.

Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan, “wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا

“Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [2]

Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab:

الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [3].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Kesimpulannya, yang lebih mendekati sunnah Nabi dan para sahabat, yang berqurban cukuplah suami saja sebagai kepala keluarga. Tidak perlu dipergilirkan kepada anggota keluarga yang lain. Dan tidak ada keutamaan khusus dengan mempergilirkan demikian. Namun jika anggota keluarga yang lain berqurban atas nama dirinya, itu pun boleh saja dan sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabat sebagaimana telah dijelaskan.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Hukum Berdoa Mengharapkan Kematian

Larangan mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan untuk mati karena musibah yang menimpanya. Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.” (HR. Bukhari no. 6351, 5671 dan Muslim no. 2680)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berangan-angan agar mati. Dalam riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah berdoa meminta mati sebelum datang waktunya.” (HR. Muslim no. 2682)

Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berangan-angan mati dalam pikiran dan juga berdoa (dengan diucapkan) meminta kematian.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَوْلاَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا أَنْ نَدْعُوَ بِالْمَوْتِ لَدَعَوْتُ بِهِ

“Jika bukan karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berdoa meminta kematian, niscaya aku akan memintanya.” (HR. Bukhari no. 7234)

Dua alasan mengapa dilarang berangan-angan meminta kematian

Dalam hadits di atas terkandung larangan bagi setiap muslim untuk berangan-angan atau meminta kematian karena musibah yang dia alami, baik berupa kemiskinan, kehilangan sesuatu yang berharga, penyakit tertentu yang parah, luka secara fisik, atau musibah-musibah lainnya. Larangan ini karena dua alasan:

Alasan pertama, perbuatan tersebut menunjukkan keluh kesah terhadap musibah yang menimpa, tidak ridha dengan takdir Allah Ta’ala dan menentang takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan.

Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim adalah bersabar dalam menghadapi musibah. Kewajiban sabar ini berdasarkan ijma’ ulama. Yang lebih utama dari sabar adalah bersikap ridha terhadap musibah atau takdir dari Allah Ta’ala tersebut. Ridha terhadap musibah hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib, menurut pendapat yang paling kuat.

Alasan kedua, berdoa meminta kematian tidaklah mendatangkan maslahat, namun di dalamnya justru terdapat mafsadah (keburukan), yaitu meminta hilangnya nikmat kehidupan dan berbagai turunannya yang bermanfaat.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا

“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah meminta mati sebelum datang waktunya. Karena orang mati itu amalnya akan terputus, sedangkan umur seorang mukmin tidaklah bertambah melainkan akan menambah kebaikan.” (HR. Muslim no. 2682)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ: إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian. Jika dia orang baik, semoga saja bisa menambah amal kebaikannya. Dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya), semoga bisa menjadikannya bertaubat.” (HR. Bukhari no. 5673)

Bagaimana jika musibah tersebut menimpa agama seseorang?

Dzahir hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa “musibah” tersebut bersifat umum, baik musibah yang terkait dengan dunia atau yang terkait dengan agama. Akan tetapi, sejumlah ulama salaf memaknai larangan tersebut jika musibah tersebut berkaitan dengan dunia. Maksudnya, jika musibah tersebut berkaitan dengan agama seseorang, di mana seseorang mengkhawatirkan akan adanya fitnah atau kerusakan pada agamanya, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan di atas.

Dalam riwayat An-Nasa’i, terdapat hadits di atas dengan lafadz,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فِي الدُّنْيَا

“Janganlah salah seorang di antara kalian berharap mati karena musibah duniawi yang menimpanya.” (HR. An-Nasa’i no. 1820, shahih)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

على أن في في هذا الحديث سببية أي بسبب أمر من الدنيا

“Bahwa kata “fii” dalam hadits tersebut menunjukkan “sebab”. Maksudnya, dengan sebab suatu perkara (musibah) duniawi.” (Fathul Baari, 10: 128)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ

“Kiamat tidak akan terjadi sampai seseorang melewati makam orang lain dan mengatakan, “Duhai, seandainya aku menempati posisinya.” (HR. Bukhari no. 7115 dan Muslim no. 157)

Juga dalam hadits panjang yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, di dalamya diceritakan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ المُنْكَرَاتِ، وَحُبَّ المَسَاكِينِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي، وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةً فِي قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُونٍ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memintamu berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan bila Engkau menghendaki fitnah pada hamba-hamba-Mu, wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah.” (HR. Tirmidzi no. 3235, shahih)

Jika harus berangan-angan kematian

Dalam hadits pertama di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.”

Artinya, jika tidak boleh tidak dia ingin berangan-angan kematian karena keinginan kuat dari jiwa dan hawa nafsunya, sehingga mencegahnya untuk menjauhi larangan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi untuk berdoa dengan lafadz di atas.

Dari kalimat doa yang diajarkan dan diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, terkandung makna pasrah dan tunduk terhadap ketentuan Allah Ta’ala, memasrahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui semua urusan dan hasil akhirnya. Yaitu, seseorang menggantungkan urusannya kepada ilmu Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa dengan lafadz tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

اللهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah, dengan ilmu ghaib-Mu dan kekuasaanmu atas seluruh makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik untukku … “ (HR. Ahmad 30: 265, shahih)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/43190-hukum-berdoa-mengharapkan-kematian.html

Setelah Disalatkan di Masjidil Haram, Mbah Moen Dimakamkan di Ma’la

 Indonesia baru saja kehilangan salah satu ulama karismatik, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, KH Maimoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Moen. Ayahanda Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin itu wafat pada Selasa (6/8/2019) pukul 04.17 saat menunaikan ibadah haji. Mbah Moen pun sempat dirawat di RS An Noor Alfatihah Mekkah. 

“Njih leres (iya benar). Abah tilar dunyo,” ujar Gus Yasin, melalui pesan singkat mengonfirmasi wafatnya ayahandanya.

Menurut putra Mbah Moen, Majid Kamil atau yang akrab disapa Gus Kamil, jenazah Mbah Moen akan dimakamkan Ma’la, dekat dengan makam Sayyidah Khodijah Al Kubro, guru beliau Sayyid Alawi Al Maliki dan Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki serta Habib Salim As Syathiry. 

“Setelah dishalatkan di Masjidil Haram, Abah dimakamkan di Ma’la,” imbuhnya.

Selama hidupnya, Mbah Moen memiliki kiprah sebagai penggerak. Ia pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Mbah Moen diangkat sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Politik dalam diri Mbah Moen bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. 

Dikutip dari situs Nahdlatul Ulama, Mbah Moen merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Mbah Moen juga murid dari Syaikh Sad al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky. 

Pada umur 21 tahun, Maimoen Zubair melanjutkan belajar ke Mekkah Al Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuib. 

Di Makkah, Mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Mbah Moen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. 

Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Mbah Moen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Mbah Moen kemudian istiqomah mengembangkan Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.

AyoBandung/IHRAM


Bercita-cita Meninggal di Tanah Suci

Salah satu dalilnya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mendapatkan keutamaan meninggal di Madinah yang merupakan tanah suci.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana”. [HR Ahmad & Tirmidzi]

Akan tetapi meninggal di sini bukanlah meninggal yang diusahakan sendiri misalnya sengaja membuat dirinya sakit di Madinah, sengaja kecelakaan di Madinah atau malah bunuh diri di tanah suci, akan tetapi kematian yang alami sesuai dengan takdir Allah. Hendaknya ia sabar hidup di kota Madinah dengan segala cobaannya.

At-Tibiy berkata,

أمر بالموت بها وليس ذلك من استطاعته ، بل هو إلى الله تعالى ، لكنه أمر بلزومها والإقامة بها بحيث لا يفارقها

“Perintah agar meninggal di madinah bukanlah dengan usahanya sendiri, tetapi kembali kepada Allah (sesuai dengan takdir Allah). Hendaknya ia tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.” [Tuhfatul Ahwadzi 10/286]

Hal ini selaras juga dengan penjelasan An-Nawawi, beliau berkata,

قال العلماء وفي هذه الأحاديث المذكورة في الباب مع ما سبق وما بعدها دلالات ظاهرة على فضل سكنى المدينة والصبر على شدائدها وضيق العيش فيها وأن هذا الفضل باق مستمر إلى يوم القيامة

“Para Ulama menjelaskan bahwa hadits yang disebutkan (tentang kota Madinah) pada bab sebelumnya menunjukkan dalil yang jelas tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan besabar atas ujian dan kesesuhan hidup di kota Madinah. Keutamaan ini berlaku terus-menerus sampai hari kiamat.”[Syarh Shahih Muslim 9/151]

An-Nawawi juga menjelaskan disunnahkannya berdoa agar diwafatkan di tanah suci. Beliau berkata,

يستحب طلب الموت في بلد شريف

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia/suci.” [Al-Majmu’ 5/106]

Salah satu hikmah besar meninggal di tanah suci adalah banyak orang shalih yang akan mendoakannya dan berkahnya orang- orang shalih di tanah suci tersebut, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup.

Al-Bahuti berkata,

” يستحب أيضا الدفن في ( ما كثر فيه الصالحون ) لتناله بركتهم ، ولذلك التمس عمر الدفن عند صاحبيه ، وسأل عائشة حتى أذنت له ” انتهى

“Disunnahkan agar dikuburkan pada tempat yang banyak orang shalihnya untuk mendapatkan keberkahan mereka. Oleh karena itu Umar bin Khattab meminta agar dikuburkan bersama dua sahabatnya, ia meminta kepada ‘Aisyah kemudian diizinkan.” [Kasyfu’ Qanna’ 2/142]

Apakah akan mendapatkan keutamaan mati syahid? Untuk hal ini diperlukan dalil untuk menyatakan mereka yang meninggal di tanah suci (atau sedang melakukan ibadah hai) akan mati syahid. Dalam hal ini tidak ada dalil dan nash tegas yang menyatakan demikian. Dalil yang ada adalah mengenai keutamaan orang yang meninggal ketika sedang melakukan haji dan umrah, akan mendapatkan pahalanya sampai hari kiamat. Perhatikan hadits berikut:

من خرج حاجا فمات كتب له أجر الحاج إلى يوم القيامة ومن خرج معتمرا فمات كتب له أجر المعتمر إلى يوم القيامة ومن خرج غازيا فمات كتب له أجر الغازي إلى يوم القيامة

Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.” [HR Abu Ya’la. lihat Shahih At Targhib 1114]

Apabila jamaah haji meninggal di kota Madinah, ia akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut:

لَا يَصْبِرُ أَحَدٌ عَلَى لَأْوَائِهَا فَيَمُوتَ إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا كَانَ مُسْلِمًا

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah) kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat. Jika dia seorang muslim” [HR Muslim]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50575-bercita-cita-meninggal-di-tanah-suci.html